Cici bersama Ria saling memandang ke sumber suara yang ada di belakangnya. Mereka tahu kalau itu adalah Vea. "Benar Vea. Mas Wiliam tadi pingsan setelah mengusir kamu, tapi kami tidak berani mendekatinya hanya karena ada Kak Silvi di dekat Mas Wiliam," jawab jujur Cici. Sekarang Vea tahu kalau kepergiannya begitu berat untuk Wiliam yang selama ini bisa keras maupun lembut kepadanya. "Aku mengira Wiliam tidak akan tumbang hanya karena aku, sekarang bagaimana keadaannya?" Vea tentu saja khawatir dengan kondisi suaminya. Jika memang rumah tangganya masih bisa diperbaiki, dia akan memperbaikinya. "Kami juga belum tau, tadi Kak Silvi beralasan ke sini agar kami berdua pulang, tapi kami curiga Kak Silvi punya maksud lain." Ria yang lebih mengenal Silvi lama di rumah itu, dia tidak mau tertipu dengan kata-kata yang keluar dari mulut Silvi begitu saja. "Kalau begitu kalian pulang saja dulu, aku tidak masalah ada di sini sendirian. Kalian bisa datang kapanpun kalian mau." Vea juga
Mata Vea tertutup rapat melihat apa yang akan dilakukan pria di depannya mau melecehkannya. Bugh! Sebuah pukulan keras dari belakang pria asing sampai dia jatuh pingsan di samping Vea dengan celananya yang terbuka lebar. "Vea, kamu tidak apa-apa 'kan?" Mata Vea terbuka lagi melihat daa Cici di depannya menolongnya dengan tepat waktu, apalagi sekarang dia juga harus menyelamatkan Silvi di dalam ruangan dingin. "Cici. Akhirnya kamu datang, pria asing ini mau memperkosa aku, aku takut Ci." Dengan perasaan takut setelah mendapat pengalaman sangat buruk hari ini, Vea memeluk Cici dengan eratnya. "Tenang ya, Vea. Aku sudah menyelamatkan kamu, pria asing itu tidak akan mengganggu kamu lagi, kita akan pulang. Tadi aku mau mengantarkan uang tambahan dan pesanan tambahan sama kamu dari Ria, tapi ternyata aku melihat kamu seperti ini, sedang apa kamu di belakang gudang?" Vea baru teringat akan Silvi yang masih di dalam mungkin akan membeku apalagi tidak segera di keluarkan. "Silvi
Ria sudah ada di depan mata Vea. Dilihatnya Vea begitu sedih sampai tidak bisa berhenti menangis. "Vea, ayo kita pulang ke rumah. Jangan lari lagi dari Mas Wiliam, tadi aku juga sudah bilang sama Cici untuk pulang dulu." Vea bersama Ria masuk ke dalam mobil untuk pulang ke rumah suaminya. Dia sana Ria juga mau membela mati-matian apa yang terjadi pada Vea dan Cici sesuai yang diceritakan Cici pada Ria. Dua puluh menit berlalu mobil Ria sudah ada di depan rumah. Terlihat Cici ada di depan teras menyambut kedatangan Ria dan Vea. "Di mana Mas Wiliam?" Ria dengan berani melangkah bergandengan tangan dengan Vea yang sama sekali tidak bisa berkata-kata lagi. "Di dalam sama Kak Silvi, tapi rasanya mereka sedang berdebat sesuatu yang tidak boleh orang lain tau." Ucapan Cici membuat Ria penasaran, sedangkan Vea sudah tahu apa yang diperdebatkan Silvi dan Wiliam pasti mengenai dirinya yang mandul. "Mas Wiliam, kamu segera ceraikan Vea. Apa yang pantas dipertahankan dari per
Di dalam kamar, Ria dan Cici saling melihat hasil kesuburan mereka masing-masing, tidak ada yang membuat mereka bersedih karena hasil yang asli masih tersimpan rapih di tangan mereka. "Kak Ria, apa kita tidak keterlaluan sama Vea ya? Hasil tesnya Vea mungkin sama dengan kita berdua yang baik-baik saja tapi perbedaannya Vea tidak mengetahui semuanya." Cici mengeluarkan hasil tes kesuburan miliknya beberapa bulan yang lalu ketika dirinya ingin memberikan semua itu pada suaminya, ternyata Silvi lebih dulu memberikan hasil yang lain. "Kamu tidak perlu ikut campur masalah Kak Silvi sama Vea. Mereka sudah dewasa satu sama lain, kita harus tau kalau mereka pasti akan kebaikan jika saling mengenal." Ria tidak mau berpikir macam-macam mengenai Silvi maupun Vea, tetapi memang nasib Vea harus dirundung kebohongan yang tersimpan rapat sejak belasan tahun yang lalu. "Aku juga mau Mas Wiliam melihat hasil tes ini, rasanya aku tidak terima Kak Silvi melakukan yang sama ke Vea juga, tapi kita
Silvi menghalangi Vea untuk keluar rumah, di samping juga sudah ada Wiliam yang menangkap lengan Vea. "Jangan pergi dulu. Kita bisa bicarakan lagi soal kemandulan kamu itu, kamu masih istriku, di luar sana kamu mau hidup sama siapa?" Vea melepaskan tangan Wiliam dari lengannya. Masih tidak mau mendengar apa pun yang keluar dari mulut Wiliam, semuanya masih sama tentang anak. "Cukup Wiliam! Kamu jangan halangi aku pergi, kamu juga Silvi sebaiknya diam dan jangan pernah mengatur aku lagi." Wiliam kebingungan harus membela Silvi lagi di depan Vea atau membiarkan Vea terus berkata yang tidak pantas sama istri pertamanya. "Aku harus mengatur kamu karena lebih dulu berasa di rumah ini, kamu harus tetap menuruti suami kamu sampai Wiliam benar-benar menalak kamu." Disisi lain Silvi ingin marah besar pada Vea yang telah membentaknya, tetapi sorot mata Wiliam mengarah padanya agar lebih sabar menghadapi Vea yang masih terlalu muda menghadapi permasalahan. "Masuklah ke dalam kamar dul
Di dalam rumah ketika pagi hari terlihat jika Vea sudah datang ke ruang makan dengan gaun yang rapih dan berdandan cantik menggunakan makeup-nya senatural mungkin. "Pagi?" Vea bersuara pada mereka semua yang duduk di kursinya masing-masing, tetapi tidak ada jawaban ataupun senyuman untuk dirinya yang baru duduk di kursinya. "Kalian pagi sekali sarapan, apa banyak kegiatan?" Satu pertanyaan terakhir Vea membuat Silvi beranjak dari kursi dan membantu Wiliam merapihkan dasi yang masih berantakan. "Mas Wiliam. Aku betulkan dulu, nanti kalau sudah sampai di kantor, kamu harus langsung menghubungi aku, soalnya siang ini aku juga mau meeting menggantikan kamu, biar kita jalankan bersama-sama, jangan sampai aku hanya menjadi istri yang numpang hidup sama suami." Kata-kata Silvi menyinggung Vea yang hanya di rumah dan tidak memiliki pekerjaan seperti yang lainnya, tetapi dia juga berhenti atas kemauan Wiliam sendiri, jadi bukan salahnya. "Kalau begitu aku berangkat dulu, kamu sama R
Vea berdiri tepat di depan mata suaminya. Wiliam bisa melihat kesedihan wanitanya yang tidak mau pergi dari sana. "Wiliam. Aku sudah tidak memiliki apa pun, kamu sendiri tau keluarga aku membuang aku, mana janji kamu untuk terus bersama denganku?" Saat keduanya saling bertatapan, Silvi merusaknya dengan mendorong tubuh Vea sedikit menjauh dari suaminya. "Singkirkan matamu dari Mas Wiliam!" Begitu kasar didorong oleh Silvi membuat Vea berjarak dengan suaminya. Kini Vea harus menerima kenyataan dirinya pergi dari rumah. Kakinya melangkah keluar perlahan dari gerbang. Terlihat Silvi tersenyum lebar membawanya berpikir kalau sudah menang dari Vea. "Silvi, kamu masuk ke rumah dulu, aku mau melakukan sesuatu." Wiliam berpamitan tanpa menunggu jawaban dari Silvi, Ria dan Cici kelihatan tergesa-gesa pergi dari pintu belakang untuk mengejar Vea di luar sana. "Ayo Ria, kamu harus membantu Vea secara diam-diam, jangan sampai wanita itu celaka di luar sana, kamu tau kemarin dia hampi
"Gimana kondisi Silvi?" Wiliam sudah ada di depan ruang ICU tepat ada Ria dan Cici yang masih berada di sana sejak tiga jam yang lalu. "Kak Silvi belum sadar Mas, kita harus menunggu dokter yang masih memeriksa, aku takut sekali Mas. Tadi Kak Silvi banyak mengeluarkan darah." Wiliam lemas tidak berdaya, dia tidak pernah tahu kalau musibah seperti ini akan menimpa istri pertamanya. "Kenapa bisa Silvi kecelakaan seperti ini, Ria?" Tentu Ria menjadi tegang untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Wiliam, Cici juga diam seribu bahasa, tetapi Ria harus bisa berkata jujur agar Wiliam tahu kebenarannya. "Kak Silvi tadi mengejar mobil Mas Wiliam diam-diam, kami berdua mengikutinya, sampai di depan gerbang rumah baru Mas dan Vea, Kak Silvi sama kami saling tarik menarik hingga tubuh Kak Silvi terpental di jalanan," jawab Ria menceritakan kejadian yang sebenarnya. Disisi lain Ria senang kalau Silvi tidak sadarkan diri, dia juga kesal dengan sikap Silvi yang sudah banyak meru
["Silvi, apa ini kamu?"] ["Benar, Mas. Ini jelas aku, ada yang bisa aku bantu untuk membantu Mas?"] ["Tolong aku, berikan apa yang Vea minta sama kita waktu di rumah sakit, kamu tolong investasi ke tempat kerja Vea, tapi kamu juga harus berikan penjagaan ketat untuk setiap yang masuk ke dalam sana, aturlah bagaimana caranya, itu terserah kamu."] ["Baiklah Mas, aku akan lakukan sekarang."] ["Terima kasih Silvi, kamu bisa aku andalkan, sekarang aku baru sampai di rumah sakit, nanti hubungi aku kalau kamu sudah selesai mengurus semuanya."] ["Ok, Mas."] Wiliam memutus sambungan teleponnya. Ria menunggu apa yang dibicarakan Silvi dengan Wiliam membuatnya penasaran. "Ada apa?" "Mas Wiliam meminta aku membuka kembali tempat kerja Vea, tapi kali ini harus jauh lebih aman daripada kemarin. Aku harus pergi dulu, kamu di rumah sama Cici." "Baik, Kak Silvi." Silvi pergi sesegera mungkin dari rumah itu menuju ke tempat kerja Vea untuk mengecek tempat itu secara langsung dan mencari info
"Permisi!" Sumber suaranya ada di depan rumah, dan Silvi berjalan membukakan pintu karena ada di ruang tamu bersama Ria. "Ayahnya Vea, kan?" Tentu Silvi tahu tamunya sekarang adalah ayahnya Vea yang bertemu waktu di rumah sakit, begitu juga Ria yang tahu seperti Silvi begitu melihat wajah tamunya. "Benar, bisa bertemu sama suami kalian?" Silvi berpikir sebelum menjawab permintaan ayahnya Vea, apakah harus saat ini bertemu dengan Aziz atau nanti saja. "Bisa, Pak." Ria yang lebih dulu menjawab karena Silvi diam memikirkan akibatnya nanti. Sekarang Silvi bernafas lega karena yang mengambil keputusan bukan dirinya. "Baiklah, terima kasih." "Sama-sama, aku panggilkan dulu, tapi nanti Bapak silakan tunggu di ruang tamu bersama Kak Silvi." Menurut Ria ini kesempatan suaminya bicara berdua dengan mertuanya untuk meluruskan masalah yang terjadi, karena terlihat Aziz tidak sedang marah. "Mas, kamu ada di dalam?" Ria mengetuk pintu kamar Vea beberapa kali sampai terdengar suara
"Dengarkan aku, Vea!" Wiliam membentak istrinya dengan penuh kemarahan, selama ini Wiliam sangat sabar terhadap sikap Vea, tetapi kali ini dia tidak mau mengalah lagi. "Dengarkan aku! Kamu akan bersama denganku walaupun kamu masih mau bersama keluarga kamu dan meminta aku mengembalikan apa yang sudah aku tutup. Aku tidak membutuhkan persetujuan kamu, sekarang kamu diam dan turuti kemauan aku, kita akan segera pulang ke rumah kalau kamu sudah membaik." Tatapan tajam Wiliam membuat Vea diam dan tidak berpikir lagi, karena suaminya kalau sudah marah tidak ada yang bisa menahannya. "Baiklah," ucap Vea. Wiliam mengendus kesal di depan istrinya yang terpaksa menurutinya, dia tidak peduli apa pun yang dipikirkan oleh Vea, yang terpenting dirinya bisa membawa pulang Vea. Bahkan jika harus berseteru lagi dengan Aziz dirinya akan memberanikan diri. Pria itu keluar dari ruangan Vea dan segera menemui dokter untuk Vea bisa pulang sebelum kedua orang tua Vea akan datang menjemput istriny
"Ayo Mas pulang!" Silvi tetap memaksa suaminya pulang bersama dengan mereka bertiga lagi. Silvi hanya tidak mau juga Vea bertambah parah sakitnya harus marah-marah seperti tadi. "Silvi! Aku masih mau bersama dengan Vea, tolong kamu kalau mau pulang, pulang duluan saja bersama Ria dan Cici, aku masih mau di sini sama Vea." Posisi mereka sudah ada di luar ruangan Vea, dan Vea menghubungi ayahnya untuk menjemput dirinya malam ini juga karena tidak mau bertemu dulu sama suaminya. "Vea sakit Mas, kamu harus mengerti itu," bisik Silvi. Wiliam akhirnya berjalan mengikuti ketiga istrinya pergi dari sana pulang dengan kesalahpahaman lagi. "Wiliam ini, dia selalu bertindak sendiri tanpa meminta pendapat aku, setidaknya dia bisa mengatakan hal ini, pekerjaan itu juga penting buat semua temanku." Vea masih terus marah-marah sendiri di dalam sana, dia sendirian tanpa ada yang menemani, tetapi lebih baik seperti ini daripada dirinya ditemani Wiliam yang selalu membuat dirinya kesal. Wil
"Maaf kamu bilang? Bukankah kamu yang mau kita berkumpul? Tapi kenapa kamu mematahkan harapan kedua orang tuamu yang sudah menerima kamu? Aku tidak habis pikir dengan cara pikirmu yang ingin menghargai pernikahan sama menantuku, seharusnya dia paham kalau istrinya mau tinggal sama kedua orang tuanya dulu, tidak akan lama juga, dia bisa menjemput setiap saat." Aziz sungguh tersinggung putrinya tidak mau membahas semua itu langsung di depan Wiliam dan dirinya. Bahkan lebih mau dirinya pergi dengan alasan membeli perlengkapan mandi. "Aku minta Ayah tenang. Karena Wiliam jauh lebih emosi daripada Ayah, aku takut kalau Wiliam bisa melakukan sesuatu lagi pada keluarga kita, biarkan aku tetap tinggal bersama suamiku, dia sangat bertanggung jawab dan memenuhi segalanya, jadi tolong mengerti anakmu ini karena mau bersama kehidupan barunya, aku akan menginap beberapa pekan ke rumah kalian saat Wiliam mengizinkannya, tapi aku tidak janji akan hal itu." Vea menenangkan ayahnya yang mau tingga
Wiliam menunggu tanpa henti di luar ruangan Vea, tetapi keluarga Vea masih belum juga mau pulang setelah dirinya kesal mendengar pembicaraan satu keluarga itu. Sampai subuh Wiliam baru menyadari kalau Vea memanggilnya, "Wiliam, tolong bantu aku," ucapnya sudah melihat suaminya di depan pintu. "Ya," jawab Wiliam singkat karena masih mau bicara berdua dengan istrinya. Saat Wiliam masuk ternyata ibu mertua dan adik iparnya langsung berpamitan, sekarang hanya ada Aziz bersamanya di sana. "Wiliam, tolong jaga anakku," pamit ibu Vea. "Baik," balas Wiliam. Mereka berdua pergi, Vea mau dibantu ke kamar mandi oleh suaminya karena ingin membuang air kecil, apalagi tadi minum banyak sekali membuat Vea tidak nyaman terbaring di tempat tidurnya. "Pelan-pelan sayang." "Iya, Wiliam." Mereka berdua ke kamar mandi, sedangkan Aziz mengamati menantunya begitu menyayangi putri pertamanya itu. "Ternyata Wiliam sayang sama istrinya, aku paham mengapa Vea mau dijadikan istri keempatnya, pa
"Angkat Mas!" Silvi mau suaminya mengangkat panggilan masuk dari rumah sakit tersebut karena mau tahu kabar terbaru Vea. "Baiklah," ucap Wiliam. ["Hello, selamat malam, bisa bicara dengan Bapak Wiliam?"] ["Benar, ini dengan saya sendiri, ada apa ya? Apa ini ada hubungannya dengan kondisi pasien bernama Vea?"] ["Benar Bapak. Pasien sudah sadarkan diri, dia mau suami dan keluarganya datang, apa bisa sekarang ke rumah sakit karena ini permintaan pasien sendiri."] ["Bisa-bisa, terima kasih sudah memberitahukan Informasi ini kepada saya."] ["Sama-sama."] Wiliam menutup panggilan tersebut dan melihat ke arah ketiga istrinya dengan wajah yang bahagia. "Kalian harus ke rumah sakit sekarang," ucap Wiliam. "Ada apa dengan Vea, Mas?" Ria semakin penasaran dengan apa yang didapatkan suaminya, apalagi wajah suaminya berubah ceria. "Vea sudah sadarkan diri. Dia mau kita semua ke rumah sakit, tapi Vea juga mau keluarganya datang, aku akan memberitahukan ini pada Tuan Aziz." "Kalau
"Cici!" Silvi berteriak dari luar kaca mobil milik madunya itu. Ada Ria juga yang berusaha membantu untuk mengetuk beberapa kali tetapi Cici tidak juga membukakan pintu mobilnya. "Sepertinya Cici pingsan, Ria." "Benar, Kak Silvi. Mata Cici tidak bangun juga saat kita ketuk-ketuk kaca mobilnya, apa Cici sakit?" "Entahlah, kita harus segera menolongnya, tapi gimana caranya membuka mobil ini sedangkan kuncinya ada di dalam?" Silvi kebingungan begitu juga Ria. Silvi menghubungi Wiliam yang ada di rumah sakit karena Cici belum juga sadarkan dirinya. "Aku akan hubungi Mas Wiliam dulu, kamu jaga Cici." "Kak Silvi, sebaiknya jangan hubungi Mas Wiliam, seperti yang kita tau kalau Mas Wiliam masih mengurus Vea, aku yakin Cici tidak akan lama pingsan di dalam, kita harus menunggu sampai beberapa menit membiarkan Cici sadarkan diri dengan sendirinya." Apa yang dikatakan Ria ada benarnya karena suami mereka tidak mau diganggu oleh siapapun saat sedih atau sibuk, dia mengerti suaminya sen
"Iya, tadi aku mengikuti kamu, ternyata kamu ke tempat kerja Vea, lihat tempat kerja Vea banyak polisi, ada apa?" Cici menggelengkan kepala, dia juga belum tau apa yang terjadi di tempat itu, tetapi dia akan menceritakan kenapa dirinya ada di sana. "Aku bermimpi Vea pergi jauh, jadi aku datang ke tempat ini. Entahlah ada apa di sini, sebaiknya kita tanya langsung ke polisi." Ria memberanikan diri bertanya sendiri sedangkan Cici masih di tempat tadi yang dekat dengan mobilnya. "Gimana Kak Ria?" "Jadi Vea dibawa ke rumah sakit karena korban menusukkan penjahat yang hampir merampok tempat ini, katanya sudah ada pria dan wanita yang menolongnya." "Jangan-jangan itu Mas Wiliam sama Kak Silvi!" "Kamu benar, kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku sudah tau nama rumah sakitnya, kita harus memastikan mereka baik-baik saja." "Iya, Kak Ria." Cici masuk ke dalam mobilnya sendiri, begitu juga Ria yang masuk dan mengendarai di depan mobil Cici yang belum tau tempat rumah sakitnya. "Ki