Panasnya matahari tidak menghalangi Anike yang baru pulang dari tempatnya bekerja untuk menuju wedding organizer yang dipilih calon suaminya.
Namun, pegawai itu justru meliriknya sekilas saja sebelum akhirnya membalas singkat, “Hai.”
Anike terdiam mendapati sikapnya tak seramah seperti saat pertama kali Anike dan Indra datang ke sana. Namun, Anike tak mau ambil pusing. Mungkin, perempuan di depannya ini sedang ada masalah.
“Oh, iya. Saya sedang menunggu Indra datang ke mari. Bagaimana kalau kita ngobrol dulu sebentar tentang–”
“–Maaf, Mbak Anike. Mbak sudah menyalahi perjanjian,” sela sang pegawai .
“Maksudnya?” tanya Anike tak mengerti.
“Bukankah kami sudah menekankan agar Mbak Anike membayar sebesar 50% di awal sebagai DP, tapi kenapa Mbak tidak juga melunasinya?”
Nada bicaranya terkesan malas.
Mendengar itu, Anike sontak mengernyitkan kening. “Tidak mungkin, Mbak. Saya sudah mengirimkan uang kepada Indra untuk dibayarkan kepada pihak WO. Jumlahnya sesuai dengan pihak WO minta. Itu sudah dari dua hari yang lalu. Indra mengatakan bahwa dia sudah ….”“Kalau begitu, ada baiknya Mbak Anike tanyakan lagi kepada Mas Indra. Lagi pula, kami adalah WO profesional. Kami sudah memiliki banyak klien. Tidak hanya dari kalangan menengah ke bawah. Namun, banyak juga klien kami yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Jadi, kami tidak mungkin melakukan kecurangan,” papar pegawai tersebut.
Selesai berkata demikian, ia pun menatap kembali layar komputer di hadapannya.
Anike terdiam. Ia begitu terkejut mendengar informasi baru tersebut.
Perlahan, Anike keluar dari sana, lalu kembali mencoba menghubungi Indra. Namun, panggilannya tetap tidak tersambung.
Karena sudah kehilangan kesabaran, Anike memutuskan untuk mendatangi tempat tinggal pria itu. Namun, setibanya di sana, Anike menemukan tempat itu tampak sepi.
“Cari siapa, Mbak?” tanya seorang wanita paruh baya saat melihat Anike yang terus berdiri di depan rumah yang Indra tinggali.
“Saya mencari Indra, Bu,” jawab Anike pada wanita yang menyapanya tadi.
“Oh, Mas Indra sepertinya pergi semalam. Perginya juga terburu-buru. Kalau saya tidak salah dengar, dia akan ke Surabaya karena istrinya sudah melahirkan anak kedua mereka.”
"Anak kedua?" ulang Anike tak percaya. "Ta-tapi saya calon istrinya, Bu."
Wanita di hadapannya tampak terkejut. "Wah, kurang tahu, ya. Saya cuma sempat mendengar dia bicara begitu di telepon," sahutnya meninggalkan Anike.
Lagi, perempuan itu berusaha menghubungi Indra. Akan tetapi, panggilannya itu lagi-lagi gagal tersambung.
Menahan lemas di sekujur tubuh, Anike pun melangkahkan kaki menyusuri trotoar jalanan yang padat.
Ini adalah kebodohan terbesar dalam hidupnya. Anike memang baru mengenal Indra selama kurang lebih tiga bulan. Hanya saja, orang tuanya terus mendesak perempuan itu agar segera menikah, hingga Anike terburu-buru dalam mengambil langkah.
“Astaga! Bagaimana ini?” pikirnya meremas rambut.
Ia teringat jika sudah mengajukan surat pengunduran diri. Kebetulan, Indra memintanya fokus menjadi ibu rumah tangga di rumah pria itu. Indra juga berjanji bahwa dia yang akan melunasi uang kontrakan Anike, hingga mereka menikah bulan depan. Karena itulah, ia berani menguras semua uang tabungannya demi membayar DP yang diminta pihak WO.
Namun, sekarang semua kacau!
Drrt!
Ponsel Anike bergetar. Perempuan itu pun membuka pesan yang baru saja masuk.[ Kakak: Bagaimana Anike? Kau dan Indra sudah jadi ke WO, kan? ]
***
Anike kini tak berani menatap sang kakak yang tampak marah.
Setelah mendapat pesan itu, ia memang langsung menuju kontrakan sang kakak. Ia juga menceritakan semuanya kepada wanita yang lebih tua tiga tahun darinya itu.
“Dari dulu sampai sekarang, kamu itu masih saja jadi gadis bodoh dan gegabah!” marahnya pada Anike. “Berapa kali teteh mengingatkan kamu, agar dipikir baik-baik dulu sebelum mengambil keputusan! Kalau sudah begini, kamu mau apa?”
“Maaf, Teh,” isak Anike tak berdaya, “Sekarang, aku benar-benar tidak punya uang. Semua sudah diambil Indra. Padahal, aku harus memperpanjang bayar kontrakan kamar, kecuali ….” Anike menyeka air matanya.
Dia menatap sang kakak dengan memelas.
Menyadari itu, Tiara langsung memelototi Anike. “Tidak! Aku tidak bisa menampungmu.”
“Dengar, Anike! Teteh tidak mau lagi disangkutpautkan dengan apapun permasalahan hidupmu. Sudah cukup segala kekonyolan kamu selama merantau di kota ini. Dari awal datang ke mari, kamu itu hanya membuat beban hidup Teteh semakin berat!”
Ucapan Tiara begitu pedas pada Anike. Namun, dia harus melakukan hal itu supaya adiknya tersebut sadar dan bisa berubah.
“Aku cuma bingung, Teh. Selama ini Abah dan Emak selalu memaksaku untuk menikah. Mereka tidak mau aku jadi perawan tua,” keluh Anike.
“Memangnya, kamu pikir setiap emak menghubungi teteh, dia tidak memaksa teteh menikah juga?” balas wanita itu cepat. “Bedanya, Teteh sama kamu hanya satu. Ini.”
Tiara menunjuk kepala, yang bisa diartikan sebagai ‘otak’.
"Jadi, bagaimana, Teh?" tanya Anike.
“Kalau aku hanya tinggal selama beberapa waktu di kontrakan Teteh, bagaimana? Setidaknya, sampai aku mendapat pekerjaan. Setelah itu, aku akan pindah,” jelas Anike ragu. Dia tahu bahwa sang kakak tak ingin lagi direpotkan oleh dirinya, yang memang sangat merepotkan.
Mata Tiara makin melotot. “Bisa kamu perjelas dengan kata ‘beberapa waktu’?”
“Sampai …” Anike kebingungan melanjutkan kata-katanya, “sebulan mungkin?”“Tidak!” tegas Tiara. “Teteh memperbolehkanmu menumpang di sini hanya selama satu minggu. Jadi, silakan kamu cari pekerjaan dan mulailah hidup dengan benar. Teteh harap, setelah ini kamu bisa belajar dari kesalahan yang sudah-sudah.”
“Satu minggu?” ulang Anike tidak percaya. “Tapi–”
“--Pikirkan baik-baik caranya,” ujar Tiara jengkel. “Jika tidak, sebaiknya kamu pulang ke Bandung. Si Jajang, juragan toko kelontong itu, sudah siap untuk melamar kamu.”
Hai, Othor bikin karya baru, nih. Mampir, yuk. Klik cari, lalu ketik judul PERNIKAHAN SEBATAS STATUS. Othor tunggu di sana, yaa
Keesokan harinya, setelah perut kenyang dan merapikan diri, Anike bersiap mendatangi alamat perusahaan yang dia dapatkan dari situs lowongan kerja.Namun, baru saja Anike membuka pintu rumah kakaknya, seorang pria bertubuh tegap sudah berdiri di hadapannya."Cari siapa, ya?" tanyanya ragu."Tiara-nya, ada?""Oh, ada." Anike membuka mulut, hendak meneriakkan nama sang kakak. Akan tetapi, segera dia urungkan ketika Tiara lebih dulu muncul."Pagi amat, Gam?" sapa Tiara sangat lembut. Anike sampai merinding melihat betapa bedanya sikap sang kakak dari yang selama ini ia tahu. Pasalnya, sejauh yang dia tahu, Tiara tak pernah berdekatan dengan pria manapun."Oh, iya. Kenalkan, ini adikku, Anike." Tiara tiba-tiba menyuruh Anike bersalaman dengan kekasihnya itu, “Dek, ini pacar Teteh. Gama namanya.”"Salam kenal, adik kakak sama-sama cantik, ya," sanjung pria itu basa-basi."Bedanya dia pengangguran, sedangkan aku tidak," ketus sang kakak."Pengangguran? Wah, kebetulan ini! Kudengar, bos besa
"Ko-kopi, Tuan?" tanya Anike sambil menelaah kembali kalimat pria tampan di hadapannya itu. "Ya, seperti yang kau dengar tadi," jawab Carlen Meier acuh tak acuh. Pria itu bahkan sudah kembali serius membaca berkas-berkas yang ada di tangannya. "Apakah ini bagian dari wawancara?" tanya Anike lagi. Sejurus kemudian, Carlen meletakkan kertas-kertas ke atas meja. Ia lalu menatap Anike dingin. "Kau ingin pekerjaan atau tidak?" "Tentu saja, Tuan." "Kalau begitu, buatkan aku kopi." "Apakah membuat kopi dengan jenis pekerjaan yang akan saya tekuni nanti, Tuan?" cicit Anike kebingungan. "Anggap saja itu adalah caraku melihat apakah kau sanggup bekerja atau tidak." "Baiklah." Anike mengangguk ragu. Dia berbalik dan berjalan meninggalkan ruang kerja. Akan tetapi, sesampainya di ambang pintu, Anike teringat sesuatu. Wanita itu sontak berbalik menghadap Carlen. "Maaf, Tuan ... kalau boleh tahu, dapurnya di sebelah mana?" "Tanyakan pada asistenku yang membawamu tadi," timpal Carlen dingin
Anike membelalakkan mata tak percaya, setelah mendengar ucapan Carlen. “Lima ratus juta?”Gadis itu limbung dan bergerak mundur. Anike bahkan berpikir ia akan pingsan. Sayangnya, ia masih mampu berdiri. “Apa bisa dikurangi, Tuan? Ini sudah masuk Bulan Februari. Bulan penuh cinta,” ucap Anike mengiba.Di sisi lain, ia sedang mencari ide agar dapat melarikan diri dari sana.Carlen berdecak malas. “Persetan dengan bulan penuh cinta! Itu tak ada hubungannya dengan ganti rugi yang harus kau bayar!”“Tapi, lima ratus juta terlalu besar. Rumah dan tanah orang tuaku saja tidak sampai segitu jika dijual,” sahut Anike memasang raut penuh keresahan.“Aku tidak peduli. Bagaimanapun caranya, kau harus mengganti atas kerugian yang dirimu timbulkan, Nona,” tegas Carlen dingin. Tak lupa, ia memberi tatapan tajam.Anike terpaku beberapa saat.Dia tak mungkin meminta bantuan lagi kepada Tiara. Jika sampai sang kakak mengetahui bahwa dirinya kembali terjerumus dalam masalah besar karena kecerobohannya,
Anike seketika merasa merinding. Namun, ia tak punya pilihan lain.“Boleh aku tahu penawaran apa, Tuan?” Anike memberanikan diri untuk bertanya. Dia harus siap dengan jawaban yang akan didapatnya.“Kau bisa terbebas dari jerat hukum, jika dirimu bersedia menikah kontrak denganku,” jawab Carlen, yang seketika membuat seluruh tulang dalam tubuh Anike seakan menjadi lembek.“Menikah kontrak?” ulang Anike pelan dengan nada tak percaya. Sepasang bola mata gadis asal Bandung tersebut bergerak tak beraturan. “Kenapa harus menikah kontrak?” tanyanya polos.“Kenapa? Bukankah itu jauh lebih baik jika dibandingkan dengan memakai jasa wanita panggilan,” ujar Carlen penuh cibiran.“Ya, Tuhan! Aku bukan wanita seperti itu!” Kekuatan Anike yang tadi sempat lenyap, tiba-tiba kembali setelah mendengar ucapan Carlen yang terkesan merendahkannya.“Terserah kau,” balas Carlen enteng, “aku hanya memberikan penawaran yang menurutku paling ringan untukmu.”Anike terdiam. Dia meremas bagian bawah blouse keme
"Kapok?" bingung Anike.Diperhatikannya Lula yang menatapnya sinis. Dia curiga pada gadis yang sempat mengerjainya dengan menyuruh Anike untuk menambahkan gula pada kopi Carlen itu.Di sisi lain, Lula menatap Anike semakin tajam. Anehnya, sesaat kemudian pandangan itu berubah lembut–membuat Anike merinding dengan perubahan mendadak itu."Hai, calon kakak ipar. Semoga kita bisa akrab," ujar Lula sambil mengulurkan tangannya pada Anike."Apa maksudnya dengan kapok terhadap perempuan Indonesia?" tanya Anike penasaran."Sudah, jangan hiraukan dia. Lula hanya menggodaku saja," sela Carlen sambil menggerakkan tangan sebagai isyarat untuk mengusir adiknya itu."Hubungi ayahmu sekarang. Suruh dia datang ke sini untuk menjadi wali seperti yang kau katakan tadi," titah Carlen setelah Lula keluar dari kamar."Maaf, tapi tidak bisa," tolak Anike, "ayah saya mabuk kendaraan. Dia susah sekali bepergian.""Mungkin lebih baik kau kupenjara saja, biar tidak merepotkan." Carlen menghela napas panjang.
“Kenapa mereka lama sekali?” pikir Carlen. Dia sudah menghabiskan sebatang rokok, sambil menunggu adik dan istri kontraknya yang sedang pergi ke toilet. “Coba kamu periksa,” suruhnya kepada Pandu.“Maaf, Tuan? Saya memeriksa ke toilet wanita?” Pandu terlihat ragu. Namun, dia tahu bahwa Carlen tidak menyukai bantahan. Terpaksa, sang asisten beranjak dari duduknya. Sambil melangkah menuju toilet, Pandu terus berpikir. Dia tertegun beberapa saat di depan pintu toilet wanita, hingga ada seorang perempuan keluar dari sana sambil uring-uringan.“Mau jadi apa negara ini jika anak mudanya tidak tahu tata krama,” gerutu wanita itu.“Apa ada masalah, Bu?” tanya Pandu. Dia mengira bahwa ibu itu marah terhadap dirinya, yang berdiri di depan pintu toilet wanita.“Bagaimana tidak jadi masalah besar? Saya baru duduk di closet dan sudah siap melakukan pelepasan. Namun, peluncuran roket terpaksa harus dihentikan, karena mendengar kegaduhan di bilik sebelah. Akhirnya, saya tidak jadi BAB!” Si wanita te
"Apa maksudmu dengan mencarikannya pasangan yang cocok? Bukankah kau adalah istrinya?"Anike seketika memukul mulutnya yang tak sengaja berbicara demikian. Hal itu justru membuat Lula semakin menatapnya tajam."Aku bukanlah istri sesungguhnya," ungkap Anike pada akhirnya."Maksudmu?""Tuan Carlen hanya menikahiku untuk menjadi budaknya," jelas Anike lesu."Ah, bicara apa kau ini. Tidak masuk akal sama sekali," gerutu Lula."Ini semua gara-gara guci antik itu. Aku tidak sengaja memecahkannya, sehingga aku harus menggantinya," keluh Anike."Guci antik yang mana?" Lula melipat kedua tangannya di dada."Guci yang berasal dari dinasti Ming itu tak sengaja tersenggol olehku. Guci itu akhirnya jatuh dan pecah," jawab Anike. "Karena aku tak punya uang untuk mengganti kerugian yang sangat besar, maka aku harus bersedia menjadi istri kontrak Tuan Carlen, sekaligus bersedia bekerja di rumah ini dan memenuhi segala kebutuhannya tanpa digaji," imbuhnya."Guci dari dinasti Ming?" ulang Lula kebing
"Ini semua gara-gara kau!" tunjuk Carlen tepat ke dahi Anike. "Aku memang menyuruhmu mencarikan pasangan, tapi setidaknya seleksi dulu yang benar!" Pria itu terus mengomel sembari mengemudi. Bahkan, hingga tiba di kediaman mewah pria asal Jerman tersebut. Dia bergegas masuk ke dalam rumah, meninggalkan Anike yang diam terpaku di sisi mobil."Tidak apa-apa. Itu semua bukan salahmu," ucap seseorang yang membuat Anike terkejut. Dia menoleh dan mendapati Lula berdiri di sampingnya dengan sorot mata penuh simpati."Kamu? Sejak kapan kamu di sini?" tanya Anike keheranan."Tenang saja, Kak. Aku akan berjuang untukmu."Bukannya menjawab, Lula malah mengatakan sesuatu yang membuat Anike makin bingung. "Aku tidur dulu. Sampai jumpa besok pagi," pamit Lula seraya menepuk pelan pundak Anike."Ah, memang keluarga gila," caci Anike pelan.Dia juga merasakan lelah jiwa raga, terlebih beban batin akibat permasalahan hidupnya yang melibatkan Carlen.Anike berjalan gontai menuju kamar.Dia merebahkan
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men
Tanpa memedulikan celotehan Abdul Manaf, Marten langsung berdiri dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pisau yang digunakan untuk membersihkan sisik ikan, Marten lemparkan ke atas tanah. "Hei, Nak Marten! Mau ke mana?" tanya Abdul Manaf keheranan. Tak hanya dirinya, bapak-bapak yang lain pun bingung melihat tingkah pria asli Jerman itu. "Ikannya masih banyak yang belum dibersihkan!" teriaknya. Akan tetapi, Marten tetap tak memedulikan panggilan itu. Fokus utamanya hanyalah Maya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan segar dalam balutan daster merah. Wajahnya terlihat amat menawan meskipun tak berpoleskan make up sama sekali. "Hei! Ayo, bantu aku memutilasi ikan," ajak Marten sesaat setelah dirinya berhasil menyusul Maya dan mencekal lengannya. "Hah?" Maya langsung menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Itu, membuang sisik ikan dan membelah perutnya," ujar Marten seraya mengarahkan telunjuknya pada Abdul Manaf bersama sekum
Kegiatan menguras kolam ikan berlangsung sampai jam delapan pagi. Mereka baru berhenti setelah semua ikan berhasil ditangkap. Kolam tersebut menyisakan lumpur hitam yang semburat tak beraturan, akibat perang lumpur yang sempat berlangsung. "Aku merasa badanku gatal-gatal," gerutu Marten yang lebih dulu melompat keluar dari kolam. "Nak Marten mau mandi?" tanya Saodah. "Itu sudah pasti. Aku tidak tahan baunya," jawab Marten sambil bersungut-sungut. "Kalau begitu, harus antri. Di sini emak yang berhak masuk ke kamar mandi lebih dulu!" ujar Abdul Manaf. "Kalian punya berapa kamar mandi?" Marten menautkan alisnya. "Satu." Abdul Manaf tersenyum lebar seraya menepuk pundak Marten. "Apa! Jadi, aku harus antri?" Marten menunjuk batang hidungnya yang mancung. "Kau urutan terakhir," sahut Carlen enteng. Dia melangkah santai melewati Marten sambil merangkul Anike. "Sialan!" umpat Marten. Dia sudah tak taha
Anike dan Carlen tengah berkencan di ruang tamu. Mereka berdua asyik bercengkerama. Tak jarang Carlen mencuri-curi ciuman dari sang istri. Sementara Anike membalasnya dengan cubitan mesra di pipi dan pinggang. Namun, kemesraan itu harus terjeda ketika Marten masuk ke dalam rumah sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa berhenti? Lanjutkan pacarannya. Anggap saja aku tak ada di sini," ucap Marten santai saat pasangan suami istri itu menatap heran ke arahnya. "Darimana, Marten? Perasaan tadi kau masuk ke dalam kamar?" tanya Carlen bingung. "Kau tidak perlu tahu." Marten mengedipkan sebelah mata, kemudian berlalu begitu saja menuju kamarnya, membuat Carlen dan Anike semakin bertanya-tanya. Dua sejoli itu saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali bermesraan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Malam datang menjelang. Di kampung Anike, jam sembilan malam terasa seperti tengah malam. Warga lebih suka bergelung di balik selimut di kamar masing-masing. Seperti halnya Mar