“Kenapa mereka lama sekali?” pikir Carlen. Dia sudah menghabiskan sebatang rokok, sambil menunggu adik dan istri kontraknya yang sedang pergi ke toilet. “Coba kamu periksa,” suruhnya kepada Pandu.
“Maaf, Tuan? Saya memeriksa ke toilet wanita?” Pandu terlihat ragu. Namun, dia tahu bahwa Carlen tidak menyukai bantahan. Terpaksa, sang asisten beranjak dari duduknya. Sambil melangkah menuju toilet, Pandu terus berpikir. Dia tertegun beberapa saat di depan pintu toilet wanita, hingga ada seorang perempuan keluar dari sana sambil uring-uringan.
“Mau jadi apa negara ini jika anak mudanya tidak tahu tata krama,” gerutu wanita itu.
“Apa ada masalah, Bu?” tanya Pandu. Dia mengira bahwa ibu itu marah terhadap dirinya, yang berdiri di depan pintu toilet wanita.
“Bagaimana tidak jadi masalah besar? Saya baru duduk di closet dan sudah siap melakukan pelepasan. Namun, peluncuran roket terpaksa harus dihentikan, karena mendengar kegaduhan di bilik sebelah. Akhirnya, saya tidak jadi BAB!” Si wanita terus menggerutu sambil memegangi perut. Dia berlalu meninggalkan Pandu yang keheranan.
“Aneh,” gumam Pandu seraya mengalihkan pandangan kembali ke toilet. Seketika, dia terkejut dengan hadirnya dua wanita muda dalam keadaan basah kuyup. “Ini jauh lebih aneh,” gumamnya lagi.
Dia tak bisa berkata-kata, selain menggiring kedua wanita yang tak lain adalah Anike dan Lula ke hadapan Carlen.
“Astaga, apa kalian bermain air bersama?” sindir Carlen, “pantas saja aku harus menunggu lama.”
“Adik Anda yang mulai, Tuan,” tunjuk Anike kepada Lula.
“Aku melakukannya karena memang kau harus diberi pelajaran!” Lula mendelik tajam kepada Anike.
Melihat perselisihan dua wanita muda itu, Carlen dan sang asisten hanya bisa saling pandang.
Pandu kemudian berbisik kepada sang majikan.
“Ah, tidak!” tolak Carlen. Dia mengalihkan perhatian kepada Anike dan Lula. “Jangan pikir, aku akan membiarkan kalian masuk ke mobilku dalam kondisi basah kuyup begini!”
“Lalu, Anda akan meninggalkan kami berdua di sini?” tanya Anike resah.
Dia dan Lula saling pandang.
Tak lama kemudian, keduanya disuruh berdiri di tempat yang cukup terik oleh Carlen. Sedangkan, dia sendiri duduk nyaman di area khusus yang sengaja disediakan untuk tempat beristirahat, sambil menunggu Pandu kembali.
“Keterlaluan,” gerutu Lula.
“Ini semua gara-gara kamu,” bisik Anike. “Kakakmu memang error, kan? Dia duduk nyaman di sana. Sedangkan, kita dijemur seperti ikan asin di sini. Dia mirip penjajah sebelum masa kemerdekaan," celetuk Anike.
Lula tidak menanggapi.
Gadis berdarah Jerman tadi tak ingin berbicara apapun, hingga Pandu muncul membawa sebuah kantong kresek berwarna hitam.
Asisten Carlen tersebut menghampiri Anike dan Lula, lalu menyodorkan kresek tadi. “Ganti pakaian kalian,” suruhnya, “aku sengaja menulis nama masing-masing di plastik pembungkusnya, agar kalian tidak berebut.”
Anike dan Lula pun berlalu menuju toilet untuk berganti baju.
Beberapa saat kemudian, keduanya kembali dari toilet.
Namun, wajah mereka tak berseri sama sekali karena ternyata Pandu membelikan mereka daster batik, yang biasa dipakai oleh para asisten rumah tangga untuk mereka kenakan.
“Selera yang bagus, Pandu,” ujar Carlen seraya berdiri.
"Seratus ribu dapat dua, Tuan. Saya menawarnya, agar sesuai dengan budget yang Anda berikan," sahut Pandu.
“Kerja bagus," sanjung Carlen seraya menepuk lengan sang asisten. Dia lalu beralih pada Anike dan Lula. "Kalian sudah membuang waktuku yang berharga. Apa kalian tidak tahu, bahwa aku masih memiliki setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikan?”
Tak lama, ia pun berlalu menuju mobil.
“Cepatlah, Nona-nona." Pandu menimpali ucapan Carlen. Dia bergegas mengikuti sang majikan.
Sementara itu, Anike dan Lula malah terpaku di tempat mereka berdiri.
“Seperti itulah kakakku. Dia seakan diperbudak oleh pekerjaan. Karena itu juga, dia betah melajang dalam waktu lama,” terang Lula dengan tatapan lurus tertuju pada mobil mewah milik Carlen.
“Apakah Tuan Carlen memang tidak pernah dekat wanita manapun?” tanya Anike penasaran.
Dia berjalan di samping Lula saat menuju mobil yang sudah siap berangkat.
“Kakakku pernah dekat dengan seorang wanita asli Indonesia bernama Diana. Namun, hubungan mereka kandas di tengah jalan. Diana bahkan ….”
“Kalian ini seperti dua ekor bekicot yang dipakaikan baju!” ledek Carlen yang sudah hilang kesabaran, akibat menunggu kedua wanita muda tadi.
Seruan Carlen membuat Lula tak melanjutkan penuturannya. Gadis itu mempercepat langkah menuju mobil. Dia tak ingin menerima kemarahan sang kakak, yang akan berubah menjadi monster mengerikan jika sudah tak bisa menguasai akal sehatnya.
Begitu juga dengan Anike. Padahal, dia begitu penasaran mendengar kelanjutan cerita dari Lula.
Kurang lebih dua jam perjalanan kembali mereka tempuh. Untungnya, lalu lintas di jalur tol terbilang lancar, sehingga Pandu bisa melajukan kendaraan sesuai batas kecepatan yang ditentukan. Tak berselang lama, mobil mewah milik Carlen telah memasuki halaman kediaman megah sang pengusaha asal Jerman tersebut.
Setelah mobil berhenti, Lula bergegas keluar. Dia berlari masuk ke rumah. Gadis itu sudah tak tahan untuk berganti pakaian.
Tak jauh berbeda dengan Anike.
Dia juga ingin segera melepas kostum kebesaran, bagi sebagian besar wanita Indonesia yang tengah dipakainya. Namun, Carlen mencegah wanita muda itu.
“Kenapa?” tanya Anike heran.
“Kita sudah menikah sekarang. Ingat selalu perjanjian yang sudah kau tanda tangani. Tugasmu akan dimulai besok pagi. Kau tahu apa yang harus dirimu lakukan.”
Nada bicara Carlen terdengar tenang, tapi penuh penekanan.
“Anda tidak perlu khawatir. Pak Pandu bahkan sudah membelikanku baju ini, Cocok bukan?” sindir Anike diiringi senyum kecut.
Setelah berkata demikian, Anike bergegas masuk. Dia langsung menuju kamarnya, yang hanya berjarak beberapa langkah dari kamar Lula.
Tepat saat Anike akan membuka pintu kamar, Lula tiba-tiba muncul dengan pakaian baru.
“Hey, Lula!” panggil Anike. Dia mengurungkan niatnya yang hendak masuk kamar. Anike lebih memilih menghampiri adik perempuan Carlen tersebut. “Kuharap, kamu mau melanjutkan perbincangan kita yang terjeda,” ujar Anike sambil berdiri di dekat Lula.
“Memangnya apa yang ingin kau ketahui?” Lula melipat tangan di dada sambil menatap aneh kepada Anike.
“Bukannya tadi kamu bercerita tentang kekasih Tuan Carlen yang bernama Diana?” sahut Anike mengingatkan.
Lula tak segera menanggapi. Gadis itu berpikir beberapa saat, sebelum kembali bicara. “Ya, kakakku pernah menjalin hubungan serius dengan seseorang bernama Diana. Namun, kisah cinta mereka kandas di tengah jalan,” tutur Lula sambil berbisik.
“Memangnya kenapa?”
Lula melihat sekeliling sebelum menjawab pertanyaan Anike. Gadis itu semakin mendekat, karena takut ada seseorang yang mendengar ucapannya. “Kakakku merasa jengkel dengan sikap Diana. Wanita itu selalu protes, karena merasa diduakan. Kakakku seorang workaholic. Kau dengar sendiri kata-katanya tadi," tutur Lula dengan gaya bicaranya yang khas.
"Kau tahu, Anike?" bisik Lula lagi.
"Apa?"
"Aku mendengar sendiri pertengkaran kakakku dengan Diana di ruang kerjanya. Diana menyumpahi kakakku. Dia berkata, 'Kau Carlen Meier! Pria tak punya hati! Selamanya kau akan berada dalam kesendirian!' Apa menurutmu itu merupakan kutukan?"
Anike terbelalak. Wanita berambut pendek tersebut berpikir sejenak. "Apakah zaman sekarang masih berlaku kutukan-kutukan seperti itu?" gumamnya seperti pada diri sendiri.
"Itulah yang aku tak tahu. Namun, semenjak kakakku berpisah dengan Diana, dia tak terlihat lagi dekat dengan seorang wanita. Terkadang, aku merasa cemas. Apalagi, dia selalu bersama Pandu."
Lula memutar bola matanya kesal.
"Astaga. Itu tidak baik," gumam Anike lagi seraya menggeleng pelan. "Artinya, kita harus segera mencarikan pasangan yang cocok untuk Tuan Carlen," cetusnya.
Mendengar itu, Lula sontak heran. Ia pun memicingkan mata tajam. "Apa maksudmu dengan mencarikannya pasangan yang cocok? Bukankah kau adalah istrinya?"
"Apa maksudmu dengan mencarikannya pasangan yang cocok? Bukankah kau adalah istrinya?"Anike seketika memukul mulutnya yang tak sengaja berbicara demikian. Hal itu justru membuat Lula semakin menatapnya tajam."Aku bukanlah istri sesungguhnya," ungkap Anike pada akhirnya."Maksudmu?""Tuan Carlen hanya menikahiku untuk menjadi budaknya," jelas Anike lesu."Ah, bicara apa kau ini. Tidak masuk akal sama sekali," gerutu Lula."Ini semua gara-gara guci antik itu. Aku tidak sengaja memecahkannya, sehingga aku harus menggantinya," keluh Anike."Guci antik yang mana?" Lula melipat kedua tangannya di dada."Guci yang berasal dari dinasti Ming itu tak sengaja tersenggol olehku. Guci itu akhirnya jatuh dan pecah," jawab Anike. "Karena aku tak punya uang untuk mengganti kerugian yang sangat besar, maka aku harus bersedia menjadi istri kontrak Tuan Carlen, sekaligus bersedia bekerja di rumah ini dan memenuhi segala kebutuhannya tanpa digaji," imbuhnya."Guci dari dinasti Ming?" ulang Lula kebing
"Ini semua gara-gara kau!" tunjuk Carlen tepat ke dahi Anike. "Aku memang menyuruhmu mencarikan pasangan, tapi setidaknya seleksi dulu yang benar!" Pria itu terus mengomel sembari mengemudi. Bahkan, hingga tiba di kediaman mewah pria asal Jerman tersebut. Dia bergegas masuk ke dalam rumah, meninggalkan Anike yang diam terpaku di sisi mobil."Tidak apa-apa. Itu semua bukan salahmu," ucap seseorang yang membuat Anike terkejut. Dia menoleh dan mendapati Lula berdiri di sampingnya dengan sorot mata penuh simpati."Kamu? Sejak kapan kamu di sini?" tanya Anike keheranan."Tenang saja, Kak. Aku akan berjuang untukmu."Bukannya menjawab, Lula malah mengatakan sesuatu yang membuat Anike makin bingung. "Aku tidur dulu. Sampai jumpa besok pagi," pamit Lula seraya menepuk pelan pundak Anike."Ah, memang keluarga gila," caci Anike pelan.Dia juga merasakan lelah jiwa raga, terlebih beban batin akibat permasalahan hidupnya yang melibatkan Carlen.Anike berjalan gontai menuju kamar.Dia merebahkan
Carlen duduk termenung di ruang kerja.Acara kencan yang sudah dipersiapkan untuknya gagal total karena teman kencannya datang terlambat. Bahkan, ia tadi dikerjai oleh adiknya sendiri."Sialan!" gerutu Carlen sambil melempar kertas yang digulung ke lantai.Bagaimana Carlen tak merasa risau? Usianya sudah semakin tua. Namun, hingga saat ini dia belum mendapatkan titik terang tentang jodohnya.Sesaat kemudian, terdengar suara ketukan di pintu.Carlen segera mengubah posisi duduk, sehingga dia terlihat jauh lebih berwibawa.Pengusaha asal Jerman tersebut tahu bahwa yang datang ke sana pasti Anike karena dia memang memerintahkan wanita muda tersebut agar menghadapnya."Apakah Anda membutuhkan sesuatu, Tuan?" tanya Anike yang sudah berdiri di depan meja kerja suami kontraknya. Dia memandang pria dengan T-Shirt panjang hijau army tadi. Sebenarnya, Carlen merupakan pria yang sangat tampan dan gagah. Namun, sayang sekali karena dia memiliki perangai yang kurang menyenangkan."Kau tahu bahwa t
Anike duduk terpekur sendirian di depan meja yang terletak di sisi jendela. Kedua tangannya menopang kepala yang terasa cenut-cenut. Bagaimana tidak? Carlen memberikan kriteria wanita yang terasa sama sekali tak masuk akal untuk dijadikan pasangan. “Ke mana aku harus mencari?” gumam Anike. Pikirannya mendadak buntu. Di saat kalut seperti itu, tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka. Dengan santainya Carlen masuk dan berbaring begitu saja di atas ranjang yang seharusnya menjadi tempat tidur Anike. “Eh, Tuan? Kok di sini?” tanyanya. “Memangnya kenapa? Ini bagian dari rumahku juga,” sahut Carlen ketus. “Ta-tapi, anda ‘kan sudah memberikan kamar ini untukku,” protes Anike tak terima. “Ah, kau ini. Cerewet sekali.” Carlen yang semula berbaring, segera bangkit dan melepas T-shirt putihnya. Pria itu kembali bertelanjang dada, seperti pada saat mereka terkunci di dalam ruang pendingin. “Astaga ….” Anike begitu terpana melihat penampakan di hadapannya. Usia yang terlampau matang, tak membua
“Kalau begini terus, lama-lama aku akan meminta pada Abah dan Emak untuk mencoretmu dari kartu keluarga!” omel Tiara tanpa jeda. “Bagaimana bisa kamu memecahkan guci senilai lima ratus juta?”“Namanya juga tidak sengaja, Teh,” sesal Anike.“Kamu itu benar-benar nggak mikir. Dilahirkan cuma buat bikin susah orang lain saja!” Tiara melampiaskan kekesalannya.“Begini, Teteh carikan aku pinjaman, nanti aku yang melunasi,” cetus Anike setengah memaksa.“Cari pinjaman ke mana uang sebanyak itu. Kalau punya otak tuh dipakai, Anike!” Kesabaran Tiara mulai habis. Kepalanya terasa begitu panas dan berat memikirkan tingkah laku adik satu-satunya itu.“Pinjol juga bisa, Teh. Yang penting ada uang sejumlah 500 juta,” desak Anike tanpa memedulikan amarah Tiara yang sudah berada di ubun-ubun.“Lebih baik aku nggak punya adik lagi!”Tuuuuut &he
“Ah, masa, sih?” Anike mengernyit tak percaya. “Pandu itu sepertinya tidak suka kalau kakakku dekat dengan Diana. Ada saja tingkahnya untuk menjauhkan mereka. Aku juga pernah melihat Pandu sedang beradu mulut dengan Diana,” tutur Lula. “Oh, ya? Mereka bertengkar tentang apa?” tanya Anike penasaran. “Aku sempat mencuri dengar, tapi yang sampai di telingaku hanyalah Diana yang mengatakan bahwa Pandu itu seperti pacar Carlen saja. Pandu selalu melindungi Carlen sepenuh hati. Begitu yang Diana bilang,” jawab Lula. “Maksudnya … Tuan Carlen dan Pandu itu sebenarnya ….” Anike sengaja tak melanjutkan kalimatnya. Dia malah menggerakkan kedua tangannya yang menguncup, sebagai isyarat gerakan ciuman. “Mungkin saja,” desis Lula. “Karena itulah aku sangat membutuhkan bantuanmu, Anike,” ujarnya kemudian dengan sorot mengiba. Lula kemudian meraih tangan Anike dan menggenggamnya erat. “Aku hanya ingin melihat kakakku hidup normal, menikah dengan wanita dan membangun sebuah keluarga. Bukan pernik
"A-anda mau apa? Kenapa ingin berduaan?" Anike langsung menarik selimut hingga sebatas dada.Namun, Carlen tak segera menjawab. Dia malah berbalik dan mengunci pintu kamar Anike, lalu mengempaskan diri di samping istrinya dalam posisi setengah berbaring."Apa sakitmu masih lama? Kalau bisa jangan lama-lama, kerjaan masih banyak," celoteh Carlen tanpa beban.Anike menggeser tubuhnya agar menjauh dari Carlen. Dia baru berhenti setelah dirinya benar-benar berada di tepi ranjang. "Aku sakit juga gara-gara anda. Masa malam-malam disuruh membersihkan kamar yang kebanjiran," gerutu Anike."Sudah kubilang, kalau tidak mau tidak usah dikerjakan," sahut Carlen enteng sambil terus mendekat pada Anike yang sudah terpojok."Tidak usah dikerjakan, tapi harus membayar denda," cibir Anike."Memang begitu peraturannya, kan?" Carlen tak mau kalah."Anda tenang saja, Tuan. Aku jarang sakit. Kalau sakit pun tidak pernah lama. Lagipula, aku ingin cepat-ce
"Benarkah, Pak Pandu?" Sorot mata Anike seketika berbinar. Secercah semangat muncul di paras cantiknya. Sesaat kemudian, Anike kembali memasang ekspresi serius. "Lalu, bagaimana cara Pak pandu dalam membantu saya?""Eh, tunggu, tunggu!" sergah Anike ketika Pandu sudah bersiap membuka mulut.Anike bergegas mendekat ke arah pintu, kemudian menguncinya rapat-rapat. "Nah, sudah aman. Sekarang, silakan lanjut," ujarnya sambil duduk kembali di tempatnya semula."Jadi begini, Nyonya." Pandu yang berdiri di hadapan Anike, tiba-tiba merogoh sesuatu dari saku celana. Dia mengeluarkan beberapa lembar kertas yang terlipat rapi, lalu menyerahkannya pada Anike."Apa ini?""Itu informasi dan data pribadi tentang Diana Paramitha. Saya juga melampirkan foto terakhir Diana," jawab Pandu pelan."Untuk apa?" Anike mengernyit keheranan. Sekilas dirinya memperhatikan foto seorang wanita yang teramat cantik."Seperti yang sudah saya dengar bahwa Tuan Carlen
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men
Tanpa memedulikan celotehan Abdul Manaf, Marten langsung berdiri dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pisau yang digunakan untuk membersihkan sisik ikan, Marten lemparkan ke atas tanah. "Hei, Nak Marten! Mau ke mana?" tanya Abdul Manaf keheranan. Tak hanya dirinya, bapak-bapak yang lain pun bingung melihat tingkah pria asli Jerman itu. "Ikannya masih banyak yang belum dibersihkan!" teriaknya. Akan tetapi, Marten tetap tak memedulikan panggilan itu. Fokus utamanya hanyalah Maya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan segar dalam balutan daster merah. Wajahnya terlihat amat menawan meskipun tak berpoleskan make up sama sekali. "Hei! Ayo, bantu aku memutilasi ikan," ajak Marten sesaat setelah dirinya berhasil menyusul Maya dan mencekal lengannya. "Hah?" Maya langsung menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Itu, membuang sisik ikan dan membelah perutnya," ujar Marten seraya mengarahkan telunjuknya pada Abdul Manaf bersama sekum
Kegiatan menguras kolam ikan berlangsung sampai jam delapan pagi. Mereka baru berhenti setelah semua ikan berhasil ditangkap. Kolam tersebut menyisakan lumpur hitam yang semburat tak beraturan, akibat perang lumpur yang sempat berlangsung. "Aku merasa badanku gatal-gatal," gerutu Marten yang lebih dulu melompat keluar dari kolam. "Nak Marten mau mandi?" tanya Saodah. "Itu sudah pasti. Aku tidak tahan baunya," jawab Marten sambil bersungut-sungut. "Kalau begitu, harus antri. Di sini emak yang berhak masuk ke kamar mandi lebih dulu!" ujar Abdul Manaf. "Kalian punya berapa kamar mandi?" Marten menautkan alisnya. "Satu." Abdul Manaf tersenyum lebar seraya menepuk pundak Marten. "Apa! Jadi, aku harus antri?" Marten menunjuk batang hidungnya yang mancung. "Kau urutan terakhir," sahut Carlen enteng. Dia melangkah santai melewati Marten sambil merangkul Anike. "Sialan!" umpat Marten. Dia sudah tak taha
Anike dan Carlen tengah berkencan di ruang tamu. Mereka berdua asyik bercengkerama. Tak jarang Carlen mencuri-curi ciuman dari sang istri. Sementara Anike membalasnya dengan cubitan mesra di pipi dan pinggang. Namun, kemesraan itu harus terjeda ketika Marten masuk ke dalam rumah sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa berhenti? Lanjutkan pacarannya. Anggap saja aku tak ada di sini," ucap Marten santai saat pasangan suami istri itu menatap heran ke arahnya. "Darimana, Marten? Perasaan tadi kau masuk ke dalam kamar?" tanya Carlen bingung. "Kau tidak perlu tahu." Marten mengedipkan sebelah mata, kemudian berlalu begitu saja menuju kamarnya, membuat Carlen dan Anike semakin bertanya-tanya. Dua sejoli itu saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali bermesraan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Malam datang menjelang. Di kampung Anike, jam sembilan malam terasa seperti tengah malam. Warga lebih suka bergelung di balik selimut di kamar masing-masing. Seperti halnya Mar