"Masak sih, Rin. Kakak hanya kerja tiga bulan tidak mungkin bisa dikasih banyak sekali."
"Kamu tidak main-main 'kan dengan bosmu?" tanya ayah yang curiga."Gak lah, yah, masak orang tua kayak pak Bahar diajak main-main."
Rini bahkan mnghitungnya tiga kali. Apa tidak salah restoran itu memberi pesangon yang banyak sekali. "Nanti Rania tanya kembali, kalau ayah ragu," jawabku. "Bukan ragu, nak. Tapi ini terlalu banyak." Iya, juga, sih. Ini tidak masuk akal kerja hanya lima jam, suka telat. Eh, dikasih pesangon banyak sekali."Sekarang kita hitung uangnya si Arham." Rini semangat sekali untuk menghitung. Sementara kami semua saling berpandangan. Kira-kira uangnya si Arham berapa?
Semakin seru.
"Kak total uang yang dikasih si Arham lima puluh juta. Kakak benar-benar jadi jutawan setelah setahun lamanya." si Rini dengan teliti menghitung uang. Dia kalau bagian hitung uang jangan diragukan."Alhamdulillah Dek ...." Walau jujur aku dibuat sakit hati dengan uang yang dilemparkan ke wajahku tadi."Pesan ayah, jangan bertemu lagi dengan si Arham itu. Dia bukan laki-laki baik untukmu, Ran." Kulihat air mata ayah akan turun, dia terharu melihatku yang menerima uang sebanyak ini."Maafkan Rania ayah, aku tahu selama ini hati ayah terguncang. Rania berjanji akan menjadi anak yang lebih baik dan mendapatkan jodoh terbaik."Aku bersimpuh di kaki ayah. Beliau mengelusku jilbabku dengan pelan."Kadang Allah menguji karena begitu sayang kepada hamba-Nya, meski terasa sakit, tapi begitulah cara Tuhan memberi teguran agar kita kembali kepada-Nya." Setelah setahun lamanya nasihat ini kembali kudengar, aku terisak di bawa
"Kami panggil Mahendra Purnomo Hadinata."Wajah itu terus tersenyum disambut dengan riuh tepuk tangan karyawan. Wajah tampan nan misterius itu ternyata yang menjadi bos kami. Berkali-kali aku menahan nafas tidak percaya."Ran, bukannya dia laki-laki yang di bus kemarin." Dini tak berhenti berkedip, tak menyangka Mahendra Purnomo adalah bos baru kami. "Perkenalkan nama lengkap saya Sultan Mahendra Purnomo Hadinata. Nama yang panjang, untungnya zaman sekarang kalau ujian pakai digital kalau pakai tangan seperti kami dulu pasti harus teliti," ucapnya senyum.Semua karyawan semakin riuh, suaranya begitu tegas ketika di atas podium. Sekarang aku yang pangling, tidak mungkin dia menyukaiku apalagi berniat melamarku, rekam jejak digital yang kumiliki bahkan sangat kelam. Entah mengapa aku malu dan langsung menunduk."Ada pertanyaan? saya tipe orang yang to the point tidak senang basa basi. Kalau suka bilang suka, kalau tidak bilang tidak ...." Dia menjeda ucapannya. Entah mengapa aku semaki
Ucapan Mahendra benar-benar membuatku tidak fokus. Meski jujur aku suka dengan ceplas ceplosnya. Beberapa kali dia selalu ada disaat kubutuh. Namun, tetap saja semua orang bisa berucap belum tentu bisa menepati.Aku terus berkutat pada pekerjaanku kali ini. Hatiku sedikit berbunga karena sudah tidak perlu untuk kerja di restoran lagi. Saatnya mengistirahatkan badan agar wajah ini tidak cepat tua."Hai, Rania ...." Siapa lagi kalau bukan Fany istrinya Arham. Hidupnya ternyata sangat rumit hingga menganggu orang kerja."Kasihan sekali, ya kamu Ran. Tak menyangka anak jenius dulu kerja di kantoran sebagai karyawan biasa." Tarik nafas jangan terpancing dengan si Fany."Makanya jangan terlalu sok dan pelit dulu waktu di sekolah. Sekarang hanya bisa bekerja sebagai karyawan biasa 'kan," ucapnya lagi. Benar-benar menguji iman si Fany ini."Lebih baik jadi karyawan biasa, Fan. Daripada menganggu hidup orang lain." Wajahnya langsung berubah."Aku bahagia dengan posisiku saat ini, jika pun dulu
"Memang Sultan Mahendra itu anugerah Tuhan yang luar biasa, Rania. Bahkan hanya dilewati olehnya hati ini berdesir tak menentu.""Sudahlah, Din. Hanya di kisah Cinderella saja seorang bos mau dengan wanita kalangan bawah seperti kita.""Tak ada yang tidak mungkin Rania, jodoh itu tak ada yang tahu."Dini terus ceramah hingga abangnya menjemput kami."Dini, Rania ... Abang cari kemana-kemana ternyata mangkal disini!" Teriaknya."Iya, bang. Rania mau cari motor, tapi itu dia sama kayak aku, lebih suka gratisan.""Hahaha ... ada-ada saja. Ayo pilih, Ran. Abang belikan.""Diiih, demen banget punya pacar kayak Abang. Tapi hati-hati, bang! saingan Abang berat.""Oh,
Ibu dan ayah juga terlihat bingung. Kami berempat masih belum percaya diantarkan mobil baru ke rumah. Apalagi ditambah dengan surat yang kupegang. Benar-benar meresahkan dibuat."Ran, apa kamu punya pacar?" tanya ibu."Gak punya, bu.""Terus siapa yang mengantarkan mobil ini?" tanya ibu lagi."Dari calon imamnya katanya, bu. Ciyee akak punya pacar ternyata sultan, bu. Senggol dong aku, kak." Astaga Rini kenapa dia yang jadi baper. Aku aja masih bingung apa ini dari Mahendra atau bukan. "Lalu siapa yang membeli mobil ini untukmu, Nak?" tanya ayah lagi."Rania juga tidak tahu, yah." Aku juga bingung harus jawab apa. Masalahnya tidak ada nama orang yang mengirim."Kita tunggu saja ayah, katanya ini seserahan dari pengirim mobil ini." Rini masih berjuang ingin mendapatkan ipar seorang Sultan. Benar-benar itu bocah. Ayah dan ibu bingung menjawab pertanyaan tetangga yang datang silih berganti. Baru kemarin kata ibu mereka memojokkanku yang dikhawatirkan akan memjadi perawan tua karena di
Mobil baru masih terparkir rapi di depan rumah yang membuat tetangga berhenti setiap melihatnya. Benar-benar meresahkan."Bu Darma keren punya mobil baru." Salah satu tetangga sedang mengobrol di dekat ibu."Iya, ini dari calon imamnya Rania," jawab ibu. Astaga ibu ini bikin malu saja. Mau taruh dimana muka ini."Ih, keren sekali anaknya bu Darma. Dalam rangka apa bu? Secara anak ibu 'kan bakal jadi perawan tua karena dinggal pas hari H nikah." Rasanya nyesek sekali mendengarnya. Mulutnya bu Ningsih memang tidak pernah di sekolahkan."Tenang saja, bu Ningsih. Anak saya masih laku ini buktinya mobil ini sebagai seserahan untuk lamaran anak saya."
Ibu dan ayah mempersilakan Mahendra beserta keluarganya duduk di ruang tamu. Seserahan jangan ditanya, ruang tamu penuh dengan seserahan dari Mahendra. Dia begitu percaya diri, tak sedikit pun terlihat tegang. Padahal ini pertama kalinya dia datang ke rumah."Astaga, apa benar akak akan menikah dengan seorang Sultan?" tanya Rini yang tak berkedip. Aku seperti patung yang duduk berhadapan dengan Mahendra dan keluarganya."Akak apa tidak ada sesi untuk dirias, astaga penampilan akak masak pake mukenah tahun 2000-an dilamar Sultan." Rini tak dapat menahan tawanya. Aku sudah seperti patung."Semoga tidak ada sesi pemotretan akak, betapa hasilnya sungguh memukau," Rini berbisik lagi. Mahendra hanya nyengir melihat Rini yang terus berbisik. Aku yakin dia pasti mendengar bisikan Rini.Sekarang aku yang mulai gugup. Benar-benar Mahendra ini. Aku menyenggol ayah agar berada di dekatku. "Ayah, apa tidak masalah aku yang pake mukenah ini," bisikku."Tidak apa-apa, nak. Lebih memalukan lagi kamu
Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata. Wajah Mahendra menari-nari di kepalaku. Dia yang begitu to the point dan tak suka basa basi membuat siapa saja menjadi gundah gulana seperti ini. Namun, jujur ada yang memaksa hatiku seperti merasa bahwa dia terpaksa atau hanya iba denganku saja.Seserahan Mahendra bahkan memenuhi kamarku yang tidak begitu luas ini. Aku hanya menatap semua barang merek terkenal ini. Dua kali aku merasakan dilamar. Namun, kali ini nuansanya lebih beda. Aku hanya takut, ketika cintaku mulai bermekar Mahendra justru akan hilang begitu saja seperti si Arham. Kadang aku berfikir, apakah aku layak untuk bahagia atau tidak. Trauma setahun yang lalu tidak mudah bagiku untuk sembuh.Ibu mengetuk pintu lalu duduk di samping ranjangku. "Rania, jika kamu ragu tidak perlu dipaksa. Karena sesuatu yang dipaksa itu tidak baik," ucap ibu mengelus rambutku."Rania, meski Mahendra sangat mampu dibanding si Arham, tetap saja semua keputusan ada ditanganmu. Ibu hanya ingin kamu b
Entahlah, ini dinner macam apa. Sepertinya mereka sengaja membuatku frustasi di sini. Kakeknya terlihat lebih mendukung setiap ucapan Mahendra karena ada relasi bersama kami.“Rania, kan hanya pekerja kantoran jadi tidak paham mega proyek seperti apa.” Kakeknya mulai menunjukkan taring sebenarnya.“Iya, istri saya memang hanya pekerja kantoran, tapi dari segi kelimuwan dia pasti paham. Dia dulu lulusan terbaik ketika di kampus.” Aku terenyuh mendengar Mahendra membelaku.Ini ternyata alasan ada relasi yang ikut dinner bersama kami. Tujuannya agar Mahendra tidak perlu persetujuan untuk kedua kali. Selain itu, dia ingin menunjukkan bahwa dia bisa selangkah lebih maju dari kakek palsu.“Aku membatalkan proyek dengan Sisca dan meminta untuk bersama istriku.”Semua diam, bahkan tanganku gemetar, berada di sini benar-benar panas. Kakek Hadinata alias kakek palsunya Mahendra nampak terkejut, tapi masih tetap menjaga sikapnya.“Gimana, Kek? Aku mau bersama Rania-istriku pada kerjasama ini,” s
Dia berjalan lebih cepat, lebih mengejutkan dia membukakan aku pintu.“Masuklah, istriku.” Eh, ini tidak salah kan? Dia pasti hanya akting belaka.Setelah aku masuk, dia juga ikut masuk.“Jangan tegang, santai saja. Ingat ada aku di sampingmu,” ucapnya menyakinkanku.Andika berada di depan di samping supir. Mahendra terus menatapku membuatku salah tingkah. Selain, itu aku hanya menunduk bingung mau bicara apa.“Apa kamu tidak bisa bicara, Nona?” tanyanya.“Aku bingung mau bicara apa denganmu.” Mahendra justru tertawa. Duuh, mau ditaruh dimana ini muka!“Aku suamimu, harusnya bersikap wajar, layaknya seperti istri.” Dia benar, tapi jujur aku sendiri tegang hanya berada di sampingnya.“Kita tidak terlalu akrab, aku juga harus pintar memposisikan diri,” balasku spontan. Darimana juga aku bisa mengeluarkan kata-kata itu.“Justru karena aku suamimu, jangan ada yang disembunyikan.”“Aku mau seperti itu, tapi kenapa begitu sulit,” balasku lagi. Dia terus menatapku, bahhkan tanganku turut dig
Benar saja asisten Mahendra memanggil MUA. Mereka begitu sigap melayaniku, menanyakan riasan seperti apa.“Aku mau yang minimalis saja, sederhana, tapi berkesan.” Mereka paham tanpa perlu aku jelaskan lebih detail lagi.“Jangan gugup gitu, Nyonya.” Asisten Mahendra memang sama jahilnya dengan tuannya.“Apa tuanmu tahu aku akan dirias?”“Aman, tenang saja.” Aman. aman, paling juga dia sudah bocorin.“Aku sebelumnya tidak pernah melihatmu, apa kamu asisten baru?” tanyaku penasaran.“Sudah lama aku kerja di keluarga tuan, tapi aku baru saja menyelesaikan kuliahku makanya aktif kembali.” Aku hanya ber oh ria mendengarnya.Bahkan memilih asisten pun Mahendra begitu teliti, mirip paspampres yang aku lihat di televisi. Tinggi dan tampan tentunya.“Namaku Andika,” sambungnya lagi. Aku hanya mendengar, tanpa membalas perkenalannya.“Beneran aman, kan? tuanmu tidak tahu.” Aku harus memastikan, takutnya Mahendra menertawaiku. Eh, si Andika justru tertawa, dengan entengnya dia berlalu begitu saja
"Terus Siska bagaimana?" tanyaku penasaran."Aku dekat dengannya karena Siska bisa membantuku.""Keluarga yang aneh!""Dia bagian dari kakek, makanya aku memilihmu karena aku tahu kakek belum memberi konsekuensi padamu."Semakin pusing aku dibuat, penuh misteri. Lalu Aku menikah dengannya untuk apa?"Harusnya jika kamu tidak mencintaiku, kita tak berhubungan suami istri. Bagaimana jika aku hamil dan ternyata kamu memilih kakek palsumu itu.""Justru aku ingin kamu hamil.""Aku merasa dipermainkan," balasku."Karena jika kamu hamil, anak kita yang akan memiliki semuanya." Mendengarnya kenapa terasa sakit. "Aku merasa tertipu dengan kalian.""Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya, aku akan menjadi suami dan ayah yang baik," jawabnya serius."Kalian sungguh membuat kepala ini semakin pusing," balasku yang langsung bangkit. "Mau kemana, Aku ingin bersamamu," ucapnya lagi. Dia memaksaku duduk dan kembalii lagi dia tidur dipangkuanku.Cukup lama kami berdiam diri, tak ada pembicaraan di
"Kakek pulang saja," usir Mahendra yang Masih bisa kudengar.Aku masih menempel di tembok takut ketahuan. Keluarga yang aneh menurutku."Sudah berani ngusir kakek, ya, jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta dengan Rania.""Yang jelas Aku tidak menjadikan pernikahan itu mainan," balas Mahendra yang terlihat sebal. Walau jujur aku menyukai sifatnya yang tidak berubah mempertahankan pernikahan ini.Aku segera mundur, kembalii ke kamar agar tidak terlihat oleh mereka mengintip. Dengan mengendap aku kembali ke kamar. "Kakek tunggu keputusanmu, Mahendra!" tegas kakeknya. Ternyata kakeknya sangat menyeramkan, benar-benar jauh dari ekspetasiku. Kakek yang penyanyang yang kuanggap seperti ayah.Sesampai kamar, aku langsung pura-pura merebahkan diri. Berpikir keras apa yang akan terjadi pada nasib pernikahanku. Sudah pernah dibuang mantan, dan sekarang dipermainkan oleh orang yang lebih berkuasa. Seharusnya dari awal aku sadar diri, bahwa Mahendra denganku bagai langit dan bumi."Sudah bangun?
Rasanya begitu perih, tapi Mahendra tersenyum puas di dekatku. Ini pertama kalinya dalam hidupku, aku pun tak menyangka bisa merasakan ini lebih cepat bersamanya."Terima kasih, tidak salah aku memilihmu." Tingkahnya semakin aneh, sempat-sempatnya dia memelukku seperti bayi. Baru aku bangkit, aw, rasanya begitu perih. Ternyata benar kata orang kalau malam pertama itu, jika baru pertama kali terasa nyeri. "Kenapa sayang?" tanyanya. Sayang? Apa dia tidak salah ini orang memanggilku sayang?"Katanya kalau pertama kali sakit," sambungnya lagi. Tak lupa senyumannya begitu lebar. Diih ..."Kamu seperti paham dengan gadis perawan atau tidak!" ketusku. "Aku tidak bodoh, Sayang. Aku juga belajar sebelum kita melangsungkan akad nikah," katanya. Berarti dia memang berpikir sampai sejauh ini.Aku hanya diam, segera bangun untuk membersihkan diri. Namun, Mahendra mengamit tanganku."Jika sakit aku tuntun," ucapnya lagi. "Gak perlu, aku bisa sendiri." Sikapnya benar-benar aneh, tapi lagi-lagi
Abang Noval mundur, aku pun tak ingin memperpanjang masalah dengan Sultan Mahendra tidak jelas ini."Aku akan memberimu peringatan jika berani mendekati istriku," katanya menunjuk abang Noval."Aku juga akam memberi tuan peringatan jika membuat Rania menangis," balas abang Noval tak mau kalah.Mahendra tidak terima dia langsung menarikku paksa dalam rangkulannya. Situasi macam apa ini, benar-benar aneh."Dia istri sah-ku dimata hukum dan agama, jadi kuperingatkan kamu dokter Noval!" teriaknya tak kalah sengit.Ini tidak salah mereka memperebutkanku? Giliran istrinya dilirik, baru dia sadar. Sisca sampai mengeluarkan air mata karena tidak percaya mereka memperebutkanku. Tanpa pamit, dia terus merangkulku keluar."Biasa saja, Tuan Mahendra. Jika anda ingin dihargai, Maka belajarlah menghargai orang lain," jawabku yang langsung melepas diri dari rangkulannya.Bukan berarti kita orang lemah, kita seenaknya ditindas oleh mereka yang merasa kuat. Harusnya sejak awal, aku harus siap menerima
"Mengapa lama sekali?" tanya Mahendra yang masih memelukku. Apakah ini mimpi? Rasanya aneh dia memelukku dengan erat.“Aku mencarimu kemana-mana,” ujar Mahendra sambil memelukku.Tak ingin kepede-an aku langsung melepas pelukan Mahendra. Apa ini yang dinamakan trauma, takut kedua kalinya terluka lagi.“Maafkan aku, tadi cari udara segar,” jawabku datar.kembali hening lagi, pikiranku sudah tak percaya lagi dengan sikap Mahendra. Kadang baik, kadang juga bikin hati kesal dibuat olehnya.Rasanya raga ini mulai lelah, kukira menikah dengannya bisa mengubah semua jalan hidupku, jalan hidupku yang setahun ini kurasa begitu rumit. Namun, ternyata aku keliru."Mau kemana?" tanyanya sambil menarik tanganku lagi. Dia sangat aneh."Tetaplah di sampingku," sambungnya lagi.Sikapnya yang seperti ini, jujur membuat siapa saja berpikir jika dia menyukaiku, tapi sepertinya itu hanyalah khayalan semata.Aku hanya mengiyakan, sudah kepalang basah mau bagaimana lagi, aku sudah sah menjadi istri Sulta
Mahendra terlihat lebih sehat, meski kami tak sehangat kemarin, iya, itu karena pertengkaran kemarin. Aku pun mulai memposisikan diriku untuk tidak berekspetasi tinggi."Aku lapar," katanya merajuk. Kadang, aku bingung melihatnya yang seperti membutuhkanku, aku dibuat dilema dengan perasaanku sendiri, tapi yang jelas melihatnya sehat ada kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan.Aku membuka nampan yang diberikan rumah sakit."Apa kamu malas bicara? Bukannya kamu sudah memaafkanku?" Dia memang pintar menyerang.Dia membuka mulut, lalu aku menyuapinya. Persis seperti anak kecil yang disuapi ibunya."Aku mau masakan istriku," ucapnya lagi, tapi aku hanya diam."Kamu bisa masak?" tanyanya basa basi."Bisa sedikit," jawabku. Aku yang enggan menjawab akhirnya menjawab."Apa kamu sudah makan?" tanyanya lembut. Jangankan makan, yang kupikirkan hanya dia."Belum."Mahendra diam. Dia langsung mengambil ponsel di sampingnya. "Bawakan makanan yang paling enak," ucapnya tegas lalu memutus telponny