Selama dua bulan, Evan fokus menyelesaikan semua urusan yang berkaitan dengan Ella. Mengurus perceraian di pengadilan agama, mengurus kasus yang menimpa Puspa dan Ella terkait pengeboman di rumah Ajeng, juga mengurus harta gono-gini.Karena anak yang dikandung oleh Ella bukanlah anaknya, maka Evan tidak wajib memberi nafkah pada wanita itu setelah hakim resmi mengetuk palu. Dia hanya memberikan satu unit rumah yang selama ini mereka tempati, dua unit mobil mewah, dan uang sebesar 2 milyar rupiah.Evan tidaklah bodoh. Selama menikah dengan Ella, semua aset yang dimilikinya diatasnamakan ibunya dan ayahnya. Dia tahu, suatu saat nanti, Ella pasti akan menuntut harta gono-gini. Dan dia tidak rela jika wanita itu mendapatkan setengah hartanya setelah rencana wanita itu berhasil.Ella adalah wanita yang serakah dan matre. Dia mengetahuinya selama mereka menikah, apalagi setelah berselingkuh dengan Rudi. Dan sekarang, Evan sangat bersyukur karena hartanya masih utuh. Rumah mewah dan 2 unit
Di sebuah ranjang rumah sakit ternama di Singapura, seorang wanita terbaring lemah dengan wajah pucat dan selang infus yang menempel di pergelangan tangannya.Sudah dua bulan ini, ia hanya sendirian di ruangan ini. Tidak ada yang sudi menemani setelah apa yang dia lakukan karena nafsu sesaat, apalagi begitu sang anak dinyatakan telah meninggal dunia beberapa hari setelah dilahirkan.Ya, wanita itu adalah Ella Paramita. Wanita yang semasa remajanya begitu menggebu-gebu ingin balas dendam pada seorang wanita bernama Sekar Anjani, dengan cara diam-diam menghancurkan anaknya yang bernama Ajeng Maheswari.Tindakan yang diyakini Ella sebagai hal yang lumrah dilakukan karena dia merasa menjadi anak yang terdholimi. Merasa dia pasti diridhoi oleh Tuhan karena didholimi, sehingga selalu mendoakan keburukan bagi Sekar Anjani dan Ajeng Maheswari. Tapi kenapa sekarang justru dia yang terbaring lemah di rumah sakit dan tak kunjung sembuh? Padahal operasi transplantasi sumsum tulang belakang sudah
"Jadi kamu kerjasama dengan Bayu Dirgantara?" tanya Evan kaget begitu mobil berhenti di halaman kantor milik Ansel."Iya. Sekarang aku yang menjadi pemasok buah apel untuk pabriknya. Dia lebih suka apel dari kami karena lebih berkualitas," jawab Ansel sambil mematikan mesin mobil."Pantesan kalian bisa kenal. Dulu kukira dia ada main sama istriku waktu datang ke rumah. Ternyata dia yang mengantar kalian ke bandara waktu itu?"Ajeng memukul lengan Evan dengan kesal. "Apaan sih, Mas? Enak aja ngatain aku ada main sama pria lain.""Eh, bukan begitu maksudnya, Yang. Maksudku tuh, kukira dia mau bawa kamu kabur, terus sengaja ngebom rumah kamu," ralat Evan buru-buru.Ajeng mengangkat bibir atasnya sebelum meringis."Loh, kenapa sayang? Perutmu sakit?" tanya Evan panik."Nggak tahu nih, tiba-tiba aja mules. Toiletnya di mana, Sel?" tanya Ajeng sambil memegangi perutnya."Di dalam kantor. Yuk, aku antar. Kamu salah makan apa gimana?" Ansel juga ikut panik."Namanya mules ya kebelet BAB. Itu
Ajeng dan perempuan yang dipanggil Rita itu langsung menoleh ke arah seorang pria yang tadi diajak ngobrol oleh Ansel, juga yang sering datang ke rumah untuk membersihkan rumput di halaman rumah Om Dennis. Dialah Pak Suroto. Seorang pria paruh baya yang begitu rajin dalam bekerja sekaligus setia pada Om Dennis dan Ansel. Ajeng yang biasanya kurang nyaman dengan kehadiran laki-laki asing, merasa nyaman dengan laki-laki itu."Kamu nggak usah ikut campur deh, Pak! Kenapa kamu malah mengijinkan dia untuk sembarangan masuk ke kebun ini? Harusnya kamu ijin aku dulu! Lancang sekali!" bentak Rita.Ajeng menatap perempuan itu dengan sorot mata tak suka. Sudah wajah pas-pasan, attitude jelek, tidak sopan pada orang tua pula."Sudah, sudah! Kamu seharusnya fokus pada pekerjaanmu di kantor. Jangan sampai Mas Ansel tahu kelakuan kamu. Di sini itu banyak CCTV hidup," tegur Pak Suroto."Awas aja kalau dia sampai tahu. Kamu yang paling awal kena akibatnya," ancam Rita sambil menunjuk wajah Pak Surot
"Aku lebih setuju kamu invest di properti aja, Mas. Ada kawasan apartemen kan di sini? Kalau invest di mall, aku kurang setuju. Habis pandemi kemarin, banyak mall yang tutup karena sepi pengunjung. Nggak menutup kemungkinan akan terjadi lagi jika ekonomi kembali lesu," kata Evan di ruang tamu kantor kecil milik Ansel."Iya juga ya. Aku pikir kesempatan yang bagus aku investasikan uang dari kamu itu di mall baru dekat salah satu kampus." Sander menyetujui.Mereka membahas tentang sisa uang dari Evan setelah Mark selesai operasi dan menjalani perawatan pasca operasi. "Mending apartemen. Sama supermarket juga bagus. Bangun aja di sekitar kampus, pasti rame. Kasih harga agak miring dikit. Banyakin promosi. Jaman sekarang, orang lebih suka datang ke tempat yang banyak promo meskipun harganya nggak beda jauh sama harga di toko-toko biasa. Selisih 500 perak aja orang akan menganggap harganya lebih murah."Sander manggut-manggut. Evan tentu saja senang memberikan nasehat tentang bisnis pada
Evan langsung berdiri ketika melihat perempuan itu tiba-tiba keluar dari kantor dengan kaki yang menghentak, seolah-olah hendak mengguncang tempat mereka berpijak."Eh, mau ke mana?" tanya Sander sambil mengangkat cangkir kopi dan hendak menghirupnya."Ada yang nggak beres sama perempuan itu," jawab Evan singkat.Dia bisa melihat Ajeng yang terus memeluk lengan Ansel dengan manja sambil berjalan memasuki kebun, sementara Ansel terlihat tegang. Dia tidak mungkin salah mengenali gestur itu. Bukan karena takut dipergoki oleh perempuan palsu itu, melainkan karena memiliki perasaan lebih pada Ajeng. Bisa-bisanya sang istri tidak menyadarinya.Ketika Ansel menjauhi Ajeng dan berjalan lebih jauh ke dalam kebun, perempuan yang menghidangkan kopi tadi langsung mendekati Ajeng dan tanpa basa-basi menjambak rambut istrinya."Aduh! Eh! Apa-apaan ini?"Evan benar-benar terhenyak dan refleks berlari mendekati mereka."Dasar pelacur! Jadi kamu lagi hamil anaknya Mas Ansel dan udah tinggal serumah s
Ajeng meminum jus apel dengan wajah cemberut. Sejak tadi, Evan tidak berhenti memarahinya karena tingkah brutalnya terhadap Rita. Padahal dia hanya ingin memberi wanita itu pelajaran karena telah dholim pada karyawan lain selama bertahun-tahun."Tapi gara-gara aku, belangnya Rita jadi ketahuan kan, Mas. Ansel jadi tahu kalau ada ulat di perusahaannya," protesnya masih dengan wajah cemberut.Evan menghela nafas panjang. Sepanjang pernikahan mereka, baru kali ini Evan marah. Bahkan meskipun dulu Evan pura-pura bersikap dingin padanya, lelaki itu tidak pernah sampai semenakutkan ini."Kenapa nggak dibicarakan dulu sama kami? Kalau kamu ngomong dulu, kan kita bisa mencari cara yang lebih baik. Nggak perlu pakai cara brutal kayak gitu. Kamu itu lagi hamil, harus hati-hati," kata Evan dengan lembut.Kedua sudut bibir Ajeng melengkung ke bawah. Matanya berkaca-kaca. Sejak hamil, dia memang sensitif. Emosinya sering meledak-ledak."Tapi aku bawaannya kepingin melabrak orang. Aku melihat wajah
Mereka sudah hampir sampai di kebun milik Om Dennis, tapi Evan masih saja tidak mau menjawab pertanyaan Ajeng."Apa salahnya sih kalau aku menjenguk Ella? Bagaimanapun juga, dia itu pernah menjadi sahabatku selama bertahun-tahun," protes Ajeng.Evan memarkirkan mobil milik Ansel tak jauh dari kantor dan masih tetap diam."Mas! Jawab aja kenapa sih? Aku juga kepingin tahu bayinya gimana. Kamu bilang Tante Puspa dipenjara. Ella sama siapa? Memangnya Rudi mau merawat dia?"Pria itu menghela nafas panjang dan menyugar rambutnya ke belakang. Terlihat semakin tampan di mata Ajeng. Dia mengerjap sekali. Mimpi apa dia bisa dicintai ugal-ugalan oleh pria seganteng ini? Padahal Dimas dulu tidak terlalu memperhatikan dia."Sayang, dia itu udah berusaha untuk membunuh kamu dan menjebak kamu biar kamu dinodai loh. Aku heran kenapa kamu masih mau menemui dia? Dia itu nggak tulus berteman sama kamu." Evan menghadap ke arahnya dan menatapnya dengan lekat.Ajeng langsung tersipu dan jantungnya berdegu