Silvi segera mendekati suaminya yang dua kali menyebutkan nama Vea. Padahal Vea sudah tidak ada di rumah itu, dan Silvi berharap suaminya akan segera menceraikan madunya. "Tenang Mas. Kamu harus tenang menghadapi emosi kamu sendiri, Vea sudah diusir sama kamu, apa kamu lupa? Sudahlah Mas jangan menginginkan Vea lagi, kalau perlu kamu ceraikan dia." Kembali mempengaruhi Wiliam lagi, Silvi tidak akan berhenti sampai suaminya melupakan Vea dan kembali mencintai dirinya. "Tidak Silvi! Dia masih istriku, walaupun dia tidak akan memiliki keturunan, tapi aku mencintai dia. Rasanya sakit melihatnya pergi dari rumah, kamu harus mencarinya untuk aku." Permintaan gila Wiliam membuat naik darah Silvi, bisa-bisanya Wiliam meminta itu padanya yang sudah berharap sekali tidak ada Vea di antara mereka. "Aku tidak mau Mas! Dia sudah pergi dari rumah ini dan aku tidak perlu mencarinya, dia sudah merendahkan aku di depan kamu, masa kamu masih mau menerima dia kembali?" Silvi tidak setuju Wiliam
Cici bersama Ria saling memandang ke sumber suara yang ada di belakangnya. Mereka tahu kalau itu adalah Vea. "Benar Vea. Mas Wiliam tadi pingsan setelah mengusir kamu, tapi kami tidak berani mendekatinya hanya karena ada Kak Silvi di dekat Mas Wiliam," jawab jujur Cici. Sekarang Vea tahu kalau kepergiannya begitu berat untuk Wiliam yang selama ini bisa keras maupun lembut kepadanya. "Aku mengira Wiliam tidak akan tumbang hanya karena aku, sekarang bagaimana keadaannya?" Vea tentu saja khawatir dengan kondisi suaminya. Jika memang rumah tangganya masih bisa diperbaiki, dia akan memperbaikinya. "Kami juga belum tau, tadi Kak Silvi beralasan ke sini agar kami berdua pulang, tapi kami curiga Kak Silvi punya maksud lain." Ria yang lebih mengenal Silvi lama di rumah itu, dia tidak mau tertipu dengan kata-kata yang keluar dari mulut Silvi begitu saja. "Kalau begitu kalian pulang saja dulu, aku tidak masalah ada di sini sendirian. Kalian bisa datang kapanpun kalian mau." Vea juga
Mata Vea tertutup rapat melihat apa yang akan dilakukan pria di depannya mau melecehkannya. Bugh! Sebuah pukulan keras dari belakang pria asing sampai dia jatuh pingsan di samping Vea dengan celananya yang terbuka lebar. "Vea, kamu tidak apa-apa 'kan?" Mata Vea terbuka lagi melihat daa Cici di depannya menolongnya dengan tepat waktu, apalagi sekarang dia juga harus menyelamatkan Silvi di dalam ruangan dingin. "Cici. Akhirnya kamu datang, pria asing ini mau memperkosa aku, aku takut Ci." Dengan perasaan takut setelah mendapat pengalaman sangat buruk hari ini, Vea memeluk Cici dengan eratnya. "Tenang ya, Vea. Aku sudah menyelamatkan kamu, pria asing itu tidak akan mengganggu kamu lagi, kita akan pulang. Tadi aku mau mengantarkan uang tambahan dan pesanan tambahan sama kamu dari Ria, tapi ternyata aku melihat kamu seperti ini, sedang apa kamu di belakang gudang?" Vea baru teringat akan Silvi yang masih di dalam mungkin akan membeku apalagi tidak segera di keluarkan. "Silvi
Ria sudah ada di depan mata Vea. Dilihatnya Vea begitu sedih sampai tidak bisa berhenti menangis. "Vea, ayo kita pulang ke rumah. Jangan lari lagi dari Mas Wiliam, tadi aku juga sudah bilang sama Cici untuk pulang dulu." Vea bersama Ria masuk ke dalam mobil untuk pulang ke rumah suaminya. Dia sana Ria juga mau membela mati-matian apa yang terjadi pada Vea dan Cici sesuai yang diceritakan Cici pada Ria. Dua puluh menit berlalu mobil Ria sudah ada di depan rumah. Terlihat Cici ada di depan teras menyambut kedatangan Ria dan Vea. "Di mana Mas Wiliam?" Ria dengan berani melangkah bergandengan tangan dengan Vea yang sama sekali tidak bisa berkata-kata lagi. "Di dalam sama Kak Silvi, tapi rasanya mereka sedang berdebat sesuatu yang tidak boleh orang lain tau." Ucapan Cici membuat Ria penasaran, sedangkan Vea sudah tahu apa yang diperdebatkan Silvi dan Wiliam pasti mengenai dirinya yang mandul. "Mas Wiliam, kamu segera ceraikan Vea. Apa yang pantas dipertahankan dari per
Di dalam kamar, Ria dan Cici saling melihat hasil kesuburan mereka masing-masing, tidak ada yang membuat mereka bersedih karena hasil yang asli masih tersimpan rapih di tangan mereka. "Kak Ria, apa kita tidak keterlaluan sama Vea ya? Hasil tesnya Vea mungkin sama dengan kita berdua yang baik-baik saja tapi perbedaannya Vea tidak mengetahui semuanya." Cici mengeluarkan hasil tes kesuburan miliknya beberapa bulan yang lalu ketika dirinya ingin memberikan semua itu pada suaminya, ternyata Silvi lebih dulu memberikan hasil yang lain. "Kamu tidak perlu ikut campur masalah Kak Silvi sama Vea. Mereka sudah dewasa satu sama lain, kita harus tau kalau mereka pasti akan kebaikan jika saling mengenal." Ria tidak mau berpikir macam-macam mengenai Silvi maupun Vea, tetapi memang nasib Vea harus dirundung kebohongan yang tersimpan rapat sejak belasan tahun yang lalu. "Aku juga mau Mas Wiliam melihat hasil tes ini, rasanya aku tidak terima Kak Silvi melakukan yang sama ke Vea juga, tapi kita
Silvi menghalangi Vea untuk keluar rumah, di samping juga sudah ada Wiliam yang menangkap lengan Vea. "Jangan pergi dulu. Kita bisa bicarakan lagi soal kemandulan kamu itu, kamu masih istriku, di luar sana kamu mau hidup sama siapa?" Vea melepaskan tangan Wiliam dari lengannya. Masih tidak mau mendengar apa pun yang keluar dari mulut Wiliam, semuanya masih sama tentang anak. "Cukup Wiliam! Kamu jangan halangi aku pergi, kamu juga Silvi sebaiknya diam dan jangan pernah mengatur aku lagi." Wiliam kebingungan harus membela Silvi lagi di depan Vea atau membiarkan Vea terus berkata yang tidak pantas sama istri pertamanya. "Aku harus mengatur kamu karena lebih dulu berasa di rumah ini, kamu harus tetap menuruti suami kamu sampai Wiliam benar-benar menalak kamu." Disisi lain Silvi ingin marah besar pada Vea yang telah membentaknya, tetapi sorot mata Wiliam mengarah padanya agar lebih sabar menghadapi Vea yang masih terlalu muda menghadapi permasalahan. "Masuklah ke dalam kamar dul
Di dalam rumah ketika pagi hari terlihat jika Vea sudah datang ke ruang makan dengan gaun yang rapih dan berdandan cantik menggunakan makeup-nya senatural mungkin. "Pagi?" Vea bersuara pada mereka semua yang duduk di kursinya masing-masing, tetapi tidak ada jawaban ataupun senyuman untuk dirinya yang baru duduk di kursinya. "Kalian pagi sekali sarapan, apa banyak kegiatan?" Satu pertanyaan terakhir Vea membuat Silvi beranjak dari kursi dan membantu Wiliam merapihkan dasi yang masih berantakan. "Mas Wiliam. Aku betulkan dulu, nanti kalau sudah sampai di kantor, kamu harus langsung menghubungi aku, soalnya siang ini aku juga mau meeting menggantikan kamu, biar kita jalankan bersama-sama, jangan sampai aku hanya menjadi istri yang numpang hidup sama suami." Kata-kata Silvi menyinggung Vea yang hanya di rumah dan tidak memiliki pekerjaan seperti yang lainnya, tetapi dia juga berhenti atas kemauan Wiliam sendiri, jadi bukan salahnya. "Kalau begitu aku berangkat dulu, kamu sama R
Vea berdiri tepat di depan mata suaminya. Wiliam bisa melihat kesedihan wanitanya yang tidak mau pergi dari sana. "Wiliam. Aku sudah tidak memiliki apa pun, kamu sendiri tau keluarga aku membuang aku, mana janji kamu untuk terus bersama denganku?" Saat keduanya saling bertatapan, Silvi merusaknya dengan mendorong tubuh Vea sedikit menjauh dari suaminya. "Singkirkan matamu dari Mas Wiliam!" Begitu kasar didorong oleh Silvi membuat Vea berjarak dengan suaminya. Kini Vea harus menerima kenyataan dirinya pergi dari rumah. Kakinya melangkah keluar perlahan dari gerbang. Terlihat Silvi tersenyum lebar membawanya berpikir kalau sudah menang dari Vea. "Silvi, kamu masuk ke rumah dulu, aku mau melakukan sesuatu." Wiliam berpamitan tanpa menunggu jawaban dari Silvi, Ria dan Cici kelihatan tergesa-gesa pergi dari pintu belakang untuk mengejar Vea di luar sana. "Ayo Ria, kamu harus membantu Vea secara diam-diam, jangan sampai wanita itu celaka di luar sana, kamu tau kemarin dia hampi