Semua kelopak bunga ataupun rumput, ada goresannya. Jika kamu tetap seperti rumput di lapangan yang berangin, bukankah lukamu akan semakin dalam?Adalah kutipan yang Kinar Dewi baca dalam sebuah novel yang baru saja dirinya beli. Seraya menunggu Anan yang sedang rapat bersama klien barunya, Kinar habiskan waktunya dengan bersantai di ruangan sang suami. Sebenarnya ini bukan hal yang ingin Kinar lakukan. Selain tidak etis dan tidak pantas dilihat, Kinar seperti istri yang terlalu terobsesi dengan suaminya. Padahal dorongan untuk berkunjung ke kantor Anan bukanlah kemauannya. Jika ditanya siapa yang memengaruhi kamu untuk tiba di sini, maka jawaban Kinar adalah tidak tahu. Karena memang begitu adanya.“Jangan dengarkan apa yang orang lain katakan atau kesimpulan apa pun tentang dirimu.” Teguh datang membawa makanan dalam paper bag. Meletakkan di hadapan Kinar yang tersenyum semringah melihat tulisan sablon makanan kenamaan kesukaan jutaan umat. Dari berbagai penjuru negara manapun, maka
“Aku melihatnya secara sederhana saja. Komposisi cinta di dalam sebuah pernikahan hanyalah sepuluh persen. Jika kamu merasa tidak terima, kita akan mengobrol sepanjang hari ini. Bagaimana?”Tidak masalah. Adrian akan menuruti maunya Nindi yang hari ini dirinya temui. Wanita itu tenang dan berwajah cantik. Senyum di bibirnya yang terulas terekam baik dalam benak Adrian. Dan lebih dari apa pun, Adrian ingin menyimpannya diam-diam. Oh, rupanya seperti ini kasmaran? Apakah bisa disimpulkan secepat itu?Namun ada yang mengganjal. Cepat-cepat Adrian mengedipkan kedua matanya beberapa kali setelah rasa sadar itu menyeret dari lamunannya. Di awal perjumpaan ini, kenapa Adrian merasa telah di tolak secara tidak langsung, ya? Nindi menarik sebuah garis bawah dengan sangat cepat jika pernikahan di matanya tidaklah begitu menyenangkan. Sepertinya, di dalam pandangan Nindi, kehidupan rumah tangga amatlah berat dan niat untuk menuju ke arah sana telah ditumpas tanpa bisa dicegah. Kenapa begitu?“Ka
“Anan!” panggil Kinar yang mengucurkan air mata sederas hujan dari kedua matanya. Membuat si empu nama yang dipanggil menoleh dengan kedua mata membulat dan wajah yang kentara panik. Secepat kilat Anan meninggalkan kursi rapat yang didudukinya untuk menghampiri Kinar yang berada di depan pintu masuk. “Bagaimana ini?”“Ada apa?” Anan bingung harus melakukan tindakan apa. Pasang mata dari para klien yang hari itu berada di ruang rapat perusahaan Anan memusatkan seluruhnya ke arah Anan dan Kinar. Gumaman demi gumaman mulai riuh terdengar dan Anan tidak memiliki waktu untuk menggubris itu semua. “Siapa yang membuatmu menangis? Katakan, Kinar, jangan menangis seperti ini.”Kinar tidak mengindahkan ucapan Anan yang memberi perintah namun selembut sutra. Suara Anan yang candu di rungu Kinar semakin membuat ibu hamil muda itu meneteskan air matanya tanpa henti. Kali ini, tanpa pikir panjang Kinar menubrukkan tubuhnya pada tubuh Anan yang membalasnya dengan penuh keterkejutan. Meski di balas s
Beberapa hari yang lalu, Banyu Himawan mendapat tantangan sekaligus menantang Ivana Wijaya. Akhir dari itu semua tentulah sudah bisa ditebak jika hanya Banyu yang akan menderita. Dengan ringisan yang menyengsarakan jiwanya, Banyu kenakan dasi ke lehernya dan mengumpati persetujuannya. Menerima tantangan dari Ivana tidaklah mudah. Namun Banyu juga kadung tercebur ke dalam sebuah perasaan yang tak bisa membawa dirinya bangkit. Banyu telah jatuh hati dan meletakkan harapannya sepenuhnya kepada Ivana. Kenapa begitu?Iya, kenapa, ya?Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban apa pun dari diri Banyu. Yang ada di benaknya hanyalah langkah apa yang akan dirinya ambil untuk menyelesaikan tantangan dari Ivana. Banyu ingin melakukan semua itu segera dan bisa melepaskan Zahra. Rasa muak dan bosan mulai menyambangi dirinya sehingga Banyu enggan bertemu dengan Zahra secara langsung.Namun pagi ini adalah pengecualian. Banyu menginap di apartemen Zahra yang mana wanita itu sedang berkutat dengan dapur.
Sebuah perjalanan tanpa rasa sakit tidak akan ada artinya. Karena manusia tidak bisa mendapatkan apa pun tanpa mengorbankan sesuatu. Tetapi ketika mereka mampu mengatasi hal itu, manusia akan mendapatkan hati baja yang lebih keras dari apa pun.Seketika Anan teringat pada sesuatu. Di mana seperti sebuah kenangan yang sengaja Anan hilangkan dari ingatannya. Rasanya perih hingga sendi-sendi Anan merasakan sakit tanpa sebuah alasan yang tepat. Anan merasa ini pernah terjadi dan dirinya mengalami dengan nyata. Tapi di mana dan kapan?“Ada yang kamu pikirkan?” tanya Zahra yang sore itu mendatangi Anan di kantornya. Wanita dengan rambut panjangnya yang tergerai itu meletakkan es kopi pesanan Anan di hadapannya dan duduk di sofa tamu tak jauh dari keberadaan Anan. “Wajahmu pucat.” Zahra hendak memegang pipi Anan yang langsung mendapat reaksi dari si empunya. Penolakan Anan hanya Zahra balas dengan senyuman kecil yang canggung. “Oh, maaf.”“Tidak apa-apa. Saya baik-baik saja. Oh, ya, ada sesu
Pulang ke rumahnya, wajah Anan sangat semringah dan perasaan puas terlukis jelas membuat Kinar yang menunggunya di teras rumah mengerutkan keningnya. Suaminya itu memberinya pelukan singkat dan kecupan singkat di keningnya alih-alih penjelasan yang membuat wajahnya begitu cerah bak matahari pagi hari.“Sesuatu yang menyenangkan.” Begitu kata Anan yang menggandeng tangan kanan Kinar dan memasuki rumah. “Kamu masak apa? Aku makan siang bersama klien dan perutku sedikit bermasalah.”“Mau salad buah? Aku tidak pernah lupa mengingatkanmu untuk jangan memakan makanan yang tidak bisa diterima oleh perutmu. Kenapa harus sungkan dengan rekan kerjamu jika tahu perutmu selalu bermasalah?” Kinar tidak mengomel. Hanya sedang memberitahu Anan untuk lebih berhati-hati.Berjalan menuju kulkas setelah meletakkan tas kerja Anan di meja makan. Kinar mengeluarkan sekotak salad buah yang selalu dirinya siapkan untuk Anan konsumsi. Dan sebagai bentuk rasa penyesalannya, Anan tidak menolak pemberian Kinar.
“Kamu tahu caranya menjadi serakah?”Pertanyaan itu Kinar ajukan kepada Ivana yang pagi itu menghubungi nomornya dan mengajaknya breakfast. Karena Kinar tidak punya alasan untuk menolak terlebih izin yang Anan berikan tidak menyiratkan amarah atau omelan, maka di sinilah Kinar sekarang.Duduk berhadapan dengan Ivana yang menyesap teh hijaunya seraya melayangkan tatapannya ke arah ke luar jendela. Udara sejuk masih menyelimuti bumi pasundan dengan burung-burung gereja yang beterbangan ke sana kemari. Kawanan mereka sesekali akan mematuki semut-semut yang berada di tanah lalu kembali terbang. Membuat sebuah formasi dengan kelompoknya dan mencicit satu sama lain.Kinar mengenakan dress hamilnya yang super nyaman meski perut buncitnya belum sepenuhnya terlihat. Namun dengan bentuk tubuhnya yang langsing nan ramping, dressnya akan bekerja dengan sangat baik saat angin meniupnya. Jeplakan perut buncitnya yang belum seberapa terlihat dengan apiknya. Motif kembang-kembang merah yang menjalar
“Kamu punya mimpi? Impian, mungkin.”Mustahil! Setiap yang hidup dan terlahir di bumi tidak memiliki mimpi. Paling tidak, mereka yang telah melihat luas dan kejamnya dunia, ada setitik harapan yang mereka gantungkan. Walau dunia bersikap tidak adil sekali pun, harapan dan mimpi mereka jadikan pegangan hidup. Bukan hal yang mudah namun juga tidak bisa dikatakan itu sulit. Sebelum mencobanya, sebelum terjun ke dalam lumpuh yang dipenuhi lintah maka hidup akan begitu-begitu saja: monoton.“Kenapa?” balasnya bertanya yang membuat Anan Pradipta terkekeh. Kinar Dewi yang baru saja menandaskan susu hamilnya menanggapi dengan senyuman miring. Suaminya dan obrolan yang selalu absurd memang topik paling apik di malam hari guna melepas penat. “Aku tidak tahu banyak tentangmu bahkan perihal mimpi-mimpimu selain rumah yang selalu kamu ucapkan sebagai tempat pulang.”“Yang tidak selalu berbentuk bangunan.” Anan menoleh yang dibalas anggukan oleh Kinar. “Hm, aku sendiri juga tidak tahu. Bukan tidak