Silvi menatap tajam ke arah Ria yang marah padanya, ternyata Ria masih tidak terima jika Silvi tidak menganggap dirinya ada, padahal Ria sudah membela mati-matian Silvi di depan Vea dan suaminya. "Apa katamu? Jadi kamu membelanya? Sekarang seisi rumah ini membela Vea? Mengesankan sekali! Jadi aku hanya sendiri membela diriku yang memiliki suami berbagi suami, jangan lupa kamu siapa Ria, aku bisa mengambil jatahmu dari suamiku, kamu jangan bertingkah dan melawan aku." Sebuah ancaman keluar dari mulut Silvi, Ria semakin panas dan tidak terima, secepat kilat Ria menarik rambut Silvi agar wanita tua itu kesakitan. "Aw! Sakit tau Ria. Kamu kurang ajar, tidak ada bedanya sama Vea, aku menyesal sudah menjadikan kalian maduku." Masih sekali lagi membuat emosi Ria memuncak, padahal Ria tidak pernah sebelumnya berpikir buruk pada Silvi, tetapi Silver jahat padanya. "Terserah kamu Kak Silvi! Kamu sendiri yang mau kita jadi madumu bukan? Jangan salahkan aku! Sekali lagi aku mau Kak Silvi
Malam hari ketika Silvi tertidur kembali bersama suaminya, Ria menunggu Wiliam di dalam kamar, tidak ada Wiliam masuk ke sana untuk menemani tidurnya, sedangkan Cici yang sudah tau Wiliam tidur bersama Silvi setelah dirinya pergi ke kamar Silvi untuk memberikan teh seperti biasanya terkejut. "Astaga! Jadi Mas Wiliam ada di sini, kasihan Ria menunggu, aku harus beritahukan kalau Mas Wiliam tidak mungkin ke sana." Kakinya berjalan dan melihat Vea seperti menuju dapur. Cici mengikutinya dan menyapa madunya itu. "Ve, kamu mau ke mana malam-malam begini?" Vea menoleh ke arah Cici yang membawa teh, sepertinya belum di minum dan masih hangat. "Aku mau bikin teh, apa itu bisa buat aku?" Cici melihat teh yang tidak jadi dimasukkan ke dalam kamar Silvi, sepertinya memang teh buatannya ditakdirkan untuk Vea. "Oh, tentu boleh. Kamu bisa meminumnya, silakan Vea." Vea segera mengambil gelas yang ada di tangan Cici. Rupanya memang teh buatan Cici sangat pas takarannya sesuai dengan seler
Di rumah sakit Wiliam duduk bersama Silvi menghadap dokter yang mau memberikan hasil tes kesuburan terbarunya. "Bagaimana dokter?" Wiliam mau segera mengetahui hasilnya. Silvi sudah bernafas lega karena dia telah mengubah segalanya sebelum Wiliam menerima hasil tes tersebut. "Dari tes di sini bisa dilihat kalau Pak Wiliam subur dan istrinya memiliki kesulitan untuk bisa hamil dalam waktu dekat." Keterangan dokter membuat lemas Wiliam, Silvi mencoba menguatkan suaminya untuk bisa menerima kenyataan yang ada. "Tidak mungkin dokter! Vea sehat dan dia sudah mau memberikan aku anak, tapi kenapa hasilnya sama seperti ketiga istriku?" Wiliam tidak menduga kalau harus empat kali menerima kekecewaan. Sepertinya Wiliam harus melihat sendiri hasil tes yang dipegang dokter. "Ini benar Pak Wiliam. Hasil ini sangat valid karena telah diuji keasliannya." Dokter membuat Wiliam sekali lagi lemas. Silvi sepertinya tersenyum dengan hasil yang didapatkan bersama Wiliam. "Aku keluar dulu dok
Malam hari ketika jatah tidur bersama Cici. Wiliam masuk ke dalam sana dan memberitahukan apa yang terjadi. "Ci, tadi aku sudah mendapatkan hasil tes kesuburan kami," ucapnya dengan posisi duduk. Cici memiringkan tubuhnya agar bisa melihat suaminya bicara, sepertinya sangat serius dan ini mengenai Vea. "Begitu ya, apa hasilnya Mas? Apa ada alasan mengapa sikap Mas tadi sore berubah?" Wiliam menatap Cici dengan tatapan sedih. Bagian yang paling menyakitkan karena telah harapan sama sekali dengan keempat istrinya. "Benar. Aku tidak tau harus seperti apa menghadapi Vea di esok hari. Aku kecewa padanya, harapanku tidak bisa diwujudkan darinya." Cici mendekati Wiliam memeluk prianya agar lebih tegar menghadapi cobaan yang menerpanya, baginya sama saja memiliki anak atau tidak yang terpenting bisa bersama Wiliam. "Sabar Mas. Pantas tadi kamu seperti itu sama Vea, tapi Mas tidak bisa menyalahkan Vea sepenuhnya, dia tidak salah Mas. Semuanya takdir." Wiliam masih tidak ma
Tepat pukul lima sore Vea datang baru membawakan banyak peralatan keperluan dirinya untuk melanjutkan kebiasaannya menjahit sejak ada di panti asuhan dulu. "Loh, kenapa semua barang-barang aku tidak ada? Kamar ini seperti dikosongkan dan seprainya sudah diganti bukan lagi warna kesukaan aku. Pasti ada sesuatu!" Vea melihat Silvi ada di belakangnya bersama Ria dan Cici yang menatapnya dengan keprihatinan. "Jangan kamu pikir bisa menempati kamar bagus ini dengan sembarangan tanpa izin dariku dan Mas Wiliam. Sekarang Mas Wiliam memerintahkan aku untuk memindahkan kamu ke gudang paling ujung sana sebagai tempat tinggal kamu yang baru." Terkejutnya Vea kamarnya dipindahkan oleh Silvi yang selama ini selalu mengalah padanya, dan Wiliam yang memerintahkannya, ada apa? "Bohong kan kamu! Selama ini Wiliam selalu menomorsatukan aku karena dia membutuhkan rahimku untuk sebuah keturunan, terus masa aku tidur di tempat yang kotor dan sempit? Ayolah Silvi jangan mengarang cerita, aku akan m
Wiliam jatuh pingsan ditolong Silvi memapahnya ke dalam kamar, Ria dan Cici hanya terus berada di dalam kamar Ria yang tidak mau Silvi marah pada mereka. "Mas! Kamu harus bangun, masa kamu kaya begini hanya karena Vea. Aku sudah membuat Vea pergi Mas, tapi kalau hasilnya kamu jadi sakit aku juga tidak mau." Silvi masih kebingungan harus membangunkan Wiliam dengan cara apa? Rasanya dia harus menghubungi dokter pribadi Wiliam. Dalam perjalanan yang tidak tahu kemanapun dirinya pergi, Vea tetap melanjutkannya walaupun kakinya sangat pegal dan tidak memiliki tujuan hidup lagi. "Kenapa hidup ini sepertinya tidak adil untuk aku? Dulu aku dibuang keluarga sendiri, sekarang aku dibuang suami tanpa tau alasan jelasnya apa?" Dilihatnya sebuah foto kecil yang dia miliki selama bersama Wiliam, wanita itu ternyata menyimpan satu untuk dirinya bisa memandangi wajah suaminya. "Kamu tuh kenapa sih, Wiliam? Ada apa sama kamu bisa kaya begini sama aku? Kamu terlalu egois hanya memikirkan soal
Silvi segera mendekati suaminya yang dua kali menyebutkan nama Vea. Padahal Vea sudah tidak ada di rumah itu, dan Silvi berharap suaminya akan segera menceraikan madunya. "Tenang Mas. Kamu harus tenang menghadapi emosi kamu sendiri, Vea sudah diusir sama kamu, apa kamu lupa? Sudahlah Mas jangan menginginkan Vea lagi, kalau perlu kamu ceraikan dia." Kembali mempengaruhi Wiliam lagi, Silvi tidak akan berhenti sampai suaminya melupakan Vea dan kembali mencintai dirinya. "Tidak Silvi! Dia masih istriku, walaupun dia tidak akan memiliki keturunan, tapi aku mencintai dia. Rasanya sakit melihatnya pergi dari rumah, kamu harus mencarinya untuk aku." Permintaan gila Wiliam membuat naik darah Silvi, bisa-bisanya Wiliam meminta itu padanya yang sudah berharap sekali tidak ada Vea di antara mereka. "Aku tidak mau Mas! Dia sudah pergi dari rumah ini dan aku tidak perlu mencarinya, dia sudah merendahkan aku di depan kamu, masa kamu masih mau menerima dia kembali?" Silvi tidak setuju Wiliam
Cici bersama Ria saling memandang ke sumber suara yang ada di belakangnya. Mereka tahu kalau itu adalah Vea. "Benar Vea. Mas Wiliam tadi pingsan setelah mengusir kamu, tapi kami tidak berani mendekatinya hanya karena ada Kak Silvi di dekat Mas Wiliam," jawab jujur Cici. Sekarang Vea tahu kalau kepergiannya begitu berat untuk Wiliam yang selama ini bisa keras maupun lembut kepadanya. "Aku mengira Wiliam tidak akan tumbang hanya karena aku, sekarang bagaimana keadaannya?" Vea tentu saja khawatir dengan kondisi suaminya. Jika memang rumah tangganya masih bisa diperbaiki, dia akan memperbaikinya. "Kami juga belum tau, tadi Kak Silvi beralasan ke sini agar kami berdua pulang, tapi kami curiga Kak Silvi punya maksud lain." Ria yang lebih mengenal Silvi lama di rumah itu, dia tidak mau tertipu dengan kata-kata yang keluar dari mulut Silvi begitu saja. "Kalau begitu kalian pulang saja dulu, aku tidak masalah ada di sini sendirian. Kalian bisa datang kapanpun kalian mau." Vea juga
["Silvi, apa ini kamu?"] ["Benar, Mas. Ini jelas aku, ada yang bisa aku bantu untuk membantu Mas?"] ["Tolong aku, berikan apa yang Vea minta sama kita waktu di rumah sakit, kamu tolong investasi ke tempat kerja Vea, tapi kamu juga harus berikan penjagaan ketat untuk setiap yang masuk ke dalam sana, aturlah bagaimana caranya, itu terserah kamu."] ["Baiklah Mas, aku akan lakukan sekarang."] ["Terima kasih Silvi, kamu bisa aku andalkan, sekarang aku baru sampai di rumah sakit, nanti hubungi aku kalau kamu sudah selesai mengurus semuanya."] ["Ok, Mas."] Wiliam memutus sambungan teleponnya. Ria menunggu apa yang dibicarakan Silvi dengan Wiliam membuatnya penasaran. "Ada apa?" "Mas Wiliam meminta aku membuka kembali tempat kerja Vea, tapi kali ini harus jauh lebih aman daripada kemarin. Aku harus pergi dulu, kamu di rumah sama Cici." "Baik, Kak Silvi." Silvi pergi sesegera mungkin dari rumah itu menuju ke tempat kerja Vea untuk mengecek tempat itu secara langsung dan mencari info
"Permisi!" Sumber suaranya ada di depan rumah, dan Silvi berjalan membukakan pintu karena ada di ruang tamu bersama Ria. "Ayahnya Vea, kan?" Tentu Silvi tahu tamunya sekarang adalah ayahnya Vea yang bertemu waktu di rumah sakit, begitu juga Ria yang tahu seperti Silvi begitu melihat wajah tamunya. "Benar, bisa bertemu sama suami kalian?" Silvi berpikir sebelum menjawab permintaan ayahnya Vea, apakah harus saat ini bertemu dengan Aziz atau nanti saja. "Bisa, Pak." Ria yang lebih dulu menjawab karena Silvi diam memikirkan akibatnya nanti. Sekarang Silvi bernafas lega karena yang mengambil keputusan bukan dirinya. "Baiklah, terima kasih." "Sama-sama, aku panggilkan dulu, tapi nanti Bapak silakan tunggu di ruang tamu bersama Kak Silvi." Menurut Ria ini kesempatan suaminya bicara berdua dengan mertuanya untuk meluruskan masalah yang terjadi, karena terlihat Aziz tidak sedang marah. "Mas, kamu ada di dalam?" Ria mengetuk pintu kamar Vea beberapa kali sampai terdengar suara
"Dengarkan aku, Vea!" Wiliam membentak istrinya dengan penuh kemarahan, selama ini Wiliam sangat sabar terhadap sikap Vea, tetapi kali ini dia tidak mau mengalah lagi. "Dengarkan aku! Kamu akan bersama denganku walaupun kamu masih mau bersama keluarga kamu dan meminta aku mengembalikan apa yang sudah aku tutup. Aku tidak membutuhkan persetujuan kamu, sekarang kamu diam dan turuti kemauan aku, kita akan segera pulang ke rumah kalau kamu sudah membaik." Tatapan tajam Wiliam membuat Vea diam dan tidak berpikir lagi, karena suaminya kalau sudah marah tidak ada yang bisa menahannya. "Baiklah," ucap Vea. Wiliam mengendus kesal di depan istrinya yang terpaksa menurutinya, dia tidak peduli apa pun yang dipikirkan oleh Vea, yang terpenting dirinya bisa membawa pulang Vea. Bahkan jika harus berseteru lagi dengan Aziz dirinya akan memberanikan diri. Pria itu keluar dari ruangan Vea dan segera menemui dokter untuk Vea bisa pulang sebelum kedua orang tua Vea akan datang menjemput istriny
"Ayo Mas pulang!" Silvi tetap memaksa suaminya pulang bersama dengan mereka bertiga lagi. Silvi hanya tidak mau juga Vea bertambah parah sakitnya harus marah-marah seperti tadi. "Silvi! Aku masih mau bersama dengan Vea, tolong kamu kalau mau pulang, pulang duluan saja bersama Ria dan Cici, aku masih mau di sini sama Vea." Posisi mereka sudah ada di luar ruangan Vea, dan Vea menghubungi ayahnya untuk menjemput dirinya malam ini juga karena tidak mau bertemu dulu sama suaminya. "Vea sakit Mas, kamu harus mengerti itu," bisik Silvi. Wiliam akhirnya berjalan mengikuti ketiga istrinya pergi dari sana pulang dengan kesalahpahaman lagi. "Wiliam ini, dia selalu bertindak sendiri tanpa meminta pendapat aku, setidaknya dia bisa mengatakan hal ini, pekerjaan itu juga penting buat semua temanku." Vea masih terus marah-marah sendiri di dalam sana, dia sendirian tanpa ada yang menemani, tetapi lebih baik seperti ini daripada dirinya ditemani Wiliam yang selalu membuat dirinya kesal. Wil
"Maaf kamu bilang? Bukankah kamu yang mau kita berkumpul? Tapi kenapa kamu mematahkan harapan kedua orang tuamu yang sudah menerima kamu? Aku tidak habis pikir dengan cara pikirmu yang ingin menghargai pernikahan sama menantuku, seharusnya dia paham kalau istrinya mau tinggal sama kedua orang tuanya dulu, tidak akan lama juga, dia bisa menjemput setiap saat." Aziz sungguh tersinggung putrinya tidak mau membahas semua itu langsung di depan Wiliam dan dirinya. Bahkan lebih mau dirinya pergi dengan alasan membeli perlengkapan mandi. "Aku minta Ayah tenang. Karena Wiliam jauh lebih emosi daripada Ayah, aku takut kalau Wiliam bisa melakukan sesuatu lagi pada keluarga kita, biarkan aku tetap tinggal bersama suamiku, dia sangat bertanggung jawab dan memenuhi segalanya, jadi tolong mengerti anakmu ini karena mau bersama kehidupan barunya, aku akan menginap beberapa pekan ke rumah kalian saat Wiliam mengizinkannya, tapi aku tidak janji akan hal itu." Vea menenangkan ayahnya yang mau tingga
Wiliam menunggu tanpa henti di luar ruangan Vea, tetapi keluarga Vea masih belum juga mau pulang setelah dirinya kesal mendengar pembicaraan satu keluarga itu. Sampai subuh Wiliam baru menyadari kalau Vea memanggilnya, "Wiliam, tolong bantu aku," ucapnya sudah melihat suaminya di depan pintu. "Ya," jawab Wiliam singkat karena masih mau bicara berdua dengan istrinya. Saat Wiliam masuk ternyata ibu mertua dan adik iparnya langsung berpamitan, sekarang hanya ada Aziz bersamanya di sana. "Wiliam, tolong jaga anakku," pamit ibu Vea. "Baik," balas Wiliam. Mereka berdua pergi, Vea mau dibantu ke kamar mandi oleh suaminya karena ingin membuang air kecil, apalagi tadi minum banyak sekali membuat Vea tidak nyaman terbaring di tempat tidurnya. "Pelan-pelan sayang." "Iya, Wiliam." Mereka berdua ke kamar mandi, sedangkan Aziz mengamati menantunya begitu menyayangi putri pertamanya itu. "Ternyata Wiliam sayang sama istrinya, aku paham mengapa Vea mau dijadikan istri keempatnya, pa
"Angkat Mas!" Silvi mau suaminya mengangkat panggilan masuk dari rumah sakit tersebut karena mau tahu kabar terbaru Vea. "Baiklah," ucap Wiliam. ["Hello, selamat malam, bisa bicara dengan Bapak Wiliam?"] ["Benar, ini dengan saya sendiri, ada apa ya? Apa ini ada hubungannya dengan kondisi pasien bernama Vea?"] ["Benar Bapak. Pasien sudah sadarkan diri, dia mau suami dan keluarganya datang, apa bisa sekarang ke rumah sakit karena ini permintaan pasien sendiri."] ["Bisa-bisa, terima kasih sudah memberitahukan Informasi ini kepada saya."] ["Sama-sama."] Wiliam menutup panggilan tersebut dan melihat ke arah ketiga istrinya dengan wajah yang bahagia. "Kalian harus ke rumah sakit sekarang," ucap Wiliam. "Ada apa dengan Vea, Mas?" Ria semakin penasaran dengan apa yang didapatkan suaminya, apalagi wajah suaminya berubah ceria. "Vea sudah sadarkan diri. Dia mau kita semua ke rumah sakit, tapi Vea juga mau keluarganya datang, aku akan memberitahukan ini pada Tuan Aziz." "Kalau
"Cici!" Silvi berteriak dari luar kaca mobil milik madunya itu. Ada Ria juga yang berusaha membantu untuk mengetuk beberapa kali tetapi Cici tidak juga membukakan pintu mobilnya. "Sepertinya Cici pingsan, Ria." "Benar, Kak Silvi. Mata Cici tidak bangun juga saat kita ketuk-ketuk kaca mobilnya, apa Cici sakit?" "Entahlah, kita harus segera menolongnya, tapi gimana caranya membuka mobil ini sedangkan kuncinya ada di dalam?" Silvi kebingungan begitu juga Ria. Silvi menghubungi Wiliam yang ada di rumah sakit karena Cici belum juga sadarkan dirinya. "Aku akan hubungi Mas Wiliam dulu, kamu jaga Cici." "Kak Silvi, sebaiknya jangan hubungi Mas Wiliam, seperti yang kita tau kalau Mas Wiliam masih mengurus Vea, aku yakin Cici tidak akan lama pingsan di dalam, kita harus menunggu sampai beberapa menit membiarkan Cici sadarkan diri dengan sendirinya." Apa yang dikatakan Ria ada benarnya karena suami mereka tidak mau diganggu oleh siapapun saat sedih atau sibuk, dia mengerti suaminya sen
"Iya, tadi aku mengikuti kamu, ternyata kamu ke tempat kerja Vea, lihat tempat kerja Vea banyak polisi, ada apa?" Cici menggelengkan kepala, dia juga belum tau apa yang terjadi di tempat itu, tetapi dia akan menceritakan kenapa dirinya ada di sana. "Aku bermimpi Vea pergi jauh, jadi aku datang ke tempat ini. Entahlah ada apa di sini, sebaiknya kita tanya langsung ke polisi." Ria memberanikan diri bertanya sendiri sedangkan Cici masih di tempat tadi yang dekat dengan mobilnya. "Gimana Kak Ria?" "Jadi Vea dibawa ke rumah sakit karena korban menusukkan penjahat yang hampir merampok tempat ini, katanya sudah ada pria dan wanita yang menolongnya." "Jangan-jangan itu Mas Wiliam sama Kak Silvi!" "Kamu benar, kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku sudah tau nama rumah sakitnya, kita harus memastikan mereka baik-baik saja." "Iya, Kak Ria." Cici masuk ke dalam mobilnya sendiri, begitu juga Ria yang masuk dan mengendarai di depan mobil Cici yang belum tau tempat rumah sakitnya. "Ki