Wiliam sudah menghabiskan dua mie instan yang dilahapnya, tidak dengan Vea yang masih menatap suaminya dengan penuh perasaan. "Mie ini sangat enak. Rasanya aku mau tambah lagi, kamu harus mencoba rasa yang lain, kamu pasti akan menyukainya." Vea tersadar kembali di dekatnya masih ada Wiliam yang bicara tentang mie ayam bukan mengenai perasaan atau kemandulan. "Satu saja belum habis mau tambah lagi. Kamu yang harus tambah, lihat mie kamu sudah habis." Wiliam melihat Vea tidak berselera makan, dari tadi yang dilihatnya hanya Vea yang terus melamun. "Baiklah, kamu tunggu di sini." "Wiliam, aku harus kembali bekerja. Waktu aku susah habis, mungkin kamu harus pulang sekarang." Vea sudah melihat jam di tangannya ternyata memang waktu istirahatnya sudah habis dan dia harus segera bekerja seperti biasanya sebelum teman-temannya akan menegurnya. "Oh, kalau begitu kamu bisa lanjut kerja dan aku lanjut makan, lagipula aku tidak masalah makan sendiri. Sudah biasa aku setiap ma
Mereka sampai juga di rumah. Wiliam tidak melihat siapapun kecuali dirinya dan Vea yang ada di dalam ruang tamu, sepertinya memang mereka bertiga sudah tidur. "Vea, kamu mau langsung tidur?" "Iya, aku mau tidur. Kamu sendiri gimana?" "Iya, mau berendam air hangat dulu. Pasti enak kalau berendam." "Kalau begitu aku masuk ke kamar dulu. Kamu jangan lupa tidur." "Iya, Vea." Vea berjalan ke arah kamarnya meninggalkan Wiliam yang masih terus memperhatikan istrinya sampai benar-benar masuk ke dalam kamar. "Vea ... tadinya aku mau mengajak kamu berendam bersama, tapi rasanya tidak enak karena pasti kamu capek." Wiliam berjalan ke arah kamarnya, tidak mengarah ke salah satu kamar istri-istrinya karena dia ingin menenangkan pikiran sekarang. Di dalam kamar Vea sendiri memikirkan Wiliam yang begitu perhatian padanya hari ini, hampir pagi matanya tetap terjaga karena terus memikirkan suaminya yang memandangi tanpa berhenti sepanjang jalan tadi. "Wiliam, kamu memang tampan, pantas s
Wiliam masuk ke dalam kamar kembali menuju Vea dan Cici yang ada di tempat tidur. "Iya, Wiliam. Kamu sendiri kenapa ada di sini? Bukannya kamu bekerja?" Vea yang masih tertekan dengan ancaman Cici berpura-pura untuk bisa terlihat kuat di depan suaminya yang mendekatinya. "Aku tidak berangkat, nanti aku kerjakan pekerjaan dari rumah. Aku sudah panggilkan kamu dokter untuk memeriksakan kaki kamu." Wiliam ingin melihat seberapa parah kaki Vea, terlihat Cici sedikit panik karena suaminya mau mengecek sendiri, ternyata Wiliam melihat dengan jarak yang cukup dekat. "Jadi yang seperti ini kamu bilang jatuh di tempat kerja?" Pria itu mengerti kalau istrinya sedang berbohong padanya. Dan dia percaya ada yang melakukan itu pada Vea. "Iya, kamu saja yang terlalu mengkhawatirkan aku, nanti juga sembuh sendiri, Wiliam." "Tidak! Kamu harus tetap diperiksa oleh dokter, aku rasa kamu Ci keluar dari kamar ini biarkan aku bersama dengan Vea." Wiliam mengusir Cici karena melihat wajah Vea y
Silvi dan Ria dibantu berdiri sama Wiliam. Tidak ada yang boleh bersujud sampai seperti itu di depan Wiliam walaupun mereka salah. "Bangunlah kalian berdua! Sekarang kita duduk di ruang depan dan jelaskan semuanya, panggil Cici juga." Wiliam lebih dulu beranjak pergi dari kamar itu. Mereka keluar dengan Vea juga yang mengikuti dari belakang. Ternyata ada Cici di atas tangga dipanggil oleh Silvi. "Ci! Kata Mas Wiliam ke ruang tamu." Cici mendengar betul Silvi bicara apa padanya. Sekarang dia turun mengikuti mereka ke ruang tamu yang sudah ada Wiliam duduk di sana. "Jelaskan!" Wiliam melihat ketiga istrinya duduk, kecuali Vea yang berdiri karena tidak mau duduk bersama mereka. "Maafkan aku Mas, jangan salahkan Ria dan Cici, aku yang selama ini menutupi semuanya dari kamu hanya karena aku tidak mau melihat kamu sedih dan terpuruk melihat kenyataan yang ada di diri kamu sendiri. Aku cuma mau lihat kamu selalu bersemangat, apalagi kamu seorang pemimpin, aku takut semua berpengar
"Aku harus kemana?" Vea berada di jalanan. Dia tidak tahu arah dan tujuan mau kemana untuk menjadi tempat tinggalnya. "Vea, sekarang kamu sendirian. Kamu mau tinggal di mana lagi? Oh, sekarang aku tau mau tinggal di mana." Vea sudah tahu mau kemana dirinya untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak, setidaknya bisa menjadi tempat tinggalnya. Dirinya masih bekerja juga, jadi masih mampu membayar sewanya. Bergegas Vea pergi ke kontrakan yang sudah dibayarnya selama satu bulan itu, dia belum memberikan kunci pada pemiliknya ketika pulang ke rumah Wiliam. Sampai di kontrakan, Vea membuka pintu kontrakan, beruntung Vea tidak memutuskan pergi dari kontrakan pada malam itu karena Ibu kontrakannya tidak ada di sana. "Aku hanya punya kontrakan ini, tapi setidaknya aku mampu untuk hidup di atas kaki aku sendiri, pekerjaan aku juga cukup untuk membayar sewa bulan berikutnya. Untuk makan dan lainnya, semoga Wiliam segera menceraikan aku agar terbebas dari beban menjadi istrinya." Vea
Vea mengusir Wiliam dari sana, padahal semua orang di sana pada tahu siapa Wiliam, cuma Vea yang berani melakukan itu pada suaminya. "Pergi dari sini!" Wiliam tidak mengerti kenapa Vea begitu keras kepala ingin mengusirnya seperti itu. Di sana juga kedatangan seseorang yang mencengangkan mereka. "Vea!" Keduanya melihat dari belakang, ternyata Silvi datang dengan sendirinya untuk bicara sama mereka berdua. "Silvi, untuk apa kamu datang lagi? Oh, aku tau pasti kamu mau mengacaukan pekerjaan aku lagi seperti kemarin kan? Sekarang aku minta kamu pergi sama Wiliam juga, aku sedang bekerja, tolong jangan ganggu aku." Vea mengusir keduanya, karena memang Silvi termasuk sumber masalah hidupnya yang begitu berat. "Vea, Mas Wiliam. Aku mau bicara sama kalian berdua, kita bisa bicara bertiga?" Silvi harus berbicara pada mereka berdua untuk menyelesaikan semua masalah yang ada, terlebih dirinya yang memulai karena menutupi semuanya dari suaminya. "Untuk apa kamu bicara sama
Wiliam membawa pergi Silvi dari tempat kerja Vea yang masih ramai dengan mobil-mobil berdatangan. "Kenapa kamu halangi aku untuk membujuk Vea, Mas? Kamu juga akan menikmati hasilnya. Vea tidak boleh meminta pisah begitu saja, kamu cari cara Mas supaya Vea tidak pergi dari hidup kita." Silvi masih terus bicara di saat Wiliam masih terus mengendarai mobilnya, terlihat Silvi membawa sesuatu di tangannya. "Sudahlah Silvi. Kamu tidak akan bisa merubah keputusan Vea, kita tau sendiri dia jauh lebih keras daripada kamu, umurnya terlalu jauh sama kita semua. Kalau kamu mau dia kembali, perlu ketenangan." Wiliam melirik ke arah Silvi yang sudah berusaha untuk meraih kepercayaan Vea lagi, semua itu sudah cukup membuktikan kalau Silvi telah berubah jauh lebih baik lagi. "Maksudnya kamu mau mendapatkan hati Vea dengan cara yang kamu miliki Mas?" "Benar. Kamu tau selama ini aku selalu menggunakan kata-kata keras dan kasar setiap berurusan sama orang, tapi kalau sama Vea jangan. Kita bisa
Silvi hanya diam melihat jawaban dari ayah kandung Via yang selama ini diharapakan oleh madunya itu, ternyata memang ayahnya tidak pantas disebut orang tua oleh wanita setangguh Vea. "Kalau begitu baik, permisi." Silvi masuk lagi ke dalam mobil meninggalkan ayahnya Vea yang masih mencoba meminta bantuan mobil yang ada di sana. Wiliam dan Silvi sekarang saling pandang dengan cara ayahnya Vea memperlakukan mereka. "Kamu jangan heran dengan Ayahnya. Kita bisa langsung membantu tanpa terlihat olehnya." Wiliam akan membantu Aziz walaupun sudah diperlakukan tidak baik tadi, dengan cara yang dia punya bersama Silvi harus tetap membantu mereka. "Aku punya ide Mas. Kamu tunggu dulu aku mau mengirimkan pesan pada seseorang." Silvi mengirim pesan pada teman arisannya untuk segera datang menuju jalanan yang ada keluarga Vea. "Kamu mau apa?" Wiliam melihat Silvi begitu sibuk dengan ponselnya. "Sedang mengirimkan pesan sama temanku, biar mereka membantu keluarga Vea, aku rasa mereka t