Mohon dukungannya ya, buku ini sedang diikutsertakan kontes GoodNovel "Dari Perjanjian jadi tak Terpisahkan." Terima kasih
Mendengar ucapan Shara, Rio akhirnya tetap meninggalkan Nico dengan pikiran bahwa Shara yang akan menenangkan tangisan anak mereka.“Gendong sebentar ya, Nico jangan rewel terus oke?” Shara mengangkat Nico dan menimang-nimang untuk sementara waktu, sampai Nico anteng dan dia lantas meletakkannya lagi di dalam boks.“Oekkk ....”“Apa lagi sih, Nic? Masa iya kamu minta gendong terus sama mama?” sentak Shara sambil memegang keningnya yang berdenyut. “Mama capek, mana nanti malam kamu pasti kebangun ... Makanya diam!”Suara Shara yang menggelegar sontak membuat tangis Nico menjadi semakin keras, hingga Bik Tata ikut teriris-iris mendengarnya.“Kasihan Nico,” gumam wanita setengah abad itu.Sempat terbersit di pikirannya untuk mengambil alih Nico, tapi ada rasa takut tersendiri mengingat karakter Shara yang gampang meledak-ledak.Sorenya, Rio sedikit heran karena Nico rewel terus dan tidak mau lepas dari gendongannya. Dia melirik Shara yang sedang mengeringkan rambutnya setelah keramas, tam
“Bikinkan minum untuk teman-teman saya ya, Bik!” suruh Shara sembari menggendong Nico dengan hati-hati. “Lima orang.”“Baik, Bu.”Teman-teman Shara bersorak riuh ketika Nico muncul dalam gendongannya.“Ya ampun, lucunya!”“Mirip Rio semua ini!”“Iya, kamu kok nggak ada?”Shara langsung terkesiap ketika mendengar komentar teman-temannya.“Maksudnya apa ya?”Salah seorang teman Shara yang berambut pendek menowel pipi gembul Nico.“Coba deh kamu lihat! Hidungnya, matanya, rambutnya, kulit, dominasi Rio semua—hebat nggak sih?”“Hebat banget, cetakannya bagus! Sempurna, Ra ....”“Iya, semua mirip Rio. Kamu kok nggak ada sih, Ra?”“Apa mungkin ....”Shara langsung menyipitkan matanya dengan curiga ke arah sang teman yang mendadak diam.“Ah, nggak kok! Cuma bercanda, yang jelas anak kamu ini ganteng banget!”“Iya betul, persis ayahnya ....”Sahutan demi sahutan itu berhenti ketika Bik Tata muncul untuk mengantarkan minuman.“Kerabat jauh aku juga ada yang begitu kok, Ra. Anak dia itu ngikut
“Bibik yakin kalau ibu sama Nico tidak turun ke sini?”“Tidak Pak, biasanya ibu kasih Nico ke saya kalau bangun tidur.” Bik Tata menjelaskan.Mendengar itu, Rio jadi khawatir dan langsung kembali lagi ke kamarnya.Dia mendatangi sofa dan terbelalak ketika menyaksikan Shara yang meringkuk tanpa Nico di dekatnya.“Ma, Nico di mana?” tanya Rio sambil membangunkan Shara, yang terperanjat melihat kedatangannya.“Apa sih, Mas?”“Nico mana? Dia tidak sama kamu? Kata Bik Tata, kamu belum keluar dari kamar kan?” tanya Rio beruntun.Shara mengucek matanya sembari menyimpulkan nyawa yang belum sepenuhnya utuh.“Ra, Nico mana?” tanya Rio sekali lagi dengan menyebut nama asli istrinya.“Dia bukannya sama kamu, Mas?”“Aku kira malah sama kamu!” tukas Rio sambil celingukan mencari keberadaan si kecil. “Kalau malam kan Nico suka bangun dan minta minum atau pipis ....”Shara terpaku, seakan masih mencerna seluruh ucapan Rio yang masuk ke pikirannya.“Tadi pagi pas aku kebangun, Nico sudah nggak ada di
“Tapi Shara tidak pernah main tangan kan?” “Aku tidak tahu, Bu. Aku lebih sering dengar dia membentak Nico saja ....” “Shara kan ibu baru, mungkin saja dia kena baby blues?” Rio terdiam, baik dia maupun Shara sama-sama menjadi orang tua baru sejak Nico lahir ke dunia ini. Bisa jadi Shara masih harus beradaptasi dengan status barunya sebagai seorang ibu. “Apa sih, Nic!” Sementara itu di kamar, Shara sedang uring-uringan karena suara rengekan Nico dinilai mengganggu tidur lelapnya. “Mama tuh capek ya, urus kamu seharian! Tengah malam masih harus bangun gara-gara bikinin susu buat kamu! Kali ini saja mama mau tidur sebentar ....” Nico yang masih bayi, tentu saja tidak mengerti apa yang diucapkan sang tante yang kini menjadi ibunya. Dia terus merengek tanpa henti, berusaha menyuarakan apa yang menjadi keinginannya menggunakan bahasa yang tidak Shara mengerti. “Nico! Diam dulu sebentar bisa nggak sih?” Shara akhirnya habis sabar dan membanting botol susu yang sudah kosong. “Mama ca
[Buat apa lagi kamu transfer uang ke rekening aku, Kak?]Mengabaikan pertanyaan Slavia, Rio memilih untuk langsung menelepon istri keduanya itu.Berharap kalau Slavia berkenan menjawab teleponnya.“Mau alasan apa lagi kamu, Kak?” Suara dingin Slavia langsung menyambut begitu hubungan tersambung.“Vi, kita harus bertemu. Aku mau bicara banyak sama kamu,” punya Rio.“Aku nggak mau, Kak. Cukup kamu ucapkan talak itu saja, bebaskan aku ....”“Kamu di mana sekarang, Vi?”“Nggak penting kamu tahu keberadaan aku.”Rio yang emosinya juga sedang naik-turun, mendadak jadi tersinggung karena mendengar ucapan Slavia.“Aku ini masih suami kamu, Vi! Setidaknya jaga nada bicara kamu ....”“Suami nggak bertanggung jawab.”“Tidak bertanggung jawab, kamu bilang? Justru karena aku merasa harus bertanggung jawab sama kamu, makanya aku tidak langsung talak kamu.”“Terus kenapa memangnya?”“Karena dengan kamu masih jadi istri aku, maka aku punya kewajiban untuk menafkahi kamu ....”“Aku bilang nggak perlu,
“Tunggu sebentar Kak, aku nggak merayu Kak Rio sama sekali ....” “Alah, nggak usah menyangkal! Aku dengar sendiri kalau kamu telepon Rio diam-diam kan?” “Bukan aku yang telepon Kak Rio, tapi dia sendiri yang ....” “Sudah, tutup mulut kamu, Vi!” “Kak, tolong jangan nuduh aku macam-macam ... Aku sama sekali nggak menghubungi Kak Rio duluan!” Slavia masih berusaha menjelaskan, tapi percuma. Sekeras apa pun dia menjelaskan duduk perkaranya sampai berbuih, Shara tetap tidak mau tahu dan tetap beranggapan bahwa adiknya yang salah. “Sekali lagi aku peringatkan kamu, jangan jadi duri dalam rumah tangga aku! Kita sudah terikat perjanjian sejak awal, kenapa kamu pura-pura lupa?” Slavia menghela napas dan menunggu Shara meluapkan emosinya sampai dia puas. “... adik kok nggak tahu diri,” dengus Shara sebagai penutup. “Cukup ya, Kak? Jangan karena Kakak berjasa besar membiayai sekolah aku sampai lulus kuliah, terus Kakak merasa berhak mencaci maki aku sampai kayak begini ....” “Memang itu
“Kenapa Bibik harus minta maaf?” “Karena saya gagal melindungi Nico dari ibu.” Rio menggelengkan kepala, firasatnya mengatakan kalau apa yang dialami Nico hari ini ada hubungannya dengan Shara. “Gagal melindungi Nico? Kalau begitu ceritakan kejadian yang sebenarnya, kasihan Nico.” Mendengar itu, Bik Tata menjadi semakin terbebani dan lantas menceritakan apa saja yang dilakukan Shara terhadap Nico. “... tolong jangan bilang Ibu, Pak ... saya tidak mau dipecat ...” pinta Bik Tata ketakutan, matanya berkaca-kaca. “Saya beranikan diri masuk kamar ibu juga karena Nico nangis-nangis, ternyata ... ternyata dia dicubit-cubit ....” Hati Rio teriris-iris perih rasanya ketika mendengar cerita Bik Tata. “Saya juga pernah punya bayi, Pak ... Tidak tega rasanya kalau denger anak-anak nangis ... apalagi nangis dicubit-cubit ... Nico masih bayi, dia belum ngerti apa-apa ....” “Iya, Bik. Saya tidak akan bilang ibu, terima kasih Bibik sudah menyelamatkan Nico.” Bik Tata menyeka matanya. “Nico
Rio terperanjat, sementara Shara merasa bahwa dirinya sedang berada di atas angin.“Maaf, aku mulai tidak percaya sama kamu.” “Mas, aku serius! Aku akan ....”“Janji ini juga yang dulu kamu ucapkan ke aku saat memaksakan ide menikah lagi,” tukas Rio tidak sabar. “Kenyataannya apa? Kamu tetap saja bertindak semaunya sendiri, bahkan sampai hati menyakiti bayi yang tidak bersalah seperti Nico.”Shara memegang keningnya.“Ya wajarlah, Mas. Memang Nico itu cengeng banget, sedikit-sedikit nangis ....”“Nico itu masih bayi, Ra!”“Iya, aku tahu. Aku capek, besok kita bicara lagi.”Shara melenggang pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya, meninggalkan Rio yang tidak puas dengan hasil pembicaraan mereka.Malam itu Shara sengaja tidak mempedulikan tangis Nico yang terbiasa bangun tengah malam untuk minum susu.“Ra, itu Nico nangis ....”“Urus saja sana, tinggal bikinkan susu apa susahnya sih?”Enggan ribut di tengah malam buta, Rio mengalah dan turun dari tempat tidur untuk mem
Slavia lantas menaruh foto terakhir dan sukses membuat Shara terperanjat. “Kenapa kamu menaruh foto Mas Rio di situ?” “Memangnya salah kalau foto ayah kandung ditaruh dekat dengan anak-anak kandungnya?” Shara melotot. “Anak-anak kandung ...? Anak Mas Rio dengan kamu cuma Nico!” “Coba perhatikan lagi, yang ini mamanya Luna. Bibir dan hidungnya sangat mirip sama Mas Rio.” Dengan napas yang menderu cepat, Shara mengamati foto Rio dan Lunara bergantian. Semakin dilihat, semakin kemiripan itu menjelma nyata. “Nggak ... ini nggak mungkin! Mas Rio punya anak lagi ... selain Nico?” Slavia mengangguk tenang. “Kamu bohong, Vi. Kapan kamu hamil lagi? Itu pasti anak dari laki-laki lain kan? Anak dari suami baru kamu!” “Aku belum pernah menikah lagi sampai sekarang,” kata Slavia jujur. “Seharusnya kamu berpikir, gimana ceritanya aku tinggal berjauhan sama Mas Rio, tapi masih bisa hamil anaknya?” Shara menatap Slavia dengan penuh dendam. “Aku nggak percaya ini ....” “Tanya saja sama Mas
Sebuah mobil asing ternyata sudah menunggu ketika Ardan tiba di rumah Slavia. “Itu mobilnya Pak Rio, Dan!” “Mau aku antar sampai rumah?” “Nggak usah, aku akan hadapi Pak Rio sendiri.” “Apa kamu yakin, Vi? Kalau dia menyakiti kamu gimana?” “Aku sudah mempekerjakan asisten rumah tangga, Dan. Setidaknya aku nggak benar-benar sendirian di rumah,” jawab Slavia. “Kamu pulang saja, kamu juga harus istirahat karena ada air in kamu sama Raras sibuk banget bantu aku.” Mau tak mau Ardan mengangguk. “Kalau ada apa-apa, kamu harus cepat hubungi aku atau Raras.” “Pasti, aku turun ya?” Dengan berat hati, kartun terpaksa mengganggu dan membiarkan Slavia turun dari mobilnya. “Lama sekali, sengaja?” sambut Rio datar ketika akhirnya Slavia muncul di hadapannya. “Aku kan harus jaga-jaga, takutnya kamu coba-coba menyerangku karena aku sudah melaporkan istri kamu ke polisi.” “Bisa kita bicara baik-baik?” “Oke, masuk saja ke rumahku.” Tanpa menunggu jawaban Rio, Slavia segera meninggal pergi mem
“Kenapa, Bik?” “Ada polisi di depan, Pak ....” “Polisi? Mereka cari siapa?” Rio terbelalak kaget. “Cari ibu, Pak ... Saya nggak berani bilang Bu Shara, makanya saya langsung bilang Bapak saja.” Rio mengusap wajahnya dengan kalut. Ada masalah apa lagi ini? “Selamat malam, Pak!” “Selamat malam, ada perlu apa ya Pak?” tanya Rio sopan. “Kami datang ke sini sambil membawa perintah surat penangkapan untuk Bu Shara,” jawab salah seorang petugas yang datang. “Memangnya istri saya kenapa, Pak?” “Istri Bapak ditangkap atas laporan pengayaan terhadap Bu Slavia.” Rio terperanjat kaget, terlebih ketika petugas polisi menyebut nama mantan istri keduanya. “Mas, ini kita mau ke mana?” tanya Shara ketika Rio menjemputnya di kamar. “Ada yang mau bertemu sama kamu ....” “Siapa?” Rio tidak menjawab. Bukannya dia seorang suami yang tega, justru dia sangat ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya. “Polisi? Kok mereka ada di sini sih, Mas?” Shara langsung menghentikan langkahnya s
Shara manggut-manggut, dia sangat yakin jika Slavia tidak akan seberani itu untuk melapor. Atau dia akan membuat namanya kembali viral, dan berimbas ke bisnis online yang digelutinya. “Gimana keadaan kamu, Vi?” “Ya beginilah, Ras ... Luna gimana?” “Ardan yang jemput Luna, kamu tenang saja.” Slavia menarik napas panjang. “Kamu harus dirawat ingat di sini ya?” tanya Raras. “Sebenarnya aku mau pulang, tapi tapi kepalaku pusing banget dan sama dokter diminta untuk observasi di klinik dulu sementara ....” “Atau kamu pindah ke rumah sakit saja?” “Nggak usah lah Ras, aku kan dianiaya bukan sakit kronis.” Raras menghela napas. “Tapi menurutku perbuatan mereka itu sudah sangat keterlaluan, mereka nggak Cuma mempermalukan kamu, Vi. Mereka juga menganiaya kamu, entah apa yang akan terjadi seandainya aku sama Ardan nggak datang ....” “Oh ya, kalian berdua kok bisa tahu posisiku sama apa yang aku alami?” tanya Slavia penuh rasa syukur. “Bukannya kamu yang nelepon pakai aplikasi pesan?”
Jantung Slavia berpacu dengan cepat ketika para wanita itu merundungnya baik verbal maupun fisik, dari mulai menjambak rambut, menampar wajah, dan menarik telinganya beramai-ramai. “Hentikan ini, aku nggak sepenuhnya salah!” teriak Slavia sambil menutupi wajahnya. “Banyak omong, aku viralkan kamu ya!” “Dasar pelakor hina!” Slavia berusaha melawan, tapi tentu saja dia kalah jumlah. Orang-orang mulai berdatangan untuk melihat apa yang terjadi, bahkan ada yang berusaha untuk menghentikan penganiayaan itu. “Stop, Ibu-Ibu! Ini ada apa?” “Tolong jangan main hakim sendiri!” “Anda ini kan sesama perempuan, kenapa menyakiti perempuan?” Teman-teman Shara menghentikan sejenak aksi bar-bar mereka. “Dia ini pelakor!” “Betul, dia adalah orang ketiga dalam rumah tangga teman kami!” “Haahh? Jadi dia itu pelakor?” Slavia menurunkan tangannya dan berteriak. “Bohong, itu semua fitnah!” “Wah, berani juga pelakor ini!” “Iya nih, dasar nggak punya malu!” “Aku memang bukan pelakor, istri perta
Mana bisa begitu,” tolak Shara. “Nico itu anak Mas Rio, dan aku adalah istrinya.” “Aku nggak peduli, aku ini ibu kandung Nico.” “Nggak bisa, Vi. Sesuai perjanjian, Nico harus kamu serahkan kepada Shara dan Rio untuk dirawat.” Rini menengahi. “Ibu lupa kalau perjanjian itu sudah enggak berlaku lagi?” tanya Slavia mengingatkan. “Mas Rio dan ibunya sendiri yang datang untuk bujuk aku supaya melanjutkan pernikahan itu, sedangkan uang ganti rugi yang sudah Kak Shara bayarkan juga diganti sama Mas Rio.” “Jadi kamu mau uang?” sentak Shara. “Tolong deh, bisa nggak jangan pakai teriak-teriak?” Slavia mengingatkan. “Di sini itu tempat umum, bukan tempat buat marah-marah ....” Rini mengusap tangan Shara. “Tenang.” Slavia menarik napas. “Sejak awal aku sudah bilang sama mas Rio Kalau aku cuma mau mengurus masalah hak asuh Nico, aku nggak peduli lagi sama kalian berdua. Asal aku nggak diusik, aku juga nggak akan mengusik kamu ataupun Mas Rio.” “Kamu nggak usah bohong, Vi. Buktinya kamu int
Aku mungkin menyesalkan ide kamu, tapi ... aku tidak menyesali kehadiran Nico sedikit pun.” “Kamu bikin aku sakit hati, Mas. Kamu tega ....” “Kamu sendiri tega memaksaku menduakan pernikahan kita, sampai kamu mencoba bunuh diri dan membuatku tersudut bersama Via. Ingat?” Shara mati kutu. Semua yang Rio ucapkan terasa seperti beberapa anak panah yang meluncur bersamaan dan menancap tepat di ulu hatinya. “Justru itu aku minta kamu untuk memperbaiki pernikahan kita, Mas. Aku nggak mau ada Via lagi di tengah-tengah kita, cukup Nico saja yang akan jadi pelengkap kebahagiaan ... Belum lagi anak kita nanti seandainya aku diberi kepercayaan untuk hamil anak kamu.” Rio memijat keningnya, rasa pusing kini seringkali mampir sejak dia bertemu kembali dengan Slavia dan juga bocah perempuan itu. “Mas, apa ucapan aku ada yang salah? Kok kamu diam saja?” tanya Shara khawatir. “Aku terlalu pusing dengan semua ini ....” “Oke, kita sebaiknya jangan membicarakan soal Via atau perjanjian masa lalu
“Istri satu-satunya ya, sungguh membanggakan. Akan jauh lebih membanggakan lagi kalau kamu bisa kasih keturunan sama suami kamu,” sindir Slavia tepat sasaran. “Kamu ....” “Atau jangan-jangan kamu juga sudah berhasil punya anak? Kalau begitu, kembalikan Nico sama aku. Bukankah kamu bisa merawat anak kandung kamu sendiri?” tanya Slavia pura-pura. “Mulut kamu itu ya, Vi. Pengin aku robek-robek rasanya!” Slavia tersenyum kecil. “Kamu masih nggak berubah juga ya, suka emosian.” “Diam kamu, aku sudah kasih kamu peringatan. Jangan sampai aku bikin mental kamu hancur untuk yang kedua kalinya.” Mendengar ancaman itu, Slavia seketika berdiri dan membuat Shara terperanjat kaget saat melihat sorot matanya yang tajam membunuh. “Coba saja, kamu pikir aku masih sama seperti Via yang dulu?” “Apa maksud kamu?” “Pikir saja sendiri, kamu masih bisa mikir kan?” “Jangan kurang ajar kamu!” Shara ikut berdiri dan bersiap melayangkan tamparan ke wajah Slavia, tapi tangan itu tidak pernah mendarat d
“Daripada Nico tahu dari orang lain, nanti dia malah bingung. Kasihan,” ucap Rio sembari memejamkan mata. “Kita tetap harus kasih tahu dia, Ra.” “Aku mohon pertimbangkan lagi keputusan kamu, Mas. Bukankah Via punya niat jelek untuk merampas Nico dari tangan kamu?” “Aku akan membujuknya supaya tidak melakukan hal itu.” “Membujuk gimana?” Shara menyipitkan mata. “Jangan bilang kalau kamu diam-diam menemui Via di belakang aku, ya?” “Ngapain aku harus diam-diam? Aku tidak harus minta izin kamu buat bicara sama Via kan?” tukas Rio, tampak tidak senang. “Bukan begitu juga maksud aku, Mas ....” “Aku bisa lihat kalau Via dendam sekali sama kita, seolah kita sudah melakukan kesalahan besar di masa lalu.” Rio menambahkan, membuat wajah Shara memucat. “Aku tidak habis pikir sama Via, dia benar-benar sudah berubah.” Shara menelan ludah, dia merasa harus segera berbuat sesuatu. “Terus apa rencana kamu?” “Seperti yang aku bilang tadi, aku akan minta Via untuk tidak meributkan soal hak asuh