“Kamu tahu caranya menjadi serakah?”Pertanyaan itu Kinar ajukan kepada Ivana yang pagi itu menghubungi nomornya dan mengajaknya breakfast. Karena Kinar tidak punya alasan untuk menolak terlebih izin yang Anan berikan tidak menyiratkan amarah atau omelan, maka di sinilah Kinar sekarang.Duduk berhadapan dengan Ivana yang menyesap teh hijaunya seraya melayangkan tatapannya ke arah ke luar jendela. Udara sejuk masih menyelimuti bumi pasundan dengan burung-burung gereja yang beterbangan ke sana kemari. Kawanan mereka sesekali akan mematuki semut-semut yang berada di tanah lalu kembali terbang. Membuat sebuah formasi dengan kelompoknya dan mencicit satu sama lain.Kinar mengenakan dress hamilnya yang super nyaman meski perut buncitnya belum sepenuhnya terlihat. Namun dengan bentuk tubuhnya yang langsing nan ramping, dressnya akan bekerja dengan sangat baik saat angin meniupnya. Jeplakan perut buncitnya yang belum seberapa terlihat dengan apiknya. Motif kembang-kembang merah yang menjalar
“Kamu punya mimpi? Impian, mungkin.”Mustahil! Setiap yang hidup dan terlahir di bumi tidak memiliki mimpi. Paling tidak, mereka yang telah melihat luas dan kejamnya dunia, ada setitik harapan yang mereka gantungkan. Walau dunia bersikap tidak adil sekali pun, harapan dan mimpi mereka jadikan pegangan hidup. Bukan hal yang mudah namun juga tidak bisa dikatakan itu sulit. Sebelum mencobanya, sebelum terjun ke dalam lumpuh yang dipenuhi lintah maka hidup akan begitu-begitu saja: monoton.“Kenapa?” balasnya bertanya yang membuat Anan Pradipta terkekeh. Kinar Dewi yang baru saja menandaskan susu hamilnya menanggapi dengan senyuman miring. Suaminya dan obrolan yang selalu absurd memang topik paling apik di malam hari guna melepas penat. “Aku tidak tahu banyak tentangmu bahkan perihal mimpi-mimpimu selain rumah yang selalu kamu ucapkan sebagai tempat pulang.”“Yang tidak selalu berbentuk bangunan.” Anan menoleh yang dibalas anggukan oleh Kinar. “Hm, aku sendiri juga tidak tahu. Bukan tidak
“Ternyata aku tidak seberharga itu.”Bibir Kinar tersenyum segaris. Menyeruput minuman dinginnya, teriknya matahari siang hari di kota Bandung menjadi kenikmatan tersendiri. Ditemani dengan camilan ringan dan hidangan lainnya, Kinar sambangi apartemennya yang dulu diberikan oleh Anan. Dan curhatan kegalauan Vina menjadi pelengkap yang tak bisa Kinar hindari. Judulnya adalah menikmati dan Kinar tetap sebiasa mungkin untuk mendengarkannya.“Aku tahu!” kata Vina yang mendapat tatapan tak enak dari Kinar. “Aku tahu!” lanjutnya dengan keras kepala diikuti dengkusan yang Kinar tertawai sebagai balasan. “Tatapan kamu tidak bisa ditutupi dan aku tahu artinya. Tapi memang itu perasaan yang sedang aku rasakan. Jadi, tolong sopan sedikit padaku.”Tawa Kinar membahana. Memenuhi ruang apartemennya yang sepi dan hanya terisi oleh mereka berdua saja. Vina berkata dengan sangat santai seolah-olah Kinar sedang menghakiminya. Padahal wanita itu sendiri yang mengundang Kinar untuk memberinya tatapan pen
“Tentang kehilangan, ya?” Kinar mengusap-usap dagunya dengan jariny. Pertanyaan yang Anan ajukan cukup panjang penjabarannya. Karena setiap manusia memiliki deskripsi masing-masing tentang kehilangan. Mereka lebih membawa perasaannya kala ditanya seperti itu dan akan menerawang menembus cakrawala. “Memangnya bagaimana perasaanmu?”“Ini tanya yang dibalas dengan pertanyaan yang baru, ya?” kekeh Anan yang diberi cengiran oleh Kinar. “Hampa, mungkin yang lebih spesifiknya adalah kosong, kesepian dan aku merasa sendiri. Ah, jangan marah, ya,” pinta Anan seraya mengecup pucuk kepala Kinar. “Ini hanya obrolan ringan kita di setiap malamnya. Aku tahu kamu sedang jenuh dan kamu pun ingin didengarkan sebagaimana aku membagi bebanku padamu. Jadi, jauh sebelum kita saling mengenal, aku sudah memiliki perasaan seperti ini. Aku bingung tentang apa yang aku rasakan. Dikatakan kehilangan, itu aneh karena aku masih menggenggam sesuatu ditanganku. Namun jika bukan kehilangan, harus aku artikan apa ras
“Coba tanya bagaimana kabarku hari ini?”Adrian Pradipta menolehkan wajahnya dengan penuh keterkejutan. Seharusnya tidak perlu selebay itu, sih. Tapi Nindi mulai memberikan banyak kejutan yang menyensasikan keanehan untuk dada Adrian. Tidak ingin percaya tapi degupnya jelas terasa amat nyata. Di telapak tangan besar Adrian, rasa itu benar-benar ada. Dan untuk pertama kalinya selama hidupnya, Adrian merasakan hal ini. Tidak pernah sekali pun sebelum ini Adrian merasakannya. Wanita ini sungguh berbeda dari wanita yang pernah Adrian temui sebelumnya. Apakah boleh Adrian simpulkan jika Nindi wanita yang tepat untuknya?“Bagaimana kabarmu?” Adrian ikuti maunya Nindi yang mendapat balasan tawa. “Ada yang lucu?” tanya Adrian bingung sembari menyeruput kopi panasnya. “Aku tidak pandai merangkai kata. Untuk bisa menjadi kalimat, alih-alih membual dan mengumbar janji manis, aku lebih suka bertindak. Aku lihat kamu baik-baik saja, secara fisik. Tapi dengan hatimu, kita perlu berbicara secara men
“Aku punya rencana bagus.”“Apa?” Anan duduk dengan santai di kursinya. Menutup koran sorenya yang baru sempat di bacanya sembari menatap Kinar lekat-lekat. “Kamu selalu punya kejutan yang aku sendiri tidak tahu harus menebaknya seperti apa.”“Jangan menebak.” Kinar terkekeh. “Ini bukan tebakan atau permainan yang semacamnya. Kita sedang membagas sebuah masalah yang mana telah aku temukan sebuah rencana. Aku tidak menjamin ini akan berhasil.” Kali ini tatapan mata Kinar sepenuhnya terlihat penuh kelicikan. Anan sampai harus menyipitkan kedua matanya untuk bisa melihat maksud tersembunyi sang istri. “Menikah dengan Zahra.”“Wah!” Anan menyemburkan kopi panasnya setelah mendengar perkataan Kinar. “Aku ini suamimu, Kinar!” tegasnya menjawab dengan nada penuh penekanan. “Aku bukan barang yang bisa kamu lempar ke sana kemari. Astaga!”Anan sudah pasti sangat frustrasi dengan kondisinya sekarang ini. Kinar Dewi yang Anan pikir waras, nyatanya sama saja seperti Ivana Wijaya. Entah rencana ap
“Kalau hubungan yang kamu jalani justru meninggalkan perasaan yang tidak nyaman, baiknya akhiri saja,” kata Kinar membalas keluhan temannya. “Vira, dalam sebuah hubungan, harus ada kerja sama. Bukan hanya salah satu saja. Agar bisa imbang kala berlayar, kamu dan pasanganmu harus mendayung bersama. Kamu juga harus tahu ke mana arah anginnya untuk mencapai ke tepian.”Kinar Dewi bukan pakar ahli sebuah hubungan. Namun pengalaman pahitnya sebelum merubah statusnya menjadi seorang istri, Kinar pernah berada di proses yang tidak menyenangkan. Kinar pernah sakit kepala karena memikirkan si dia yang ternyata tidak pernah memikirkan dirinya. Kinar pernah menangis sesenggukan karena tidak mendapat kabar apa pun darinya. Bahkan Kinar pernah dihantui rasa takut saking traumanya untuk memulai. Bukan ingin melabeli dirinya sendiri menyedihkan. Setidaknya, lewat rasa sakit yang pernah ditanggungnya itu, Kinar jadi bisa berdiri lebih kuat lagi setelahnya.“Kamu tahu, Vir?” tanya Kinar setelah meliha
“Lawan saja!” perintah Kinar disertai dengkusan. Di tenggaknya air mineral dingin yang ada di hadapannya setelah ngomong ngotot panjang lebar. Bukan Kinar tidak mau memberi nasihat. Namun kupingnya sudah sangat panas dan jenuh mendengar keluhan Ayudia, teman sesama menulisnya yang tidak menemukan titik terangnya.“Aku harus melawan yang bagaimana?” tanya Ayudia lesu dengan kepala tertunduk. “Aku tidak punya jalan lagi. Aku harus apa?” rengeknya meminta saran dari Kinar yang jelas-jelas telah diberitahu.“Kabur!” Makin gila saja saran dari Kinar. Helaan napas Kinar terembus setelah di tahannya mati-matian. “Lawan di sini yang aku maksud adalah, kabur langsung saja ke KUA. Kamu tahu? Cinta melawan restu orang tua itu hasilnya antara hidup dan mati. Kamu dan dia yang tidak mau berpisah tapi harus sadar jika restu menjadi penghalang. Kamu pikir itu mudah? Ada, sih, cara paling unik dan ini sudah pasaran terjadi. Tinggal kamunya akan bagaimana menghadapi keluarga dia setelah ini. Menikah,