"Ugh..aku dimana?" Kepala Alice masih terasa pusing. Dia ingin memijat pelipisnya, tapi dia menemukan bahwa tangannya terikat di atas kepalanya. Alice bahkan merasa kedua kakinya terikat di sisi tempat tidurnya. Dia menatap ke langit-langit ruangan itu yang nampak asing."Apa_apa yang terjadi kepadaku?" Alice mencoba mengembalikan kesadarannya. Dia kemudian ingat, terakhir kali sedang berada di basemen sebuah rumah untuk menyelamatkan Jake, dan kemudian dia dibius hingga pingsan. "Oh..kamu sudah sadar?" terdengar suara Mario Aldimor. Pria itu kini tengah duduk di sofa di depan tempat tidur dengan menyilangkan kakinya, menatap Alice yang baru saja sadar. "Mario, kamu pria pengecut! Kamu menjatuhkanku dengan obat bius?! Mari kita bertarung dengan adil! Cepat lepaskan aku! Kalau tidak seluruh kelompok dunia bawah mungkin akan lenyap besok!" ancam Alice. "Benarkah? Kalian terlalu menganggap remeh dunia bawah. Kami bahkan telah membentuk pasukan elit dengan kekuatan yang lebih besar dar
Hari ini, pagi sekali Gavin sudah berada di meja makan. Dia kesulitan tidur semalaman, dan pagi ini perasaannya sedikit gelisah. Dia memakan salad sayur, sambil mengamati titik GPS keberadaan Alice di layar ponselnya. "Hmmm, pagi sekali dia sudah berada di markas pasukan elit." Gavin bergumam sambil mengunyah makanannya. "Aku tidak bisa menerobos masuk ke tempat itu untuk mencari tahu." Namun, setelah sekitar 20 menit, Gavin terperanjat mengamati titik GPS di ponselnya bergerak cepat di jalanan. "Kemana dia pergi? Berapa kecepatan mobilnya? Titik ini melaju dengan cepat di jalanan." Setelah Gavin mengamati, titik GPS itu menuju ke arah perbatasan Yustan dan Casia dengan cepat. "James, kita berangkat!" Gavin kali ini mengajak James bergegas untuk mengikuti ke arah tujuan Alice. Setelah hampir dua jam di perjalanan, mereka berpapasan dengan Jeep Wrangler yang dikendarai Alice beberapa hari ini. Namun, ketika Gavin memperhatikan titik GPS di layar ponselnya, titik itu menet
Gavin mendengar ke arah suara-suara itu dengan seksama, dia merasa suara-suara yang sedang beradu mulut itu dikenalnya. "Mario, kamu pria pengecut! Kamu menjatuhkanku dengan obat bius?! Mari kita bertarung dengan adil! Cepat lepaskan aku! Kalau tidak seluruh kelompok dunia bawah mungkin akan lenyap besok!" "Benarkah? Kalian terlalu menganggap remeh dunia bawah. Kami bahkan telah membentuk pasukan elit dengan kekuatan yang lebih besar daripada milik Casia. Sebentar lagi, seluruh negara bagian timur akan menjadi satu dibawah Albain! Kami hanya perlu menyingkirkan Berti Welbert dan keluarganya, setelah kami memastikan kekuatan kami untuk berperang. Hahaha. Lagipula, mungkin mereka tidak akan bisa menemukanmu selamanya!" "Jangan mengorbankan rakyat demi ambisi kalian. Peperangan hanya akan menimbulkan korban jiwa!" "Tidak perlu memikirkan orang banyak, kita hanya perlu memikirkan diri kita sendiri." "Alpha, aku dari sejak lama memang sangat mengidolakan kamu. Tadinya aku mengira
Ceklek Suara pintu di kamar terbuka, namun Alice larut dalam lamunan dan dia hanya merebahkan tubuhnya di tempat tidur membelakangi pintu yang terbuka. "Selamat pagi, Sayang. Ini sarapan untukmu. Ayo, makan dulu." Gavin membawa nampan berisi makanan dan meletakkannya di atas nakas di samping tempat tidur. Alice tidak menjawab, hanya diam saja. 'Apa dia masih tidur?' pikir Gavin. Gavin melangkah ke sudut tempat wajah Alice menghadap, dia ingin mencari tahu. Namun, yang terlihat bukanlah Alice yang sedang tidur. Matanya sembab, bengkak dan lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas. Dia tampak sehabis menangis dan tidak tidur semalaman. Kejadian yang menimpanya, membuatnya syok. Alice kesulitan untuk tidur. Pelecehan yang dialaminya trus membekas dalam ingatannya. Hampir saja Mario berhasil memperkosanya, jika saja Gavin tidak segera datang. Setelah kejadian itu, Alice dibawa pulang ke rumah Gavin. Alice pun setuju untuk ikut, karena takut jika dia tidak bisa menyembuny
"Darimana kamu tahu kalau rumahku di sini? Kamu menguntitku?" Alice tiba-tiba menyadari bahwa Gavin mengantar dia sampai kerumahnya, tanpa bertanya ataupun meminta alamat rumahnya. Gavin menggaruk hidungnya dengan kebingungan dan salah tingkah, "Sebenarnya...Sebenarnya aku memasang aplikasi yang menunjukkan keberadaanmu. Telepon seluler milikmu terhubung dengan telepon seluler milikku." Alice ingin marah, tapi mengingat kembali apa yang terjadi. Tanpa aplikasi itu, mungkin Alice tidak akan ditemukan dengan cepat. "Jadi itu sebabnya, kamu tahu aku berada di mana? Jangan-jangan di bandara Thurad waktu itu kamu menyadari bahwa orang yang berhoodie itu adalah aku?" Alice kemudian mengingatnya. Gavin mengangguk, "Ya! Aku tahu itu kamu." Gavin mengakuinya. Alice kemudian keluar dari dalam mobil Gavin, melangkah menuju pintu rumahnya. Gavin juga keluar dari mobilnya, dengan tebal muka menyusuli Alice dan berjalan di sisinya. Kini mereka berdiri berdampingan di depan pintu rumah. Alice
"ARRGGGHHH SIALAN!" BUAK PRANK Peter Aldimor menendang meja di ruang kerjanya yang dilapisi kaca dari kristal hingga terbalik dan pecah. "Bagaimana bisa anak itu melakukan kebodohan seperti ini? Dan kalian? Bagaimana bisa kalian membiarkannya melakukan kebodohan seperti itu?!" Peter Aldimor memaki Dias dan Hulman. Dia sangat marah karena Mario tertangkap di Casia. Untung saja dia masih mampu meredam pemberitaannya. Jika tidak, pemberitaan itu akan sungguh sangat memalukan bagi Peter, putra dari Perdana Menteri Albain ditangkap di Casia. "Mahaguru, kami sudah mencegahnya. Namun dia sangat terobsesi pada Alpha. Dia bersikeras, dan menyusun rencananya dengan matang. Kami pikir itu akan berhasil, kami tidak menyangka bahwa ini akan_" Dias mencoba memberi penjelasan, namun perkataannya belum sempat dia selesaikan. "AKAN GAGAL?! BEGITU MAKSUD KALIAN?!" Peter mengatur napasnya yang terengah-engah karena amarah. "Aku mengatur semua rencana dengan Raja Paul selama berpuluh tahu
"Selamat pagi, Ibu!" Sapa Gavin ketika Sera membukakan pintu rumah untuknya. Hari ini, Gavin pagi sekali sudah ke rumah Alice. "Selamat pagi, Nak! Ayo masuk, kebetulan kami sedang sarapan." Sera menyambut menantunya itu dengan ramah. "Terimakasih, Ibu Mertua." Seru Gavin yang kemudian berjalan melewati pintu masuk rumah. Namun, suara seseorang menyapa ketika dia akan menutup pintu rumah. "Permisi, selamat pagi! Ah, halo Tuan Gavin Welbert." Gavin melihat kepada pria yang berdiri di hadapannya, "Halo, Tuan Liam Sanders!". "Halo, Nak Liam!" Sera yang masih berdiri disana juga menyapa Liam. "Bolehkah aku bertemu dengan Alice, Bibi?" tanya Liam, menatap kepada Sera. "Tentu, silahkan masuk. Mari kita sarapan bersama. Oh, ternyata ada Jake juga. Mari, semuanya masuk. Alice sekarang ada di meja makan." Ada kecanggungan di antara ketiga pria tersebut. Sejak semula Gavin cemburu kepada Jake. Namun, ketika dia mengingat-ingat lagi dengan benar, bukan Jake lah saingannya yang se
"Sial! Kenapa di saat seperti ini ban mobil tiba-tiba bocor?" Alice merasa kesal, di tengah perjalanannya ke bandara, ban mobilnya malah bocor. Alice mengganti ban serep secepat mungkin, lalu dia bergegas melanjutkan perjalanan ke bandara. Sesampainya di bandara, Alice segera bertanya kepada staf informasi, "Permisi, apakah pesawat pribadi milik Gavin Welbert sudah berangkat?" "Iya, Nona. Pesawat baru saja lepas landas." "Baik, terimakasih." 'Ah, aku terlambat. Dia sudah pergi,' batin Alice. Alice kemudian membeli tiket dengan tujuan Albain. Penerbangan menuju Albain masih sekitar 2 jam lagi. "Tunggulah aku, Gavin!" gumam Alice sambil melihat ke arah tiket yang dipegangnya. * * * "Selamat datang, Tuan Muda." Gary menyambut kedatangan Gavin. Gavin mengikuti langkah pria paruh baya itu menuju ke kamar Berti Welbert. "Mengapa Kakek tidak dirawat di rumah sakit saja?" tanya Gavin sambil melangkah di sisi Gary. "Tuan Besar tidak mau. Aku sudah berupaya membujuknya.