Ajeng dan perempuan yang dipanggil Rita itu langsung menoleh ke arah seorang pria yang tadi diajak ngobrol oleh Ansel, juga yang sering datang ke rumah untuk membersihkan rumput di halaman rumah Om Dennis. Dialah Pak Suroto. Seorang pria paruh baya yang begitu rajin dalam bekerja sekaligus setia pada Om Dennis dan Ansel. Ajeng yang biasanya kurang nyaman dengan kehadiran laki-laki asing, merasa nyaman dengan laki-laki itu."Kamu nggak usah ikut campur deh, Pak! Kenapa kamu malah mengijinkan dia untuk sembarangan masuk ke kebun ini? Harusnya kamu ijin aku dulu! Lancang sekali!" bentak Rita.Ajeng menatap perempuan itu dengan sorot mata tak suka. Sudah wajah pas-pasan, attitude jelek, tidak sopan pada orang tua pula."Sudah, sudah! Kamu seharusnya fokus pada pekerjaanmu di kantor. Jangan sampai Mas Ansel tahu kelakuan kamu. Di sini itu banyak CCTV hidup," tegur Pak Suroto."Awas aja kalau dia sampai tahu. Kamu yang paling awal kena akibatnya," ancam Rita sambil menunjuk wajah Pak Surot
"Aku lebih setuju kamu invest di properti aja, Mas. Ada kawasan apartemen kan di sini? Kalau invest di mall, aku kurang setuju. Habis pandemi kemarin, banyak mall yang tutup karena sepi pengunjung. Nggak menutup kemungkinan akan terjadi lagi jika ekonomi kembali lesu," kata Evan di ruang tamu kantor kecil milik Ansel."Iya juga ya. Aku pikir kesempatan yang bagus aku investasikan uang dari kamu itu di mall baru dekat salah satu kampus." Sander menyetujui.Mereka membahas tentang sisa uang dari Evan setelah Mark selesai operasi dan menjalani perawatan pasca operasi. "Mending apartemen. Sama supermarket juga bagus. Bangun aja di sekitar kampus, pasti rame. Kasih harga agak miring dikit. Banyakin promosi. Jaman sekarang, orang lebih suka datang ke tempat yang banyak promo meskipun harganya nggak beda jauh sama harga di toko-toko biasa. Selisih 500 perak aja orang akan menganggap harganya lebih murah."Sander manggut-manggut. Evan tentu saja senang memberikan nasehat tentang bisnis pada
Evan langsung berdiri ketika melihat perempuan itu tiba-tiba keluar dari kantor dengan kaki yang menghentak, seolah-olah hendak mengguncang tempat mereka berpijak."Eh, mau ke mana?" tanya Sander sambil mengangkat cangkir kopi dan hendak menghirupnya."Ada yang nggak beres sama perempuan itu," jawab Evan singkat.Dia bisa melihat Ajeng yang terus memeluk lengan Ansel dengan manja sambil berjalan memasuki kebun, sementara Ansel terlihat tegang. Dia tidak mungkin salah mengenali gestur itu. Bukan karena takut dipergoki oleh perempuan palsu itu, melainkan karena memiliki perasaan lebih pada Ajeng. Bisa-bisanya sang istri tidak menyadarinya.Ketika Ansel menjauhi Ajeng dan berjalan lebih jauh ke dalam kebun, perempuan yang menghidangkan kopi tadi langsung mendekati Ajeng dan tanpa basa-basi menjambak rambut istrinya."Aduh! Eh! Apa-apaan ini?"Evan benar-benar terhenyak dan refleks berlari mendekati mereka."Dasar pelacur! Jadi kamu lagi hamil anaknya Mas Ansel dan udah tinggal serumah s
Ajeng meminum jus apel dengan wajah cemberut. Sejak tadi, Evan tidak berhenti memarahinya karena tingkah brutalnya terhadap Rita. Padahal dia hanya ingin memberi wanita itu pelajaran karena telah dholim pada karyawan lain selama bertahun-tahun."Tapi gara-gara aku, belangnya Rita jadi ketahuan kan, Mas. Ansel jadi tahu kalau ada ulat di perusahaannya," protesnya masih dengan wajah cemberut.Evan menghela nafas panjang. Sepanjang pernikahan mereka, baru kali ini Evan marah. Bahkan meskipun dulu Evan pura-pura bersikap dingin padanya, lelaki itu tidak pernah sampai semenakutkan ini."Kenapa nggak dibicarakan dulu sama kami? Kalau kamu ngomong dulu, kan kita bisa mencari cara yang lebih baik. Nggak perlu pakai cara brutal kayak gitu. Kamu itu lagi hamil, harus hati-hati," kata Evan dengan lembut.Kedua sudut bibir Ajeng melengkung ke bawah. Matanya berkaca-kaca. Sejak hamil, dia memang sensitif. Emosinya sering meledak-ledak."Tapi aku bawaannya kepingin melabrak orang. Aku melihat wajah
Mereka sudah hampir sampai di kebun milik Om Dennis, tapi Evan masih saja tidak mau menjawab pertanyaan Ajeng."Apa salahnya sih kalau aku menjenguk Ella? Bagaimanapun juga, dia itu pernah menjadi sahabatku selama bertahun-tahun," protes Ajeng.Evan memarkirkan mobil milik Ansel tak jauh dari kantor dan masih tetap diam."Mas! Jawab aja kenapa sih? Aku juga kepingin tahu bayinya gimana. Kamu bilang Tante Puspa dipenjara. Ella sama siapa? Memangnya Rudi mau merawat dia?"Pria itu menghela nafas panjang dan menyugar rambutnya ke belakang. Terlihat semakin tampan di mata Ajeng. Dia mengerjap sekali. Mimpi apa dia bisa dicintai ugal-ugalan oleh pria seganteng ini? Padahal Dimas dulu tidak terlalu memperhatikan dia."Sayang, dia itu udah berusaha untuk membunuh kamu dan menjebak kamu biar kamu dinodai loh. Aku heran kenapa kamu masih mau menemui dia? Dia itu nggak tulus berteman sama kamu." Evan menghadap ke arahnya dan menatapnya dengan lekat.Ajeng langsung tersipu dan jantungnya berdegu
"Apaan sih, kak? Aku cuma mau ngasih Ansel support kok," kata Ajeng dengan kening mengernyit.Tiba-tiba Sander langsung menjauhkan wajahnya sambil mengerutkan hidung. Seperti jijik. "Mulut kamu kok bau? Kayak bau kecebong.""Uhuk! Uhuk!" Evan yang tersedak teh langsung menarik perhatian mereka.Mata Sander menyipit, lalu mendengkus. "Kalian ini memang nggak tahu tempat. Kirain langsung keluar dari mobil begitu aku datang, eh malah lanjut."Wajah Ajeng dan Evan langsung memerah. Apalagi Ajeng, langsung menutup mulutnya dengan rapat. Seharusnya tadi dia minum teh dulu."Udah, sekarang ayo ke bandara. Ayah sama ibu sebentar lagi sampai," kata Sander.Mata Ajeng membelalak. "Eh? Serius? Mereka kok nggak ngasih kabar dulu?""Nomormu kan ganti. Ibu yang ngabarin aku. Udah, siapa yang mau ikut?"Evan langsung berdiri. "Aku aja, Mas. Ajeng biar di sini. Kasihan dia nanti capek." Pria itu menjulurkan sebelah tangan ke arah Ajeng. "Sini sayang."Ajeng menurut. Dia mendekati suaminya dan ingin s
Pesanan datang ketika Ansel menghampirinya. Entah apa yang dibicarakan oleh pria itu dengan teman-temannya hingga sampai selama ini. Ajeng meringis ketika melihat banyaknya piring yang ditata di atas meja. Ada gurame goreng, nila bakar, tumis pakcoy, cah brokoli, udang crispy saos Bangkok, dan sup ikan nila. Belum lagi dua piring nasi putih, dua cobek sambal terasi, dan tidak lupa dua gelas jeruk hangat."Maaf ya aku pesan sebanyak ini. Aku kepingin makan masakan kayak gini. Suasananya mendukung banget." Ajeng lupa kalau dia makan bukan dengan Evan. Membuatnya tak enak karena pasti menipiskan dompet Ansel."Loh, nggak apa-apa kak. Aku malah seneng kalau kamu makan yang banyak. Ikan kan bagus untuk ibu hamil," jawab Ansel sambil tersenyum.Selama sesaat, Ajeng merasa bahwa dia sedang bersama dengan Ansel yang dulu. Yang selalu bisa membuatnya tertawa. Tapi setelah mendengar pengakuan pria itu secara tak sengaja tadi, dia kembali merasa canggung."Jadi, gimana masalah di kantor kamu ta
Ajeng tidak tahu apa yang merasuki adik sepupunya itu sehingga berani bertindak di luar batas. Ketika Ansel melumat bibirnya, dia langsung mendorong pria itu dengan sekuat tenaga. Matanya membelalak tak percaya."Ansel! Apa yang kamu lakukan?" hardiknya marah.Dia mengusap bibirnya dengan mata berkaca-kaca. Merasa telah mengkhianati suaminya meskipun bukan dia yang memulainya. Dia memang sudah tahu Ansel memiliki perasaan lebih padanya, apalagi diperjelas dengan pernyataan pria itu di restoran. Tapi bukan berarti harus bertindak sejauh itu."Ma-maaf. Aku...aku nggak sengaja," ucap Ansel dengan wajah memerah dan terlihat shock dengan perbuatannya sendiri.Tanpa bisa dicegah, air mata Ajeng mengalir. Selama ini, dia tidak pernah mengkhianati suaminya. Baik ketika masih bersama Dimas maupun setelah menikah dengan Evan."Kak, tolong dengerin aku. Aku terbawa suasana. Aku benar-benar minta maaf," mohon Ansel sambil memegang tangan Ajeng, tapi langsung ditepis dengan kasar.Dengan cepat Aje
H-1 sebelum pesta dilaksanakan di sebuah kapal pesiar mewah, Siska mengetuk pintu kamar Ajeng untuk menanyakan tentang kepastian acara besok. Dia lupa pesta diadakan jam berapa, karena betapa banyaknya pekerjaan di kantor yang harus dia selesaikan sebelum akhirnya naik ke kapal pesiar demi menghadiri pesta pernikahan sang sahabat."Jeng, kamu lagi sibuk nggak?" teriaknya setelah mengetuk pintu beberapa kali.Dia tadi melihat Evan bersama Dana sedang bercengkerama dengan bos besar dan nyonya besar Braun, jadi dia pikir Ajeng mungkin sedang berada di kamar untuk mempersiapkan segala sesuatu."Jeng?"Tidak ada jawaban. Dia mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci."Aku buka ya. Maaf kalau aku mengganggu," ucapnya sambil tersenyum. Tidak sabar untuk bergosip ria dengan Ajeng. "Besok pestanya jam bera...pa..."Siska langsung menganga dengan mata membelalak ketika melihat tubuh yang hanya dibalut dengan handuk di bagian bawah pinggul. Dia terengah kaget dan hal itu membuat sang pemilik
Siska menatap mantan calon mertuanya tak percaya sekaligus geram. Padahal selama dia menjalin hubungan dengan Bayu, wanita itu begitu baik padanya. "Apa selama ini Tante hanya berpura-pura baik di depan saya? Kalau memang Bayu sudah bertunangan sejak kuliah, kenapa Tante menerima saya sebagai calon menantu?" tuntutnya.Ibu Bayu langsung gelagapan ketika Meliana mengerutkan kening, lalu menatap wanita itu curiga."Eh, ng-nggak kok Mel. Nggak usah percaya sama dia. Mama nggak kenal siapa dia. Bayu selalu setia sama kamu kok," kata ibu Bayu cepat-cepat.Hati Siska sakit sekali mendengarnya. Seandainya saja pernikahan itu sudah terlanjur terjadi, apakah dia akan ditindas oleh wanita itu? Dia jadi teringat dengan nasib Ajeng ketika menikah dengan Dimas. "Ck, ternyata memang bener ya. Orang jahat itu manipulatif dan pinter berpura-pura. Untung saya nggak jadi menikah sama Bayu. Nggak kebayang saya menjadi perempuan yang dibodohi oleh suami dan keluarganya."Siska beralih menatap Meliana.
Siska terus menangis entah sudah berapa lama. Dadanya sesak sekali dan rasanya dia ingin menghilang dari dunia ini. Cintanya pada Bayu begitu besar. Dia sudah menyerahkan seluruh hatinya pada pria itu karena berpikir bahwa Bayu adalah belahan jiwanya."Kenapa pria yang terlihat baik dan setia seperti Bayu ternyata bajingan?" tanyanya setelah tangisnya reda, namun masih sesenggukan."Biasanya kan memang begitu," jawab Raka dengan santai.Siska langsung melotot pada pria yang telah bertahun-tahun menjadi rekan kerjanya menjadi orang kepercayaan Evan. Raka langsung mengangkat kedua tangannya."Biasanya memang begitu. Pria yang terlihat kalem dan nggak neko-neko tuh justru menyimpan banyak rahasia. Coba lihat Mr. Evan. Dia itu dingin, kelihatan nggak peduli sama perempuan. Eh tahu-tahu istrinya dua kan? Tapi kasusnya kan beda. Diam-diam dia bucin akut sama Ajeng."Siska menyeka air mata di wajahnya, tak peduli dengan make-up yang ikut luntur."Rasanya sakit banget, Ka. Kenapa aku nggak ja
"Semua dokumen sudah lengkap?""Sudah, Mr.," jawab Siska dengan antusias. Jantungnya berdegup kencang karena sebentar lagi akan bertemu dengan tunangannya. Kesibukannya sebagai sekretaris CEO di perusahaan multinasional membuatnya begitu sibuk dan sering pulang malam, sehingga waktu untuk bertemu dengan tunangannya sangat sedikit."Semangat banget yang mau ketemu tunangan," goda Raka ketika mereka sampai di lobi perusahaan.Siska hanya tersenyum, namun debar dalam dadanya semakin kencang. Padahal mereka sebentar lagi menikah, tapi Siska merasa seperti baru saja jadian dengan sang tunangan.Mereka masuk ke dalam mobil dinas khusus CEO yang disediakan oleh perusahaan. Mobil mewah keluaran terbaru yang anti peluru, karena keselamatan Evan Braun sangatlah penting."Gimana liburannya di Malang, Pak?" tanya Raka membuka percakapan sambil fokus melihat jalanan di depannya."Menyenangkan. Istri saya pintar memilih tempat liburan yang bagus," jawab Evan sambil tersenyum.Siska yang duduk di s
Dari sekian banyak orang yang mengenalnya, kenapa justru wanita itu yang datang menjenguknya? Bahkan orangtuanya sudah tidak peduli lagi, apalagi kekasihnya."Maaf ya baru bisa menjenguk kamu. Nih, aku bawain makanan kesukaan kamu," kata Ajeng sambil tersenyum."Kenapa?"Wanita itu mendongak. Gerakan tangannya meletakkan dua kotak makanan dan satu gelas minuman terhenti."Aku pengen bawain kamu makanan yang enak. Nggak aku kasih racun kok, udah diperiksa juga sama petugas," jawab Ajeng."Kenapa kamu mau repot-repot datang?" jelasnya.Ajeng menghela nafas panjang. Wanita itu terlihat lebih bercahaya dan tetap awet muda, persis seperti ketika dia pertama kali dikenalkan pada wanita itu oleh Ella dulu.Hanya Ajeng yang tidak pernah mengusiknya, meskipun tahu bahwa dia membawa pengaruh buruk pada sahabat wanita itu. Jadi ketika Ella ikut terjerumus ke dalam sekte sesat demi bisa menghancurkan Ajeng, Johan tidak mendukung Ella sama sekali.Baginya, Ajeng itu seperti kertas putih yang sayan
"Kamu juga harus mati, Johan. Enak saja kamu masih hidup dengan tenang, sedangkan aku harus menjadi bulan-bulanan mereka."Johan membelalak ketika melihat Nadia mendekatinya dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali dia melihat wanita itu. Rambut panjang Nadia acak-acakan. Perut wanita itu berlubang dan mengeluarkan banyak darah. Lalu di tangan kanan wanita itu....Janin merah yang tiba-tiba saja melihat ke arahnya dengan mata melotot. Bibir janin itu tertarik membentuk senyuman dengan gigi-gigi runcing yang terlihat tajam."Ayah."Johan menjerit ketakutan. Dia langsung berlari dengan sekuat tenaga. Nadia sudah mati, dia yakin itu. Dia sendiri yang mengatakan pada Ansel di mana keberadaan Nadia sebelum kabur ke Australia. Belum jauh dia berlari, kakinya tersandung. Membuatnya jatuh dengan keras. Dua orang berjubah hitam dan bertudung menarik tangannya dan memaksanya untuk berdiri. "Nggak! Nggak lepasin aku! Aku udah bukan bagian dari kalian lagi!""Siapapun yang menjadi pengkhi
Pesta pernikahan Ajeng dan Evan diadakan di kapal pesiar yang mewah. Seluruh karyawan Deca di kantor pusat dan karyawan Ajeng di Otten Supermarket turut hadir dalam pesta.Banyak yang takjub dengan pesta mereka, apalagi Evan benar-benar maksimal dalam menjamu tamu. Mereka semua menikmati makanan mewah dan mahal yang biasanya hanya bisa dinikmati oleh kalangan atas."Ternyata Mr. Evan lebih bahagia bersama Ajeng ya," ucap salah satu karyawan Deca yang dulu satu divisi dengan Ajeng."Iya bener. Waktu sama Bu Ella dulu, dia nggak pernah tersenyum. Kaku banget kayak kanebo kering. Pestanya juga biasa aja nggak semewah ini," sahut yang lain."Pantesan Bu Marta langsung dipecat dan dijebloskan ke penjara begitu mencelakai Ajeng. Secinta itu orangnya sama Ajeng. Lihat aja deh, senyumnya nggak pernah luntur tuh. Benar-benar bucin akut.""Aku sih mendukung Ajeng. Dia emang baik orangnya. Bahkan meskipun sekarang udah menjadi istri konglomerat, dia nggak pernah lupa sama kita-kita.""Eh iya ben
"Sudah tahu punya anak bayi, kenapa malah nggak pulang-pulang? Lihat nih, Dana sampai nangis ngejer kayak gini. Mbok ya diajak kalau jalan-jalan. Benar-benar nggak kasihan sama anak," omel Sekar begitu Ajeng dan Evan baru pulang setelah Maghrib.Ajeng langsung meraih Dana yang menangis sesenggukan sampai suaranya serak dan buru-buru menepuk-nepuk punggung bayi itu."Cup...cup...maaf ya mama baru pulang. Dana nyariin mama ya?" ucapnya dengan wajah bersalah.Dia langsung duduk di depan televisi dan menyusui bayi itu yang langsung diam. Perasaan bersalah kembali menyerangnya. Seharusnya mereka mengajak Dana. Siapa yang tahu bahwa anak itu mencari-carinya, padahal tadi Dana kelihatan senang ketika diajak oleh neneknya."Kalian ini kalau masih punya anak bayi, jangan sering ditinggal. Dia masih butuh perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Bayi itu peka. Jangan sampai dia merasa diabaikan," omel Sekar lagi.Kalau biasanya Ajeng menjawab, maka kali ini dia hanya diam saja. Dia jarang m
"Sudah?" Evan langsung berdiri begitu melihat Ajeng keluar dari ruang kunjungan. "Kenapa kamu kelihatan sedih?"Ajeng hanya tersenyum tipis. Mendadak dia merasa energinya tersedot habis setelah melihat kondisi Ansel. Bagaimanapun juga, pria itu adalah adik sepupunya. Dulu, sebelum dia mengenal Ella, dia dan Ansel sudah seperti adik kakak. Mereka begitu akrab dan hangat, sampai-sampai Ajeng tidak sadar bahwa timbul rasa lain di hati Ansel.Secara agama, memang Ansel itu bukanlah mahramnya. Jadi ketika pria itu menaruh hati padanya, tidak ada yang salah, karena memang mereka halal untuk menikah. Tapi tetap saja, Ajeng merasa itu saru (tidak pantas)."Kita ke Selecta ya, Mas. Aku pengen ngadem. Pikiranku suntuk banget," pinta Ajeng sambil menggandeng lengan suaminya.Dana dititipkan ke kakek dan neneknya, dan tentu saja Sekar sangat senang sekali. Apalagi Dana tipe bayi yang tidak gampang rewel. Kecuali jika anak itu tidak suka pada seseorang yang juga tidak menyukainya. "Siap. Mas jug