“Ternyata aku tidak seberharga itu.”Bibir Kinar tersenyum segaris. Menyeruput minuman dinginnya, teriknya matahari siang hari di kota Bandung menjadi kenikmatan tersendiri. Ditemani dengan camilan ringan dan hidangan lainnya, Kinar sambangi apartemennya yang dulu diberikan oleh Anan. Dan curhatan kegalauan Vina menjadi pelengkap yang tak bisa Kinar hindari. Judulnya adalah menikmati dan Kinar tetap sebiasa mungkin untuk mendengarkannya.“Aku tahu!” kata Vina yang mendapat tatapan tak enak dari Kinar. “Aku tahu!” lanjutnya dengan keras kepala diikuti dengkusan yang Kinar tertawai sebagai balasan. “Tatapan kamu tidak bisa ditutupi dan aku tahu artinya. Tapi memang itu perasaan yang sedang aku rasakan. Jadi, tolong sopan sedikit padaku.”Tawa Kinar membahana. Memenuhi ruang apartemennya yang sepi dan hanya terisi oleh mereka berdua saja. Vina berkata dengan sangat santai seolah-olah Kinar sedang menghakiminya. Padahal wanita itu sendiri yang mengundang Kinar untuk memberinya tatapan pen
“Tentang kehilangan, ya?” Kinar mengusap-usap dagunya dengan jariny. Pertanyaan yang Anan ajukan cukup panjang penjabarannya. Karena setiap manusia memiliki deskripsi masing-masing tentang kehilangan. Mereka lebih membawa perasaannya kala ditanya seperti itu dan akan menerawang menembus cakrawala. “Memangnya bagaimana perasaanmu?”“Ini tanya yang dibalas dengan pertanyaan yang baru, ya?” kekeh Anan yang diberi cengiran oleh Kinar. “Hampa, mungkin yang lebih spesifiknya adalah kosong, kesepian dan aku merasa sendiri. Ah, jangan marah, ya,” pinta Anan seraya mengecup pucuk kepala Kinar. “Ini hanya obrolan ringan kita di setiap malamnya. Aku tahu kamu sedang jenuh dan kamu pun ingin didengarkan sebagaimana aku membagi bebanku padamu. Jadi, jauh sebelum kita saling mengenal, aku sudah memiliki perasaan seperti ini. Aku bingung tentang apa yang aku rasakan. Dikatakan kehilangan, itu aneh karena aku masih menggenggam sesuatu ditanganku. Namun jika bukan kehilangan, harus aku artikan apa ras
“Coba tanya bagaimana kabarku hari ini?”Adrian Pradipta menolehkan wajahnya dengan penuh keterkejutan. Seharusnya tidak perlu selebay itu, sih. Tapi Nindi mulai memberikan banyak kejutan yang menyensasikan keanehan untuk dada Adrian. Tidak ingin percaya tapi degupnya jelas terasa amat nyata. Di telapak tangan besar Adrian, rasa itu benar-benar ada. Dan untuk pertama kalinya selama hidupnya, Adrian merasakan hal ini. Tidak pernah sekali pun sebelum ini Adrian merasakannya. Wanita ini sungguh berbeda dari wanita yang pernah Adrian temui sebelumnya. Apakah boleh Adrian simpulkan jika Nindi wanita yang tepat untuknya?“Bagaimana kabarmu?” Adrian ikuti maunya Nindi yang mendapat balasan tawa. “Ada yang lucu?” tanya Adrian bingung sembari menyeruput kopi panasnya. “Aku tidak pandai merangkai kata. Untuk bisa menjadi kalimat, alih-alih membual dan mengumbar janji manis, aku lebih suka bertindak. Aku lihat kamu baik-baik saja, secara fisik. Tapi dengan hatimu, kita perlu berbicara secara men
“Aku punya rencana bagus.”“Apa?” Anan duduk dengan santai di kursinya. Menutup koran sorenya yang baru sempat di bacanya sembari menatap Kinar lekat-lekat. “Kamu selalu punya kejutan yang aku sendiri tidak tahu harus menebaknya seperti apa.”“Jangan menebak.” Kinar terkekeh. “Ini bukan tebakan atau permainan yang semacamnya. Kita sedang membagas sebuah masalah yang mana telah aku temukan sebuah rencana. Aku tidak menjamin ini akan berhasil.” Kali ini tatapan mata Kinar sepenuhnya terlihat penuh kelicikan. Anan sampai harus menyipitkan kedua matanya untuk bisa melihat maksud tersembunyi sang istri. “Menikah dengan Zahra.”“Wah!” Anan menyemburkan kopi panasnya setelah mendengar perkataan Kinar. “Aku ini suamimu, Kinar!” tegasnya menjawab dengan nada penuh penekanan. “Aku bukan barang yang bisa kamu lempar ke sana kemari. Astaga!”Anan sudah pasti sangat frustrasi dengan kondisinya sekarang ini. Kinar Dewi yang Anan pikir waras, nyatanya sama saja seperti Ivana Wijaya. Entah rencana ap
“Kalau hubungan yang kamu jalani justru meninggalkan perasaan yang tidak nyaman, baiknya akhiri saja,” kata Kinar membalas keluhan temannya. “Vira, dalam sebuah hubungan, harus ada kerja sama. Bukan hanya salah satu saja. Agar bisa imbang kala berlayar, kamu dan pasanganmu harus mendayung bersama. Kamu juga harus tahu ke mana arah anginnya untuk mencapai ke tepian.”Kinar Dewi bukan pakar ahli sebuah hubungan. Namun pengalaman pahitnya sebelum merubah statusnya menjadi seorang istri, Kinar pernah berada di proses yang tidak menyenangkan. Kinar pernah sakit kepala karena memikirkan si dia yang ternyata tidak pernah memikirkan dirinya. Kinar pernah menangis sesenggukan karena tidak mendapat kabar apa pun darinya. Bahkan Kinar pernah dihantui rasa takut saking traumanya untuk memulai. Bukan ingin melabeli dirinya sendiri menyedihkan. Setidaknya, lewat rasa sakit yang pernah ditanggungnya itu, Kinar jadi bisa berdiri lebih kuat lagi setelahnya.“Kamu tahu, Vir?” tanya Kinar setelah meliha
“Lawan saja!” perintah Kinar disertai dengkusan. Di tenggaknya air mineral dingin yang ada di hadapannya setelah ngomong ngotot panjang lebar. Bukan Kinar tidak mau memberi nasihat. Namun kupingnya sudah sangat panas dan jenuh mendengar keluhan Ayudia, teman sesama menulisnya yang tidak menemukan titik terangnya.“Aku harus melawan yang bagaimana?” tanya Ayudia lesu dengan kepala tertunduk. “Aku tidak punya jalan lagi. Aku harus apa?” rengeknya meminta saran dari Kinar yang jelas-jelas telah diberitahu.“Kabur!” Makin gila saja saran dari Kinar. Helaan napas Kinar terembus setelah di tahannya mati-matian. “Lawan di sini yang aku maksud adalah, kabur langsung saja ke KUA. Kamu tahu? Cinta melawan restu orang tua itu hasilnya antara hidup dan mati. Kamu dan dia yang tidak mau berpisah tapi harus sadar jika restu menjadi penghalang. Kamu pikir itu mudah? Ada, sih, cara paling unik dan ini sudah pasaran terjadi. Tinggal kamunya akan bagaimana menghadapi keluarga dia setelah ini. Menikah,
Kinar Dewi mendapat kunjungan di hari minggu pagi oleh ayah mertuanya. Jaya Pradipta berpakaian santai dengan tongkat di tangan kanannya. Pria paruh baya itu masih terlihat bugar meski kerutan dan uban di kepalanya terlihat. Senyumnya lebar, hampir mirip milik Anan meski mereka bukan ayah dan anak dalam aliran darah yang sama. Mungkin karena memang sudah bersama sejak lama dan persamaan itu tumbuh tanpa bisa di prediksi.“Sehat?” tanya Jaya singkat, jelas dan padat namun memberi kesan penuh perhatian. Kinar hanya menjawab sebagai anggukan. “Dia sebentar lagi akan melihat dunia. Wah.”Jaya memfokuskan kedua mata beningnya ke perut Kinar yang kian membesar. Sekali lagi, senyumnya terbit dan Kinar merasa mendapatkan kehangatan yang tiada tara. Kinar merasa sangat dimiliki oleh keluarga Pradipta setelah kehilangan kedua orang tuanya di masa remaja. Seolah-olah kungkungan di masa lalu yang membelenggu hidupnya terlepas secara perlahan.“Jika dia perempuan, Papa tidak masalah?” Kinar bertan
“Jika sudah tidak bisa berjuang, baiknya jangan memberi harapan kosong.” Itu hanya sepenggal saran yang bisa Anan berikan kepada Teguh. “Dia juga manusia sama seperti kamu. Pastinya saat ada harapan yang telah dia lambungkan lalu tidak bisa digapainya, rasa sakit menyerangnya. Jadi putuskan saja ingin mengambil langkah yang bagaimana. Maju atau mundur, berhenti atau bertahan.”Teguh diam. Duduk dengan wajah penuh kebingungan dan sorot mata yang lelah. Teguh belum mendapatkan keputusan hendak membawa hubungan bersama Rani ke mana. Jika tujuannya adalah pelaminan, itu sudah dari awal Teguh angankan kala hubungan ini terbentuk. Namun restu yang tak kunjung datang membuat Teguh serba galau. Harus bagaimana?“Kamu ini pria. Sejatinya kamu akan memperjuangkan apa yang menurut kamu tepat dan nyaman di hatimu. Tidak lembek seperti kerupuk terguyur air,” cibir Anan. Meski kalimatnya tidak sadis, seharusnya itu mampu menembus harga diri Teguh untuk bisa bangkit dari keterpurukannya. “Jika di aw
“Aduh lupa!”Teriakan Ara membuat Kinar yang sedang santai menikmati minuman dinginnya terpaksa harus menoleh. Ara si pemilik suara kecil agak cempreng dengan rambut berwarna merah gelap membuat Kinar geleng-geleng kepala. Bukan sekali, dua kali Ara menjadi heboh sendiri. Namun terlalu sering sehingga Kinar hafal betul dengan wanita yang lebih muda dua tahun di bawahnya itu.“Nggak kamu catat dulu?” tanya Kinar kalem.“Kamu kalem banget, sih, Nar?” Ara terkekeh dengan kepala bergoyang mirip bolo-bolo. “Padahal aku ini nggak ada kalemnya sama sekali tapi kamu sabar banget menghadapi aku yang super random ini.”“Aku juga random kok.” Kinar membela dirinya sendiri.Kinar sungkan saat ada orang lain yang menilai dirinya hanya dari covernya saja. Kinar selalu mendapat penilaian positif dan itu sedikit membuatnya sungkan. Yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya. Kinar juga punya momen-momen tertentu untuk meledak. Kinar juga bisa marah pada hal-hal kecil yang membuat orang sekitarnya te
Prinsip hidup yang selama ini Anan pegang cukup sederhana. Dengan tidak mencampuri urusan orang lain, arti dari ketenangan yang sebenarnya sudah Anan dapatkan. Tapi namanya manusia memang suka lupa diri dan semena-mena.Di saat Anan bersikeras tidak mau mendengar apa pun masalah dan keluh kesah orang lain, justru Tuhan mempertemukan dengan manusia-manusia yang sifatnya meribetkan. Dan Anan harus menjadi pendengar yang baik sedangkan itu tidak pernah tersemat sedikit pun di dalam dirinya.“Kita terlalu keras, ya?” tanya Kinar sembari merapikan dasi dileher Anan. “Aku terdengar kejam.”“Itu demi kebaikan mereka. Lagi pula mereka datang kepada kita sudah bentuk kesalahan fatal. Kita hanyalah saudara jauh dan yang seharusnya mereka datangi adalah keluarganya.” Anan tetap tidak mau salah dan pendapatnya adalah yang paling benar.Kinar mengembuskan napasnya. Tangan kanannya mengusap jas Anan seolah ada debu yang menempel di sana.“Kalau itu terjadi pada anakmu ….” Kinar tak kuasa melanjutka
Tentang hidup ….Kinar Dewi tidak mengharapkan apa-apa selain baik-baik saja. Maksud dari baik-baik saja di sini bukan sekadar adem ayem dengan segudang uang dan fasilitas yang telah terpenuhi. Namun jauh dari masalah walaupun itu mustahil. Namun setidaknya meminimalisir problem selalu Kinar usahakan.Seperti pagi ini contohnya. Tidak tahu dari mana datangnya. Kinar tidak mau menebak atau menyalahkan salah satu pihak. Bagi Kinar, masalah itu tercipta karena ada pihak-pihak tertentu yang terlibat. Mau dibalas penuh emosi bak kebakaran jenggot, masalah itu telah tercipta. Dan konyol kalau misalnya masalah itu muncul sendiri.“Jadi siapa yang mulai duluan?” tanya Kinar tegas dan jelas.Semua mata yang ada di ruang tamu rumahnya menatap Kinar dengan tatapan mata yang berbeda-beda. Anan yang santai sambil menarik napasnya dalam-dalam. Kinar tahu, semalaman Anan lembur karena ini awal bulan dan baru bisa memejamkan matanya subuh tadi. Sekarang pukul tujuh pagi yang artinya tidur Anan amatla
“Emang orangnya kayak gitu?” tanya Anan sambil mendorong troli belanja. Kinar mengajak Anan berbelanja sayur, buah dan kebutuhan lainnya. Mumpung sekalian dekat dengan supermarket.Anan mendengar ucapan terakhir Rika yang menurutnya amatlah nyelekit. Sedangkan Kinar memberi respons yang santai dan biasa saja. Seakan-akan memang istrinya itu sudah biasa mendengar kalimat tersebut.“Mungkin,” jawab Kinar sekenanya sambil memasukkan buah-buahan ke dalam troli. “Aku ketemu dan kenal Rika di komunitas menulis beberapa tahun yang lalu. Dan kita nggak dekat-dekat banget buat bertukar nasib hidup.”“Kamu nggak kesinggung? Minimal kamu keluarin ekspresi marahlah biar dia sungkan dan jera.”“Buat apa?” Kinar membalikkan tubuhnya ke belakang di mana Anan berdiri. “Kalau aku marah, aku nggak ada bedanya sama dia dan aku punya level yang sama kayak dia sedangkan aku paling anti buat lakuin itu.”“Kenapa?” Anan penasaran dan terus mengejar jawaban dari Kinar. “Sesekali marah nggak akan bikin kamu r
“Sebenarnya titik kehidupan masing-masing orang itu berbeda.” Kinar mengatakan sesuai pengalaman yang pernah dialaminya. “Aku berada di posisi ini karena aku pernah merasakan titik terendah dalam hidupku yang mana aku ingin mati. Tapi aku sadar, semengenaskan apa pun kehidupanku waktu itu, selalu ada takdir milik orang lain yang paling mengerikan. Dan untuk itu aku hanya bisa mensyukuri jalanku.”Rika hanya mengangguk. Rekan sesama penulis Kinar itu sedang mencurahkan isi hati dan pikirannya. Yang jika Kinar menilai itu adalah sebuah ujian yang tiap-tiap orang selalu merasakannya. Kinar enggan berkomentar panjang lebar. Toh masa-masa sulit yang pernah Kinar lalui telah lewat. Sekarang yang tersisa hanyalah secuil nasihat dan kenangan yang memang patut untuk dikenang.“Orang-orang kalau ngomong selalu enak.” Rika seruput es tehnya. “Tau kok soalnya cuma tinggal ngomong doang. Enak ya jadi kamu, seneng ya jadi kamu, nggak perlu effort berlebih hidup kamu udah kejamin. Andai mereka tau g
“Kali ini tentang apa?”Kinar menyeruput cokelat dinginnya dengan santai dan hidupnya memang sesantai itu sekarang. Setelah menjadi Nyonya Pradipta, kegiatan Kinar selain menulis adalah berkumpul bersama para kalangan atas. Yang jika Kinar jabarkan bagaimana rasanya … itu membosankan. Jujur saja, Kinar lebih suka hidupnya yang sederhana dan biasa-biasa saja. Tidak banyak kegiatan selain menulis, rebahan, menonton sendirian di bioskop dan makan nasi padang. Bonusnya jalan-jalan sore di alun-alun dan belie s krim.Dalam benak Kinar terbersit kerinduan masa lalunya yang sangat sulit untuk dirinya ulang kembali. Bukannya tidak mau kembali ke masa itu. Kinar hanya harus bertindak penuh kehati-hatian. Karena siapa, sih, yang nggak kenal sama keluarga Pradipta?Media yang tersembunyi di dalam pelosok saja tahu mereka. Maka dari itu Kinar harus menyamar terlebih dulu jika ingin menikmati masa lalunya. Agar orang-orang tidak tahu identitasnya terlebih wajahnya yang sudah tersorot oleh penjuru
“Segala sesuatu di dunia ini ada harganya. Tidak ada nilai yang tidak bisa diubah menjadi uang. Orang yang berani mengatakan cinta adalah hal tidak ternilai itu seperti pencuri yang mencuri barang gratis. Jika kamu tidak bisa membeli kebahagiaan dengan uang, itu karena kamu tidak punya cukup uang.”Kinar Dewi hanya memandangi Ivana dengan sungguh-sungguh. Wanita elegan itu menyeruput kopi panasnya yang masih mengeluarkan asap dengan santai. Sore hari di Bandung dan kemacetan yang terjadi di mana-mana. Semilir angin dan gulungan awan hitam bisa Kinar lihat dari kaca jendela. Tempat duduknya memiliki spot tertuju ke mana saja dan pojokan adalah favorit Kinar sejak dulu.“Uang lagi dan cinta bukan sesuatu yang harus kita khawatirkan. Aku membeli Banyu bukan dengan hatiku meski ada kontrak di atas hitam putih tapi uangku lebih berkuasa. Itulah kenapa kita perlu menjadi kaya agar bisa membeli apa pun yang kita mau. Ini terdengar egois karena tidak semua orang terlahir dengan privilege. Ya
Pada akhirnya ....Di dunia ini, ada tiga jenis manusia, yaitu, ada yang seperti makanan, selalu dibutuhkan orang lain, ada yang seperti obat, diperlukan oleh orang lain saat sakit, dan ada yang seperti penyakit, selalu dibenci oleh orang lain.Kinar membaca tulisannya sendiri dengan saksama lalu memberi penjelasan hanya dalam benaknya saja. Kinar malas untuk menjabarkan dengan mengetikkan di layar laptopnya. Selain terlalu panjang dan berbelit-belit, Kinar sedang melawan moodnya yang berantakan.Hari ini Kinar sedang mati kebosanan. Jalan satu-satunya adalah hengkang dari rumah dan berakhir di ruangan Anan. Ternyata pilihan untuk ke kantor Anan juga bukan sesuatu yang tepat. Suaminya itu sedang sibuk dan Kinar tidak punya objek untuk melampiaskan marahnya. Ugh, rasanya dongkol luar biasa.“Mau es krim, Bu?” tawar Kamila yang masuk setelah mengetuk pintu. Senyum wanita yang usianya sepantaran dengan Anan itu terukir. “Akan saya belikan.” Kamila sudah akan membawa kedua kakinya menuju
“Jika sudah tidak bisa berjuang, baiknya jangan memberi harapan kosong.” Itu hanya sepenggal saran yang bisa Anan berikan kepada Teguh. “Dia juga manusia sama seperti kamu. Pastinya saat ada harapan yang telah dia lambungkan lalu tidak bisa digapainya, rasa sakit menyerangnya. Jadi putuskan saja ingin mengambil langkah yang bagaimana. Maju atau mundur, berhenti atau bertahan.”Teguh diam. Duduk dengan wajah penuh kebingungan dan sorot mata yang lelah. Teguh belum mendapatkan keputusan hendak membawa hubungan bersama Rani ke mana. Jika tujuannya adalah pelaminan, itu sudah dari awal Teguh angankan kala hubungan ini terbentuk. Namun restu yang tak kunjung datang membuat Teguh serba galau. Harus bagaimana?“Kamu ini pria. Sejatinya kamu akan memperjuangkan apa yang menurut kamu tepat dan nyaman di hatimu. Tidak lembek seperti kerupuk terguyur air,” cibir Anan. Meski kalimatnya tidak sadis, seharusnya itu mampu menembus harga diri Teguh untuk bisa bangkit dari keterpurukannya. “Jika di aw