"Jangan ngelamun terus. Nggak baik buat ibu hamil."Ajeng mengerjap dan sedikit terlonjak. Mengelus dada karena jantungnya seperti mau copot."Mita! Ngagetin tahu!" gerutu Ajeng dengan wajah cemberut.Si pelaku malah tertawa terbahak-bahak, membuat Ajeng menatap wanita itu sinis."Ngapain ke sini? Mau caper ke Ansel? Dia lagi sibuk.""Yeee, siapa juga yang caper ke brondong kayak dia. Enak aja. Aku kan sering ke sini buat nengokin kamu," jawab Mita tak terima.Mita adalah sahabat Ajeng sejak kecil. Mereka harus terpisah karena Ajeng memilih untuk berkuliah di Jakarta, sedangkan Mita tetap setia menuntut ilmu di kota Malang."Wajahnya kok mendung gitu? Lagi kangen sama yang di sana ya? Jadi makin penasaran. Secakep apa sih suami kamu itu? Lebih cakep mana dari Dimas?" Ajeng berdecak dan berdiri dengan hati-hati meninggalkan Mita menuju ke dapur rumah Ansel. Mita memang sudah tahu mengenai perceraiannya dengan Dimas dan pernikahan keduanya yang masih rahasia. Yang orang-orang sekitar t
Ajeng merasa risih ketika Nayla terus mengamati perutnya yang tertutup dress. Memang tonjolannya sedikit terlihat, jadi gampang bagi orang untuk menyimpulkan bahwa dia sedang hamil karena tubuhnya langsing.Wajah Nayla yang awalnya terkejut, kini menjadi muram. Ajeng hanya diam saja. Tidak ada niat untuk sekedar menghibur. Mereka dulu tidak seakrab itu. Malah, hubungan mereka termasuk buruk karena Nayla selalu mencari gara-gara dengannya."Aku benar-benar minta maaf. Aku menyesal udah menuduh kamu yang macam-macam dulu. Sebenarnya...aku dulu pernah memergoki Kak Dimas sama perempuan lain di belakang kamu." Nayla langsung melengos. Terlihat sekali merasa bersalah.Seharusnya Ajeng sudah tidak terkejut lagi. Tapi nyatanya, dia tetap saja terkesiap. "Sejak kapan?"Nayla menunduk. "Sejak lama. Lebih tepatnya, setelah 3 bulan kalian menikah."Ajeng menutup mulutnya dengan tangan. Bercerai dari mantan suami tidaklah semudah itu bisa melupakannya dalam waktu singkat. Ada luka dalam yang memb
"Kamu yakin nggak perlu ditemani? Lagian kenapa sih kamu meladeni mantan adik iparmu itu?" tanya Mita dengan wajah khawatir.Ajeng menggeleng. "Aku nggak apa-apa kok. Masalah soal Dimas udah nggak berarti apa-apa buat aku. Ya udahlah, mungkin memang udah jalanku harus menikah sama dia dulu."Sebenarnya bukan itu yang membuat Ajeng diam dari tadi. Bukan tentang apakah Dimas menularkan penyakit padanya karena ternyata sering bergonta-ganti pasangan. Meskipun sebenarnya itu juga mengganggu pikirannya.Tapi yang lebih membuatnya gelisah adalah berita mengenai rumahnya yang dibom oleh seseorang. Siapa? Siapa yang begitu dendam padanya sehingga ingin melenyapkan nyawanya? Kalau saja dia tidak memaksa Ansel untuk pulang ke Malang, mungkin mereka hanya tinggal nama saja.Memikirkan hal itu membuatnya bergidik ngeri. Jantungnya berdebar gelisah. Siapa yang ingin membunuhnya? "Jeng? Kamu kelihatan pucat. Kita ke rumah sakit ya."Ia buru-buru menggeleng. "Aku kepingin istirahat aja. Makasih ya
Sudah dua jam berlalu semenjak Sander meninju wajah Evan dan Ajeng berteriak histeris. Situasi benar-benar kacau. Om Dennis bahkan sampai datang untuk melerai, padahal biasanya pria itu tak acuh dengan sekitarnya."Kenapa harus mukul segala sih? Padahal bisa dibicarakan secara baik-baik," kata Ajeng dengan ketus sambil mengompres lebam-lebam di wajah suaminya dengan air hangat.Sander hanya mendengkus sebelum meminum kopi yang tadi dibuatkan oleh pembantu Om Dennis."Kamu...jadi kamu...belum menceraikan aku?"Pertanyaan Ajeng membuat semua lelaki yang ada di ruang tamu terdiam sambil menoleh ke arahnya."Maksud kamu? Kenapa aku harus menceraikan kamu?" tanya Evan bingung.Ajeng menurunkan handuk kecil yang tadi dia tempelkan ke wajah Evan. Dia menunduk, merasa gelisah. "Kamu bilang kalau Ella sudah sembuh, otomatis kita akan bercerai.""Ya Tuhan, kamu nggak dengerin penjelasan aku tadi? Kita menikah resmi secara hukum dan agama. Bahkan kita mempunyai buku nikah. Aku juga sudah resmi b
Selama dua bulan, Evan fokus menyelesaikan semua urusan yang berkaitan dengan Ella. Mengurus perceraian di pengadilan agama, mengurus kasus yang menimpa Puspa dan Ella terkait pengeboman di rumah Ajeng, juga mengurus harta gono-gini.Karena anak yang dikandung oleh Ella bukanlah anaknya, maka Evan tidak wajib memberi nafkah pada wanita itu setelah hakim resmi mengetuk palu. Dia hanya memberikan satu unit rumah yang selama ini mereka tempati, dua unit mobil mewah, dan uang sebesar 2 milyar rupiah.Evan tidaklah bodoh. Selama menikah dengan Ella, semua aset yang dimilikinya diatasnamakan ibunya dan ayahnya. Dia tahu, suatu saat nanti, Ella pasti akan menuntut harta gono-gini. Dan dia tidak rela jika wanita itu mendapatkan setengah hartanya setelah rencana wanita itu berhasil.Ella adalah wanita yang serakah dan matre. Dia mengetahuinya selama mereka menikah, apalagi setelah berselingkuh dengan Rudi. Dan sekarang, Evan sangat bersyukur karena hartanya masih utuh. Rumah mewah dan 2 unit
Di sebuah ranjang rumah sakit ternama di Singapura, seorang wanita terbaring lemah dengan wajah pucat dan selang infus yang menempel di pergelangan tangannya.Sudah dua bulan ini, ia hanya sendirian di ruangan ini. Tidak ada yang sudi menemani setelah apa yang dia lakukan karena nafsu sesaat, apalagi begitu sang anak dinyatakan telah meninggal dunia beberapa hari setelah dilahirkan.Ya, wanita itu adalah Ella Paramita. Wanita yang semasa remajanya begitu menggebu-gebu ingin balas dendam pada seorang wanita bernama Sekar Anjani, dengan cara diam-diam menghancurkan anaknya yang bernama Ajeng Maheswari.Tindakan yang diyakini Ella sebagai hal yang lumrah dilakukan karena dia merasa menjadi anak yang terdholimi. Merasa dia pasti diridhoi oleh Tuhan karena didholimi, sehingga selalu mendoakan keburukan bagi Sekar Anjani dan Ajeng Maheswari. Tapi kenapa sekarang justru dia yang terbaring lemah di rumah sakit dan tak kunjung sembuh? Padahal operasi transplantasi sumsum tulang belakang sudah
"Jadi kamu kerjasama dengan Bayu Dirgantara?" tanya Evan kaget begitu mobil berhenti di halaman kantor milik Ansel."Iya. Sekarang aku yang menjadi pemasok buah apel untuk pabriknya. Dia lebih suka apel dari kami karena lebih berkualitas," jawab Ansel sambil mematikan mesin mobil."Pantesan kalian bisa kenal. Dulu kukira dia ada main sama istriku waktu datang ke rumah. Ternyata dia yang mengantar kalian ke bandara waktu itu?"Ajeng memukul lengan Evan dengan kesal. "Apaan sih, Mas? Enak aja ngatain aku ada main sama pria lain.""Eh, bukan begitu maksudnya, Yang. Maksudku tuh, kukira dia mau bawa kamu kabur, terus sengaja ngebom rumah kamu," ralat Evan buru-buru.Ajeng mengangkat bibir atasnya sebelum meringis."Loh, kenapa sayang? Perutmu sakit?" tanya Evan panik."Nggak tahu nih, tiba-tiba aja mules. Toiletnya di mana, Sel?" tanya Ajeng sambil memegangi perutnya."Di dalam kantor. Yuk, aku antar. Kamu salah makan apa gimana?" Ansel juga ikut panik."Namanya mules ya kebelet BAB. Itu
Ajeng dan perempuan yang dipanggil Rita itu langsung menoleh ke arah seorang pria yang tadi diajak ngobrol oleh Ansel, juga yang sering datang ke rumah untuk membersihkan rumput di halaman rumah Om Dennis. Dialah Pak Suroto. Seorang pria paruh baya yang begitu rajin dalam bekerja sekaligus setia pada Om Dennis dan Ansel. Ajeng yang biasanya kurang nyaman dengan kehadiran laki-laki asing, merasa nyaman dengan laki-laki itu."Kamu nggak usah ikut campur deh, Pak! Kenapa kamu malah mengijinkan dia untuk sembarangan masuk ke kebun ini? Harusnya kamu ijin aku dulu! Lancang sekali!" bentak Rita.Ajeng menatap perempuan itu dengan sorot mata tak suka. Sudah wajah pas-pasan, attitude jelek, tidak sopan pada orang tua pula."Sudah, sudah! Kamu seharusnya fokus pada pekerjaanmu di kantor. Jangan sampai Mas Ansel tahu kelakuan kamu. Di sini itu banyak CCTV hidup," tegur Pak Suroto."Awas aja kalau dia sampai tahu. Kamu yang paling awal kena akibatnya," ancam Rita sambil menunjuk wajah Pak Surot