Evan seperti kesetanan ketika sampai di depan rumah yang dia belikan untuk Ajeng."Ajeng! Sayang, kamu di mana?"Seorang polisi menghalangi Evan yang hendak masuk ke dalam rumah yang sudah hancur dan beberapa bagian gosong. "Maaf, Pak. Petugas sedang mencari korban. Jangan mengganggu pekerjaan mereka.""Aku mau mencari istriku! Punya hak apa kamu melarangku mencari istriku sendiri?" Evan berteriak.Dia menghentakkan cekalan polisi itu dan berhasil masuk ke TKP yang sudah diberi garis polisi, namun seseorang kembali mencekalnya."Lepaskan aku, brengsek! Aku harus mencari istriku!""Bos! Jangan gegabah! Biarkan petugas itu yang mencari. Bi Marni sudah ditemukan dan dalam kondisi kritis. Jangan membahayakan diri anda sendiri!" sentak Raka sambil menarik Evan.Dia tetap berontak. Tidak ada yang boleh menghalanginya mencari istrinya sendiri. Dia tidak bisa menunggu para petugas kepolisian mencari korban di bawah puing-puing bangunan. Bisa saja mereka melewati tempat di mana Ajeng berada.
"Anda yang serius kalau bicara. Saya tanya sekali lagi. Istri saya pergi bersama siapa?" Tanpa sadar Evan membentak, membuat wanita itu terkejut dan melangkah mundur."Pak, tolong jangan membentak saksi," tegur polisi di sebelahnya."Van, dia sudah memberitahu kamu informasi yang sangat berharga. Jaga sikap kamu." Ganti Dahlia yang menegur, lalu menatap wanita itu dengan senyum minta maaf. "Laki-laki itu masih muda? Sepupu menantu saya berkunjung ke sini soalnya."Wanita itu sedikit melembut ketika menatap Dahlia. "Ah, orangnya tinggi besar seperti mas yang ini. Wajahnya agak-agak bule juga. Sepertinya blasteran. Terus yang satu lagi, orang Indonesia kok. Cuma kulitnya bersih dan rambutnya lurus disisir ke belakang. Mereka membawa dua koper seingat saya.""Bos, biar saya cek CCTV," pamit Raka sebelum pergi meninggalkan kerumunan menuju ke pos satpam dengan berjalan kaki.Tim pencari keluar satu persatu dari rumah Ajeng yang sebagian besar sudah hancur dengan wajah lelah. Mereka mengha
Susno menatap Puspa yang kini memakai baju oren dengan kedua tangan diborgol. Tidak ada rasa penyesalan sama sekali di sorot mata wanita itu. Malah, Puspa menatapnya dengan sorot penuh amarah dan kebencian."Kenapa kamu nekat, Ma?" tanya Susno kecewa.Istrinya mendengkus sinis. "Kenapa kamu masih saja terobsesi dengan wanita itu, Pa? Kenapa kamu tega membiarkan anak kita berubah karena obsesi gilamu itu?"Susno terdiam. Dia memang salah. Semua yang terjadi pada Ajeng bermuara darinya. Seandainya dia bisa lebih berhati-hati menyimpan rahasia itu."Ternyata kamu nggak berubah. Aku kira hatimu setidaknya akan terketuk setelah mengetahui skandal anakmu dan usahaku untuk menjebak Ajeng. Tapi aku salah. Ternyata kamu benar-benar nggak peduli sama aku dan anak kita."Kedua mata wanita itu berkaca-kaca. Seharusnya Susno tersentuh, tapi hatinya mengeras. Dia masih saja meyakini bahwa apa yang dia lakukan adalah wajar."Sejak awal aku sudah bilang padamu, aku sama sekali nggak bisa mencintai ka
Rudi menatap wanita di hadapannya dengan wajah datar. Sejak datang ke rumah sakit ini, Ella terus saja mengeluh perutnya sakit. Tapi, itu sama sekali tidak menarik simpati Rudi."Bahkan di saat-saat seperti ini, kamu masih saja kepikiran sama balas dendam kamu. Terbuat dari apa hati kamu?" tanya Rudi heran.Sebentar lagi, bayi di dalam kandungan Ella harus segera dikeluarkan. Kemoterapi yang dilakukan oleh wanita itu ternyata mempengaruhi kondisi janin."Aku belum puas sebelum melihat Ajeng hancur, begitu juga dengan papaku," ucap Ella di sela-sela rintihannya.Rudi menghela nafas panjang. Tidak habis pikir, kenapa dulu dia bisa tergila-gila dengan wanita itu? Ella dulu adalah gadis yang ceria dan baik, meskipun sedikit menyebalkan karena kemauannya harus selalu dituruti.Tapi sikap perempuan itu berubah setelah bertemu dengan Ajeng. Dulu, ketika keluarga Rudi masih kaya, dia bisa menyuruh orang untuk mencari tahu siapa sebenarnya Ajeng, karena Ella sangat membenci gadis itu. Namun, k
"Jangan ngelamun terus. Nggak baik buat ibu hamil."Ajeng mengerjap dan sedikit terlonjak. Mengelus dada karena jantungnya seperti mau copot."Mita! Ngagetin tahu!" gerutu Ajeng dengan wajah cemberut.Si pelaku malah tertawa terbahak-bahak, membuat Ajeng menatap wanita itu sinis."Ngapain ke sini? Mau caper ke Ansel? Dia lagi sibuk.""Yeee, siapa juga yang caper ke brondong kayak dia. Enak aja. Aku kan sering ke sini buat nengokin kamu," jawab Mita tak terima.Mita adalah sahabat Ajeng sejak kecil. Mereka harus terpisah karena Ajeng memilih untuk berkuliah di Jakarta, sedangkan Mita tetap setia menuntut ilmu di kota Malang."Wajahnya kok mendung gitu? Lagi kangen sama yang di sana ya? Jadi makin penasaran. Secakep apa sih suami kamu itu? Lebih cakep mana dari Dimas?" Ajeng berdecak dan berdiri dengan hati-hati meninggalkan Mita menuju ke dapur rumah Ansel. Mita memang sudah tahu mengenai perceraiannya dengan Dimas dan pernikahan keduanya yang masih rahasia. Yang orang-orang sekitar t
Ajeng merasa risih ketika Nayla terus mengamati perutnya yang tertutup dress. Memang tonjolannya sedikit terlihat, jadi gampang bagi orang untuk menyimpulkan bahwa dia sedang hamil karena tubuhnya langsing.Wajah Nayla yang awalnya terkejut, kini menjadi muram. Ajeng hanya diam saja. Tidak ada niat untuk sekedar menghibur. Mereka dulu tidak seakrab itu. Malah, hubungan mereka termasuk buruk karena Nayla selalu mencari gara-gara dengannya."Aku benar-benar minta maaf. Aku menyesal udah menuduh kamu yang macam-macam dulu. Sebenarnya...aku dulu pernah memergoki Kak Dimas sama perempuan lain di belakang kamu." Nayla langsung melengos. Terlihat sekali merasa bersalah.Seharusnya Ajeng sudah tidak terkejut lagi. Tapi nyatanya, dia tetap saja terkesiap. "Sejak kapan?"Nayla menunduk. "Sejak lama. Lebih tepatnya, setelah 3 bulan kalian menikah."Ajeng menutup mulutnya dengan tangan. Bercerai dari mantan suami tidaklah semudah itu bisa melupakannya dalam waktu singkat. Ada luka dalam yang memb
"Kamu yakin nggak perlu ditemani? Lagian kenapa sih kamu meladeni mantan adik iparmu itu?" tanya Mita dengan wajah khawatir.Ajeng menggeleng. "Aku nggak apa-apa kok. Masalah soal Dimas udah nggak berarti apa-apa buat aku. Ya udahlah, mungkin memang udah jalanku harus menikah sama dia dulu."Sebenarnya bukan itu yang membuat Ajeng diam dari tadi. Bukan tentang apakah Dimas menularkan penyakit padanya karena ternyata sering bergonta-ganti pasangan. Meskipun sebenarnya itu juga mengganggu pikirannya.Tapi yang lebih membuatnya gelisah adalah berita mengenai rumahnya yang dibom oleh seseorang. Siapa? Siapa yang begitu dendam padanya sehingga ingin melenyapkan nyawanya? Kalau saja dia tidak memaksa Ansel untuk pulang ke Malang, mungkin mereka hanya tinggal nama saja.Memikirkan hal itu membuatnya bergidik ngeri. Jantungnya berdebar gelisah. Siapa yang ingin membunuhnya? "Jeng? Kamu kelihatan pucat. Kita ke rumah sakit ya."Ia buru-buru menggeleng. "Aku kepingin istirahat aja. Makasih ya
Sudah dua jam berlalu semenjak Sander meninju wajah Evan dan Ajeng berteriak histeris. Situasi benar-benar kacau. Om Dennis bahkan sampai datang untuk melerai, padahal biasanya pria itu tak acuh dengan sekitarnya."Kenapa harus mukul segala sih? Padahal bisa dibicarakan secara baik-baik," kata Ajeng dengan ketus sambil mengompres lebam-lebam di wajah suaminya dengan air hangat.Sander hanya mendengkus sebelum meminum kopi yang tadi dibuatkan oleh pembantu Om Dennis."Kamu...jadi kamu...belum menceraikan aku?"Pertanyaan Ajeng membuat semua lelaki yang ada di ruang tamu terdiam sambil menoleh ke arahnya."Maksud kamu? Kenapa aku harus menceraikan kamu?" tanya Evan bingung.Ajeng menurunkan handuk kecil yang tadi dia tempelkan ke wajah Evan. Dia menunduk, merasa gelisah. "Kamu bilang kalau Ella sudah sembuh, otomatis kita akan bercerai.""Ya Tuhan, kamu nggak dengerin penjelasan aku tadi? Kita menikah resmi secara hukum dan agama. Bahkan kita mempunyai buku nikah. Aku juga sudah resmi b
H-1 sebelum pesta dilaksanakan di sebuah kapal pesiar mewah, Siska mengetuk pintu kamar Ajeng untuk menanyakan tentang kepastian acara besok. Dia lupa pesta diadakan jam berapa, karena betapa banyaknya pekerjaan di kantor yang harus dia selesaikan sebelum akhirnya naik ke kapal pesiar demi menghadiri pesta pernikahan sang sahabat."Jeng, kamu lagi sibuk nggak?" teriaknya setelah mengetuk pintu beberapa kali.Dia tadi melihat Evan bersama Dana sedang bercengkerama dengan bos besar dan nyonya besar Braun, jadi dia pikir Ajeng mungkin sedang berada di kamar untuk mempersiapkan segala sesuatu."Jeng?"Tidak ada jawaban. Dia mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci."Aku buka ya. Maaf kalau aku mengganggu," ucapnya sambil tersenyum. Tidak sabar untuk bergosip ria dengan Ajeng. "Besok pestanya jam bera...pa..."Siska langsung menganga dengan mata membelalak ketika melihat tubuh yang hanya dibalut dengan handuk di bagian bawah pinggul. Dia terengah kaget dan hal itu membuat sang pemilik
Siska menatap mantan calon mertuanya tak percaya sekaligus geram. Padahal selama dia menjalin hubungan dengan Bayu, wanita itu begitu baik padanya. "Apa selama ini Tante hanya berpura-pura baik di depan saya? Kalau memang Bayu sudah bertunangan sejak kuliah, kenapa Tante menerima saya sebagai calon menantu?" tuntutnya.Ibu Bayu langsung gelagapan ketika Meliana mengerutkan kening, lalu menatap wanita itu curiga."Eh, ng-nggak kok Mel. Nggak usah percaya sama dia. Mama nggak kenal siapa dia. Bayu selalu setia sama kamu kok," kata ibu Bayu cepat-cepat.Hati Siska sakit sekali mendengarnya. Seandainya saja pernikahan itu sudah terlanjur terjadi, apakah dia akan ditindas oleh wanita itu? Dia jadi teringat dengan nasib Ajeng ketika menikah dengan Dimas. "Ck, ternyata memang bener ya. Orang jahat itu manipulatif dan pinter berpura-pura. Untung saya nggak jadi menikah sama Bayu. Nggak kebayang saya menjadi perempuan yang dibodohi oleh suami dan keluarganya."Siska beralih menatap Meliana.
Siska terus menangis entah sudah berapa lama. Dadanya sesak sekali dan rasanya dia ingin menghilang dari dunia ini. Cintanya pada Bayu begitu besar. Dia sudah menyerahkan seluruh hatinya pada pria itu karena berpikir bahwa Bayu adalah belahan jiwanya."Kenapa pria yang terlihat baik dan setia seperti Bayu ternyata bajingan?" tanyanya setelah tangisnya reda, namun masih sesenggukan."Biasanya kan memang begitu," jawab Raka dengan santai.Siska langsung melotot pada pria yang telah bertahun-tahun menjadi rekan kerjanya menjadi orang kepercayaan Evan. Raka langsung mengangkat kedua tangannya."Biasanya memang begitu. Pria yang terlihat kalem dan nggak neko-neko tuh justru menyimpan banyak rahasia. Coba lihat Mr. Evan. Dia itu dingin, kelihatan nggak peduli sama perempuan. Eh tahu-tahu istrinya dua kan? Tapi kasusnya kan beda. Diam-diam dia bucin akut sama Ajeng."Siska menyeka air mata di wajahnya, tak peduli dengan make-up yang ikut luntur."Rasanya sakit banget, Ka. Kenapa aku nggak ja
"Semua dokumen sudah lengkap?""Sudah, Mr.," jawab Siska dengan antusias. Jantungnya berdegup kencang karena sebentar lagi akan bertemu dengan tunangannya. Kesibukannya sebagai sekretaris CEO di perusahaan multinasional membuatnya begitu sibuk dan sering pulang malam, sehingga waktu untuk bertemu dengan tunangannya sangat sedikit."Semangat banget yang mau ketemu tunangan," goda Raka ketika mereka sampai di lobi perusahaan.Siska hanya tersenyum, namun debar dalam dadanya semakin kencang. Padahal mereka sebentar lagi menikah, tapi Siska merasa seperti baru saja jadian dengan sang tunangan.Mereka masuk ke dalam mobil dinas khusus CEO yang disediakan oleh perusahaan. Mobil mewah keluaran terbaru yang anti peluru, karena keselamatan Evan Braun sangatlah penting."Gimana liburannya di Malang, Pak?" tanya Raka membuka percakapan sambil fokus melihat jalanan di depannya."Menyenangkan. Istri saya pintar memilih tempat liburan yang bagus," jawab Evan sambil tersenyum.Siska yang duduk di s
Dari sekian banyak orang yang mengenalnya, kenapa justru wanita itu yang datang menjenguknya? Bahkan orangtuanya sudah tidak peduli lagi, apalagi kekasihnya."Maaf ya baru bisa menjenguk kamu. Nih, aku bawain makanan kesukaan kamu," kata Ajeng sambil tersenyum."Kenapa?"Wanita itu mendongak. Gerakan tangannya meletakkan dua kotak makanan dan satu gelas minuman terhenti."Aku pengen bawain kamu makanan yang enak. Nggak aku kasih racun kok, udah diperiksa juga sama petugas," jawab Ajeng."Kenapa kamu mau repot-repot datang?" jelasnya.Ajeng menghela nafas panjang. Wanita itu terlihat lebih bercahaya dan tetap awet muda, persis seperti ketika dia pertama kali dikenalkan pada wanita itu oleh Ella dulu.Hanya Ajeng yang tidak pernah mengusiknya, meskipun tahu bahwa dia membawa pengaruh buruk pada sahabat wanita itu. Jadi ketika Ella ikut terjerumus ke dalam sekte sesat demi bisa menghancurkan Ajeng, Johan tidak mendukung Ella sama sekali.Baginya, Ajeng itu seperti kertas putih yang sayan
"Kamu juga harus mati, Johan. Enak saja kamu masih hidup dengan tenang, sedangkan aku harus menjadi bulan-bulanan mereka."Johan membelalak ketika melihat Nadia mendekatinya dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali dia melihat wanita itu. Rambut panjang Nadia acak-acakan. Perut wanita itu berlubang dan mengeluarkan banyak darah. Lalu di tangan kanan wanita itu....Janin merah yang tiba-tiba saja melihat ke arahnya dengan mata melotot. Bibir janin itu tertarik membentuk senyuman dengan gigi-gigi runcing yang terlihat tajam."Ayah."Johan menjerit ketakutan. Dia langsung berlari dengan sekuat tenaga. Nadia sudah mati, dia yakin itu. Dia sendiri yang mengatakan pada Ansel di mana keberadaan Nadia sebelum kabur ke Australia. Belum jauh dia berlari, kakinya tersandung. Membuatnya jatuh dengan keras. Dua orang berjubah hitam dan bertudung menarik tangannya dan memaksanya untuk berdiri. "Nggak! Nggak lepasin aku! Aku udah bukan bagian dari kalian lagi!""Siapapun yang menjadi pengkhi
Pesta pernikahan Ajeng dan Evan diadakan di kapal pesiar yang mewah. Seluruh karyawan Deca di kantor pusat dan karyawan Ajeng di Otten Supermarket turut hadir dalam pesta.Banyak yang takjub dengan pesta mereka, apalagi Evan benar-benar maksimal dalam menjamu tamu. Mereka semua menikmati makanan mewah dan mahal yang biasanya hanya bisa dinikmati oleh kalangan atas."Ternyata Mr. Evan lebih bahagia bersama Ajeng ya," ucap salah satu karyawan Deca yang dulu satu divisi dengan Ajeng."Iya bener. Waktu sama Bu Ella dulu, dia nggak pernah tersenyum. Kaku banget kayak kanebo kering. Pestanya juga biasa aja nggak semewah ini," sahut yang lain."Pantesan Bu Marta langsung dipecat dan dijebloskan ke penjara begitu mencelakai Ajeng. Secinta itu orangnya sama Ajeng. Lihat aja deh, senyumnya nggak pernah luntur tuh. Benar-benar bucin akut.""Aku sih mendukung Ajeng. Dia emang baik orangnya. Bahkan meskipun sekarang udah menjadi istri konglomerat, dia nggak pernah lupa sama kita-kita.""Eh iya ben
"Sudah tahu punya anak bayi, kenapa malah nggak pulang-pulang? Lihat nih, Dana sampai nangis ngejer kayak gini. Mbok ya diajak kalau jalan-jalan. Benar-benar nggak kasihan sama anak," omel Sekar begitu Ajeng dan Evan baru pulang setelah Maghrib.Ajeng langsung meraih Dana yang menangis sesenggukan sampai suaranya serak dan buru-buru menepuk-nepuk punggung bayi itu."Cup...cup...maaf ya mama baru pulang. Dana nyariin mama ya?" ucapnya dengan wajah bersalah.Dia langsung duduk di depan televisi dan menyusui bayi itu yang langsung diam. Perasaan bersalah kembali menyerangnya. Seharusnya mereka mengajak Dana. Siapa yang tahu bahwa anak itu mencari-carinya, padahal tadi Dana kelihatan senang ketika diajak oleh neneknya."Kalian ini kalau masih punya anak bayi, jangan sering ditinggal. Dia masih butuh perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Bayi itu peka. Jangan sampai dia merasa diabaikan," omel Sekar lagi.Kalau biasanya Ajeng menjawab, maka kali ini dia hanya diam saja. Dia jarang m
"Sudah?" Evan langsung berdiri begitu melihat Ajeng keluar dari ruang kunjungan. "Kenapa kamu kelihatan sedih?"Ajeng hanya tersenyum tipis. Mendadak dia merasa energinya tersedot habis setelah melihat kondisi Ansel. Bagaimanapun juga, pria itu adalah adik sepupunya. Dulu, sebelum dia mengenal Ella, dia dan Ansel sudah seperti adik kakak. Mereka begitu akrab dan hangat, sampai-sampai Ajeng tidak sadar bahwa timbul rasa lain di hati Ansel.Secara agama, memang Ansel itu bukanlah mahramnya. Jadi ketika pria itu menaruh hati padanya, tidak ada yang salah, karena memang mereka halal untuk menikah. Tapi tetap saja, Ajeng merasa itu saru (tidak pantas)."Kita ke Selecta ya, Mas. Aku pengen ngadem. Pikiranku suntuk banget," pinta Ajeng sambil menggandeng lengan suaminya.Dana dititipkan ke kakek dan neneknya, dan tentu saja Sekar sangat senang sekali. Apalagi Dana tipe bayi yang tidak gampang rewel. Kecuali jika anak itu tidak suka pada seseorang yang juga tidak menyukainya. "Siap. Mas jug