Sebelum Joshua dilarikan ke rumah sakit. Di mana situasi sekeliling pondok dalam suasana yang sunyi. Sam terlihat mengendap-endap untuk mendekat dan mencari tahu. Rupanya rintik hujan menyambut kedatangannya, sehingga Sam harus berjingkat untuk menghindar dari gerimis. Sepi. Itulah kata pertama yang muncul di kepalanya, Sam menyipitkan kelopak mata untuk menajamkan penglihatan. Ia mengintip di balik jendela yang tirainya tidak tertutup dengan rapat. Sam tidak menemui apapun di dalam sana, hingga ia memutuskan untuk masuk ke dalam. ‘Jadi Joshua membawanya ke sini?’ (tanya Mark dalam hati). ‘Ya, Mark. Siapa tahu Joshua bermaksud baik, ia ingin menyelamatkan sahabatnya itu.’ (lanjut Sam bermonolog dengan perasaannya sendiri). ‘Gotcha!’ (soraknya dalam hati saat ia berhasil membuka pintu). Perlahan ia masuk ke dalam pondok yang minim pencahayaan itu. Ia waspada akan kemungkinan yang terjadi, siapa tahu ada sebuah jebakan yang membuat dirinya harus bertaruh nyawa. Tidak ada apapun sa
“Kamu bercanda? Cerita dari mana jika kamu itu adiknya, Kevin?” Deniz tertawa kecil sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Jangan ngarang kamu, Cath!” sambung Deniz yang sudah tidak ada simpati sedikitpun pada perempuan muda itu.“Aku memang tidak pernah memberitahumu tentang keluargaku, karena kamu tidak memintanya,” jawab Catherine yang nada suaranya terdengar seperti—menyesal.“Cih, tidak penting.” Deniz langsung menimpali nya dengan cepat.“Kamu sudah berkhianat dan kita tidak ada hubungan TITIK!” jari telunjuk Deniz mengarah ke bawah lantai sebagai bentuk keputusan yang mutlak agar Catherine menerima dengan lapang dada.“Sudah aku jelaskan jika semuanya salah paham, Deniz. Kamu harus percaya kepadaku,” Catherine masih berusaha mendapatkan kepercayaan Deniz yang sudah hilang kepadanya. Pria bertampang dingin itu dulu sangat hangat saat menatap ke arahnya. Ucapan yang keluar dari mulut seorang Deniz sangatlah lembut, sehingga berhasil meluluhkan hati Catherine yang keras k
“Aku tidak menukar takdir siapapun. Jika harus menyalahkan, kenapa kau harus membebankan semua ini kepadaku? Aku tidak tahu apa-apa, Jo.” Ujar Marissa yang masih dalam posisi semula, telentang di atas ranjang lapuk.“Tapi karena kau, semuanya menjadi kacau.” Balas Joanna dengan wajah mengerikan. Ia melempar dagu Marissa dengan kasar.“Aku? Salahku di mana? Sedangkan aku sendiri tidak tahu jika kau mengalami hari yang berat. Kita bertemu di saat usiamu baru menginjak 12 tahun, saat paman Mike membawamu ke rumah.” Jawaban dari Marissa membuat Joanna bungkam, ia hanya melirik dengan sinis.Joanna mengepalkan tangannya dengan kuat, hampir saja ia melayangkan bogem mentah itu pada kakaknya. Ia urung melakukan, Joanna masih butuh Marissa untuk memuluskan rencananya. Masih banyak hal yang harus ia wujudkan di samping Marissa adalah pemegang saham tertinggi di perusahaan konstruksi itu.Lalu ia melampiaskan amarahnya dengan menendang sebuah kursi, hingga kursi tersebut berpindah tempat dengan
“Miriam, kemarilah!” Joanna memanggil wanita yang dulu dipercaya sebagai kepala pelayan di keluarga Ghazy itu agar masuk ke dalam.“Nona,” jawab Miriam dengan penampilannya yang tetap terlihat elegan di mata siapapun.“Singkirkan dia!” “Baik, Nona.” Miriam mengangguk patuh, ia sangat tahu jika Joanna tidak suka dibantah. Perempuan muda itu pun pergi begitu saja tanpa mengucapkan kata. Miriam masih dalam posisi menunduk dengan kedua telapak tangan saling menggenggam di depan. “Kerjakan dengan rapi!” Joanna menepuk bahu Miriam yang terlihat tegang.Miriam mematung hingga di sepersekian detik, hingga ia tersadar dari lamunan yang menuntutnya untuk menuruti perintah majikannya. Ia yang telah terdesak oleh keadaan terpaksa harus setuju dengan tawaran yang diberikan oleh Joanna kepadanya. Miriam yang takut mati itu pun sepakat untuk bekerja dengan Joanna sebagai salah satu syarat.“Oh my God,” gumamnya lirih saat melihat Marissa yang sudah tidak bergerak.“Sam!” Miriam memanggil seseoran
“Dasar anak tidak tahu diri. Apa yang sudah kau lakukan, Sam Antonio Bennedict?” teriak wanita berusia 60 tahun itu dengan berkacak pinggang—marah. “Seharusnya kau membawa calon pengantin, bukannya—argh ….!” Bibi May meluapkan emosinya setelah membantu Sam membaringkan tubuh Marissa di kamar tamu. Bibi May berdiri dengan gelisah, bahkan celemek untuk memasak masih dikenakan wanita berpostur tambun tersebut. Saat Sam datang, kedua telapak tangan wanita itu menyambutnya dengan sarung tangan anti panas untuk mengangkat ayam saus tomat dalam oven. “Bibi, aku tidak bilang kalau ….” “Alah, kau ini banyak alasan dari dulu. Mana ada gadis yang mau denganmu jika kau setiap hari sibuk bekerja dan lihatlah kondisimu sekarang. Pulang-pulang bukannya membawa istri, tapi membawa ….” bibi May menghembuskan napas dengan kasar setelah melirik ke arah pintu kamar, ia tidak meneruskan kalimatnya. Wanita berambut sebagian memutih dan digelung asal tersebut memilih untuk berdiri, ia berkacak pinggang
“Nona hanya menderita syok, Bi. Saya sudah mengobati lukanya, jadi Bibi jangan terlalu khawatir.” Dokter Ramon meletakkan beberapa obat di atas meja dan memberi petunjuk cara minum sesuai dosisnya.“Apa Sam akan kembali, Bi?” tanya dokter Ramon yang menatap kasihan pada bibi May yang telah menghabiskan masa tuanya sendirian tanpa ada sanak saudara.“Entahlah, Ramon. Terima kasih sudah jauh-jauh datang ke sini,” jawab bibi May dengan mengedikkan bahunya.“Nanti ada Frans yang datang ke mari. Aku sudah memintanya membantuku selama nona muda masih dalam pemulihan,” lanjutnya setelah duduk di kursi yang berseberangan dengannya.Kini mereka duduk dalam satu meja di ruang makan. Hidangan yang sudah dimasaknya sengaja dihangatkan kembali saat dokter Ramon singgah. Ia ingin membaginya dengan dokter muda itu agar makanan yang telah masak tidak terbuang sia-sia.“Begitukah? Sungguh aku khawatir jika meninggalkan Bibi sendirian seperti ini. Syukurlah jika ada yang menemani, jadi aku tidak terlal
Pagi itu—gempar!Berita tersebar dengan cepat di sebuah desa yang terletak pada kaki gunung. Desa yang hanya sebatas dua kabupaten saja itu telah menorehkan sebuah kisah tragis hari ini. Bukan hanya tentang kematian seorang pemuda berusia belasan tahun, tapi juga seorang nenek berusia hampir seperempat abad dengan kondisi yang sama.“Pindahkan Nona itu ke dalam ambulans. Dia masih bernapas ‘kan? Langsung bawa ke rumah sakit agar mendapatkan perawatan,” tanya salah satu penyidik pada petugas medis yang menangani kasus kematian bibi May.“Iya, Pak.” Petugas medis yang mengenakan baju nakes itu mengangguk patuh, lalu mengerjakan tugasnya dengan segera.Sang penyidik berjalan mendekat ke arah bibi May, ia menghembuskan napas dengan kasar. Pria berperawakan 175 centimeter itu memasukkan tangannya ke dalam saku celana saat memandangi wajah bibi May yang sudah membiru di bagian bibirnya.“Nenek yang malang,” ujar sang penyidik bernama James Alexander itu sambil menggeleng kecil.“Apa perlu k
“Anda tuan yang ….” jari telunjuk Deniz mengarah pada Alex yang telah menunggu kedatangannya. Tepat pukul satu siang, Alex sampai di kota Ankara pusat. Di mana perusahaan keluarga Ghazy berdiri di salah satu jajaran gedung megah ibukota Turki. Perusahaan manufaktur terbesar itu merajai banyak cabang di hampir seluruh permukaan bumi. Bisa dibilang saat ini Alex sedang berhadapan dengan seorang miliarder ternama.“Alex. Panggil saja Alex, tuan ….” jawab Alex saat menoleh. Ia berdiri di depan jendela besar, lebih tepatnya Alex berada di lantai 3 salah satu ruangan khusus yang disediakan untuk menerima tamu secara privat.“Deniz. Deniz Ansel Ghazy,” ujar Deniz sambil menjabat erat tangan Alex.“Silahkan duduk!” ujar Deniz dengan sopan.“Hem, ya. Terima kasih tuan,” Alex mengulas senyuman—tipis.Pria yang bekerja pada salah satu bareskrim itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada yang mencurigakan, semua terlihat normal di mata manusia biasa. “Boleh saya tahu, anda mendapatkan n