"Maaf Bu, tapi aku harus segera kembali ke Albain. Ada hal yang harus aku lakukan." Gavin berpamitan pergi kepada Sera. "Tidak mengapa, Nak. Tentu saja aku mengerti." "Elisa, semoga nanti operasimu berjalan dengan lancar. Kabari aku tentang hasil operasimu nanti. Oke?" Gavin berpamitan kepada Alice. Alice mengangguk dan memperlihatkan iPadnya, "Ya, terimakasih. Aku pasti akan sembuh seperti sediakala." Gavin tersenyum hangat padanya, "Tentu, kamu pasti akan sembuh dan kembali seperti sediakala. Aku akan selalu mendoakanmu. Aku pamit dulu." Gavin kemudian masuk ke dalam mobilnya. "Sampai jumpa Nyonya Sera, Nona Elisa." James juga berpamitan pergi. "Sampai jumpa, James." Sera dan Alice melambaikan tangan pada James yang duduk di samping supir. Sera menatap ke arah mobil yang semakin jauh dan mengecil dari jarak pandang mereka, namun dia sesekali melihat kepada Alice. Tatapan Alice melekat ke arah mobil yang ditumpangi Gavin, hingga tidak terlihat lagi. "Begitu tidak r
Selama satu bulan lebih Gavin disibukkan dengan segala urusan kenegaraan. Mengurus sebuah negara adalah urusan yang tidak mudah, apalagi menata ulang segala kekacauan yang dibuat oleh Peter Aldimor dan Paul Welbert. Di ruang kerjanya di dalam istana, Gavin mengurut pelipisnya yang agak nyeri karena kelelahan. "James, aku telah memikirkannya berulang kali. Aku rasa, saat ini hanya satu orang yang aku bisa percayai untuk menduduki posisi Perdana Menteri." "Siapa orang itu, Yang Mulia?" Gavin menatap ke arah James dan menunjuknya. "Aku?" James menunjuk hidungnya. "Aku rasa aku tidak layak Yang Mulia." James menggelengkan kepalanya. "Dari semua orang, kamu adalah pilihan terbaik, James." "Aku_ lalu siapa yang akan mengurusi perusahaan?" "Perusahaan Welbert akan aku serahkan pada Manager Profesional, kamu tidak perlu khawatir. Selain itu, sekarang saham 20 persen perusahaan Welbert adalah milikmu." Gavin menyodorkan lembar kertas berharga, berupa pengalihan saham senilai
"Waahh, akhirnya aku bisa melihat menara Eiffel juga!" Alice melihat menara Eiffel dari dalam taksi mobil. Karena saat ini sudah pukul 7 malam, seluruh menara terang benderang karena dipasangi lampu-lampu. Terlihat sangat megah dan menjulang tinggi di tengah kota Paris. Setelah penerbangan selama 9 jam yang sangat melelahkan, akhirnya Alice sampai juga di tempat ini. Dari dulu Alice memang bermimpi pergi ke banyak negara untuk melihat dunia luar, itu sebabnya dia rajin berlatih banyak bahasa asing. Alice adalah seorang Poliglot, dia menguasai 8 bahasa. Selain bahasa negara Casia, Albain dan Inggris, dia menguasai Bahasa Prancis, Jerman, Italia, Indonesia, Mandarin, dan Rusia. Drrrt drrrtttt "Alice, apa kamu sudah tiba di Paris?" suara hangat Liam terdengar di seberang setelah Alice menerima panggilan di ponselnya. "Sensei, aku telah tiba di Paris. Tempat ini luar biasa." Suara Alice terdengar riang di telepon. "Alice, kamu sepertinya memang sangat senang jika melakukan hal
"Hari ini, kita kedatangan tiga anggota baru. Mari, kita persilahkan Junior-Junior kita memperkenalkan dirinya." Manager maskapai melakukan briefing dan perkenalan singkat pramugari dan pramugara baru. "Halo, perkenalkan saya Junior Marsela Braid, usia 21 tahun." "Selamat berjumpa semua, saya Junior Juna Woodey, usia 21 tahun." "Salam kenal, saya Junior Alicia Hins, usia 21 tahun." Sedikit menggelitik di dalam hati Alice, karena dia sebenarnya telah berusia 28 tahun saat ini. Namun dia menyamar sebagai gadis berusia 21 tahun. "Halo, Sela, Juna, Alice." Sapa para senior pada mereka. "Aku akan mengenalkan Pusher kalian dalam setiap penerbangan, ada Lita, Bram, dan Katy. Total dari 30 pramugara dan pramugari akan mendapat jadwal secara bergantian. Lita, Bram dan Katy akan membimbing kalian dalam setiap jadwal penerbangan." "Salam kenal Pusher Lita, Bram, dan Katy. Mohon bimbingannya." Sela, Juna, dan Alice menundukkan sedikit kepalanya sebagai tanda salam dan hormat. "Bai
"Kumohon jawab aku!” Suara itu bergetar, sekalipun terdengar keras. Ekspresi panik tampak jelas di wajah Alice saat melihat darah yang bercucuran di kepala saudara kembarnya. Tampak keadaan Elisa yang memprihatinkan. Seluruh wajahnya berlumuran darah karena hidung dan pelipisnya yang terluka. Beberapa saat lalu, Alice melihat sendiri mobil yang dikendarai adik kembarnya menabrak pembatas jalan tol dengan keras. “El–” Ucapan Alice terhenti saat ia melihat kelopak mata Elisa yang kini ada di dekapannya perlahan terbuka. “A-Alice ….” Suara Elisa nyaris tidak terdengar. Dengan lemah, wanita itu mengangkat tangannya yang berlumur darah untuk mengusap wajah Alice. “Maafkan aku … karena sudah merebut t-tempatmu ….” Usai mengatakan kalimat yang membuat Alice bingung tersebut, Elisa jatuh tidak sadarkan diri, meninggalkan Alice begitu saja. Beberapa saat yang lalu …. “Kamu sekarang sudah menikah?” Sepuluh tahun sudah berlalu sejak Alice meninggalkan rumahnya untuk mengejar mimpi,
Alice Welbert.Dua kata itu terus berputar di kepala Alice. Ia duduk merenung di depan ruang operasi sambil memikirkan kartu identitas milik Elisa.‘Fotonya foto Elisa, tapi kenapa dia memakai namaku?’ gumam Alice. Adegan kecelakaan itu saja masih meninggalkan tanda tanya, sekarang ditambah dengan identitas Elisa yang mencurigakan.“Bos!”Alice mengangkat kepala ketika mendengar suara yang familiar. Itu adalah Jake, bawahannya.Tanpa bangun dari duduk, Alice bertanya, “Jadi bagaimana?”“Saya sudah mengurus semuanya,” jawab Jake, masih berdiri di sebelah Alice. “Seperti dugaan Anda, ada yang janggal dari kecelakaan Nona Elisa.”Alice menelan air liurnya yang terasa pahit. Tangannya terkepal kuat. Beberapa saat yang lalu, ia memang menghubungi Jake untuk menyelidiki kasus kecelakaan Elisa.Alice mengangkat kepala, menatap Jake dengan matanya yang memerah. “Aku minta laporan lengkapnya, secepatnya.”Jake mengangguk. “Baik, Bos.”Jake pun meninggalkan Alice yang masih gemetar menahan amar
Setelah mobil berhenti, supir membukakan pintu. Gadis yang akhirnya Alice ketahui bernama Selena itu keluar terlebih dahulu. Dengan tidak sabar dia menarik paksa tangan Alice agar segera keluar dari mobil. Alice mengikuti langkah kedua wanita itu dan masuk ke dalam rumah. Ketika kedua wanita itu duduk di kursi sofa, Alice juga akan duduk di kursi sofa yang ada di sisi lainnya. "Hei, siapa yang memperbolehkan kamu duduk di atas kursi? Tempatmu adalah di bawah, bukan duduk sejajar dengan kami," ujar Laura, wanita paruh baya itu, menunjuk ke arah lantai. Alice diam sejenak. Seumur hidupnya, baru kali ini ia diperlakukan sehina ini. Lalu, mungkin karena Alice terus diam, Selena menarik Alice untuk duduk di lantai, di dekat kaki kedua wanita itu seperti pelayan. "Kemari, pijat kakiku sekarang juga!" Selena menyodorkan kakinya. Alice mengepalkan tangannya. ‘Apa-apaan ini?! Kalau benar Elisa menikah dengan Gavin, itu artinya Elisa adalah kakak iparnya. Kurang ajar sekali gadis muda ini,
"ALICE! ALICE! CEPAT BANGUN!" Alice menggeram saat mendengar Laura berteriak dengan kencang dari depan pintu kamarnya. Alice yang sebenarnya sudah terbangun sedari tadi, kini sedang bermeditasi. Alice melihat jam dinding. Ini baru jam 6 pagi. Duk! Duk! Duk! Sekarang, terdengar gedoran pintu kamar. "ALICE! CEPAT BANGUN BUAT SARAPAN! AKU DAN MAMA SUDAH KELAPARAN." Itu suara Selena.Alice menarik napas panjang dan menyelesaikan kegiatannya. Ia kemudian bergegas ke pintu dan membukanya. "Ada apa kalian sepagi ini sudah berisik di depan pintu kamarku?" tanyanya dengan sabar."Kok kamu bertanya 'ada apa?' Jam berapa sekarang? Seharusnya kamu sudah menyiapkan sarapan sedari tadi, dan kami sudah melahapnya sekarang!" omel Laura."Loh? Bukannya di rumah ini ada puluhan pelayan rumah tangga? Kenapa harus aku yang membuatkan sarapan?" tanya Alice bingung."Kamu linglung ya setelah kecelakaan? Kenapa jadi melupakan tugas kamu?" seru Selena.Untuk beberapa saat, Alice hanya beradu pandangan d