Evan langsung berdiri ketika melihat perempuan itu tiba-tiba keluar dari kantor dengan kaki yang menghentak, seolah-olah hendak mengguncang tempat mereka berpijak."Eh, mau ke mana?" tanya Sander sambil mengangkat cangkir kopi dan hendak menghirupnya."Ada yang nggak beres sama perempuan itu," jawab Evan singkat.Dia bisa melihat Ajeng yang terus memeluk lengan Ansel dengan manja sambil berjalan memasuki kebun, sementara Ansel terlihat tegang. Dia tidak mungkin salah mengenali gestur itu. Bukan karena takut dipergoki oleh perempuan palsu itu, melainkan karena memiliki perasaan lebih pada Ajeng. Bisa-bisanya sang istri tidak menyadarinya.Ketika Ansel menjauhi Ajeng dan berjalan lebih jauh ke dalam kebun, perempuan yang menghidangkan kopi tadi langsung mendekati Ajeng dan tanpa basa-basi menjambak rambut istrinya."Aduh! Eh! Apa-apaan ini?"Evan benar-benar terhenyak dan refleks berlari mendekati mereka."Dasar pelacur! Jadi kamu lagi hamil anaknya Mas Ansel dan udah tinggal serumah s
Ajeng meminum jus apel dengan wajah cemberut. Sejak tadi, Evan tidak berhenti memarahinya karena tingkah brutalnya terhadap Rita. Padahal dia hanya ingin memberi wanita itu pelajaran karena telah dholim pada karyawan lain selama bertahun-tahun."Tapi gara-gara aku, belangnya Rita jadi ketahuan kan, Mas. Ansel jadi tahu kalau ada ulat di perusahaannya," protesnya masih dengan wajah cemberut.Evan menghela nafas panjang. Sepanjang pernikahan mereka, baru kali ini Evan marah. Bahkan meskipun dulu Evan pura-pura bersikap dingin padanya, lelaki itu tidak pernah sampai semenakutkan ini."Kenapa nggak dibicarakan dulu sama kami? Kalau kamu ngomong dulu, kan kita bisa mencari cara yang lebih baik. Nggak perlu pakai cara brutal kayak gitu. Kamu itu lagi hamil, harus hati-hati," kata Evan dengan lembut.Kedua sudut bibir Ajeng melengkung ke bawah. Matanya berkaca-kaca. Sejak hamil, dia memang sensitif. Emosinya sering meledak-ledak."Tapi aku bawaannya kepingin melabrak orang. Aku melihat wajah
Mereka sudah hampir sampai di kebun milik Om Dennis, tapi Evan masih saja tidak mau menjawab pertanyaan Ajeng."Apa salahnya sih kalau aku menjenguk Ella? Bagaimanapun juga, dia itu pernah menjadi sahabatku selama bertahun-tahun," protes Ajeng.Evan memarkirkan mobil milik Ansel tak jauh dari kantor dan masih tetap diam."Mas! Jawab aja kenapa sih? Aku juga kepingin tahu bayinya gimana. Kamu bilang Tante Puspa dipenjara. Ella sama siapa? Memangnya Rudi mau merawat dia?"Pria itu menghela nafas panjang dan menyugar rambutnya ke belakang. Terlihat semakin tampan di mata Ajeng. Dia mengerjap sekali. Mimpi apa dia bisa dicintai ugal-ugalan oleh pria seganteng ini? Padahal Dimas dulu tidak terlalu memperhatikan dia."Sayang, dia itu udah berusaha untuk membunuh kamu dan menjebak kamu biar kamu dinodai loh. Aku heran kenapa kamu masih mau menemui dia? Dia itu nggak tulus berteman sama kamu." Evan menghadap ke arahnya dan menatapnya dengan lekat.Ajeng langsung tersipu dan jantungnya berdegu
"Apaan sih, kak? Aku cuma mau ngasih Ansel support kok," kata Ajeng dengan kening mengernyit.Tiba-tiba Sander langsung menjauhkan wajahnya sambil mengerutkan hidung. Seperti jijik. "Mulut kamu kok bau? Kayak bau kecebong.""Uhuk! Uhuk!" Evan yang tersedak teh langsung menarik perhatian mereka.Mata Sander menyipit, lalu mendengkus. "Kalian ini memang nggak tahu tempat. Kirain langsung keluar dari mobil begitu aku datang, eh malah lanjut."Wajah Ajeng dan Evan langsung memerah. Apalagi Ajeng, langsung menutup mulutnya dengan rapat. Seharusnya tadi dia minum teh dulu."Udah, sekarang ayo ke bandara. Ayah sama ibu sebentar lagi sampai," kata Sander.Mata Ajeng membelalak. "Eh? Serius? Mereka kok nggak ngasih kabar dulu?""Nomormu kan ganti. Ibu yang ngabarin aku. Udah, siapa yang mau ikut?"Evan langsung berdiri. "Aku aja, Mas. Ajeng biar di sini. Kasihan dia nanti capek." Pria itu menjulurkan sebelah tangan ke arah Ajeng. "Sini sayang."Ajeng menurut. Dia mendekati suaminya dan ingin s
Pesanan datang ketika Ansel menghampirinya. Entah apa yang dibicarakan oleh pria itu dengan teman-temannya hingga sampai selama ini. Ajeng meringis ketika melihat banyaknya piring yang ditata di atas meja. Ada gurame goreng, nila bakar, tumis pakcoy, cah brokoli, udang crispy saos Bangkok, dan sup ikan nila. Belum lagi dua piring nasi putih, dua cobek sambal terasi, dan tidak lupa dua gelas jeruk hangat."Maaf ya aku pesan sebanyak ini. Aku kepingin makan masakan kayak gini. Suasananya mendukung banget." Ajeng lupa kalau dia makan bukan dengan Evan. Membuatnya tak enak karena pasti menipiskan dompet Ansel."Loh, nggak apa-apa kak. Aku malah seneng kalau kamu makan yang banyak. Ikan kan bagus untuk ibu hamil," jawab Ansel sambil tersenyum.Selama sesaat, Ajeng merasa bahwa dia sedang bersama dengan Ansel yang dulu. Yang selalu bisa membuatnya tertawa. Tapi setelah mendengar pengakuan pria itu secara tak sengaja tadi, dia kembali merasa canggung."Jadi, gimana masalah di kantor kamu ta
Ajeng tidak tahu apa yang merasuki adik sepupunya itu sehingga berani bertindak di luar batas. Ketika Ansel melumat bibirnya, dia langsung mendorong pria itu dengan sekuat tenaga. Matanya membelalak tak percaya."Ansel! Apa yang kamu lakukan?" hardiknya marah.Dia mengusap bibirnya dengan mata berkaca-kaca. Merasa telah mengkhianati suaminya meskipun bukan dia yang memulainya. Dia memang sudah tahu Ansel memiliki perasaan lebih padanya, apalagi diperjelas dengan pernyataan pria itu di restoran. Tapi bukan berarti harus bertindak sejauh itu."Ma-maaf. Aku...aku nggak sengaja," ucap Ansel dengan wajah memerah dan terlihat shock dengan perbuatannya sendiri.Tanpa bisa dicegah, air mata Ajeng mengalir. Selama ini, dia tidak pernah mengkhianati suaminya. Baik ketika masih bersama Dimas maupun setelah menikah dengan Evan."Kak, tolong dengerin aku. Aku terbawa suasana. Aku benar-benar minta maaf," mohon Ansel sambil memegang tangan Ajeng, tapi langsung ditepis dengan kasar.Dengan cepat Aje
"Ayah sama ibu beneran nggak apa-apa ditinggal lagi?" tanya Evan begitu mereka memasuki kota Batu."Nggak apa-apa lah. Biarin mereka istirahat. Pasti capek habis naik pesawat," jawab Sander dengan santai.Hujan turun dengan lebatnya ketika mereka meninggalkan rumah orangtua Sander dan Ajeng. Dan sekarang masih belum ada tanda-tanda akan reda."Menurut kamu, kenapa Ansel membiarkan Rita bertahan di kantor itu? Kenapa harus nunggu Ajeng membongkar kebusukannya? Aku rasa nggak mungkin dia nggak tahu apa-apa. Laporan di lapangan dan laporan di kantor harus sama. Dan buktinya udah pasti diarsip biar nanti nggak dicurigai sama tim audit," tanya Evan.Sejujurnya dia merasa ada yang janggal. Memangnya perusahaan Om Dennis belum pernah diaudit, sehingga kecurangan yang dilakukan oleh Rita tidak pernah terungkap selama bertahun-tahun lamanya?Kenapa tidak ada satupun orang yang berani pada Rita? Sedangkan statusnya hanyalah seorang admin. Status ayah Rita tidak bisa menentukan wewenang Rita di
Evan tahu, Ajeng pandai menyembunyikan emosinya. Tapi dia bisa merasakan bahwa istrinya menyimpan sesuatu. Hal yang lebih dari sekedar kangen pada sang ayah yang kini terlihat sehat dan bisa tertawa dengan bebas bersama putri bungsunya."Jeng, kamu ini gimana sih? Suami kamu bajunya basah begini, kok malah nggak diurus," tegur Sekar dengan kening berkerut."Eh, nggak apa-apa kok, Bu. Biarkan Ajeng melepaskan rindu pada ayahnya," sahut Evan sambil tersenyum tak enak.Sekar berdecak. Wanita itu menekan punggungnya agar berdiri, menyuruhnya untuk mendekat pada Ajeng."Sana, anterin suami kamu ke kamar dulu terus mandi. Nanti bisa masuk angin dan kena gejala flu," perintah Sekar dengan tegas."Aku masih kangen sama ayah, Bu," rengek Ajeng."Biarkan ayahmu beristirahat dulu. Kalian juga. Jangan sampai sakit. Bukannya kalian harus segera kembali ke Jakarta?"Ajeng tidak bisa membantah ibunya. Satu hal yang Evan baru tahu dari istrinya. Meskipun wanita itu terlihat membantah orangtua, tapi i