"Kapok?" bingung Anike.
Diperhatikannya Lula yang menatapnya sinis. Dia curiga pada gadis yang sempat mengerjainya dengan menyuruh Anike untuk menambahkan gula pada kopi Carlen itu.
Di sisi lain, Lula menatap Anike semakin tajam. Anehnya, sesaat kemudian pandangan itu berubah lembut–membuat Anike merinding dengan perubahan mendadak itu.
"Hai, calon kakak ipar. Semoga kita bisa akrab," ujar Lula sambil mengulurkan tangannya pada Anike.
"Apa maksudnya dengan kapok terhadap perempuan Indonesia?" tanya Anike penasaran.
"Sudah, jangan hiraukan dia. Lula hanya menggodaku saja," sela Carlen sambil menggerakkan tangan sebagai isyarat untuk mengusir adiknya itu.
"Hubungi ayahmu sekarang. Suruh dia datang ke sini untuk menjadi wali seperti yang kau katakan tadi," titah Carlen setelah Lula keluar dari kamar.
"Maaf, tapi tidak bisa," tolak Anike, "ayah saya mabuk kendaraan. Dia susah sekali bepergian."
"Mungkin lebih baik kau kupenjara saja, biar tidak merepotkan." Carlen menghela napas panjang. Seumur hidup, dia baru menemukan wanita seperti Anike yang sangat menyusahkan.
"Terserah kau saja," ucapnya, "yang jelas, bersiaplah. Besok pagi-pagi kita berangkat ke rumahmu."
*****
Ternyata, ucapan Carlen bukanlah sekadar omong kosong belaka.
Keesokan paginya, mereka berangkat menuju kediaman Anike di Bandung, ditemani oleh asisten dan adik perempuan pria itu yang memaksa ikut.
Dua jam perjalanan mereka lalui tanpa terasa hingga mobil mewah Carlen yang berhenti di depan sebuah gang kecil. "Parkir di sini saja, Tuan," suruh Anike.
Dia lalu mengarahkan ketiga orang tadi berjalan menyusuri gang kecil sampai tiba di sebuah rumah sederhana yang berada tepat di samping sebuah kolam ikan yang berukuran cukup luas. "Mari masuk," ajak Anike seraya membuka pintu rumah lebar-lebar dan mempersilakan mereka untuk duduk.
"Aku tidak bisa berlama-lama di sini." Wajah tampan Carlen tampak bersungut-sungut.
"Baiklah, Anda tenang saja," sahut Anike dengan entengnya sebelum berlari keluar rumah, diiringi tatap mata Carlen, Lula dan asisten pria itu.
Anike sudah hafal rutinitas sang ayah setiap pagi, yaitu pergi ke sawah.
Dugaannya benar, ayah Anike tengah sibuk menyiangi rumput yang tumbuh di antara padi.
Tak ingin membuang waktu, dia segera menyeret sang ayah yang begitu terkejut melihat kedatangan putri bungsunya tersebut. "Kapan datang, Nak?" tanyanya sumringah.
"Nanti saja aku jawab. Sekarang, Abah harus ikut aku pulang!" paksa Anike seraya menyeret sang ayah yang masih memegang sabit.
"Eh, eh, ada apa ini?"
Pria paruh baya itu semakin kebingungan melihat tingkah Anike.Terpaksa, dia mengikuti langkah putrinya. Sesampainya di rumah, pria itu tertegun melihat dua manusia bule duduk di kursi ruang tamu.
"Abah, kenalkan Tuan Carlen Meier dan adiknya, Lula. Di sebelah Tuan Carlen ada Pandu, asisten pribadi Tuan Carlen Meier.” Anike menarik tangan ayahnya sampai mendekat pada Carlen dan memaksa mereka berdua untuk bersalaman. “Tuan, kenalkan ayahku, Abdul Manaf."
"Nah, sekarang aku sudah siap dinikahkan," ujar Anike enteng, yang sontak membuat Abdul Manaf melotot.
"Apa-apaan ini?" sentak sang ayah.
"Abah, kalau tidak mau menikahkanku dengan dia, Abah wajib membayar denda lima ratus juta," bisik Anike.
"Lima ratus juta?" seru pria yang bernama Abdul Manaf itu nyaring, "emakmu mana?"
"Sudah, jangan pikirkan emak. Beliau pasti masih berjualan di pasar. Kebetulan sekali. Yang jelas, tidak ada yang boleh mengetahui pernikahan ini selain abah," cerocos Anike. "Kalau sampai Abah membocorkan rahasia ini ke emak atau siapapun, maka sama saja dengan abah menjebloskan Keke ke penjara."
Meski Anike dengan raut serius, Abdul Manaf menggeleng. Ia tampak tak percaya. "Apa ini setting-an? Pasti ini acara bagi-bagi uang itu, ya?"
"Ini adalah mahar untuk putri anda," sela Carlen seraya mengeluarkan sebuah buku cek dari tas tangan miliknya yang dibawakan oleh Pandu. Dia menyobek selembar dan menuliskan angka tiga miliar.
"Apa kau gila, Kak?" bisik Lula. Dia memprotes keras tindakan kakaknya itu.
"Tenang saja. Ini adalah cek kosong." Carlen balas berbisik.
Dia lalu memberikan kertas itu pada Abdul Manaf. "Semakin cepat Anda menikahkan kami, semakin cepat pula putri Anda dapat menguangkan cek tersebut. Saya kira uang tiga miliar cukup untuk mengadakan resepsi mewah enam bulan lagi," ujarnya kalem.
Abdul Manaf menjatuhkan sabitnya begitu saja ke lantai. Dia memegangi kertas itu sambil komat-kamit tak jelas. "Mimpi apa aku semalam? Anakku pulang membawa calon suami yang memberi mahar tiga miliar," gumamnya lirih.
"Kalian tidak sedang bercanda, 'kan?"
"Apa Anda melihat saya tertawa?" sahut Carlen datar.
"Sudah, turuti saja, Bah. Aku sudah kebelet nikah, nih," bujuk Anike lirih.
Bagaikan terhipnotis, Abdul Manaf pun mengangguk. Dia berpamitan untuk berganti pakaian sebentar, sementara Anike langsung menyiapkan tempat untuk melaksanakan ijab kabul. Setengah jam kemudian, semua sudah siap. Abdul Manaf sudah duduk berhadapan dengan Carlen serta menjabat tangannya erat-erat.
Sang asisten yang bernama Pandu tersebut sudah mengajari tata cara akad nikah yang mudah dimengerti pada Carlen. Cukup satu tarikan napas dan Pandu langsung menyerukan kata 'sah'.
"Ingat ya, Bah. Tidak boleh ada yang tahu pernikahan ini, termasuk emak," ujar Anike mengingatkan.
Lagi-lagi Abdul Manaf hanya mengangguk bagai kerbau yang dicocok hidungnya.
"Nanti saya akan mengabarkan pada semuanya setelah kami mengadakan resepsi," sambung Carlen berbohong sambil tersenyum licik.
Tak ingin membuang waktu, dia berpamitan pada Abdul Manaf yang masih terbengong-bengong.
Pria paruh baya itu bahkan tak berpikiran untuk menanyakan alasan apa yang mendasari semua ini.
Dalam perjalanan pulang, tak ada percakapan apapun sampai Pandu yang memegang kemudi harus membelokkan mobilnya ke pom bensin.
"Aku ingin ke toilet," ucap Anike. Dia langsung turun dari kendaraan tanpa menunggu jawaban Carlen.
Anike tak menyadari bahwa Lula juga ikut turun dan mengikutinya ke toilet.
Akan tetapi, gadis itu menunggu di luar bilik tempat Anike membuang hajatnya.
Tepat pada saat sang kakak ipar keluar dari dalam bilik, Lula mendorongnya masuk kembali.
Adik Carlen itu bahkan meraih selang kloset dan menyemprotkannya ke wajah Anike. "Baru juga sehari memasuki rumah kakakku dan kau bisa memaksanya untuk menikahimu!" cercanya.Sekujur tubuh Anike pun basah kuyub.
Tak ingin pasrah, Anike berusaha mempertahankan diri dengan merebut selang itu dan ganti menyemprotkannya ke Lula.
Kini, gadis asli Jerman itu sama basah kuyubnya dengan Anike."Anggap saja kami berjodoh!" jawab Anike asal."Omong kosong! Kau pasti mengincar hartanya dan pada akhirnya kau pasti akan mencampakkan kakakku begitu saja!" ucap Lula tak mau kalah.
Dia hendak merebut kembali selang itu, tapi gagal. Kepala selang tersebut malah terlepas. Allhasil, airnya muncrat ke setiap sudut bilik, termasuk mengenai Lula dan Anike yang tengah bergulat.
"Kasihan sekali kakakku mendapatkan wanita sepertimu!" pekik Lula.
"Justru akulah yang seharusnya kamu kasihani karena menikahi pria error seperti kakakmu!" timpal Anike nyaring.
"Kurang ajar kau!" umpat Lula. Dia hendak menjambak rambut Anike.
Akan tetapi, istri Carlen itu lebih dulu mengelak dan berhasil memiting tangan Lula hingga gadis itu memekik kesakitan.
"Kamu yang kurang ajar!" sentak Anike, lalu melepaskan tangan Lula.
"Cuih! Di manapun perempuan seperti kalian sama saja! Dasar, mata duitan!"
"Uang memang kebutuhan, tapi aku tak pernah berpikiran menggadaikan cinta demi uang," jawab Anike. Wajahnya mendadak berubah sendu. Tiba-tiba dia teringat pada Indra yang sudah menipunya.
"Kau ...." Lula seketika terdiam. Apalagi, dia menangkap ekspresi sedih dari wajah cantik Anike.
"Dengar, Lula! Aku tak tahu masalahmu di masa lalu dengan perempuan di negaraku. Yang jelas, tidak semua sejahat yang kamu pikirkan," tegas Anike dengan mata berkaca-kaca, “akan kubuktikan itu.”
“Kenapa mereka lama sekali?” pikir Carlen. Dia sudah menghabiskan sebatang rokok, sambil menunggu adik dan istri kontraknya yang sedang pergi ke toilet. “Coba kamu periksa,” suruhnya kepada Pandu.“Maaf, Tuan? Saya memeriksa ke toilet wanita?” Pandu terlihat ragu. Namun, dia tahu bahwa Carlen tidak menyukai bantahan. Terpaksa, sang asisten beranjak dari duduknya. Sambil melangkah menuju toilet, Pandu terus berpikir. Dia tertegun beberapa saat di depan pintu toilet wanita, hingga ada seorang perempuan keluar dari sana sambil uring-uringan.“Mau jadi apa negara ini jika anak mudanya tidak tahu tata krama,” gerutu wanita itu.“Apa ada masalah, Bu?” tanya Pandu. Dia mengira bahwa ibu itu marah terhadap dirinya, yang berdiri di depan pintu toilet wanita.“Bagaimana tidak jadi masalah besar? Saya baru duduk di closet dan sudah siap melakukan pelepasan. Namun, peluncuran roket terpaksa harus dihentikan, karena mendengar kegaduhan di bilik sebelah. Akhirnya, saya tidak jadi BAB!” Si wanita te
"Apa maksudmu dengan mencarikannya pasangan yang cocok? Bukankah kau adalah istrinya?"Anike seketika memukul mulutnya yang tak sengaja berbicara demikian. Hal itu justru membuat Lula semakin menatapnya tajam."Aku bukanlah istri sesungguhnya," ungkap Anike pada akhirnya."Maksudmu?""Tuan Carlen hanya menikahiku untuk menjadi budaknya," jelas Anike lesu."Ah, bicara apa kau ini. Tidak masuk akal sama sekali," gerutu Lula."Ini semua gara-gara guci antik itu. Aku tidak sengaja memecahkannya, sehingga aku harus menggantinya," keluh Anike."Guci antik yang mana?" Lula melipat kedua tangannya di dada."Guci yang berasal dari dinasti Ming itu tak sengaja tersenggol olehku. Guci itu akhirnya jatuh dan pecah," jawab Anike. "Karena aku tak punya uang untuk mengganti kerugian yang sangat besar, maka aku harus bersedia menjadi istri kontrak Tuan Carlen, sekaligus bersedia bekerja di rumah ini dan memenuhi segala kebutuhannya tanpa digaji," imbuhnya."Guci dari dinasti Ming?" ulang Lula kebing
"Ini semua gara-gara kau!" tunjuk Carlen tepat ke dahi Anike. "Aku memang menyuruhmu mencarikan pasangan, tapi setidaknya seleksi dulu yang benar!" Pria itu terus mengomel sembari mengemudi. Bahkan, hingga tiba di kediaman mewah pria asal Jerman tersebut. Dia bergegas masuk ke dalam rumah, meninggalkan Anike yang diam terpaku di sisi mobil."Tidak apa-apa. Itu semua bukan salahmu," ucap seseorang yang membuat Anike terkejut. Dia menoleh dan mendapati Lula berdiri di sampingnya dengan sorot mata penuh simpati."Kamu? Sejak kapan kamu di sini?" tanya Anike keheranan."Tenang saja, Kak. Aku akan berjuang untukmu."Bukannya menjawab, Lula malah mengatakan sesuatu yang membuat Anike makin bingung. "Aku tidur dulu. Sampai jumpa besok pagi," pamit Lula seraya menepuk pelan pundak Anike."Ah, memang keluarga gila," caci Anike pelan.Dia juga merasakan lelah jiwa raga, terlebih beban batin akibat permasalahan hidupnya yang melibatkan Carlen.Anike berjalan gontai menuju kamar.Dia merebahkan
Carlen duduk termenung di ruang kerja.Acara kencan yang sudah dipersiapkan untuknya gagal total karena teman kencannya datang terlambat. Bahkan, ia tadi dikerjai oleh adiknya sendiri."Sialan!" gerutu Carlen sambil melempar kertas yang digulung ke lantai.Bagaimana Carlen tak merasa risau? Usianya sudah semakin tua. Namun, hingga saat ini dia belum mendapatkan titik terang tentang jodohnya.Sesaat kemudian, terdengar suara ketukan di pintu.Carlen segera mengubah posisi duduk, sehingga dia terlihat jauh lebih berwibawa.Pengusaha asal Jerman tersebut tahu bahwa yang datang ke sana pasti Anike karena dia memang memerintahkan wanita muda tersebut agar menghadapnya."Apakah Anda membutuhkan sesuatu, Tuan?" tanya Anike yang sudah berdiri di depan meja kerja suami kontraknya. Dia memandang pria dengan T-Shirt panjang hijau army tadi. Sebenarnya, Carlen merupakan pria yang sangat tampan dan gagah. Namun, sayang sekali karena dia memiliki perangai yang kurang menyenangkan."Kau tahu bahwa t
Anike duduk terpekur sendirian di depan meja yang terletak di sisi jendela. Kedua tangannya menopang kepala yang terasa cenut-cenut. Bagaimana tidak? Carlen memberikan kriteria wanita yang terasa sama sekali tak masuk akal untuk dijadikan pasangan. “Ke mana aku harus mencari?” gumam Anike. Pikirannya mendadak buntu. Di saat kalut seperti itu, tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka. Dengan santainya Carlen masuk dan berbaring begitu saja di atas ranjang yang seharusnya menjadi tempat tidur Anike. “Eh, Tuan? Kok di sini?” tanyanya. “Memangnya kenapa? Ini bagian dari rumahku juga,” sahut Carlen ketus. “Ta-tapi, anda ‘kan sudah memberikan kamar ini untukku,” protes Anike tak terima. “Ah, kau ini. Cerewet sekali.” Carlen yang semula berbaring, segera bangkit dan melepas T-shirt putihnya. Pria itu kembali bertelanjang dada, seperti pada saat mereka terkunci di dalam ruang pendingin. “Astaga ….” Anike begitu terpana melihat penampakan di hadapannya. Usia yang terlampau matang, tak membua
“Kalau begini terus, lama-lama aku akan meminta pada Abah dan Emak untuk mencoretmu dari kartu keluarga!” omel Tiara tanpa jeda. “Bagaimana bisa kamu memecahkan guci senilai lima ratus juta?”“Namanya juga tidak sengaja, Teh,” sesal Anike.“Kamu itu benar-benar nggak mikir. Dilahirkan cuma buat bikin susah orang lain saja!” Tiara melampiaskan kekesalannya.“Begini, Teteh carikan aku pinjaman, nanti aku yang melunasi,” cetus Anike setengah memaksa.“Cari pinjaman ke mana uang sebanyak itu. Kalau punya otak tuh dipakai, Anike!” Kesabaran Tiara mulai habis. Kepalanya terasa begitu panas dan berat memikirkan tingkah laku adik satu-satunya itu.“Pinjol juga bisa, Teh. Yang penting ada uang sejumlah 500 juta,” desak Anike tanpa memedulikan amarah Tiara yang sudah berada di ubun-ubun.“Lebih baik aku nggak punya adik lagi!”Tuuuuut &he
“Ah, masa, sih?” Anike mengernyit tak percaya. “Pandu itu sepertinya tidak suka kalau kakakku dekat dengan Diana. Ada saja tingkahnya untuk menjauhkan mereka. Aku juga pernah melihat Pandu sedang beradu mulut dengan Diana,” tutur Lula. “Oh, ya? Mereka bertengkar tentang apa?” tanya Anike penasaran. “Aku sempat mencuri dengar, tapi yang sampai di telingaku hanyalah Diana yang mengatakan bahwa Pandu itu seperti pacar Carlen saja. Pandu selalu melindungi Carlen sepenuh hati. Begitu yang Diana bilang,” jawab Lula. “Maksudnya … Tuan Carlen dan Pandu itu sebenarnya ….” Anike sengaja tak melanjutkan kalimatnya. Dia malah menggerakkan kedua tangannya yang menguncup, sebagai isyarat gerakan ciuman. “Mungkin saja,” desis Lula. “Karena itulah aku sangat membutuhkan bantuanmu, Anike,” ujarnya kemudian dengan sorot mengiba. Lula kemudian meraih tangan Anike dan menggenggamnya erat. “Aku hanya ingin melihat kakakku hidup normal, menikah dengan wanita dan membangun sebuah keluarga. Bukan pernik
"A-anda mau apa? Kenapa ingin berduaan?" Anike langsung menarik selimut hingga sebatas dada.Namun, Carlen tak segera menjawab. Dia malah berbalik dan mengunci pintu kamar Anike, lalu mengempaskan diri di samping istrinya dalam posisi setengah berbaring."Apa sakitmu masih lama? Kalau bisa jangan lama-lama, kerjaan masih banyak," celoteh Carlen tanpa beban.Anike menggeser tubuhnya agar menjauh dari Carlen. Dia baru berhenti setelah dirinya benar-benar berada di tepi ranjang. "Aku sakit juga gara-gara anda. Masa malam-malam disuruh membersihkan kamar yang kebanjiran," gerutu Anike."Sudah kubilang, kalau tidak mau tidak usah dikerjakan," sahut Carlen enteng sambil terus mendekat pada Anike yang sudah terpojok."Tidak usah dikerjakan, tapi harus membayar denda," cibir Anike."Memang begitu peraturannya, kan?" Carlen tak mau kalah."Anda tenang saja, Tuan. Aku jarang sakit. Kalau sakit pun tidak pernah lama. Lagipula, aku ingin cepat-ce
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men
Tanpa memedulikan celotehan Abdul Manaf, Marten langsung berdiri dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pisau yang digunakan untuk membersihkan sisik ikan, Marten lemparkan ke atas tanah. "Hei, Nak Marten! Mau ke mana?" tanya Abdul Manaf keheranan. Tak hanya dirinya, bapak-bapak yang lain pun bingung melihat tingkah pria asli Jerman itu. "Ikannya masih banyak yang belum dibersihkan!" teriaknya. Akan tetapi, Marten tetap tak memedulikan panggilan itu. Fokus utamanya hanyalah Maya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan segar dalam balutan daster merah. Wajahnya terlihat amat menawan meskipun tak berpoleskan make up sama sekali. "Hei! Ayo, bantu aku memutilasi ikan," ajak Marten sesaat setelah dirinya berhasil menyusul Maya dan mencekal lengannya. "Hah?" Maya langsung menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Itu, membuang sisik ikan dan membelah perutnya," ujar Marten seraya mengarahkan telunjuknya pada Abdul Manaf bersama sekum
Kegiatan menguras kolam ikan berlangsung sampai jam delapan pagi. Mereka baru berhenti setelah semua ikan berhasil ditangkap. Kolam tersebut menyisakan lumpur hitam yang semburat tak beraturan, akibat perang lumpur yang sempat berlangsung. "Aku merasa badanku gatal-gatal," gerutu Marten yang lebih dulu melompat keluar dari kolam. "Nak Marten mau mandi?" tanya Saodah. "Itu sudah pasti. Aku tidak tahan baunya," jawab Marten sambil bersungut-sungut. "Kalau begitu, harus antri. Di sini emak yang berhak masuk ke kamar mandi lebih dulu!" ujar Abdul Manaf. "Kalian punya berapa kamar mandi?" Marten menautkan alisnya. "Satu." Abdul Manaf tersenyum lebar seraya menepuk pundak Marten. "Apa! Jadi, aku harus antri?" Marten menunjuk batang hidungnya yang mancung. "Kau urutan terakhir," sahut Carlen enteng. Dia melangkah santai melewati Marten sambil merangkul Anike. "Sialan!" umpat Marten. Dia sudah tak taha
Anike dan Carlen tengah berkencan di ruang tamu. Mereka berdua asyik bercengkerama. Tak jarang Carlen mencuri-curi ciuman dari sang istri. Sementara Anike membalasnya dengan cubitan mesra di pipi dan pinggang. Namun, kemesraan itu harus terjeda ketika Marten masuk ke dalam rumah sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa berhenti? Lanjutkan pacarannya. Anggap saja aku tak ada di sini," ucap Marten santai saat pasangan suami istri itu menatap heran ke arahnya. "Darimana, Marten? Perasaan tadi kau masuk ke dalam kamar?" tanya Carlen bingung. "Kau tidak perlu tahu." Marten mengedipkan sebelah mata, kemudian berlalu begitu saja menuju kamarnya, membuat Carlen dan Anike semakin bertanya-tanya. Dua sejoli itu saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali bermesraan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Malam datang menjelang. Di kampung Anike, jam sembilan malam terasa seperti tengah malam. Warga lebih suka bergelung di balik selimut di kamar masing-masing. Seperti halnya Mar