Setelah mendengarkan curhat panjang lebar milik Adrian dan perjalanan hidupnya yang ternyata tidak baik-baik saja, Kinar lebih banyak menghelakan napasnya. Di benaknya terekam banyak bayangan bahwa hidup di tengah-tengah keluarga kaya raya memang tidak seenak kelihatannya. Mereka dipaksa untuk normal meski tertatih-tatih. Mereka ambruk namun harus bisa bangkit seperti sedia kala. Mereka cacat namun harus sempurna tanpa memperlihatkan kecacatannya. Dan Kinar, benar-benar ketakutan sendiri akan hal itu.“Bagaimana jika anakku akan mendapatkan perlakuan yang sama seperti yang Adrian alami?” gumam Kinar rendah dengan wajah penuh tekanan. “Tidak bisa!”Tiba-tiba Kinar terbangun dari duduknya di tepi ranjang yang membuat Anan kebingunan. Kedua alis Anan menyatu dengan mata yang terus mengikuti langkah mondar-mandir sang istri. Apa, sih, yang sedang dipikirkan ibu hamil satu ini? Begitulah batin suci Anan mencicit tanpa sanggup bersuara. Kinar bisa berubah menjadi reog jika Anan berani meneg
Dalam pandangan Zahra, sebuah hubungan tidak hanya terjalin oleh dua orang yang menjunjung tinggi sebuah komitmen untuk bersama. Arti hubungan di mata Zahra Amira adalah, dia yang memahami diri kita sepenuhnya, secara tulus dan tidak menuntut kita untuk menjadi yang dirinya maui. Menerima kita dengan segala luka batin akibat sakit di masa lalu dan secara perlahan menjadi penawar dari rasa sakit tersebut. Arti hubungan itu cukup sederhana namun juga rumit di suatu keadaan yang lain.Zahra menarik napasnya dalam-dalam. Termenung di meja kerja rumahnya dan melewatkan waktu entah berapa menit hanya untuk bengong seperti ini. Zahra dan pikirannya yang kacau terasa sangat berat untuk melihat hal-hal baik di sekelilingnya. Contohnya Banyu Himawan. Entah sajak kapan, di mata Zahra, tunangannya itu bukan lagi seseorang yang Zahra harapkan namun dipaksa bertahan oleh keadaan. Bukankah itu menyebalkan?“Kalau memiliki pasangan hanya untuk partner seks atau teman tidur, rasanya itu tidak bisa dik
Ivana Wijaya tidak sengaja melihat Zahra yang sedang terduduk sendiri di sebuah kafe. Sore ini, mendung menyelimuti langit Bandung. Semilir angin yang berembus cukup menyejukkan kala membelai kulit. Menerbangkan rambut Ivana yang tergerai.Melihat Zahra yang duduk termenung dengan segelas minuman dingin di hadapannya membuat Ivana penasaran ingin mengetahui masalah apa yang menyapa kepalanya. Namun seperti sadar jika itu tidak penting, Ivana memilih duduk di meja yang memudahkannya untuk melihat gerak-gerik Zahra. Wanita itu diam dengan tenang dan sesekali kedua alisnya menyatu lalu napasnya terhela.“Beban hidupnya begitu beratkah?” gumam Ivana kepada dirinya sendiri dan terkekeh setelahnya. Ivana mengangkat tangannya dan seorang pelayan datang menghampirinya. “Americano dingin,” kata Ivana tanpa melihat buku menu yang pelayan itu sodorkan.Dalam sebuah hubungan, Ivana yang telah mengalaminya sendiri, tidak ada yang benar-benar mulus perjalanannya. Buncahan bahagia yang kita dapatkan
“Kamu pernah merasakan ketakutan?” tanya Kinar yang malam itu sedang duduk di ruang kerja Anan. Suaminya itu sedang mengerjakan pekerjaannya yang belum usai dari kantor. “Kehilangan aku, mungkin, atau kedua orang tua kamu. Iya, sih, mereka hanya orang tua angkat kamu. Tapi siapa yang tahu, ‘kan jika mereka berharga dari yang kamu kira.”Anan hentikan jarinya yang menari-nari di atas keyboard laptopnya. Menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap wajah Kinar lekat-lekat. Pertanyaan yang Kinar ajukan tidaklah aneh namun istrinya itu dengan lagak santainya malah membaca novelnya dengan serius tanpa mau diganggu. Wanita memang selalu jadi spesies paling aneh di muka bumi.“Untuk apa aku takut kehilangan?” Anan menjawab pertanyaan dari Kinar namun juga meninggalkan tanya yang membuat Kinar melirikkan matanya dengan tajam. “Jika itu tentang kamu, sudah pasti aku sangat ketakutan. Karena ada yang pernah berkata jika kita akan bersama dengan pasangan kita di masa tua. Tidak dengan anak maup
“Jika dia tidak menyukaimu, kamu tidak apa-apa?”Pertanyaan itu berasal dari bibir Kinar yang sekali lagi ingin memastikan. Siang ini, cuaca kota Bandung cukup terik meski semalam diguyur hujan lebat. Pertemuannya dengan teman sesama penulis di sebuah kafe yang ada di daerah Braga membayar rasa penasaran Kinar atas keluhan temannya beberapa hari yang lalu. Wanita cantik ini akan memasuki usia 28 tahun dalam hitungan minggu. Jaraknya tak berbeda jauh dengan Kinar sehingga membuat mudah keduanya untuk saling berbagi.Sejujurnya Kinar tidak tahu apa-apa tentang wanita berambut sebahu ini. Selain kisah hidupnya yang rumit, wanita ini juga mendapat tekanan penuh dari keluarganya. Kinar merasa kasihan namun tak banyak yang bisa Kinar lakukan. Dia pun wanita tangguh yang Kinar temui sepanjang hidupnya. Begitu kuat dan mandiri. Begitu tangguh memendam segala rasa atas masalah hidupnya namun orang lain selalu datang memberinya kisah dan keluhan. Bukankah artinya dia tidak memiliki sandaran dan
“Apa ini!?” teriak Adrian saat berkunjung ke rumah Anan dan Kinar malam itu. “Kamu, apa yang kamu lakukan?” tanyanya pada Kinar yang sedang asik ganyem sosis bakar buatan Anan. “Ya!”Wanita hamil itu tetap tidak peduli meski Adrian mereog sekalipun. Dan Anan sebagai suami juga melakukan hal yang sama. Kenapa mereka kompak sekali? Batin suci Adrian meraung sementara harga dirinya hancur berkeping-keping.“Anan, kamu keterlaluan. Pikirmu dengan memajang fotoku serta identitas diriku di sebuah situs perjodohan akan memberiku solusi? Kamu pikir ini semudah membalikkan telapak tangan dan semua masalah yang menghampiri hidupku akan lenyap begitu saja, iya? Dasar gila! Kalian pasangan teraneh yang pernah aku temui di jagat bumi ini.”Adrian benar-benar menggila membuat Anan dan Kinar saling berpandangan lalu kembali fokus pada camilan malam mereka.“Jangan berteriak-teriak!” Kinar memberi peringatan seraya menudingkan sendoknya ke arah Adrian. “Jangan ajari anakku menjadi kasar sepertimu dan
Malam itu, karena hujan lebat kembali mengguyur Bandung, maka tidak ada pilihan bagi Adrian untuk hengkang dari rumah Anan dan Kinar. Lagi pula, pasangan suami istri itu melarang keras untuk Adrian menginjakkan kedua kakinya keluar dari pintu rumah mereka. Berbagai ancaman membahayakan bahkan doa serapah yang meluncur keluar dari bibir seorang Kinar Dewi cukup membuat Anan merinding. Dan di sinilah dirinya berada.Duduk di sofa ruang santai keluarga Anan dalam kondisi keremangan. Semua lampu-lampu telah di matikan sejak beberapa menit yang lalu. Cuaca yang mendukung untuk menarik selimut serta bercengkerama dengan pasangannya, bagi yang sudah memiliki dan berlaku untuk Anan serta Kinar. Pasangan itu telah minggat dari hadapan Adrian. Memberi ruang untuknya berpikir dan menimang.Guyuran air hujan yang jatuh mengenai tanah, membuat Adrian sadar harus berpikir dengan sangat lama. Bukan ragu namun lebih kepada mempertimbangkan pada banyak hal. Ke depannya, Adrian tidak ingin bermain-main
Untuk makhluk kecil seperti kita yang tumbuh di muka bumi ini, yang luasnya tak tertahankan hanya melalui cinta. Kita hanyalah setitik debu di alam semesta. Jadi jangan berlebihan dan hiduplah dengan nama dan akal sehatmu.Kata-kata itu yang sedang Ivana coba terapkan untuk hidupnya. Pasca bercerai dari Anan Pradipta, tidak banyak masalah yang harus menghampiri dirinya atau tatanan hidupnya harus berubah. Ivana WIjaya masih sama seperti dulu. Yang menjadi pembeda hanyalah statusnya saja. Jika untuk bersenang-senang dan menyalurkan hasratnya, Ivana bisa melakukan dengan pria manapun yang dirinya tunjuk meski tidak semuanya berakhir di atas ranjang dengan pakaian yang bercecer.Apa pun itu, seberat apa pun perjalanan hidupnya setelah mendapat gelar janda, Ivana selalu waras untuk menerapkan hidup sehat. Sejauh ini, pelampiasan terbaiknya ada pada Banyu Himawan. Namun pria yang telah bersamanya selama beberapa tahun inipun tidak sepenuhnya bisa Ivana percayai untuk melepaskan gairahnya.
“Aduh lupa!”Teriakan Ara membuat Kinar yang sedang santai menikmati minuman dinginnya terpaksa harus menoleh. Ara si pemilik suara kecil agak cempreng dengan rambut berwarna merah gelap membuat Kinar geleng-geleng kepala. Bukan sekali, dua kali Ara menjadi heboh sendiri. Namun terlalu sering sehingga Kinar hafal betul dengan wanita yang lebih muda dua tahun di bawahnya itu.“Nggak kamu catat dulu?” tanya Kinar kalem.“Kamu kalem banget, sih, Nar?” Ara terkekeh dengan kepala bergoyang mirip bolo-bolo. “Padahal aku ini nggak ada kalemnya sama sekali tapi kamu sabar banget menghadapi aku yang super random ini.”“Aku juga random kok.” Kinar membela dirinya sendiri.Kinar sungkan saat ada orang lain yang menilai dirinya hanya dari covernya saja. Kinar selalu mendapat penilaian positif dan itu sedikit membuatnya sungkan. Yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya. Kinar juga punya momen-momen tertentu untuk meledak. Kinar juga bisa marah pada hal-hal kecil yang membuat orang sekitarnya te
Prinsip hidup yang selama ini Anan pegang cukup sederhana. Dengan tidak mencampuri urusan orang lain, arti dari ketenangan yang sebenarnya sudah Anan dapatkan. Tapi namanya manusia memang suka lupa diri dan semena-mena.Di saat Anan bersikeras tidak mau mendengar apa pun masalah dan keluh kesah orang lain, justru Tuhan mempertemukan dengan manusia-manusia yang sifatnya meribetkan. Dan Anan harus menjadi pendengar yang baik sedangkan itu tidak pernah tersemat sedikit pun di dalam dirinya.“Kita terlalu keras, ya?” tanya Kinar sembari merapikan dasi dileher Anan. “Aku terdengar kejam.”“Itu demi kebaikan mereka. Lagi pula mereka datang kepada kita sudah bentuk kesalahan fatal. Kita hanyalah saudara jauh dan yang seharusnya mereka datangi adalah keluarganya.” Anan tetap tidak mau salah dan pendapatnya adalah yang paling benar.Kinar mengembuskan napasnya. Tangan kanannya mengusap jas Anan seolah ada debu yang menempel di sana.“Kalau itu terjadi pada anakmu ….” Kinar tak kuasa melanjutka
Tentang hidup ….Kinar Dewi tidak mengharapkan apa-apa selain baik-baik saja. Maksud dari baik-baik saja di sini bukan sekadar adem ayem dengan segudang uang dan fasilitas yang telah terpenuhi. Namun jauh dari masalah walaupun itu mustahil. Namun setidaknya meminimalisir problem selalu Kinar usahakan.Seperti pagi ini contohnya. Tidak tahu dari mana datangnya. Kinar tidak mau menebak atau menyalahkan salah satu pihak. Bagi Kinar, masalah itu tercipta karena ada pihak-pihak tertentu yang terlibat. Mau dibalas penuh emosi bak kebakaran jenggot, masalah itu telah tercipta. Dan konyol kalau misalnya masalah itu muncul sendiri.“Jadi siapa yang mulai duluan?” tanya Kinar tegas dan jelas.Semua mata yang ada di ruang tamu rumahnya menatap Kinar dengan tatapan mata yang berbeda-beda. Anan yang santai sambil menarik napasnya dalam-dalam. Kinar tahu, semalaman Anan lembur karena ini awal bulan dan baru bisa memejamkan matanya subuh tadi. Sekarang pukul tujuh pagi yang artinya tidur Anan amatla
“Emang orangnya kayak gitu?” tanya Anan sambil mendorong troli belanja. Kinar mengajak Anan berbelanja sayur, buah dan kebutuhan lainnya. Mumpung sekalian dekat dengan supermarket.Anan mendengar ucapan terakhir Rika yang menurutnya amatlah nyelekit. Sedangkan Kinar memberi respons yang santai dan biasa saja. Seakan-akan memang istrinya itu sudah biasa mendengar kalimat tersebut.“Mungkin,” jawab Kinar sekenanya sambil memasukkan buah-buahan ke dalam troli. “Aku ketemu dan kenal Rika di komunitas menulis beberapa tahun yang lalu. Dan kita nggak dekat-dekat banget buat bertukar nasib hidup.”“Kamu nggak kesinggung? Minimal kamu keluarin ekspresi marahlah biar dia sungkan dan jera.”“Buat apa?” Kinar membalikkan tubuhnya ke belakang di mana Anan berdiri. “Kalau aku marah, aku nggak ada bedanya sama dia dan aku punya level yang sama kayak dia sedangkan aku paling anti buat lakuin itu.”“Kenapa?” Anan penasaran dan terus mengejar jawaban dari Kinar. “Sesekali marah nggak akan bikin kamu r
“Sebenarnya titik kehidupan masing-masing orang itu berbeda.” Kinar mengatakan sesuai pengalaman yang pernah dialaminya. “Aku berada di posisi ini karena aku pernah merasakan titik terendah dalam hidupku yang mana aku ingin mati. Tapi aku sadar, semengenaskan apa pun kehidupanku waktu itu, selalu ada takdir milik orang lain yang paling mengerikan. Dan untuk itu aku hanya bisa mensyukuri jalanku.”Rika hanya mengangguk. Rekan sesama penulis Kinar itu sedang mencurahkan isi hati dan pikirannya. Yang jika Kinar menilai itu adalah sebuah ujian yang tiap-tiap orang selalu merasakannya. Kinar enggan berkomentar panjang lebar. Toh masa-masa sulit yang pernah Kinar lalui telah lewat. Sekarang yang tersisa hanyalah secuil nasihat dan kenangan yang memang patut untuk dikenang.“Orang-orang kalau ngomong selalu enak.” Rika seruput es tehnya. “Tau kok soalnya cuma tinggal ngomong doang. Enak ya jadi kamu, seneng ya jadi kamu, nggak perlu effort berlebih hidup kamu udah kejamin. Andai mereka tau g
“Kali ini tentang apa?”Kinar menyeruput cokelat dinginnya dengan santai dan hidupnya memang sesantai itu sekarang. Setelah menjadi Nyonya Pradipta, kegiatan Kinar selain menulis adalah berkumpul bersama para kalangan atas. Yang jika Kinar jabarkan bagaimana rasanya … itu membosankan. Jujur saja, Kinar lebih suka hidupnya yang sederhana dan biasa-biasa saja. Tidak banyak kegiatan selain menulis, rebahan, menonton sendirian di bioskop dan makan nasi padang. Bonusnya jalan-jalan sore di alun-alun dan belie s krim.Dalam benak Kinar terbersit kerinduan masa lalunya yang sangat sulit untuk dirinya ulang kembali. Bukannya tidak mau kembali ke masa itu. Kinar hanya harus bertindak penuh kehati-hatian. Karena siapa, sih, yang nggak kenal sama keluarga Pradipta?Media yang tersembunyi di dalam pelosok saja tahu mereka. Maka dari itu Kinar harus menyamar terlebih dulu jika ingin menikmati masa lalunya. Agar orang-orang tidak tahu identitasnya terlebih wajahnya yang sudah tersorot oleh penjuru
“Segala sesuatu di dunia ini ada harganya. Tidak ada nilai yang tidak bisa diubah menjadi uang. Orang yang berani mengatakan cinta adalah hal tidak ternilai itu seperti pencuri yang mencuri barang gratis. Jika kamu tidak bisa membeli kebahagiaan dengan uang, itu karena kamu tidak punya cukup uang.”Kinar Dewi hanya memandangi Ivana dengan sungguh-sungguh. Wanita elegan itu menyeruput kopi panasnya yang masih mengeluarkan asap dengan santai. Sore hari di Bandung dan kemacetan yang terjadi di mana-mana. Semilir angin dan gulungan awan hitam bisa Kinar lihat dari kaca jendela. Tempat duduknya memiliki spot tertuju ke mana saja dan pojokan adalah favorit Kinar sejak dulu.“Uang lagi dan cinta bukan sesuatu yang harus kita khawatirkan. Aku membeli Banyu bukan dengan hatiku meski ada kontrak di atas hitam putih tapi uangku lebih berkuasa. Itulah kenapa kita perlu menjadi kaya agar bisa membeli apa pun yang kita mau. Ini terdengar egois karena tidak semua orang terlahir dengan privilege. Ya
Pada akhirnya ....Di dunia ini, ada tiga jenis manusia, yaitu, ada yang seperti makanan, selalu dibutuhkan orang lain, ada yang seperti obat, diperlukan oleh orang lain saat sakit, dan ada yang seperti penyakit, selalu dibenci oleh orang lain.Kinar membaca tulisannya sendiri dengan saksama lalu memberi penjelasan hanya dalam benaknya saja. Kinar malas untuk menjabarkan dengan mengetikkan di layar laptopnya. Selain terlalu panjang dan berbelit-belit, Kinar sedang melawan moodnya yang berantakan.Hari ini Kinar sedang mati kebosanan. Jalan satu-satunya adalah hengkang dari rumah dan berakhir di ruangan Anan. Ternyata pilihan untuk ke kantor Anan juga bukan sesuatu yang tepat. Suaminya itu sedang sibuk dan Kinar tidak punya objek untuk melampiaskan marahnya. Ugh, rasanya dongkol luar biasa.“Mau es krim, Bu?” tawar Kamila yang masuk setelah mengetuk pintu. Senyum wanita yang usianya sepantaran dengan Anan itu terukir. “Akan saya belikan.” Kamila sudah akan membawa kedua kakinya menuju
“Jika sudah tidak bisa berjuang, baiknya jangan memberi harapan kosong.” Itu hanya sepenggal saran yang bisa Anan berikan kepada Teguh. “Dia juga manusia sama seperti kamu. Pastinya saat ada harapan yang telah dia lambungkan lalu tidak bisa digapainya, rasa sakit menyerangnya. Jadi putuskan saja ingin mengambil langkah yang bagaimana. Maju atau mundur, berhenti atau bertahan.”Teguh diam. Duduk dengan wajah penuh kebingungan dan sorot mata yang lelah. Teguh belum mendapatkan keputusan hendak membawa hubungan bersama Rani ke mana. Jika tujuannya adalah pelaminan, itu sudah dari awal Teguh angankan kala hubungan ini terbentuk. Namun restu yang tak kunjung datang membuat Teguh serba galau. Harus bagaimana?“Kamu ini pria. Sejatinya kamu akan memperjuangkan apa yang menurut kamu tepat dan nyaman di hatimu. Tidak lembek seperti kerupuk terguyur air,” cibir Anan. Meski kalimatnya tidak sadis, seharusnya itu mampu menembus harga diri Teguh untuk bisa bangkit dari keterpurukannya. “Jika di aw