“Aku punya rencana bagus.”“Apa?” Anan duduk dengan santai di kursinya. Menutup koran sorenya yang baru sempat di bacanya sembari menatap Kinar lekat-lekat. “Kamu selalu punya kejutan yang aku sendiri tidak tahu harus menebaknya seperti apa.”“Jangan menebak.” Kinar terkekeh. “Ini bukan tebakan atau permainan yang semacamnya. Kita sedang membagas sebuah masalah yang mana telah aku temukan sebuah rencana. Aku tidak menjamin ini akan berhasil.” Kali ini tatapan mata Kinar sepenuhnya terlihat penuh kelicikan. Anan sampai harus menyipitkan kedua matanya untuk bisa melihat maksud tersembunyi sang istri. “Menikah dengan Zahra.”“Wah!” Anan menyemburkan kopi panasnya setelah mendengar perkataan Kinar. “Aku ini suamimu, Kinar!” tegasnya menjawab dengan nada penuh penekanan. “Aku bukan barang yang bisa kamu lempar ke sana kemari. Astaga!”Anan sudah pasti sangat frustrasi dengan kondisinya sekarang ini. Kinar Dewi yang Anan pikir waras, nyatanya sama saja seperti Ivana Wijaya. Entah rencana ap
“Kalau hubungan yang kamu jalani justru meninggalkan perasaan yang tidak nyaman, baiknya akhiri saja,” kata Kinar membalas keluhan temannya. “Vira, dalam sebuah hubungan, harus ada kerja sama. Bukan hanya salah satu saja. Agar bisa imbang kala berlayar, kamu dan pasanganmu harus mendayung bersama. Kamu juga harus tahu ke mana arah anginnya untuk mencapai ke tepian.”Kinar Dewi bukan pakar ahli sebuah hubungan. Namun pengalaman pahitnya sebelum merubah statusnya menjadi seorang istri, Kinar pernah berada di proses yang tidak menyenangkan. Kinar pernah sakit kepala karena memikirkan si dia yang ternyata tidak pernah memikirkan dirinya. Kinar pernah menangis sesenggukan karena tidak mendapat kabar apa pun darinya. Bahkan Kinar pernah dihantui rasa takut saking traumanya untuk memulai. Bukan ingin melabeli dirinya sendiri menyedihkan. Setidaknya, lewat rasa sakit yang pernah ditanggungnya itu, Kinar jadi bisa berdiri lebih kuat lagi setelahnya.“Kamu tahu, Vir?” tanya Kinar setelah meliha
“Lawan saja!” perintah Kinar disertai dengkusan. Di tenggaknya air mineral dingin yang ada di hadapannya setelah ngomong ngotot panjang lebar. Bukan Kinar tidak mau memberi nasihat. Namun kupingnya sudah sangat panas dan jenuh mendengar keluhan Ayudia, teman sesama menulisnya yang tidak menemukan titik terangnya.“Aku harus melawan yang bagaimana?” tanya Ayudia lesu dengan kepala tertunduk. “Aku tidak punya jalan lagi. Aku harus apa?” rengeknya meminta saran dari Kinar yang jelas-jelas telah diberitahu.“Kabur!” Makin gila saja saran dari Kinar. Helaan napas Kinar terembus setelah di tahannya mati-matian. “Lawan di sini yang aku maksud adalah, kabur langsung saja ke KUA. Kamu tahu? Cinta melawan restu orang tua itu hasilnya antara hidup dan mati. Kamu dan dia yang tidak mau berpisah tapi harus sadar jika restu menjadi penghalang. Kamu pikir itu mudah? Ada, sih, cara paling unik dan ini sudah pasaran terjadi. Tinggal kamunya akan bagaimana menghadapi keluarga dia setelah ini. Menikah,
Kinar Dewi mendapat kunjungan di hari minggu pagi oleh ayah mertuanya. Jaya Pradipta berpakaian santai dengan tongkat di tangan kanannya. Pria paruh baya itu masih terlihat bugar meski kerutan dan uban di kepalanya terlihat. Senyumnya lebar, hampir mirip milik Anan meski mereka bukan ayah dan anak dalam aliran darah yang sama. Mungkin karena memang sudah bersama sejak lama dan persamaan itu tumbuh tanpa bisa di prediksi.“Sehat?” tanya Jaya singkat, jelas dan padat namun memberi kesan penuh perhatian. Kinar hanya menjawab sebagai anggukan. “Dia sebentar lagi akan melihat dunia. Wah.”Jaya memfokuskan kedua mata beningnya ke perut Kinar yang kian membesar. Sekali lagi, senyumnya terbit dan Kinar merasa mendapatkan kehangatan yang tiada tara. Kinar merasa sangat dimiliki oleh keluarga Pradipta setelah kehilangan kedua orang tuanya di masa remaja. Seolah-olah kungkungan di masa lalu yang membelenggu hidupnya terlepas secara perlahan.“Jika dia perempuan, Papa tidak masalah?” Kinar bertan
“Jika sudah tidak bisa berjuang, baiknya jangan memberi harapan kosong.” Itu hanya sepenggal saran yang bisa Anan berikan kepada Teguh. “Dia juga manusia sama seperti kamu. Pastinya saat ada harapan yang telah dia lambungkan lalu tidak bisa digapainya, rasa sakit menyerangnya. Jadi putuskan saja ingin mengambil langkah yang bagaimana. Maju atau mundur, berhenti atau bertahan.”Teguh diam. Duduk dengan wajah penuh kebingungan dan sorot mata yang lelah. Teguh belum mendapatkan keputusan hendak membawa hubungan bersama Rani ke mana. Jika tujuannya adalah pelaminan, itu sudah dari awal Teguh angankan kala hubungan ini terbentuk. Namun restu yang tak kunjung datang membuat Teguh serba galau. Harus bagaimana?“Kamu ini pria. Sejatinya kamu akan memperjuangkan apa yang menurut kamu tepat dan nyaman di hatimu. Tidak lembek seperti kerupuk terguyur air,” cibir Anan. Meski kalimatnya tidak sadis, seharusnya itu mampu menembus harga diri Teguh untuk bisa bangkit dari keterpurukannya. “Jika di aw
Pada akhirnya ....Di dunia ini, ada tiga jenis manusia, yaitu, ada yang seperti makanan, selalu dibutuhkan orang lain, ada yang seperti obat, diperlukan oleh orang lain saat sakit, dan ada yang seperti penyakit, selalu dibenci oleh orang lain.Kinar membaca tulisannya sendiri dengan saksama lalu memberi penjelasan hanya dalam benaknya saja. Kinar malas untuk menjabarkan dengan mengetikkan di layar laptopnya. Selain terlalu panjang dan berbelit-belit, Kinar sedang melawan moodnya yang berantakan.Hari ini Kinar sedang mati kebosanan. Jalan satu-satunya adalah hengkang dari rumah dan berakhir di ruangan Anan. Ternyata pilihan untuk ke kantor Anan juga bukan sesuatu yang tepat. Suaminya itu sedang sibuk dan Kinar tidak punya objek untuk melampiaskan marahnya. Ugh, rasanya dongkol luar biasa.“Mau es krim, Bu?” tawar Kamila yang masuk setelah mengetuk pintu. Senyum wanita yang usianya sepantaran dengan Anan itu terukir. “Akan saya belikan.” Kamila sudah akan membawa kedua kakinya menuju
“Segala sesuatu di dunia ini ada harganya. Tidak ada nilai yang tidak bisa diubah menjadi uang. Orang yang berani mengatakan cinta adalah hal tidak ternilai itu seperti pencuri yang mencuri barang gratis. Jika kamu tidak bisa membeli kebahagiaan dengan uang, itu karena kamu tidak punya cukup uang.”Kinar Dewi hanya memandangi Ivana dengan sungguh-sungguh. Wanita elegan itu menyeruput kopi panasnya yang masih mengeluarkan asap dengan santai. Sore hari di Bandung dan kemacetan yang terjadi di mana-mana. Semilir angin dan gulungan awan hitam bisa Kinar lihat dari kaca jendela. Tempat duduknya memiliki spot tertuju ke mana saja dan pojokan adalah favorit Kinar sejak dulu.“Uang lagi dan cinta bukan sesuatu yang harus kita khawatirkan. Aku membeli Banyu bukan dengan hatiku meski ada kontrak di atas hitam putih tapi uangku lebih berkuasa. Itulah kenapa kita perlu menjadi kaya agar bisa membeli apa pun yang kita mau. Ini terdengar egois karena tidak semua orang terlahir dengan privilege. Ya
“Kali ini tentang apa?”Kinar menyeruput cokelat dinginnya dengan santai dan hidupnya memang sesantai itu sekarang. Setelah menjadi Nyonya Pradipta, kegiatan Kinar selain menulis adalah berkumpul bersama para kalangan atas. Yang jika Kinar jabarkan bagaimana rasanya … itu membosankan. Jujur saja, Kinar lebih suka hidupnya yang sederhana dan biasa-biasa saja. Tidak banyak kegiatan selain menulis, rebahan, menonton sendirian di bioskop dan makan nasi padang. Bonusnya jalan-jalan sore di alun-alun dan belie s krim.Dalam benak Kinar terbersit kerinduan masa lalunya yang sangat sulit untuk dirinya ulang kembali. Bukannya tidak mau kembali ke masa itu. Kinar hanya harus bertindak penuh kehati-hatian. Karena siapa, sih, yang nggak kenal sama keluarga Pradipta?Media yang tersembunyi di dalam pelosok saja tahu mereka. Maka dari itu Kinar harus menyamar terlebih dulu jika ingin menikmati masa lalunya. Agar orang-orang tidak tahu identitasnya terlebih wajahnya yang sudah tersorot oleh penjuru