Akhirnya Cici menemukan Wiliam yang ada di dekat kolam renang, pria itu tengah duduk berkutat dengan laptopnya. "Mas Wiliam. Akhirnya aku menemukan kamu juga, gawat Mas. Kak Silvi sama Vea dan Ria, mereka bertengkar." Wiliam beranjak bangun dari posisinya dan segera menuju tempat pertengkaran mereka bertiga diikuti Cici yang ada di belakangnya. "Di mana mereka?" Cici menunjukkan arahnya dengan satu jarinya, ternyata memang mereka masih berada di ruangan tersebut. "Aku baru tau kalian menindas orang seperti ini, apa aku pernah minta untuk kamu memberikan jatah harian kamu Ria? Terus Silvi, apa aku pernah memohon padamu untuk dijadikan istri suamimu sehingga kamu seolah-olah merasa paling tersakiti? Tidak 'kan!" Walaupun Vea hanya sendiri di sana dia sangat berani melawan kedua orang yang badannya cukup besar daripada dirinya. "Astaga! Semakin tidak tahu diri dia Kak Silvi, gimana kalau dia kita serang saja, aku tidak terima wanita ini terus menginjak-injak harga diri kakak."
Saat itu juga Vea sekuat tenaga melepaskan diri untuk lepas dari pelukan suaminya yang sangat nyaman berada pada pelukan keempatnya. "Lepaskan bodoh!" Akhirnya Wiliam terbangun bersama ketiga istrinya yang lain. Rupanya Vea sudah berdiri di atas tempat tidur ingin menginjak perut Wiliam. "Jangan Vea!" Tangan Silvi mencegahnya. Vea tersungkur ke bawah, Wiliam segera bangun dan membantu Vea yang terjatuh ke lantai. Silvi menutup mulut menahan tawanya bersama Ria, tidak dengan Cici yang mengikuti suaminya untuk membantu madunya. "Bangun sayang. Kamu tidak apa-apa?" Ketika dilihat Wiliam dan Cici, ternyata bagian dahi Vea sangat memar. Semua ini gara-gara Silvi yang mau Vea terjatuh. "Aw. Rasanya sakit sekali. Dia sengaja membuat aku jatuh!" Tangannya ke arah Silvi yang masih menahan tawa, wanita itu sangat puas sudah memberikan sedikit pelajaran pada Vea. "Mas ayo panggil dokter, aku takut kepalanya kenapa-kenapa," kata Cici mengarah pada suaminya. Wiliam mengambil ponsel
Cici datang dengan membawa obat-obatan yang disarankan oleh Dokter. Silvi menerima obat tersebut untuk segera diminumkan ke suaminya, sedangkan Ria sudah mengambil minuman dan membuatkan bubur. "Biar aku yang akan menyuapi suamiku," kata Silvi lebih dahulu mengambil mangkuk bubur yang ada pada tangan Ria. Sebenarnya Ria ingin sekali menyuapi suaminya, tetapi Silvi memang lebih berhak ada di sana saat kondisi Wiliam seperti ini. "Iya, Kak Silvi saja. Aku rasa Mas Wiliam akan menyukai makanan buatanku," balas Ria. Silvi seperti tidak menyukai ucapan Ria yang memuji masakannya sendiri, dia sekarang membangunkan Wiliam yang sudah sadarkan diri dan duduk di sana. "Makanlah Mas, kamu harus minum obat, aku mau kamu cepat sembuh, kita bisa melanjutkan permainan yang belum selesai," ucap Silvi terlihat ingin mengambil alih tugas istri-istri yang lain. Sedangkan Wiliam melirik ke arah Vea yang sedang memakan roti di tangannya, seperti enak untuk Wiliam, dengan tangannya yang lemas m
Silvi menatap tajam ke arah Ria yang marah padanya, ternyata Ria masih tidak terima jika Silvi tidak menganggap dirinya ada, padahal Ria sudah membela mati-matian Silvi di depan Vea dan suaminya. "Apa katamu? Jadi kamu membelanya? Sekarang seisi rumah ini membela Vea? Mengesankan sekali! Jadi aku hanya sendiri membela diriku yang memiliki suami berbagi suami, jangan lupa kamu siapa Ria, aku bisa mengambil jatahmu dari suamiku, kamu jangan bertingkah dan melawan aku." Sebuah ancaman keluar dari mulut Silvi, Ria semakin panas dan tidak terima, secepat kilat Ria menarik rambut Silvi agar wanita tua itu kesakitan. "Aw! Sakit tau Ria. Kamu kurang ajar, tidak ada bedanya sama Vea, aku menyesal sudah menjadikan kalian maduku." Masih sekali lagi membuat emosi Ria memuncak, padahal Ria tidak pernah sebelumnya berpikir buruk pada Silvi, tetapi Silver jahat padanya. "Terserah kamu Kak Silvi! Kamu sendiri yang mau kita jadi madumu bukan? Jangan salahkan aku! Sekali lagi aku mau Kak Silvi
Malam hari ketika Silvi tertidur kembali bersama suaminya, Ria menunggu Wiliam di dalam kamar, tidak ada Wiliam masuk ke sana untuk menemani tidurnya, sedangkan Cici yang sudah tau Wiliam tidur bersama Silvi setelah dirinya pergi ke kamar Silvi untuk memberikan teh seperti biasanya terkejut. "Astaga! Jadi Mas Wiliam ada di sini, kasihan Ria menunggu, aku harus beritahukan kalau Mas Wiliam tidak mungkin ke sana." Kakinya berjalan dan melihat Vea seperti menuju dapur. Cici mengikutinya dan menyapa madunya itu. "Ve, kamu mau ke mana malam-malam begini?" Vea menoleh ke arah Cici yang membawa teh, sepertinya belum di minum dan masih hangat. "Aku mau bikin teh, apa itu bisa buat aku?" Cici melihat teh yang tidak jadi dimasukkan ke dalam kamar Silvi, sepertinya memang teh buatannya ditakdirkan untuk Vea. "Oh, tentu boleh. Kamu bisa meminumnya, silakan Vea." Vea segera mengambil gelas yang ada di tangan Cici. Rupanya memang teh buatan Cici sangat pas takarannya sesuai dengan seler
Di rumah sakit Wiliam duduk bersama Silvi menghadap dokter yang mau memberikan hasil tes kesuburan terbarunya. "Bagaimana dokter?" Wiliam mau segera mengetahui hasilnya. Silvi sudah bernafas lega karena dia telah mengubah segalanya sebelum Wiliam menerima hasil tes tersebut. "Dari tes di sini bisa dilihat kalau Pak Wiliam subur dan istrinya memiliki kesulitan untuk bisa hamil dalam waktu dekat." Keterangan dokter membuat lemas Wiliam, Silvi mencoba menguatkan suaminya untuk bisa menerima kenyataan yang ada. "Tidak mungkin dokter! Vea sehat dan dia sudah mau memberikan aku anak, tapi kenapa hasilnya sama seperti ketiga istriku?" Wiliam tidak menduga kalau harus empat kali menerima kekecewaan. Sepertinya Wiliam harus melihat sendiri hasil tes yang dipegang dokter. "Ini benar Pak Wiliam. Hasil ini sangat valid karena telah diuji keasliannya." Dokter membuat Wiliam sekali lagi lemas. Silvi sepertinya tersenyum dengan hasil yang didapatkan bersama Wiliam. "Aku keluar dulu dok
Malam hari ketika jatah tidur bersama Cici. Wiliam masuk ke dalam sana dan memberitahukan apa yang terjadi. "Ci, tadi aku sudah mendapatkan hasil tes kesuburan kami," ucapnya dengan posisi duduk. Cici memiringkan tubuhnya agar bisa melihat suaminya bicara, sepertinya sangat serius dan ini mengenai Vea. "Begitu ya, apa hasilnya Mas? Apa ada alasan mengapa sikap Mas tadi sore berubah?" Wiliam menatap Cici dengan tatapan sedih. Bagian yang paling menyakitkan karena telah harapan sama sekali dengan keempat istrinya. "Benar. Aku tidak tau harus seperti apa menghadapi Vea di esok hari. Aku kecewa padanya, harapanku tidak bisa diwujudkan darinya." Cici mendekati Wiliam memeluk prianya agar lebih tegar menghadapi cobaan yang menerpanya, baginya sama saja memiliki anak atau tidak yang terpenting bisa bersama Wiliam. "Sabar Mas. Pantas tadi kamu seperti itu sama Vea, tapi Mas tidak bisa menyalahkan Vea sepenuhnya, dia tidak salah Mas. Semuanya takdir." Wiliam masih tidak ma
Tepat pukul lima sore Vea datang baru membawakan banyak peralatan keperluan dirinya untuk melanjutkan kebiasaannya menjahit sejak ada di panti asuhan dulu. "Loh, kenapa semua barang-barang aku tidak ada? Kamar ini seperti dikosongkan dan seprainya sudah diganti bukan lagi warna kesukaan aku. Pasti ada sesuatu!" Vea melihat Silvi ada di belakangnya bersama Ria dan Cici yang menatapnya dengan keprihatinan. "Jangan kamu pikir bisa menempati kamar bagus ini dengan sembarangan tanpa izin dariku dan Mas Wiliam. Sekarang Mas Wiliam memerintahkan aku untuk memindahkan kamu ke gudang paling ujung sana sebagai tempat tinggal kamu yang baru." Terkejutnya Vea kamarnya dipindahkan oleh Silvi yang selama ini selalu mengalah padanya, dan Wiliam yang memerintahkannya, ada apa? "Bohong kan kamu! Selama ini Wiliam selalu menomorsatukan aku karena dia membutuhkan rahimku untuk sebuah keturunan, terus masa aku tidur di tempat yang kotor dan sempit? Ayolah Silvi jangan mengarang cerita, aku akan m