“Saya rasa mereka cocok,” kata Teguh melaporkan hasil intaiannya kepada Anan. Keakraban yang Kinar dan Zumarnis bangun terlihat begitu jelas. Keduanya berjalan dan saling bergandengan bak dua saudara yang telah lama tidak bertemu di sebuah pusat perbelanjaan. “Ibu Zumarnis juga mengantarkan Ibu Kinar ke dokter kandungan pilihannya. Dokter Ari Suseno menjadi pilihannya. Jika saya tidak salah ingat, dia salah satu teman kuliah Bapak semasa di kampus dulu.”Anan menggulir potret di mana Mama dan istrinya berjalan bersisian dan begitu akrab. Paper bag yang Kinar bawa dan sebagian berada di tangan Zumarnis menandakan jika keduanya baru saja shopping. Hasrat wanita jika sudah bersama tidak bisa ditangguhkan lagi. Mereka akan melakukan banyak hal yang menurutnya seru sampai kedua kakinya lelah melangkah.“Ah, dia.” Anan memandangi dengan saksama dokter kandungan yang Kinar dan Zumarnis kunjungi. “Saya kenal dia,” ucap Anan dengan senyum tipis yang Teguh angguki. “Kabarnya dia kabur dari ruma
Banyu Himawan semakin kehilangan kendali dalam dirinya. Ketika Zahra Amir tidak lagi peduli terhadapnya, maka yang Banyu lakukan adalah acuh. Banyu melampiaskan kebebasannya sepuas yang dirinya mau dan menjadikan ini sebagai kesempatan langka yang harus dirinya pergunakan. Pergi ke mana pun yang Banyu mau, bersama siapapun yang Banyu mau bahkan menginap di tempat Ivana sesuka hatinya tanpa peduli jika wanita berstatus janda itu mengomel sepanjang malam. Yang Banyu pikirkan hanyalah memuaskan rasa senangnya dan menikmati momen kebebasan ini.“Kamu punya rumah!” seru Ivana frustrasi saat Banyu mendatangi rumahnya dengan kondisi tubuh sempoyongan mabuk. Banyu hanya memberikan cengiran khasnya yang membuat Ivana kian kesal dan meluapkan amarahnya lewat omelan. “Setidaknya jika ingin mabuk, jangan mendatangi rumahku. Kamu bisa pergi ke mana pun yang kamu mau dan dengan siapapun. Kamu mengganggu ketenanganku, tahu!”Banyu menggelengkan kepalanya yang semakin membuat Ivana berkacak pinggang
“Pada akhirnya, setiap pasangan akan selalu punya cerita yang tidak disamakan dengan masa lalunya.” Anan memulai dengan tujuan membuka diri secara perlahan kepada Kinar. Agar istrinya itu tidak lagi menaruh salah paham walaupun tidak pernah seperti itu sejauh ini. “Aku senang karena kamu yang berada di sisiku. Satu hal yang ingin aku katakan bahwa kamu sungguh-sungguh baik kepadaku dan bersabar menerima kisah kelamku.”Kinar tersenyum tipis. Mengembuskan napasnya setelah menariknya dalam-dalam. Kinar tahu ke mana arah dan tujuan topik yang Anan angkat ini. Tidak jauh-jauh dari Ivana dan rumah tangganya yang telah terlewat tanpa sebuah kenangan. Pastinya ada kenangan meski tidak seindah bayangan yang Anan harapkan. Memangnya kita bisa memilih sebuah kehendak ketika menginginkan sesuatu? Takdir Tuhan yang Kinar tahu, datangnya selalu berbeda yang di dalamnya mempunyai arti serta tujuan yang berbeda.“Anggap saja pembelajaran.” Kinar menjawab setelah memakan camilan malamnya. Anan membel
Obrolan semalam sebelum tidur bersama Anan hanyalah sebuah rangkaian non formal demi menjaga komunikasi yang baik. Kinar tahu, memiliki pasangan adalah sebuah cara termudah bagi kita untuk memanfaatkan kesempatan. Mengeluarkan unek-unek dan segala masalah yang datang menghampiri. Sementara Kinar adalah wanita yang tidak mau rugi atau lebih tepatnya tidak suka membeberkan masalah dirinya kepada orang luar sekalipun itu keluarganya sendiri. Sudah ada Anan, maka akan Kinar pergunakan dengan sebaik mungkin.“Kamu mau ke mana?” tanya Anan yang merubah posisi tidurnya dengan memeluk guling. Kedua kelopak matanya masih terpejam dengan sempurna dan Kinar yang melihat itu hanya mendengkus. “Ini sabtu dan aku libur. Seharusnya kamu tidur dan jangan pergi ke mana-mana,” sambungnya tanpa merasa bersalah sama sekali.“Wanita hamil tidak dianjurkan untuk menjadi pemalas.”Kinar berjalan menuju kamar mandi dan menutup pintunya. Menyalakan shower lekas mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Membuka po
Saat kembali dari belanja bersama Desi, mata Kinar membulat sepenuhnya. Terkejutnya tidak main-main melihat rumahnya penuh sesak dengan beberapa mobil yang berjejer. Ada Mama mertuanya yang sedang memberi petunjuk dan arahan kepada para pegawai berseragam hitam putih itu. Mengeluarkan dan menurunkan kotak makanan dari dalam mobil dan meletakkannya ke rumah santai dekat taman buatannya. Kinar belum sepenuhnya mengetahui apa yang sedang terjadi dan apa yang tengah dilakukan Zumarnis. Hanya helaan napas panjangnya yang terdengar membuat Desi menoleh menatapnya dengan cepat.“Jika saya tidak salah menyimpulkan, mungkin Nyonya ingin membagi-bagikan kotak makanan kepada para tetangga, Bu. Ibu sudah memberitahu, ‘kan jika Ibu hamil? Kemungkinan besar seperti itu,” ungkap Desi setelah menjadi pemerhati selama beberapa detik. “Biasanya, beberapa orang ada yang memakai cara seperti ini untuk berbagi kebahagiaan kepada orang lain Bu,” sambung Desi setelah terdiam cukup lama.“Iya, tapi ini cukup
“Anan,” panggil Adrian yang meski telah legowo dalam menerima nasihat Anan beberapa detik lalu soal perjodohannya dengan salah seorang pengusaha ternama di Indonesia. Mata sayu Adrian melukiskan sejuta luka yang oleh orang-orang sekitarnya tidak terlihat begitu jelas. Samar dan tidak akan terlihat dalam sekali pandang. Kecuali saat menatapi netra gelap itu. Lukanya benar-benar terlihat.“Kamu tidak akan iri dengan kehidupan yang kamu miliki sekarang ini. Pencapaian yang kamu dapat dengan segudang prestasi yang telah kamu sabet. Meski diadopsi, faktanya kamu memang cetakan yang ditakdirkan untuk berhasil. Kamu membuat bangga keluarga Pradipta dan Zumarnis penuh kegirangan menyambutmu atas segala keberhasilanmu,” tutur Adrian disertai tawanya yang sumbang. “Lalu aku?” tunjuknya pada dirinya sendiri. “Aku produk gagal yang sampai kapanpun tidak akan bisa sejajar denganmu.”Mendengar itu, baik Anan maupun Kinar hanya terdiam. Lebih tepatnya sengaja mengunci mulut mereka untuk tidak member
Zahra tidak tahu harus membangun obrolan yang seperti apa kepada Banyu. Hubungan ini telah berubah menjadi sebuah kehambaran dan dingin. Mulai ada jarak yang tercipta yang tidak Zahra sadari sejak kapan. Dunia Zahra bukan lagi tertuju pada Banyu melainkan sosok Anan Pradipta yang sepenuhnya telah memenuhi hati dan pikirannya. Sedangkan Banyu yang acuh terhadapnya tidak lagi memiliki arti apa-apa di mata Zahra.“Mau aku masakkan sesuatu?” tawar Banyu seraya meletakkan ponselnya. Pria itu menyeduh kopi panasnya yang masih mengepulkan asap dan meletakkannya kembali usai puas membaui aromanya. “Oh, bau kopi ini lebih pekat dari biasanya. Apa ini kopi yang berbeda?”“Dari Medan. Rina memberikannya padaku setelah cuti pulang kampong. Bagaimana? Apakah lebih terasa pekat untuk kopinya? Ini di buat dan diracik dengan cara manual. Aku bisa mencium wanginya hingga ke hidungku.” Zahra tersenyum.“Ah, pantas saja. Saat bersambut dengan lidahku, rasanya begitu kuat. Kamu harus mencobanya saat terb
“Apa memang selalu begitu? Produk pertama seringnya gagal dan tidak menjadi dambaan setiap orang tua, terutama ibunya. Aku agak merasakan frustrasi dan tanpa sebab yang jelas, aku ingin pergi sejauh mungkin dari hadapan mereka.”Adrian masih menggalaui perasaannya. Anan yang sedang mengambil beberapa camilan, meninggalkan Kinar untuk mendengarkan keluhan Adrian. Kelihatannya sudah selesai karena pengalihan topik yang Anan angkat. Sayangnya sama saja. Adrian tetap memikirkan rasa sakitnya. Rasa sakit akan terus hadir tanpa bisa kita cegah. Karena keluarga adalah orang yang paling dekat dengan kita sehingga merekalah yang paling mudah menorehkan luka untuk kita.“Kata siapa itu?” tanya Kinar yang tersenyum tipis. Soal kesakitan yang Adrian rasakan, Kinar tidak akan menebak ataupun mengatakan jika itu akan segera berlalu. Sakit yang ditimbulkan Adrian pastinya jauh lebih berbekas daripada caranya mengungkapkan kesakitan itu sendiri. “Tidak semua anak harus menjadi ekspektasi orang tuanya