Aku gugup laki-laki misterius itu berteriak memintaku untuk ke rumah kakeknya.
"Rania, siapa laki-laki yang berteriak itu? Nanti si bos marah kalau ada yang menganggu kenyamanan restoran kita," ucap Rahman menyenggolku.Aku hanya diam, Rahman benar bisa-bisa si bos marah jika ada yang membuat keributan."Mohon maaf aku sedang kerja dan tidak ada urusan dengan anda." Aku menjawab di depan yang bernama Mahendra itu. Tentunya dengan sopan. Fany dan Clara memandangku dengan tatapan tidak biasa. "Astaga berani sekali wanita ini," ucap Fany."Wah dia memang wanita tidak jelas sampai mengacuhkan yang namanya Sultan Mahendra. Mungkin di rumahnya tidak ada tivi," bisik Clara. Namun, bisa kudengar.Manager restoran berlari dan langsung menuju ke arah laki-laki tidak jelas itu. Aku dan Rahman kembali fokus melayani pengunjung restoran yang membayar."Rania, biar Rahman yang mengerjakan. Kamu ikut bersama tuan Mahendra." Terlihat manager kami yang bernama pak Rudi itu nampak sangat berhati-hati. "Baik, pak Rudi." Aku hanya nurut, tak ingin membuat masalah apalagi managernya yang memintaku.Aku menuju ke arah Mahendra, dia sekilas melihatku. Clara dan Fany beserta teman-temannya memandangku dengan tatapan heran. Ada apa, sih, ini. Memangnya sehebat apa orang ini sampai mereka melihatku dengan tatapan yang aneh."Aku tidak punya masalah dengan tuan, tolong jangan ganggu saya sedang bekerja." Aku hanya menunduk. Tak berani melihat laki-laki di depanku ini."Apa begini caramu bicara dengan orang, pandang aku.""Maaf anda bukan muhrim saya yang harus saya pandang, jangan tambah ketidaknyamanan saya, tuan. Hidup saya sudah sungguh berat." Lagi, aku hanya menunduk."Ikut, aku." Dia menarikku ke taman depan restoran ini. Ada apa, sih dengan orang ini."Kakekku menagih untuk membawamu ke pertemuan malam ini, dia mengira aku bohong," ucapnya mulai pembicaraan."Dan itu kenyataan, tuan. Segala sesuatu yang dimulai dengan kebohongan harus siap tanggung resiko sendiri," jawabku."Aku akan melamarmu ke rumah orang tuamu," katanya lagi."Jangan jadikan saya mainan, tuan. Saya sudah kebal dicemooh warga, ditinggalkan hutang oleh mantan dan ditikung oleh teman sendiri. Sungguh saya sudah kebal. Pulanglah ... aku ingin kerja."Aku masuk ke dalam, entah mengapa aku tidak memiliki rasa dengan laki-laki lagi. Tak ada desiran seperti dulu lagi yang membuatku jatuh cinta.Dia memegang tanganku."Aku pastikan akan melamarmu, Rania.""Lamar saja, kutunggu di rumah." Eh, dia tersenyum Namun, hatiku tak karuan menentu. Astagfirullah, mengapa aku bilang begitu kalau dia benar ke rumah melamarku bagaimana. Ah, paling juga cuma basa basi.Laki-laki misterius itu kembali masuk ke dalam. Dia memesan makanan sangat banyak."Para pengunjung restoran kali ini makanlah sepuasnya, aku yang bayar!" Teriaknya. Dasar laki-laki aneh, tidak si Fany dan tidak pula si Clara."Wah, asyik kita di traktir." Semua pengunjung bersorak. Nambah lagi pekerjaan kami, kalau banyak yang mesan. Kita yang dikasir akan ikut melayani."Dalam rangka apa, mas?" tanya salah satu pengunjung."Dalam rangka saya akan melamar seorang gadis," ucapnya mantap. Astagfirullah, kenapa dia serius ini orang. Aku dalam bahaya, apa benar dia akan ke rumah melamarku.Clara terlihat manyun."Ha, Mahendra punya pacar? Sejak kapan, Fan?""Aku juga tidak tahu, Clara. Setahuku pria es kutub utara itu tidak pernah dekat dengan wanita manapun, karena dia kan baru pulang dari luar negeri." Aku hanya mendengar, tapi tidak tertarik. Jam menunjukkan pukul sembilan malam, itu artinya sebentar lagi jadwalku pulang. Untuk mengantisipasi kuhubungi Dini. Entah mengapa ada rasa yang tidak menentu di hatiku.[Din, aku ralat ya, jemput aku sekarang.][Oke, Ran. Aku berangkat.]Fany dan teman-temannya bukan pulang, malah makin asyik nongkrong. Tak lupa dia menambah pesanan karena digratiskan."Siapa, sih, perempuan yang beruntung itu." Mereka justru ngegosip."Semoga itu aku," jawab Clara."Dari dulu dia tak pernah dekat dengan gadis manapun setelah bersama artis itu, ya." Salah satu dari mereka ikut nyahut."Entahlah ... itu ditentang oleh kakeknya."Aku hanya jadi pendengar ditengah kesibukan melayani pengunjung. Entah dari planet bumi mana itu laki-laki berasal. Mengapa aku dibuat dilema, apa benar dia akan melamarku. ****Akhirnya pukul sepuluh malam, aku membereskan diri untuk pulang. Dini belum kelihatan, aku masuk ke dalam ruang ganti untuk salat isya terlebih dahulu sambil menunggu Dini. Kadang aku merasa berdosa, selalu salat tidak tepat waktu terutama salat isya. Bulan depan masa kontrakku habis, aku ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi, pribadi yang taat dan berbakti kepada orang tuaku.Setelah salat isya aku langsung ke depan, takut Dini menunggu terlalu lama."Rania ...!" Aku terkejut karena yang menjemputku bukan Dini, tapi abangnya. "Bang Noval ...." Jujur aku sungkan dia yang menjemputku. Ada-ada saja Dini ini. "Dini mana?" tanyaku."Dini dilarang mama keluar karena sudah larut." Ah, ini sih akal-akalannya Dini."Kapan pulang, Bang. Kok Dini tidak pernah cerita.""Tadi siang Din, alhamdulillah bisa pulang lebih cepat kontrak abang sudah habis.""Oh ...." Aku hanya ber oh ria saja. "Ayo naik," ucapnya lagi. Jujur aku tidak enak dijemput bang Noval."Bang, saya naik taksi saja, ya," ucapku sopan."Kenapa?" tanyanya bingung."Hm, gak apa-apa, tidak elok saja.""Gak apa-apa Rania, tadi sudah telpon Rini sebelum kesini agar mengabari kalau saya yang jemput dek Rania." Kalau sudah begini, ya sudahlah, aku ikut saja. Baru aku mau naik ke motornya abang Noval, Arham datang sedang menjemput istrinya. Dia memandangku sekilas, lalu membuang muka. Cuih, laki-laki pencundang itu berani menaruh muka di depanku. Seolah-olah merasa teraniaya."Ran, bukannya itu Arham?" tanya Noval berbisik padaku."Iya, Bang. Laki-laki pengecut yang sok itu.""Apa abang beri dia pelajaran. Benar-benar memalukan.""Gak perlu, Bang biar aku sendiri."Aku sengaja maju satu langkah ketika dia melewati kami. Dia nampak gugup. Namun, wajah licik itu masih terlihat."Hei pengantin baru, berani sekali anda muncul dihadapan kami.""Aku tidak punya urusan dengan anda, mbak." Benar-benar si Arham ini tidak punya malu."Wow, tidak punya urusan. Aku tidak akan meminta pertanggung jawaban atas perlakuanmu terhadapku dan keluargaku Arham, tapi setidaknya kamu membayar hutang yang sudah kamu buat untukku." Aku melempar nota hutang yang selalu aku bawa kemana-mana.Dia nampak gemetar."Dasar laki-laki tak guna kamu, kutunggu kamu melunasi hutangmu. Oh, iya jangan lupa dengan bunganya!" "Ak ...." Dia tak bisa berkata-kata."Jangan pengecut kamu Arham, kamu buat Rania menderita, sementara kamu bahagia dengan istrimu. Cuih ...." Bang Noval ikut membantu."Jika kamu tidak melunasi hutangmu aku akan beritahukan kelakuanmu kepada istrimu laki-laki pengecut!"Tak berselang lama Fany keluar bersama teman-temannya. Dia langsung berhamburan memeluk suaminya. Dih, laki gak guna kayak gitu diperhatikan. Niat sekali si Fany pamer kemesraan."Hei Rania, kenapa kamu melototin suamiku!" teriak si Fany. Arham langsung memasukkan nota ke kantongnya. Lihat saja akan kubuat perhitungan dengannya. "Tak sudi aku lihat suamimu, Fan. Jaga dia baik-baik, sekarang tidak hanya buaya darat yang berbahaya, tapi cicak-cicak di dinding juga lebih berbahaya." Bang Noval tak dapat menahan tawanya melihat Fany yang geram dengan ucapanku.Tak ingin melihatku berdebat, bang Noval langsung mengajakku naik ke motornya."Kamu cocok sama gembel seperti dia!" si Fany berteriak."Hei Fan, apa kamu juga tidak pernah membaca koran bahwa abangku ini dokter spesialis kandungan yang sering diwawancarai."Si Fany gentar, dan teman-temannya menatap bang Noval dengan seksama. Bang Noval memegang tanganku, entah mengapa aku berdesir. Lembut sekali, dia tak ingin melihatku adu mulut dengan istri si Arham."Dokter Noval Arpandi?" Temannya Fany melihat bang Noval dengan seksama. Kena kan?"Iya, dia dokter Noval yang sudah ke singapura dalam beberapa bulan terakhir ini," ucapnya lagi."Aku bahkan reservasi lama untuk bisa berobat dengannya," sambungnya lagi.Huha permainan seru. Bang Noval semakin cuek dan langsung menyuruhku naik. Namun, lagi-lagi ada penghalang. Laki-laki misterius itu menahan tanganku untuk naik ke motor Abang Noval."Mohon maaf, dia tunanganku," ucapnya mantap. Sekarang aku yang gugup."Maksudnya?" tanya Noval bingung."Dia bukan siapa-siapa saya, ayo bang kita jalan."Lagi, dia menahanku. "Apa anda tidak pernah mendengar bahwa tidak boleh menikung tunangan orang lain."Hening.Si Arham hampir terjatuh, untung ditangkap oleh istrinya! Apa aku tidak salah seperti diperebutkan?Semakin seru."Maaf aku tidak ada hubungan dengan anda, biar abang Noval yang mengantar saya pulang." Kulepas tangannya yang menahanku. Dia tidak bergeming masih tetap berdiri di depan kami."Apa kamu lupa dengan ucapanmu, Rania?" tanyanya balik."Aku tidak melupakannya, buktikan jika anda sungguh-sungguh, datang ke rumahku baik-baik." aku tak kalah cepat membalasnya.Abang Noval nampaknya tidak senang melihat Mahendra memaksa. Terlihat dari wajahnya yang cemburu. Apa abang Noval cemburu? Ah, tidak mungkin juga dia cemburu dan suka denganku yang kere ini."Jangan menjadi orang pemaksa, bro. Aku bahkan sudah izin sama orang tuanya Rania untuk menjemputnya." Abang Noval tak mau kalah. Sekarang Mahendra yang mengalah. Dia mundur satu langkah.Semua nampak hening melihat perseteruan dua laki-laki di sampingku. Si Arham bahkan seperti patung melihat wanita yang sudah dibuang sedang diperebutkan. Ingin kuludahi si Arham yang tak ada guna ini. Laki-laki pencundang tak tahu diri."Oh, iya jangan lupa Arham
Aku kembali berkutat dengan pekerjaanku, Dini ternyata hari ini izin karena di rumahnya ada acara yang tidak bisa ditinggalkan. Sepertinya menyambut kedatangan kakaknya yang baru pulang dari Singapura. Kantor terasa sepi jika tidak ada Dini. Dia biasanya yang paling heboh jika ada berita terbaru. Apa Dini tahu jika si Arham hanya kepala HRD. Ckck ... untung saja bukan dia bosnya.Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Setelah semua selesai aku kembali merapikan pekerjaanku. Jam menunjukkan pukul lima sore saatnya pindah tempat kerja. Ternyata kantor ini benar-benar terasa sepi jika tak ada Dini. Aku begitu kesepian. Kusiapkan diri untuk berangkat ke restoran, ojek sudah siap menunggu di depan. Beberapa hari lagi masa kontrakku habis. Aku harus semangat agar terbebas dari semua rasa yang membelenggu ini. Setahun berganti aku pasti bisa merubah keadaanku ini.Sesampai di restoran Cindi bersiap pergantian denganku. Aku juga ikut bersiap untuk pergantian. Jujur jiwa dan ragaku ini sudah
Mereka berdua terlihat serius sekarang aku mulai gugup. Bagaimana caranya sekarang aku lari dari dua laki-laki di depanku."Eh, pak Dokter kenapa anda selalu mengacaukan kami berdua." Mahendra tidak terima Noval berada disampingnya."Maaf mas yang tidak jelas, dari dulu Rania dan aku itu sudah saling kenal. Orang tuanya pasti tidak akan ragu memilihku," ucap dokter Noval tak mau kalah. Maksudnya? Apa abang Noval ada rasa denganku?"Sebelum janur kuning melengkung, semua orang berhak pak dokter!""Terus kenapa tuan takut, ayo kita berjuang bersama-sama." "Siapa takut pak Dokter!" teriaknya.Mereka berdua terus berdebat. Hingga ada ojek yang mangkal di depanku."Bang, berangkat, antar saya sampai rumah, bila perlu ngebut.""Asiyap, mbak. Cepat naik." Sepertinya abang ojek ini tahu jika aku sedang direbutkan.Benar saja aku dibawa sangat cepat, untuk aku sudah ganti jilbab segi empatku pakai jilbab instan, kalau tidak pasti sudah terbang melayang. Mana banyak uang yang kubawa menambah k
"Kak total uang yang dikasih si Arham lima puluh juta. Kakak benar-benar jadi jutawan setelah setahun lamanya." si Rini dengan teliti menghitung uang. Dia kalau bagian hitung uang jangan diragukan."Alhamdulillah Dek ...." Walau jujur aku dibuat sakit hati dengan uang yang dilemparkan ke wajahku tadi."Pesan ayah, jangan bertemu lagi dengan si Arham itu. Dia bukan laki-laki baik untukmu, Ran." Kulihat air mata ayah akan turun, dia terharu melihatku yang menerima uang sebanyak ini."Maafkan Rania ayah, aku tahu selama ini hati ayah terguncang. Rania berjanji akan menjadi anak yang lebih baik dan mendapatkan jodoh terbaik."Aku bersimpuh di kaki ayah. Beliau mengelusku jilbabku dengan pelan."Kadang Allah menguji karena begitu sayang kepada hamba-Nya, meski terasa sakit, tapi begitulah cara Tuhan memberi teguran agar kita kembali kepada-Nya." Setelah setahun lamanya nasihat ini kembali kudengar, aku terisak di bawa
"Kami panggil Mahendra Purnomo Hadinata."Wajah itu terus tersenyum disambut dengan riuh tepuk tangan karyawan. Wajah tampan nan misterius itu ternyata yang menjadi bos kami. Berkali-kali aku menahan nafas tidak percaya."Ran, bukannya dia laki-laki yang di bus kemarin." Dini tak berhenti berkedip, tak menyangka Mahendra Purnomo adalah bos baru kami. "Perkenalkan nama lengkap saya Sultan Mahendra Purnomo Hadinata. Nama yang panjang, untungnya zaman sekarang kalau ujian pakai digital kalau pakai tangan seperti kami dulu pasti harus teliti," ucapnya senyum.Semua karyawan semakin riuh, suaranya begitu tegas ketika di atas podium. Sekarang aku yang pangling, tidak mungkin dia menyukaiku apalagi berniat melamarku, rekam jejak digital yang kumiliki bahkan sangat kelam. Entah mengapa aku malu dan langsung menunduk."Ada pertanyaan? saya tipe orang yang to the point tidak senang basa basi. Kalau suka bilang suka, kalau tidak bilang tidak ...." Dia menjeda ucapannya. Entah mengapa aku semaki
Ucapan Mahendra benar-benar membuatku tidak fokus. Meski jujur aku suka dengan ceplas ceplosnya. Beberapa kali dia selalu ada disaat kubutuh. Namun, tetap saja semua orang bisa berucap belum tentu bisa menepati.Aku terus berkutat pada pekerjaanku kali ini. Hatiku sedikit berbunga karena sudah tidak perlu untuk kerja di restoran lagi. Saatnya mengistirahatkan badan agar wajah ini tidak cepat tua."Hai, Rania ...." Siapa lagi kalau bukan Fany istrinya Arham. Hidupnya ternyata sangat rumit hingga menganggu orang kerja."Kasihan sekali, ya kamu Ran. Tak menyangka anak jenius dulu kerja di kantoran sebagai karyawan biasa." Tarik nafas jangan terpancing dengan si Fany."Makanya jangan terlalu sok dan pelit dulu waktu di sekolah. Sekarang hanya bisa bekerja sebagai karyawan biasa 'kan," ucapnya lagi. Benar-benar menguji iman si Fany ini."Lebih baik jadi karyawan biasa, Fan. Daripada menganggu hidup orang lain." Wajahnya langsung berubah."Aku bahagia dengan posisiku saat ini, jika pun dulu
"Memang Sultan Mahendra itu anugerah Tuhan yang luar biasa, Rania. Bahkan hanya dilewati olehnya hati ini berdesir tak menentu.""Sudahlah, Din. Hanya di kisah Cinderella saja seorang bos mau dengan wanita kalangan bawah seperti kita.""Tak ada yang tidak mungkin Rania, jodoh itu tak ada yang tahu."Dini terus ceramah hingga abangnya menjemput kami."Dini, Rania ... Abang cari kemana-kemana ternyata mangkal disini!" Teriaknya."Iya, bang. Rania mau cari motor, tapi itu dia sama kayak aku, lebih suka gratisan.""Hahaha ... ada-ada saja. Ayo pilih, Ran. Abang belikan.""Diiih, demen banget punya pacar kayak Abang. Tapi hati-hati, bang! saingan Abang berat.""Oh,
Ibu dan ayah juga terlihat bingung. Kami berempat masih belum percaya diantarkan mobil baru ke rumah. Apalagi ditambah dengan surat yang kupegang. Benar-benar meresahkan dibuat."Ran, apa kamu punya pacar?" tanya ibu."Gak punya, bu.""Terus siapa yang mengantarkan mobil ini?" tanya ibu lagi."Dari calon imamnya katanya, bu. Ciyee akak punya pacar ternyata sultan, bu. Senggol dong aku, kak." Astaga Rini kenapa dia yang jadi baper. Aku aja masih bingung apa ini dari Mahendra atau bukan. "Lalu siapa yang membeli mobil ini untukmu, Nak?" tanya ayah lagi."Rania juga tidak tahu, yah." Aku juga bingung harus jawab apa. Masalahnya tidak ada nama orang yang mengirim."Kita tunggu saja ayah, katanya ini seserahan dari pengirim mobil ini." Rini masih berjuang ingin mendapatkan ipar seorang Sultan. Benar-benar itu bocah. Ayah dan ibu bingung menjawab pertanyaan tetangga yang datang silih berganti. Baru kemarin kata ibu mereka memojokkanku yang dikhawatirkan akan memjadi perawan tua karena di
Entahlah, ini dinner macam apa. Sepertinya mereka sengaja membuatku frustasi di sini. Kakeknya terlihat lebih mendukung setiap ucapan Mahendra karena ada relasi bersama kami.“Rania, kan hanya pekerja kantoran jadi tidak paham mega proyek seperti apa.” Kakeknya mulai menunjukkan taring sebenarnya.“Iya, istri saya memang hanya pekerja kantoran, tapi dari segi kelimuwan dia pasti paham. Dia dulu lulusan terbaik ketika di kampus.” Aku terenyuh mendengar Mahendra membelaku.Ini ternyata alasan ada relasi yang ikut dinner bersama kami. Tujuannya agar Mahendra tidak perlu persetujuan untuk kedua kali. Selain itu, dia ingin menunjukkan bahwa dia bisa selangkah lebih maju dari kakek palsu.“Aku membatalkan proyek dengan Sisca dan meminta untuk bersama istriku.”Semua diam, bahkan tanganku gemetar, berada di sini benar-benar panas. Kakek Hadinata alias kakek palsunya Mahendra nampak terkejut, tapi masih tetap menjaga sikapnya.“Gimana, Kek? Aku mau bersama Rania-istriku pada kerjasama ini,” s
Dia berjalan lebih cepat, lebih mengejutkan dia membukakan aku pintu.“Masuklah, istriku.” Eh, ini tidak salah kan? Dia pasti hanya akting belaka.Setelah aku masuk, dia juga ikut masuk.“Jangan tegang, santai saja. Ingat ada aku di sampingmu,” ucapnya menyakinkanku.Andika berada di depan di samping supir. Mahendra terus menatapku membuatku salah tingkah. Selain, itu aku hanya menunduk bingung mau bicara apa.“Apa kamu tidak bisa bicara, Nona?” tanyanya.“Aku bingung mau bicara apa denganmu.” Mahendra justru tertawa. Duuh, mau ditaruh dimana ini muka!“Aku suamimu, harusnya bersikap wajar, layaknya seperti istri.” Dia benar, tapi jujur aku sendiri tegang hanya berada di sampingnya.“Kita tidak terlalu akrab, aku juga harus pintar memposisikan diri,” balasku spontan. Darimana juga aku bisa mengeluarkan kata-kata itu.“Justru karena aku suamimu, jangan ada yang disembunyikan.”“Aku mau seperti itu, tapi kenapa begitu sulit,” balasku lagi. Dia terus menatapku, bahhkan tanganku turut dig
Benar saja asisten Mahendra memanggil MUA. Mereka begitu sigap melayaniku, menanyakan riasan seperti apa.“Aku mau yang minimalis saja, sederhana, tapi berkesan.” Mereka paham tanpa perlu aku jelaskan lebih detail lagi.“Jangan gugup gitu, Nyonya.” Asisten Mahendra memang sama jahilnya dengan tuannya.“Apa tuanmu tahu aku akan dirias?”“Aman, tenang saja.” Aman. aman, paling juga dia sudah bocorin.“Aku sebelumnya tidak pernah melihatmu, apa kamu asisten baru?” tanyaku penasaran.“Sudah lama aku kerja di keluarga tuan, tapi aku baru saja menyelesaikan kuliahku makanya aktif kembali.” Aku hanya ber oh ria mendengarnya.Bahkan memilih asisten pun Mahendra begitu teliti, mirip paspampres yang aku lihat di televisi. Tinggi dan tampan tentunya.“Namaku Andika,” sambungnya lagi. Aku hanya mendengar, tanpa membalas perkenalannya.“Beneran aman, kan? tuanmu tidak tahu.” Aku harus memastikan, takutnya Mahendra menertawaiku. Eh, si Andika justru tertawa, dengan entengnya dia berlalu begitu saja
"Terus Siska bagaimana?" tanyaku penasaran."Aku dekat dengannya karena Siska bisa membantuku.""Keluarga yang aneh!""Dia bagian dari kakek, makanya aku memilihmu karena aku tahu kakek belum memberi konsekuensi padamu."Semakin pusing aku dibuat, penuh misteri. Lalu Aku menikah dengannya untuk apa?"Harusnya jika kamu tidak mencintaiku, kita tak berhubungan suami istri. Bagaimana jika aku hamil dan ternyata kamu memilih kakek palsumu itu.""Justru aku ingin kamu hamil.""Aku merasa dipermainkan," balasku."Karena jika kamu hamil, anak kita yang akan memiliki semuanya." Mendengarnya kenapa terasa sakit. "Aku merasa tertipu dengan kalian.""Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya, aku akan menjadi suami dan ayah yang baik," jawabnya serius."Kalian sungguh membuat kepala ini semakin pusing," balasku yang langsung bangkit. "Mau kemana, Aku ingin bersamamu," ucapnya lagi. Dia memaksaku duduk dan kembalii lagi dia tidur dipangkuanku.Cukup lama kami berdiam diri, tak ada pembicaraan di
"Kakek pulang saja," usir Mahendra yang Masih bisa kudengar.Aku masih menempel di tembok takut ketahuan. Keluarga yang aneh menurutku."Sudah berani ngusir kakek, ya, jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta dengan Rania.""Yang jelas Aku tidak menjadikan pernikahan itu mainan," balas Mahendra yang terlihat sebal. Walau jujur aku menyukai sifatnya yang tidak berubah mempertahankan pernikahan ini.Aku segera mundur, kembalii ke kamar agar tidak terlihat oleh mereka mengintip. Dengan mengendap aku kembali ke kamar. "Kakek tunggu keputusanmu, Mahendra!" tegas kakeknya. Ternyata kakeknya sangat menyeramkan, benar-benar jauh dari ekspetasiku. Kakek yang penyanyang yang kuanggap seperti ayah.Sesampai kamar, aku langsung pura-pura merebahkan diri. Berpikir keras apa yang akan terjadi pada nasib pernikahanku. Sudah pernah dibuang mantan, dan sekarang dipermainkan oleh orang yang lebih berkuasa. Seharusnya dari awal aku sadar diri, bahwa Mahendra denganku bagai langit dan bumi."Sudah bangun?
Rasanya begitu perih, tapi Mahendra tersenyum puas di dekatku. Ini pertama kalinya dalam hidupku, aku pun tak menyangka bisa merasakan ini lebih cepat bersamanya."Terima kasih, tidak salah aku memilihmu." Tingkahnya semakin aneh, sempat-sempatnya dia memelukku seperti bayi. Baru aku bangkit, aw, rasanya begitu perih. Ternyata benar kata orang kalau malam pertama itu, jika baru pertama kali terasa nyeri. "Kenapa sayang?" tanyanya. Sayang? Apa dia tidak salah ini orang memanggilku sayang?"Katanya kalau pertama kali sakit," sambungnya lagi. Tak lupa senyumannya begitu lebar. Diih ..."Kamu seperti paham dengan gadis perawan atau tidak!" ketusku. "Aku tidak bodoh, Sayang. Aku juga belajar sebelum kita melangsungkan akad nikah," katanya. Berarti dia memang berpikir sampai sejauh ini.Aku hanya diam, segera bangun untuk membersihkan diri. Namun, Mahendra mengamit tanganku."Jika sakit aku tuntun," ucapnya lagi. "Gak perlu, aku bisa sendiri." Sikapnya benar-benar aneh, tapi lagi-lagi
Abang Noval mundur, aku pun tak ingin memperpanjang masalah dengan Sultan Mahendra tidak jelas ini."Aku akan memberimu peringatan jika berani mendekati istriku," katanya menunjuk abang Noval."Aku juga akam memberi tuan peringatan jika membuat Rania menangis," balas abang Noval tak mau kalah.Mahendra tidak terima dia langsung menarikku paksa dalam rangkulannya. Situasi macam apa ini, benar-benar aneh."Dia istri sah-ku dimata hukum dan agama, jadi kuperingatkan kamu dokter Noval!" teriaknya tak kalah sengit.Ini tidak salah mereka memperebutkanku? Giliran istrinya dilirik, baru dia sadar. Sisca sampai mengeluarkan air mata karena tidak percaya mereka memperebutkanku. Tanpa pamit, dia terus merangkulku keluar."Biasa saja, Tuan Mahendra. Jika anda ingin dihargai, Maka belajarlah menghargai orang lain," jawabku yang langsung melepas diri dari rangkulannya.Bukan berarti kita orang lemah, kita seenaknya ditindas oleh mereka yang merasa kuat. Harusnya sejak awal, aku harus siap menerima
"Mengapa lama sekali?" tanya Mahendra yang masih memelukku. Apakah ini mimpi? Rasanya aneh dia memelukku dengan erat.“Aku mencarimu kemana-mana,” ujar Mahendra sambil memelukku.Tak ingin kepede-an aku langsung melepas pelukan Mahendra. Apa ini yang dinamakan trauma, takut kedua kalinya terluka lagi.“Maafkan aku, tadi cari udara segar,” jawabku datar.kembali hening lagi, pikiranku sudah tak percaya lagi dengan sikap Mahendra. Kadang baik, kadang juga bikin hati kesal dibuat olehnya.Rasanya raga ini mulai lelah, kukira menikah dengannya bisa mengubah semua jalan hidupku, jalan hidupku yang setahun ini kurasa begitu rumit. Namun, ternyata aku keliru."Mau kemana?" tanyanya sambil menarik tanganku lagi. Dia sangat aneh."Tetaplah di sampingku," sambungnya lagi.Sikapnya yang seperti ini, jujur membuat siapa saja berpikir jika dia menyukaiku, tapi sepertinya itu hanyalah khayalan semata.Aku hanya mengiyakan, sudah kepalang basah mau bagaimana lagi, aku sudah sah menjadi istri Sulta
Mahendra terlihat lebih sehat, meski kami tak sehangat kemarin, iya, itu karena pertengkaran kemarin. Aku pun mulai memposisikan diriku untuk tidak berekspetasi tinggi."Aku lapar," katanya merajuk. Kadang, aku bingung melihatnya yang seperti membutuhkanku, aku dibuat dilema dengan perasaanku sendiri, tapi yang jelas melihatnya sehat ada kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan.Aku membuka nampan yang diberikan rumah sakit."Apa kamu malas bicara? Bukannya kamu sudah memaafkanku?" Dia memang pintar menyerang.Dia membuka mulut, lalu aku menyuapinya. Persis seperti anak kecil yang disuapi ibunya."Aku mau masakan istriku," ucapnya lagi, tapi aku hanya diam."Kamu bisa masak?" tanyanya basa basi."Bisa sedikit," jawabku. Aku yang enggan menjawab akhirnya menjawab."Apa kamu sudah makan?" tanyanya lembut. Jangankan makan, yang kupikirkan hanya dia."Belum."Mahendra diam. Dia langsung mengambil ponsel di sampingnya. "Bawakan makanan yang paling enak," ucapnya tegas lalu memutus telponny