Anike duduk terpekur sendirian di depan meja yang terletak di sisi jendela. Kedua tangannya menopang kepala yang terasa cenut-cenut. Bagaimana tidak? Carlen memberikan kriteria wanita yang terasa sama sekali tak masuk akal untuk dijadikan pasangan. “Ke mana aku harus mencari?” gumam Anike. Pikirannya mendadak buntu. Di saat kalut seperti itu, tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka. Dengan santainya Carlen masuk dan berbaring begitu saja di atas ranjang yang seharusnya menjadi tempat tidur Anike. “Eh, Tuan? Kok di sini?” tanyanya. “Memangnya kenapa? Ini bagian dari rumahku juga,” sahut Carlen ketus. “Ta-tapi, anda ‘kan sudah memberikan kamar ini untukku,” protes Anike tak terima. “Ah, kau ini. Cerewet sekali.” Carlen yang semula berbaring, segera bangkit dan melepas T-shirt putihnya. Pria itu kembali bertelanjang dada, seperti pada saat mereka terkunci di dalam ruang pendingin. “Astaga ….” Anike begitu terpana melihat penampakan di hadapannya. Usia yang terlampau matang, tak membua
“Kalau begini terus, lama-lama aku akan meminta pada Abah dan Emak untuk mencoretmu dari kartu keluarga!” omel Tiara tanpa jeda. “Bagaimana bisa kamu memecahkan guci senilai lima ratus juta?”“Namanya juga tidak sengaja, Teh,” sesal Anike.“Kamu itu benar-benar nggak mikir. Dilahirkan cuma buat bikin susah orang lain saja!” Tiara melampiaskan kekesalannya.“Begini, Teteh carikan aku pinjaman, nanti aku yang melunasi,” cetus Anike setengah memaksa.“Cari pinjaman ke mana uang sebanyak itu. Kalau punya otak tuh dipakai, Anike!” Kesabaran Tiara mulai habis. Kepalanya terasa begitu panas dan berat memikirkan tingkah laku adik satu-satunya itu.“Pinjol juga bisa, Teh. Yang penting ada uang sejumlah 500 juta,” desak Anike tanpa memedulikan amarah Tiara yang sudah berada di ubun-ubun.“Lebih baik aku nggak punya adik lagi!”Tuuuuut &he
“Ah, masa, sih?” Anike mengernyit tak percaya. “Pandu itu sepertinya tidak suka kalau kakakku dekat dengan Diana. Ada saja tingkahnya untuk menjauhkan mereka. Aku juga pernah melihat Pandu sedang beradu mulut dengan Diana,” tutur Lula. “Oh, ya? Mereka bertengkar tentang apa?” tanya Anike penasaran. “Aku sempat mencuri dengar, tapi yang sampai di telingaku hanyalah Diana yang mengatakan bahwa Pandu itu seperti pacar Carlen saja. Pandu selalu melindungi Carlen sepenuh hati. Begitu yang Diana bilang,” jawab Lula. “Maksudnya … Tuan Carlen dan Pandu itu sebenarnya ….” Anike sengaja tak melanjutkan kalimatnya. Dia malah menggerakkan kedua tangannya yang menguncup, sebagai isyarat gerakan ciuman. “Mungkin saja,” desis Lula. “Karena itulah aku sangat membutuhkan bantuanmu, Anike,” ujarnya kemudian dengan sorot mengiba. Lula kemudian meraih tangan Anike dan menggenggamnya erat. “Aku hanya ingin melihat kakakku hidup normal, menikah dengan wanita dan membangun sebuah keluarga. Bukan pernik
"A-anda mau apa? Kenapa ingin berduaan?" Anike langsung menarik selimut hingga sebatas dada.Namun, Carlen tak segera menjawab. Dia malah berbalik dan mengunci pintu kamar Anike, lalu mengempaskan diri di samping istrinya dalam posisi setengah berbaring."Apa sakitmu masih lama? Kalau bisa jangan lama-lama, kerjaan masih banyak," celoteh Carlen tanpa beban.Anike menggeser tubuhnya agar menjauh dari Carlen. Dia baru berhenti setelah dirinya benar-benar berada di tepi ranjang. "Aku sakit juga gara-gara anda. Masa malam-malam disuruh membersihkan kamar yang kebanjiran," gerutu Anike."Sudah kubilang, kalau tidak mau tidak usah dikerjakan," sahut Carlen enteng sambil terus mendekat pada Anike yang sudah terpojok."Tidak usah dikerjakan, tapi harus membayar denda," cibir Anike."Memang begitu peraturannya, kan?" Carlen tak mau kalah."Anda tenang saja, Tuan. Aku jarang sakit. Kalau sakit pun tidak pernah lama. Lagipula, aku ingin cepat-ce
"Benarkah, Pak Pandu?" Sorot mata Anike seketika berbinar. Secercah semangat muncul di paras cantiknya. Sesaat kemudian, Anike kembali memasang ekspresi serius. "Lalu, bagaimana cara Pak pandu dalam membantu saya?""Eh, tunggu, tunggu!" sergah Anike ketika Pandu sudah bersiap membuka mulut.Anike bergegas mendekat ke arah pintu, kemudian menguncinya rapat-rapat. "Nah, sudah aman. Sekarang, silakan lanjut," ujarnya sambil duduk kembali di tempatnya semula."Jadi begini, Nyonya." Pandu yang berdiri di hadapan Anike, tiba-tiba merogoh sesuatu dari saku celana. Dia mengeluarkan beberapa lembar kertas yang terlipat rapi, lalu menyerahkannya pada Anike."Apa ini?""Itu informasi dan data pribadi tentang Diana Paramitha. Saya juga melampirkan foto terakhir Diana," jawab Pandu pelan."Untuk apa?" Anike mengernyit keheranan. Sekilas dirinya memperhatikan foto seorang wanita yang teramat cantik."Seperti yang sudah saya dengar bahwa Tuan Carlen
"Apa maksudnya, Tuan?" Pandu mencoba bersikap tenang. Dia tersenyum kalem sembari melirik pada sang atasan. Sementara Carlen tak segera menanggapi pertanyaan Pandu. Dia tetap menatap lurus ke depan. "Aku mulai tertarik pada Anike. Ada sesuatu yang ada di diri gadis bar-bar itu yang menarik perhatianku. Aku tidak akan berhenti sampai berhasil menaklukkannya," ujarnya beberapa saat kemudian."Syukurlah, akhirnya anda berhasil membuka hati, Tuan." Pandu tersenyum simpul, tetapi Carlen membalasnya dengan sorot mata tajam, seakan menembus jauh ke dalam jantungnya."Kau sudah paham kan kalau aku tidak mau siapapun menghalangi jalanku? Sekalipun itu orang terdekatku," tegas Carlen."Tentu, Tuan. Saya sangat mengerti. Sampai kapanpun, saya akan tetap loyal pada anda," timpal Pandu."Hm." Carlen tertawa kecil, lalu terdiam hingga mobil yang mereka tumpangi tiba di tempat tujuan. Carlen menghabiskan hari dengan meninjau pabrik pembuatan suku cadang yang berdiri di atas tanah seluas hampir lima
"Ke Jerman, Tuan? Bukankah anda memberi tugas pada saya untuk mengurus pembebasan lahan?" tanya Pandu tak mengerti. "Masalah pembebasan lahan akan kuserahkan pada mantan sales di sebelahku ini saja," jawab Carlen seraya melirik pada Anike. "Ta-tapi ... Tuan ...." "Bukankah kau sudah berjanji untuk selalu loyal padaku, Pandu? Sekarang saatnya kau membuktikan perkataanmu," potong Carlen. Hening sejenak. Pandu tak mengeluarkan sepatah kata pun, sampai terdengar desahan pelan dari asisten pribadi Carlen itu. "Baiklah, Tuan. Saya akan menyiapkan dokumen-dokumen saya secepatnya, paling tidak seminggu sampai saya siap berangkat ke Jerman," jelas Pandu. "Oke, selama rentang waktu itu, kau tidak perlu datang ke rumah. Cukup selesaikan pekerjaanmu di kantor saja. Jangan meninggalkan beban sedikitpun sebelum pergi," titah Carlen. Pandu terdengar mengempaskan napas panjang, lalu menjawab, "Iya, Tuan." "Bagus." Carlen tersenyu
"Apa?" Marten terbengong-bengong melihat Carlen merangkul Anike mesra. Dia terus memperhatikan dua anak manusia itu sampai keduanya masuk ke dalam salah satu kamar yang berada di ujung lorong. "Bukankah itu kamar tamu?" desis Marten penasaran. Dia ingin sekali menyelidiki siapa gadis yang dibawa masuk oleh Carlen ke dalam kamar. Akan tetapi, rasa kantuk sekaligus lapar mendera Marten. "Ah, besok sajalah," gumam Marten pada diri sendiri. Sementara itu, Anike merasa risi saat Carlen tak jua melepaskan tangan dari bahunya. "Aku ingin tidur, Tuan. Kalau aku kurang tidur, nanti aku sakit lagi. Kalau aku sakit, aku jadi tidak bisa melaksanakan seluruh perintahmu," bujuk Anike. "Tunggu sebentar, aku ingin menanyakan sesuatu," ujar Carlen sambil memasang raut serius. "Apa?" "Apa saja yang Marten katakan padamu tadi?" selidik Carlen. "Tidak ada. Dia hanya menanyakan namaku. Tuan Marten mengira bahwa aku asistenmu," ungkap Anike. "Lalu, kau jawab apa?" "Ya, kubilang padanya kalau aku as
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men
Tanpa memedulikan celotehan Abdul Manaf, Marten langsung berdiri dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pisau yang digunakan untuk membersihkan sisik ikan, Marten lemparkan ke atas tanah. "Hei, Nak Marten! Mau ke mana?" tanya Abdul Manaf keheranan. Tak hanya dirinya, bapak-bapak yang lain pun bingung melihat tingkah pria asli Jerman itu. "Ikannya masih banyak yang belum dibersihkan!" teriaknya. Akan tetapi, Marten tetap tak memedulikan panggilan itu. Fokus utamanya hanyalah Maya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan segar dalam balutan daster merah. Wajahnya terlihat amat menawan meskipun tak berpoleskan make up sama sekali. "Hei! Ayo, bantu aku memutilasi ikan," ajak Marten sesaat setelah dirinya berhasil menyusul Maya dan mencekal lengannya. "Hah?" Maya langsung menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Itu, membuang sisik ikan dan membelah perutnya," ujar Marten seraya mengarahkan telunjuknya pada Abdul Manaf bersama sekum
Kegiatan menguras kolam ikan berlangsung sampai jam delapan pagi. Mereka baru berhenti setelah semua ikan berhasil ditangkap. Kolam tersebut menyisakan lumpur hitam yang semburat tak beraturan, akibat perang lumpur yang sempat berlangsung. "Aku merasa badanku gatal-gatal," gerutu Marten yang lebih dulu melompat keluar dari kolam. "Nak Marten mau mandi?" tanya Saodah. "Itu sudah pasti. Aku tidak tahan baunya," jawab Marten sambil bersungut-sungut. "Kalau begitu, harus antri. Di sini emak yang berhak masuk ke kamar mandi lebih dulu!" ujar Abdul Manaf. "Kalian punya berapa kamar mandi?" Marten menautkan alisnya. "Satu." Abdul Manaf tersenyum lebar seraya menepuk pundak Marten. "Apa! Jadi, aku harus antri?" Marten menunjuk batang hidungnya yang mancung. "Kau urutan terakhir," sahut Carlen enteng. Dia melangkah santai melewati Marten sambil merangkul Anike. "Sialan!" umpat Marten. Dia sudah tak taha
Anike dan Carlen tengah berkencan di ruang tamu. Mereka berdua asyik bercengkerama. Tak jarang Carlen mencuri-curi ciuman dari sang istri. Sementara Anike membalasnya dengan cubitan mesra di pipi dan pinggang. Namun, kemesraan itu harus terjeda ketika Marten masuk ke dalam rumah sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa berhenti? Lanjutkan pacarannya. Anggap saja aku tak ada di sini," ucap Marten santai saat pasangan suami istri itu menatap heran ke arahnya. "Darimana, Marten? Perasaan tadi kau masuk ke dalam kamar?" tanya Carlen bingung. "Kau tidak perlu tahu." Marten mengedipkan sebelah mata, kemudian berlalu begitu saja menuju kamarnya, membuat Carlen dan Anike semakin bertanya-tanya. Dua sejoli itu saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali bermesraan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Malam datang menjelang. Di kampung Anike, jam sembilan malam terasa seperti tengah malam. Warga lebih suka bergelung di balik selimut di kamar masing-masing. Seperti halnya Mar