Bingung

Aku kembali berkutat dengan pekerjaanku, Dini ternyata hari ini izin karena di rumahnya ada acara yang tidak bisa ditinggalkan. Sepertinya menyambut kedatangan kakaknya yang baru pulang dari Singapura. Kantor terasa sepi jika tidak ada Dini. Dia biasanya yang paling heboh jika ada berita terbaru. Apa Dini tahu jika si Arham hanya kepala HRD. Ckck ... untung saja bukan dia bosnya.

Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Setelah semua selesai aku kembali merapikan pekerjaanku. Jam menunjukkan pukul lima sore saatnya pindah tempat kerja. Ternyata kantor ini  benar-benar terasa sepi jika tak ada Dini. Aku begitu kesepian. 

Kusiapkan diri untuk berangkat ke restoran, ojek sudah siap menunggu di depan. Beberapa hari lagi masa kontrakku habis. Aku harus semangat agar terbebas dari semua rasa yang membelenggu ini. Setahun berganti aku pasti bisa merubah keadaanku ini.

Sesampai di restoran Cindi bersiap pergantian denganku. Aku juga ikut bersiap untuk pergantian. Jujur jiwa dan ragaku ini sudah mulai lelah. Semua ini demi hutang yang harus dilunasi. Demi mantan tak ada guna, bahkan tak ada yang keluar dari mulutnya kata maaf. 

***

Tak terasa waktu menunjukkan jam sembilan malam, pengunjung sudah mulai berkurang tidak seramai tadi. 

"Ran, kamu dipanggil sama bos." Rahman datang memanggilku.

"Iya, Man. Nanti saya ke ruang Bos."

Aku tak inigin berfikir yang tidak-tidak. Walau perasaanku tidak enak karena baru kali ini dipanggil oleh si bos.  Aku langsung menuju ruangan si bos. Mematahkan segala prasangka yang ada di hatiku. 

Bismillah ... posisiku pas di ruangan si bos.

"Permisi, Bos."

"Silahkan duduk Rania."

Hening, entah mengapa perasaanku tak tenang.

"Ran, ini uang pesangon plus gajimu. Mulai besok kamu bisa istirahat."

"Maksudnya?"

"Kamu terpaksa kami berhentikan, tapi tidak mengurangi jumlah pesangon yang kamu  dapatkan." Aku hanya diam, apa ini artinya aku dipecat? Tak ingin membela diri, aku langsung mengambil pesangon yang diberikan. Mungkin kinerjaku tidak baik selama ini. 

"Terima kasih, bos. Mohon maaf apabila selama bekerja disini, aku masih banyak kekurangan."

"Aku juga minta maaf Rania, yang jelas kamu tidak dipecat hanya mempercepat kontrakmu agar kamu bisa istirahat." Sungguh aneh, tidak dipecat, tapi memperpendek kontrakku? Apa si bos ini tak salah?

Dunia sepertinya mulai baik padaku. Kubuka pesangon yang diberikan, jumlahnya sangat banyak sekali. Meski aku belum menghitung jumlahnya, tapi terasa berat sekali isi amplop ini.

***

Aku langsung keluar mencari tumpangan, ingin cepat istirahat. Meski Rahman dan rekan-rekan lainnya sedih karena mulai besok aku sudah tidak bekerja lagi. Aku bahkan belum mengucapkan terima kasih dengan Cindi yang selalu ikhlas membantuku selama ini.  

Malang tak bisa dihindari aku bertemu lagi dengan si Arham laki-laki tidak guna ini. Kali ini dia terlihat sangat sombong sekali. 

"Hei, wanita polos yang gampang diperdaya!" Astagfirullah sabar, Rania. Aku tetap tenang meski jujur melihat tampang sangarnya kali ini aku sedikit takut. 

Aku berhenti tanpa takut sedikut pun. Tak lupa kutatap wajahnya agar dia tahu aku siap melawannya.

"Ada apa pak Arham, apakah anda mau membayar hutang anda?" tanyaku yang terkesan mengejeknya.

"Hahaha ... dasar wanita matre, apa kamu terlalu miskin harus menagih hutang."

"Hei pak Arham, apa kamu tidak malu punya hutang dengan wanita yang gampang kamu perdaya. Ckck ... sepertinya anda harus segera diperiksa. Karena belakangan ini banyak orang amnesia ketika punya hutang, termasuk anda!" Dia mungkin mengira aku takut padanya.

Tiba- tiba dia melempar uang diwajahku yang sangat banyak. Selain mulutnya tidak bisa disekolahkan, dia juga tidak punya tata krama dan sopan santun. 

"Ambil uang itu, makanya jangan jadi wanita yang polos dan gampang diperdaya!" teriaknya.

Allah, rasanya sakit sekali apa aku sehina itu. Dia yang dulu meninggalkanku lalu menyisakan hutang padaku. Dia sama sekali tidak merasa bersalah dengan kelakuannya.

Uang itu berserakan dibawahku. Dia terkesan mengejekku. 

"Ambil uang itu, uang segitu tak ada artinya untukku."

Aku hanya diam. Uang lembar merah ini sangat banyak di bawahku. Berserakan.

Si Arham tertawa puas.

"Rania, jangan ambil uang itu sejengkal pun!" Teriak laki-laki yang bernama Mahendra itu. Dia sangat marah melihat si Arham melempar uang itu.

"Hei laki-laki tidak jelas, jangan jadi pahlawan kemaleman kamu. Wanita seperti ini tak perlu dibela. Dia itu gampang untuk diperdaya." Lagi, si Arham membuatku semakin panas.

"Tutup mulutmu Arham Hadi, kamu pikir kamu siapa, ha?"

"Hei aku suami Fany Nugroho yang kaya raya di kota ini."

"Cuih, dasar benalu kamu, Arham. Perkenalkan aku Mahendra Purnomo cucu pemilik perusahaan tempatmu bekerja itu!"

Mahendra menunjuk si Arham. Dia terlihat keringat dingin. Sementara aku seperti patung melihat adegan Mahendra. Apa dia yang akan menjadi bos kami? 

Tak berselang lama si Arham ditelpon oleh istrinya.

"Mas Arham, kalau bukan karena om Mahendra kamu tidak diterima sebagai kepala HRD di perusahaan itu! Jangan jadi benalu kamu!" si Fany berteriak. Wow makin seru, aku tidak perlu capek karena dia bertekuk lutut dengan istrinya.

"Jika hidupmu setinggi langit, jangan lupa merendah ke bumi Arham Hadi!" Aku kembali menunjuk si Arham agar puas melampiaskan sakit hati ini kepadanya. Rasanya ingin kuludahi laki-laki ini.

Uang yang berserakan itu diambil oleh anak buahnya Mahendra, si Arham kali ini tak berkutik. Laki-laki yang bernama Mahendra itu hanya menaikkan tangannya, anak buahnya begitu sigap memungut uang itu. Setelah selesai mereka langsung memberikan uang itu padaku. Aku tak malu, langsung aku mengambil uang yang banyak ini. Tak sia-sia menagih hutang ke Arham. Mantan tak ada guna ini.

"Terima kasih, pak Arham. Ini baru modal uang yang anda pinjam belum bunganya. Ops, itu pasti tidak seberapa bagi anda." Kembali aku mengejeknya.

Aku tak peduli dia diam karena ada Mahendra. Tak lupa Mahendra menaikkan jempolnya. Diih, itu orang kenapa? Tapi dia sungguh manis sekali.

Aku langsung memasukin semua uang itu ke dalam tasku, takut si Arham berubah pikiran.

"Hei Rania, apa kamu tidak bisa mengucapkan terima kasih," ucap Mahendra menarik tanganku yang ingin pergi.

"Aku bahkan lupa bagaimana berterima kasih dan mengucapkan kata maaf karena orang benalu di samping anda, tuan." Mahendra terdiam, tapi aku terus menatap si Arham. Dia seperti orang yang tidak bernafas. Hahaha ... Pen ludahin si Arham, mati kutu dia setelah ditelpon istrinya.

Aku berlalu membawa uang yang begitu banyak. Rezeki tak 'kan lari kemana setelah pesangon yang tidak sedikit, aku juga mendapatkan uang dari hutang si Arham meski jujur aku merasa hatiku belum puas. Entahlah.

Ojek yang biasa mangkal tidak terlihat, aku terus berjalan hingga sampai ke jembatan. Setelah mendapatkan uang dari Arham hatiku entah mengapa terasa perih, tak cukup rasanya memberi dia pelajaran dari hutang yang dibayar. Seketika aku ingin berteriak memuntahkan segala perasaan yang kualami ini. 

"Arham lihat saja aku akan menikah dengan pria yang lebih baik dari dirimu!"

Entah mengapa aku seperti orang gila yang berteriak.

"Hei, laki-laki terbaik dari Arham, keluarlah aku sudah siap jadi pendampingmu!" mungkin aku terlihat gila berteriak tidak jelas.

Tak berselang lama.

"Hei, Rania, tidak perlu kamu berteriak aku sudah siap menjadi pendampingmu!"

Laki-laki misterius itu muncul lagi, aku hanya melampiaskan kenapa dia dengar. Astagfirulah kena aku!

"Rania, jika berkenan aku juga akan memperjuangkanmu!" Dokter Noval tak mau kalah di samping Mahendra berdiri.

Astagfirullah, bagai buah simalakama sekarang aku bingung ada dua laki-laki keren berada di belakangku.

Mati aku!