Malam semakin larut, tiba-tiba saja Diana merasa cemas dan gelisah. Pasalnya tadi siang Abian berjanji akan datang ke acara kelulusannya, namun hingga saat ini tak ada kabar sama sekali selain pesan singkat yang katanya nggak bisa datang itu. Sampai detik ini Abian juga tidak menjawab panggilan teleponnya, bahkan nomornya terlihat tidak aktif. Diana pun beralih menghubungi Raka. "Hallo, Mas? Mas Raka lagi sama Mas Bian nggak?""Enggak Diana! Memangnya Abian belum pulang?" Reaksi Raka di balik sana cukup terkejut."Mas Bian belum pulang. Dia juga belum ada menghubungiku dari tadi siang. Terakhir dia cuma bilang nggak bisa ikut ngerayain acara kelulusan aku. Terus sampai sekarang nomornya nggak aktif," cemasnya."Oke ... Oke Diana. Nanti biar aku cari tahu Abian kemana. Untuk sementara jangan hubungi Kakek Bram dulu ya.""Memangnya kenapa?" Diana jadi curiga karena Raka bilang begitu. "Kenapa aku nggak boleh kasih tau Kakek?""Kalau Mas Bian kenapa-napa gimana?""Kalau terjadi sesua
Raka meneguk kopi di dekat restoran Doni, mencoba meredakan pusing yang menyerang kepalanya. Dia merasa bersalah karena telah berbohong kepada istri sahabatnya tentang keberadaan Abian. Namun, ia tidak punya pilihan lain selain menyembunyikan kebenaran itu dari Diana.Doni, yang duduk di seberangnya, juga tampak cemas dan gelisah. Dia sendiri yang menyarankan Raka untuk membohongi Diana demi menghindari masalah yang lebih besar. Kini, keduanya saling berhadapan, mencari jalan keluar dari situasi yang semakin pelik ini."Raka, kita harus segera menemukan cara supaya Abian kembali biar Diana dan yang lain gak curiga. Kamu sendiri tahu Kakek Bram kayak apa kalau sudah bertindak. Abian bisa mati," ujar Doni dengan serius, menatap temannya dengan tajam.Raka menghela napas berat, merasakan beban yang kian berat di pundaknya. "Aku tahu, Doni. Tapi, bagaimana caranya? Abian juga tidak mau memberitahu kita dimana keberadaannya. Kau kong kalikong juga susah kalau konsepnya kayak gini," jawab R
"Uhukkk" Raka langsung keselek ludah sendiri. "Hamil bagaimana maksudnya apa Mir?""Loh Raka? Kenapa kamu yang jawab telepon Abian?"Raka langsung menoleh pada Abian. Ekspresi pria itu terlihat kaget dan pucat. Abian tidak terlihat marah, yang menandakan bahwa apa yang dikatakan Miranda kemungkinan besar Abian paham duduk perkaranya."Abian lagi ada rapat Mir! Coba kamu ceritain ke aku apa maksudnya tadi? Kok bisa kamu hamil anaknya Abian?" tanya pria itu tanpa mengindahkan tatapan Abian di sampingnya.Miranda menarik napas panjang sebelum mengucapkan kata-kata yang akan mengubah hidup mereka semua. "Ceritanya panjang Raka, intinya aku hamil anak Abian. Jadi kamu harus menyuruh Abian menemuiku sekarang juga.""Kalau Abian tidak mau gimana Mir?""Kalau tidak, aku akan berbuat nekat!" ucapnya dengan suara serak.Raka terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Abian, yang kebetulan berada di samping Raka, merasakan denyut jantungnya semakin cepat. Ia segera
Raka tak sabar ingin melihat apa yang ada di ponsel Abian. Dia langsung merebut ponsel itu dengan gerakan cepat.Raka menatap layar ponsel Abian dengan kening berkerut, matanya terbelalak saat melihat foto-foto panas antara dirinya dan Miranda, mantan kekasihnya, yang terpampang jelas di galeri. Kedua tangannya gemetar, tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. "Ini bukan editan, benar-benar terjadi," gumamnya penuh emosi.Abian yang menyadari isi ponselnya telah direbut, langsung berdiri dan mencoba merebut kembali ponselnya, namun Raka lebih sigap. "Miranda pasti sengaja melakukan ini! Aku ... Aku tidak mungkin kayak gini" Abian mengepalkan tangannya sambil mencoba menjelaskan.Raka mengumpat keras, "Kau tahu betul ini bukan editan, dan kau masih berani menyangkalnya, Abian?!" tanya Raka dengan nada tinggi, geram akan perbuatan mantan kekasih Abian yang menjebak Abian.Sementara itu Abian terlihat kalut. Hatinya bimbang, bingung harus berbuat apa. Istrinya yang sedang menunggu d
Abian menatap dalam ke mata Miranda, penuh penyesalan dan keputusasaan. "Aku minta maaf, Miranda," katanya dengan suara serak. "Aku tahu aku salah karena menikah tanpa memberitahumu. Tapi aku hanya ingin menjalani hidup yang baik bersama istriku yang sekarang."Miranda mendengus, wajahnya memerah oleh amarah yang membara. "Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja, Bian? Kamu nggak mau aku dan bayi kamu kenapa-bapa kan," tantangnya, mengepalkan tangannya erat-erat.Sialan! Abian hampir lupa kalau di perut Miranda ada darah dagingnya. Meskipun Abian belum yakin Miranda sungguh hamil atau tidak, tetap saja ia khawatir. "Aku tidak akan membiarkanmu bahagia dengan wanita lain, sementara aku di sini, hancur karena dikhianati!"Abian merasa jantungnya berdegup kencang, khawatir akan apa yang akan dilakukan Miranda selanjutnya. "Miranda, tolong jangan ganggu hubungan kami. Aku sudah memilih jalan ini, dan aku akan menjalaninya. Jadi aku harap tolong mengerti," pinta Abian dengan n
Abian duduk di sebuah meja makan di restoran dengan gelisah, menatap piring berisi steak daging utuh di depannya. Disampingnya, Miranda asyik menyantap hidangan mewah yang ia pesan. Abian tidak dapat melupakan Diana, istrinya, yang sedang menunggunya dan mungkin sedang mencemaskannya..Abian malas sekali mendengar ancaman Miranda bertubi-tubi. Gadis itu lagi-lagi mengatakan akan bunuh diri jika Abian tidak menemani makan siang dengannya. Abian merasa terpaksa, demi menjaga keselamatan Miranda.Miranda melirik Abian yang tidak menyentuh makanannya. "Kenapa kamu tidak makan?" tanya Miranda mulai sewot.Abian tersenyum paksa. "Masih kenyang," jawabnya singkat, padahal pikirannya terus melayang pada Diana yang mungkin sedang cemas menunggu keberadaannya.Tak puas dengan jawaban Abian, Miranda makin kesal saat melihat pria itu masih menatap layar ponselnya. "Matikan ponselmu, aku tidak suka kamu melihat ponsel saat bersama denganku," ujar Miranda tegas, lalu menambahkan ancaman, "Jika tid
Kejadian Abian yang menghilang tanpa kejelasan terlupa begitu saja. Sejak saar itu Diana dan Abian adalah pasangan yang sangat mesra dan saling mencintai. Keduanya masih tinggal bersama di apartemen pusat kota. Malam itu, mereka sedang menikmati waktu berdua di kamar tidur mereka. Diana, yang cantik dan anggun, sedang bercanda dan tertawa bersama Abian, suami tampan dengan senyum yang manis."Mas, kenapa sih kamu selalu bisa membuatku bahagia," ucap Diana sambil tersenyum lebar. Abian pun membalas senyuman Diana, mencium keningnya lembut."Tentu saja, Sayang. Karena kamu adalah alasan kebahagiaanku," jawab Abian dengan suara lembutnya. Mereka pun saling berpelukan, merasakan kehangatan satu sama lain.Namun, tiba-tiba Diana merasa ada yang aneh dengan sikap Abian yang selalu menyembunyikan ponselnya beberapa hari ini.Pria itu terlihat gugup dan sering melirik ponselnya yang berada di atas meja. Diana pun mulai curiga dan bertanya-tanya apa yang disembunyikan Abian darinya."Mas, kam
Abian duduk di sudut kamar, menatap kosong dinding sambil berpikir keras. Kata-kata Diana tadi malam membuatnya gelisah. "Kalau kamu bohongin aku, aku bakalan pergi ninggalin kamu!" Ancaman itu terus terngiang di benaknya.Abian merasa terjepit, di satu sisi dia tak ingin kehilangan Diana yang selama ini menjadi kebahagiaan dan kekuatannya. Namun, di sisi lain, dia masih menjalin hubungan dengan mantannya, Miranda. Abian tahu jika Diana mengetahui hal tersebut, pastilah akan terjadi keretakan dalam hubungan mereka."Aku nggak mau Diana sampai kecewa. Tapi gimana caranya membuat Miranda pergi sedangkan gadis itu saja terus meminta pertanggung jawaban dariku?" gumamnya.Keringat dingin mengucur di kening Abian saat dia membayangkan reaksi Diana jika ia mengakui segalanya. Wajah Diana yang marah dan kecewa, lalu meninggalkan Abian begitu saja. Tapi di sisi lain, rasa bersalah Abian semakin menggerogoti hatinya karena terus menyembunyikan hubungan gelap dengan Miranda.Dalam kebimbangan,
Hari itu, ruangan dokter terasa lebih hangat dari biasanya bagi Abian. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, dia memandangi layar USG yang menunjukkan gambar bayi mereka yang kedua. Antusiasme terpancar dari matanya yang berbinar saat membayangkan kehadiran anggota keluarga baru."Semoga aja yang kedua perempuan. Jadi formasi keluarga kita bakalan lengkap. Tapi kalau laki-laki juga tidak masalah. Aku juga suka," ujarnya sambil terus menatap foto hasil usg, seolah bisa melihat masa depan keluarganya yang bahagia.Di sampingnya, Diana yang mendengar ucapan Abian itu menoleh dengan ekspresi yang rumit. Matanya yang tadinya memancarkan kebahagiaan kini seolah tertutup oleh awan kegelisahan. "Sebenarnya hubungan kita ini bagaimana sih Mas? Kita jadi cerai atau tidak?" tanyanya dengan suara yang mendadak serius.Abian menoleh, ekspresi bahagianya berganti dengan tatapan yang lebih dalam. "Kamu maunya gimana?" tanyanya, mencoba menggali perasaan dan keinginan Diana yang sebenarnya."Ak
Lupakan isi hati perempuan yang sulit dipahami. Abian berusaha memaklumi sikap Diana yang aneh karena wanita itu sedang hamil sekarang.Pagi harinya, Abian dikejutkan oleh kabar Diana yang pingsan mendadak. Dia dilarikan ke rumah sakit karena kekurangan cairan.Abian saat itu cukup panik. Dia baru saja duduk di kursi kantor saat kabar itu datang. Tanpa basa-basi Abian langsung pergi menuju rumah sakit tempat Diana dilarikan.Sesampainya di rumah sakit ada kakeknya yang menunggu Diana. "Gimana keadaannya, Kek?" tanya Abian dengan wajah pucat pasi."Masih di dalam, dokter sedang menanganinya," jawab kakeknya sambil memandang lekat-lekat ke arah pintu ruang gawat darurat.Abian menghela napas berat. Pundaknya terasa seolah ditumpuk beban berat. Dia duduk di samping kakeknya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih lanjut tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya.Beberapa menit terasa seperti jam berlalu hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang tersebut. A
Diana menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat, berharap suara lembut dari luar tidak akan membangunkan si kecil. Punggungnya terasa kaku, tangannya gemetar sedikit saat memegang gagang pintu. Ketika Abian berbicara, suaranya menimbulkan desas-desus yang menambah ketegangan di udara."Azka sudah tidur?""Sudah," sahut Diana, suaranya hampir tak terdengar, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya."Kalau sudah selesai ayo tidur ke kamar. Bagaimanapun kita belum resmi cerai. Jadi usahakan jangan membuat orang salah paham," kata Abian dengan nada yang mencoba terdengar tenang namun Diana bisa mendengar sedikit kekecewaan di dalamnya.Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk perasaan Diana, membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Tanpa menjawab, ia melangkah pergi, meninggalkan Abian yang masih berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah lantai di bawahnya menjadi lumpur yang menahan kakinya."Kamar kita masih sama kayak dulu. Ada di atas," sambun
Kakek Bram berdiri tegak di halaman villa, keriput di wajahnya semakin terlihat jelas, namun matanya masih tajam dan penuh semangat.Diana baru saja sampai di villa dan melihat sosok Kakek Bram yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Tubuh Kakek Bram tampak lebih renta, namun ia tetap berdiri tegap dan berkharisma."Kakek," sapa Diana dengan suara agak gemetar, mengetahui Kakek Bram pasti punya maksud tertentu mendatanginya.Kakek Bram tersenyum tipis, "Apa kabar Diana? Lama tidak berjumpa!""Kabar baik, Kek!" jawab Diana sambil berusaha tersenyum, menutupi rasa cemas yang menyelimuti hatinya."Ayo masuk, Kakek pasti sudah menunggu lama di sini kan," ajak Diana, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.Namun Kakek Bram menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, Diana. Kakek tidak mau basa-basi. Kamu pasti paham tujuan Kakek ke sini buat apa."Diana menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. Ia tidak tahu apa yang akan dibahas Kakek Bram, namun ia tahu, apa pun itu, pasti sangat pentin
Diana menatap Prass dengan mata berkaca-kaca, seolah tak sanggup menahan kesedihan yang mendalam. Prass, yang sejak tadi mencoba menunjukkan sikap tegas, mulai merasa jantungnya berdegup kencang. Ia sadar, ini bukan hanya tentang kebahagiaan dirinya, tapi juga tentang Diana dan Bian."Maafkan aku, Mas Prass. Menurutku ini jalan terbaik untuk kita bertiga. Aku dengan jalanku, Mas Bian dengan jalannya, dan Mas Prass dengan langkah Mas sendiri," ungkap Diana dengan nada lirih.Prass mengepalkan tangannya, merasakan rasa kecewa yang begitu dalam. "Jadi begitu menurutmu. Jujur aku kecewa sekali dengan putusnya hubungan kita , Diana. Tapi aku cukup tercengang dengan isi pikiranmu. Menurutku kamu salah!"Diana terkejut, "Salah?""Hum. Kalau kamu masih sayang pada Abian. Kejarlah dia. Untuk apa kamu ikut menyerah?" kata Prass, mencoba menyadarkan Diana."Biar adil untuk Mas. Menurutku tidak etis jika aku berbahagia dia atas penderitaan orang," jawab Diana dengan suara terputus-putus."Sejak
Diana merasa hampa, ia menatap lantai dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa mencegah Abian pergi meninggalkannya. Diana memang terlalu egois untuk mengatakan bahwa dirinya masih membutuhkan laki-laki itu.Saat sedang tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba pintu terbuka dan Firman datang. Firman, bapak Nuna yang dulunya jahat namun kini sudah bertobat."Nuna, apa yang terjadi?" tanya Firman cemas, melihat wajah anaknya yang sembab karena menangis. "Mas Bian baru saja pergi, Yah. Dia minta tinggal satu bulan di sini sebelum kita bercerai, dan sekarang waktunya sudah tinggal di sini habis," jawab Nuna dengan suara serak."Terus kenapa kamu nangis?" tanya Firman heran, berusaha menenangkan Nuna.Nuna menangis semakin keras, Firman mencoba merangkul dan mengusap punggung Nuna, berusaha memberi dukungan pada anaknya yang sedang berduka. Di tengah kekacauan hati ini, Diana merasa sendiri dan terluka, namun ia bersyukur masih memiliki Firman yang peduli dan siap mend
Abian merasakan perasaan yang tidak adil menyeruak dalam hatinya. Ini seharusnya hari yang penuh kebahagiaan karena ia mengetahui istrinya sedang mengandung anak mereka. Namun, kebahagiaan itu sirna saat ia melihat Diana menangis sambil menyebut nama Prass, pria yang membuat harapan Abian dalam mendapatkan Diana kembali sedikit terhambat, malahan terancam hancur berantakan."Kenapa kamu nangis, Diana? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilanmu," ujar Abian dengan nada sedih yang mencoba ditekan."Bahagia gimana? Kamu lupa kalau kita mau cerai. Dan juga, aku sudah terlanjur janji sama Mas Prass kalau kita akan menikah setelah pengajuan perceraianku dikabulkan. Sekarang gimana caranya aku cerai kalau aku hamil!" isak Diana yang tak mampu menahan tangisnya."Pras lagi Prass lagi! Kalau kamu hamil artinya Tuhan tidak ingin kita berdua cerai. Harusnya kamu sadar Diana. Bisa jadi ini petunjuk dari Tuhan," gerutu Abian, rasanya ingin meludah mendengar nama pria itu. Namun sekali lagi, ia ber
Mata Abian terus menatap Diana yang muntah-muntah di pojok kamar mandi. Dengan cepat, ia bergegas ke apotik untuk membeli obat.Sambil mengendarai mobil, pikirannya terus menerka apakah Diana benar-benar hamil atau tidak.Setibanya di rumah, Abian segera menyodorkan 5 buah tespack kepada Diana yang masih terengah-engah."Apa ini?" tanya Diana heran."Dicoba saja! Barangkali..." ucap Abian dengan nada bersemangat."Kamu gila ya? Aku tidak hamil. Datang bulanku bahkan masih kurang satu minggu lagi," bantah Diana."Apa salahnya mencoba," sahut Abian. Ia segera menarik tangan Diana dan membawanya ke kamar mandi. Abian memberikan sebuah wadah kecil untuk menampung urin Diana."Kamu ngapain?" tanya Diana dengan kesal."Ayo, kita buktikan sekarang juga. Aku hanya ingin memastikan secara langsung kalau kamu tidah hamil," jawab Abian dengan nada lembut namun tegas."Gila ya? Kalau mau coba benda ini paling tidak kamu keluar dulu!""Tidak mau! Mana tahu kamu nanti ganti air urin nya dengan air
"Wah ... Wah. Sepertinya ada tontonan gratis dan seru nih," gumam Bian."Mas Bian ngapain kesini?" Diana rasanya ingin menonjok muka Abian. Mau apa dia malah menyusul ke sini.Sudah tahu situasinya sedang tidak baik-baik saja, Abian malam datang seakan menyiram kobaran api dengan minyak tanah."Salam buat si miniom Prass," seru Abian.Prass merasa darahnya mendidih ketika mendengar kata-kata Abian.Wajahnya tampak merah padam, sedangkan tangannya mengepal erat hingga kulit putih memerah. Dia menatap sengit ke arah Abian, yang berdiri di ambang pintu gerbang dengan senyum sinis yang menghina."Kamu tenang aja. Mas nggak ada bayangin apa-apa. Kamu dan Abian masih sepasang suami istri. Kalian sah jika melakukan hal semacam itu," ujar Prass dengan suara bergetar. Dia berusaha menenangkan diri dan tidak terpancing oleh provokasi Abian."Akhirnya kamu sadar!" celetuk Abian, sambil tertawa kecil. Laki-laki itu muncul seperti hantu, dengan wajah pucat dan mata yang menyala mengejek."Menyerah