“Aku tidak menukar takdir siapapun. Jika harus menyalahkan, kenapa kau harus membebankan semua ini kepadaku? Aku tidak tahu apa-apa, Jo.” Ujar Marissa yang masih dalam posisi semula, telentang di atas ranjang lapuk.“Tapi karena kau, semuanya menjadi kacau.” Balas Joanna dengan wajah mengerikan. Ia melempar dagu Marissa dengan kasar.“Aku? Salahku di mana? Sedangkan aku sendiri tidak tahu jika kau mengalami hari yang berat. Kita bertemu di saat usiamu baru menginjak 12 tahun, saat paman Mike membawamu ke rumah.” Jawaban dari Marissa membuat Joanna bungkam, ia hanya melirik dengan sinis.Joanna mengepalkan tangannya dengan kuat, hampir saja ia melayangkan bogem mentah itu pada kakaknya. Ia urung melakukan, Joanna masih butuh Marissa untuk memuluskan rencananya. Masih banyak hal yang harus ia wujudkan di samping Marissa adalah pemegang saham tertinggi di perusahaan konstruksi itu.Lalu ia melampiaskan amarahnya dengan menendang sebuah kursi, hingga kursi tersebut berpindah tempat dengan
“Miriam, kemarilah!” Joanna memanggil wanita yang dulu dipercaya sebagai kepala pelayan di keluarga Ghazy itu agar masuk ke dalam.“Nona,” jawab Miriam dengan penampilannya yang tetap terlihat elegan di mata siapapun.“Singkirkan dia!” “Baik, Nona.” Miriam mengangguk patuh, ia sangat tahu jika Joanna tidak suka dibantah. Perempuan muda itu pun pergi begitu saja tanpa mengucapkan kata. Miriam masih dalam posisi menunduk dengan kedua telapak tangan saling menggenggam di depan. “Kerjakan dengan rapi!” Joanna menepuk bahu Miriam yang terlihat tegang.Miriam mematung hingga di sepersekian detik, hingga ia tersadar dari lamunan yang menuntutnya untuk menuruti perintah majikannya. Ia yang telah terdesak oleh keadaan terpaksa harus setuju dengan tawaran yang diberikan oleh Joanna kepadanya. Miriam yang takut mati itu pun sepakat untuk bekerja dengan Joanna sebagai salah satu syarat.“Oh my God,” gumamnya lirih saat melihat Marissa yang sudah tidak bergerak.“Sam!” Miriam memanggil seseoran
“Dasar anak tidak tahu diri. Apa yang sudah kau lakukan, Sam Antonio Bennedict?” teriak wanita berusia 60 tahun itu dengan berkacak pinggang—marah. “Seharusnya kau membawa calon pengantin, bukannya—argh ….!” Bibi May meluapkan emosinya setelah membantu Sam membaringkan tubuh Marissa di kamar tamu. Bibi May berdiri dengan gelisah, bahkan celemek untuk memasak masih dikenakan wanita berpostur tambun tersebut. Saat Sam datang, kedua telapak tangan wanita itu menyambutnya dengan sarung tangan anti panas untuk mengangkat ayam saus tomat dalam oven. “Bibi, aku tidak bilang kalau ….” “Alah, kau ini banyak alasan dari dulu. Mana ada gadis yang mau denganmu jika kau setiap hari sibuk bekerja dan lihatlah kondisimu sekarang. Pulang-pulang bukannya membawa istri, tapi membawa ….” bibi May menghembuskan napas dengan kasar setelah melirik ke arah pintu kamar, ia tidak meneruskan kalimatnya. Wanita berambut sebagian memutih dan digelung asal tersebut memilih untuk berdiri, ia berkacak pinggang
“Nona hanya menderita syok, Bi. Saya sudah mengobati lukanya, jadi Bibi jangan terlalu khawatir.” Dokter Ramon meletakkan beberapa obat di atas meja dan memberi petunjuk cara minum sesuai dosisnya.“Apa Sam akan kembali, Bi?” tanya dokter Ramon yang menatap kasihan pada bibi May yang telah menghabiskan masa tuanya sendirian tanpa ada sanak saudara.“Entahlah, Ramon. Terima kasih sudah jauh-jauh datang ke sini,” jawab bibi May dengan mengedikkan bahunya.“Nanti ada Frans yang datang ke mari. Aku sudah memintanya membantuku selama nona muda masih dalam pemulihan,” lanjutnya setelah duduk di kursi yang berseberangan dengannya.Kini mereka duduk dalam satu meja di ruang makan. Hidangan yang sudah dimasaknya sengaja dihangatkan kembali saat dokter Ramon singgah. Ia ingin membaginya dengan dokter muda itu agar makanan yang telah masak tidak terbuang sia-sia.“Begitukah? Sungguh aku khawatir jika meninggalkan Bibi sendirian seperti ini. Syukurlah jika ada yang menemani, jadi aku tidak terlal
Pagi itu—gempar!Berita tersebar dengan cepat di sebuah desa yang terletak pada kaki gunung. Desa yang hanya sebatas dua kabupaten saja itu telah menorehkan sebuah kisah tragis hari ini. Bukan hanya tentang kematian seorang pemuda berusia belasan tahun, tapi juga seorang nenek berusia hampir seperempat abad dengan kondisi yang sama.“Pindahkan Nona itu ke dalam ambulans. Dia masih bernapas ‘kan? Langsung bawa ke rumah sakit agar mendapatkan perawatan,” tanya salah satu penyidik pada petugas medis yang menangani kasus kematian bibi May.“Iya, Pak.” Petugas medis yang mengenakan baju nakes itu mengangguk patuh, lalu mengerjakan tugasnya dengan segera.Sang penyidik berjalan mendekat ke arah bibi May, ia menghembuskan napas dengan kasar. Pria berperawakan 175 centimeter itu memasukkan tangannya ke dalam saku celana saat memandangi wajah bibi May yang sudah membiru di bagian bibirnya.“Nenek yang malang,” ujar sang penyidik bernama James Alexander itu sambil menggeleng kecil.“Apa perlu k
“Anda tuan yang ….” jari telunjuk Deniz mengarah pada Alex yang telah menunggu kedatangannya. Tepat pukul satu siang, Alex sampai di kota Ankara pusat. Di mana perusahaan keluarga Ghazy berdiri di salah satu jajaran gedung megah ibukota Turki. Perusahaan manufaktur terbesar itu merajai banyak cabang di hampir seluruh permukaan bumi. Bisa dibilang saat ini Alex sedang berhadapan dengan seorang miliarder ternama.“Alex. Panggil saja Alex, tuan ….” jawab Alex saat menoleh. Ia berdiri di depan jendela besar, lebih tepatnya Alex berada di lantai 3 salah satu ruangan khusus yang disediakan untuk menerima tamu secara privat.“Deniz. Deniz Ansel Ghazy,” ujar Deniz sambil menjabat erat tangan Alex.“Silahkan duduk!” ujar Deniz dengan sopan.“Hem, ya. Terima kasih tuan,” Alex mengulas senyuman—tipis.Pria yang bekerja pada salah satu bareskrim itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada yang mencurigakan, semua terlihat normal di mata manusia biasa. “Boleh saya tahu, anda mendapatkan n
Cairan infus menetes perlahan melewati selang kecil yang terpasang di punggung tangan kanannya. Bantuan oksigen bersih pun dikerahkan agar perempuan itu bisa menyambung hidup. Alex menatapnya dari balik kaca ruang ICU. Ia mendengus kasar sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku mantel.“Syukurlah kalau dia baik-baik saja.” Gumam Alex sambil berbalik.“Sore Tuan Alex,” sapa dokter Ramon membuat Alex terkejut dengan kedatangannya yang secara tiba-tiba.“Oh, selamat sore Dok.” Jawab Alex yang mampu mengendalikan diri kembali.“Sedang menangani kasus?” tanya dokter Ramon dengan senyuman tipis.“Ya, begitulah ….” ujar Alex yang sekilas menoleh ke arah samping, di mana Marissa sedang terbaring di atas bed pasien.“Apa Dokter mau memeriksanya?” ibu jari Alex mengarah ke belakang, tepat di mana ruangan Marissa berada.“Tidak-tidak, aku mau ke ruang laborat. Ada sesuatu yang harus aku urus. Kamu tahu sendiri Alex, jika aku ….” jawab dokter Ramon dengan canggung, kalimatnya pun menggantun
Pucuk senjata itu masih menempel di salah satu pelipis Sam. Tampak keringat sebesar biji jagung menetes perlahan dari arah keningnya. Ia dalam posisi setengah duduk di bawah lantai, kedua lututnya bertumpu pada lantai yang berdebu.“Jadi kamu mencoba untuk membodohiku? Rupanya kamu tidak bisa aku percaya,” kata Joanna yang entah sejak kapan berubah menjadi seorang psycho.“Perempuan terhormat tidak akan melakukan ini Nona,” ujar Sam yang telah mengangkat kedua tangannya hingga ke belakang kepala.“Berani kamu menentangku? Kamu tidak sayang dengan nyawamu?” Joanna menoyor kepala Sam dengan tangan kirinya.Sedangkan Miriam, wajah wanita itu tampak pucat. Ia berdiri di sudut ruang tanpa bisa melakukan apapun. Tubuhnya gemetar sejak Joanna menodongkan senjata api kepadanya. Apalagi saat Joanna tahu jika Sam hendak melakukan pemberontakan.“Kevin. Pria yang sudah kau rebut dari nona Marissa, apa dia tahu jika sebenarnya kamu tidak hamil?” DUG!Joanna memukulkan pegangan senjata itu tepat
Kenapa tangan Marissa begitu gemetar saat ia menerima setumpuk berkas yang diberikan oleh Sam — bodyguard mantan suaminya. “Kau bercanda, Sam?” Marissa mengangkat wajahnya setelah ia mematung sekian detik. “Tidak. Mana ada bercanda dalam kasus yang saya tangani Nona,” jawabnya sambil menopangkan kedua tangannya di ujung meja. Sam menatap Marissa dengan tajam, ia tahu jika perempuan itu belum siap dengan gebrakan baru yang dirancang olehnya bersama Deniz. “Aku tidak bisa menerimanya,” sahut Marissa dengan cepat. Ia meletakkan kembali beberapa map yang baru saja dibacanya dengan kasar. Kali ini sasaran kemarahannya ditujukan pada meja kerja Deniz yang dinilainya sebagai meja terkutuk. “…. Nona sudah di sini tidak bisa mundur lagi,” ujar Sam tidak memindahkan pandangannya. “Lho, kok maksa sih? Aku bisa menolak ‘kan? Lagian, imbalan sebesar ini pasti kerjasama yang ditawarkan oleh tuanmu juga nggak main-main resikonya, iya ‘kan?” Marissa membalas tatapan Sam dengan memicingkan kedu
Kenyataannya sampai sore menyapa, Marissa tidak meninggalkan tempat duduknya. Ia masih di posisi yang sama saat pria itu dibaringkan pada tempat tidur berukuran large. “Huft ….” Marissa menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Ia memainkan jemarinya yang terasa semakin dingin di suhu ruang normal. Marissa berusaha untuk bersikap tenang, meski bola matanya tidak lepas memindai jarum infus dan alat perekam detak jantung sedari tadi. Satu jam yang lalu ….“Dia akan baik-baik saja, percayalah ….” ucap dokter Sunny sambil menepuk pelan bahunya. Dokter keluarga tersebut seakan ingin membesarkan hati Marissa yang saat ini tak ubahnya sedang terjun payung tak tentu arah. “Sejak saat itu, kesehatan tuan muda Deniz semakin memburuk.”Marissa menunduk dalam-dalam, ia menghela napas agar perasaan yang membuat dadanya begitu sesak hilang sudah.“Apa tidak ada alternatif lain agar suami oh maaf, agar tuan Deniz bisa pulih kembali?” Yang ada dadanya semakin sesak dengan realita yang a
“Silahkan masuk, Nona.” Sam membuka pintu sebuah ruangan, ia mempersilahkan Marissa masuk ke dalamnya. Perempuan berpostur semampai tersebut terlihat begitu tegang. Selama dalam perjalanan ia menerka-nerka seperti bermain dalam sebuah teka-teki. Kira-kira apa yang telah membuat dua orang kepercayaan keluarga Ghazy tersebut datang menemuinya kembali setelah sekian lama menghilang. Marissa masuk ke dalam ruangan dengan pandangan lurus ke depan. Tidak ada senyuman di bibirnya, hanya suara hak sepatunya yang menggema di sepanjang lorong. Tepat di menit ke lima, ia berhenti di depan seseorang yang tengah duduk di kursi sofa yang cukup mewah. Sepertinya pria di hadapannya ingin sekali menyapa, ‘Hai, apa kabar?’Tapi situasi tidak mendukungnya menjadi pejantan tangguh seperti dulu, bahkan nyalinya berubah menciut setelah melihat kondisi Marissa jauh lebih baik setelah bercerai dengannya. Satu kata yang pantas ditujukan pada sosok Deniz saat ini, menyedihkan! “Kamu tidak bertanya keadaan
Pagi buta Marissa bergegas, ia menyiapkan semua bahan baking untuk diolah menjadi roti gandum yang lezat. Ia sudah berdiri di depan sebuah meja panjang stainless yang berada di dapur belakang, “Mario, apa kamu sudah cek semua bahan?” tanya Marissa yang sudah mengenakan apron berwarna gelap.Pria muda dengan kisaran usia 19 tahun itu menoleh, ia memegang satu buah paprika berwarna merah. “Saya rasa sudah Madam,” “Bagus,” Marissa mengangguk kecil. Tampak terlihat di wajahnya begitu sumringah, ketika mendapati usaha yang telah ditekuninya kembali berjalan lancar sejak satu tahun yang lalu.Marissa pun kembali melanjutkan aktivitasnya untuk menakar semua adonan sesuai tekstur yang diinginkan. “Jam 7 tepat kita akan membuka toko, apa kalian bisa melakukannya dengan baik?” “Ya, Madam,” jawab Kay, gadis berusia 17 tahun yang sedang magang di tempat Marissa. Lebih tepatnya, Marissa mempekerjakan Kay secara paruh waktu untuk membantu membayar tunggakan biaya sekolahnya.“Aku bisa mengandalka
“Kalau aku sudah tidak dibutuhkan di sini, aku akan pergi.” Marissa beranjak dari tempat duduknya, ia menggenggam tas yang semula diletakkan di atas meja. “TUNGGU!” cegah Deniz dengan suara yang lantang.Marissa menghentikan langkahnya, kepalanya menoleh tanpa melihat ke arah Deniz. Ia meremas tas yang semula digenggamnya dengan erat, sampai di mana Deniz telah mengarahkan kursi roda yang didudukinya ke hadapan Marissa. “Ikut denganku,” kata Deniz tanpa menengok ke belakang, ia menjalankan kursi roda miliknya secara otomatis. Wajah pria itu terlihat pucat, keadaannya tak jauh berbeda dengan Marissa. Ia lebih terguncang dari yang terlihat, hanya saja Deniz terlalu pandai menyimpan rasa sakit hatinya. “Memangnya ada apa?” gumam Marissa dengan sendirinya. Tapi tidak ada jawaban dari Deniz, pria itu terus saja menjalankan kursi roda miliknya menyusuri lorong rumah sakit.Marissa diam sejenak, ia mematung sambil melihat kepergian Deniz yang bersikap dingin dari awal pertemuan mereka. Lal
“Tidakkk ….!” Teriakan itu terdengar sangat pilu. Marissa bersimpuh di bawah lantai dengan posisi memeluk dirinya sendiri setelah ia histeris beberapa saat.“Kami sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain.” Sambung dokter Andrew yang telah mengerahkan tenaganya untuk mempertahankan nyawa Elizabeth selama 5 tahun ini.Marissa mengira, jika suster memanggilnya karena operasi pencangkokan yang dijalani oleh putri dan mantan suaminya telah selesai. Tanpa disangka, dokter Andrew membawa berita yang membuat semangat yang tersisa pada dirinya telah luluh lantak saat itu juga.“M-Marissa,” suara Ruth terdengar bergetar.Ia meraih tubuh Marissa dengan segera, tapi rasa kecewa yang telah menyelimuti hatinya membuat Ruth terpaksa ikut bersimpuh di sampingnya. Sementara itu, dokter Andrew pergi meninggalkan mereka tanpa permisi. Dokter paruh baya tersebut membiarkan Ruth dan Marissa meraung di dalam ruangan kerjanya. Ia merasa bersalah karena upaya yang dilakukannya sejauh ini berakhir dengan
“Menjauhlah dariku!” bentak Marissa saat ia mengangkat kaki kanannya.“Aduh!” Deniz memekik, kedua tangannya memegang bagian pangkal paha. Rupanya tendangan Marissa tepat mengenai sasaran dan membuat pria itu menjauh.“Jaga sikapmu, Deniz. Keluar dari ruangan ini dan biarkan aku mengenakan bajuku,” usir Marissa dengan tegas.“Tapi kemarin kamu,” “Apa? Kemarin ya kemarin, kalau sekarang— tidak!” mata Marissa melotot saat menjawab pertanyaan dari mantan suaminya tersebut.“Kenapa jual mahal begitu?” gerutu Deniz sambil mendesis menahan rasa sakit.“Cukup, Deniz! Kemarin adalah kesalahan, jangan harap kamu mendapatkannya kembali.” Ujar Marissa dengan tampang marah.“Sudah berapa pria yang kamu layani?” akhirnya pria itu bisa berdiri dengan tegap, ia menatap Marissa dengan wajah cukup sengit.Plak!Tamparan keras dari Marissa melayang tepat di pipi kiri Deniz. Wajah pria yang tidak siap dengan tindakan Marissa tersebut sedikit bergeser ke arah kanan. “Kau sudah tahu jika aku melakukan i
“Kalian memang berjodoh,” cibir Ruth setelah melihat Marissa datang bersama Deniz. “Si*alan kamu,” umpat Marissa dengan lirikan pedas. Ruth tersenyum tipis, ia berdiri di sisi tembok sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kenyataannya seperti itu, jangan marah. Kalian memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain,” sambung Ruth yang masih saja menggoda Marissa.“Hanya kebetulan bertemu, jangan berekspektasi terlalu tinggi.” Marissa mengelak.“Masih saja kamu berbohong, Marissa.” Ruth menggeleng pelan.“Tentang apa? Jangan mengada-ada,” Marissa menghempaskan bobot tubuhnya di atas kursi, perjalanan sepanjang hari ini membuat dirinya benar-benar letih.“Kamu masih mencintainya bukan?” Ruth sedikit memajukan wajahnya sambil mengedipkan sebelah mata.Pluk,Marissa melempar kotak tisu yang ada di atas meja, untung saja Ruth bisa menghindar. Perempuan berambut cepak tersebut tertawa puas karena berhasil menggoda sahabatnya.“Joshua meninggal,” tampak jelas jika Marissa begitu
“T-Tes DNA? A-Apa maksudnya ini?” “Lebih tepatnya, yang ada di hadapanmu saat ini adalah— hasil tes DNA.” Bruk, Dokumen yang ada dalam genggaman Marissa pun terjatuh begitu saja. Mendadak kakinya tidak bisa berdiri dengan sempurna, sehingga Marissa sedikit limbung dan hampir saja terjatuh. ***Marissa tidak berani mengangkat wajahnya, ia memilih untuk menghindari kontak mata dengan Deniz yang saat ini ingin menelannya hidup-hidup. “Gadis kecil yang ada di rumah sakit itu adalah putriku bukan?” jari telunjuk Deniz diarahkan dengan asal ke belakang dengan mimik muka yang serius. “Kenapa kamu menyembunyikannya dariku, Marissa?” lanjut Deniz yang mau tidak mau harus menginterogasi Marissa tentang keberadaan Eliza di tengah-tengah mereka. “A-Aku,” lidahnya benar-benar kaku, Marissa bingung hendak memulai jawaban dari mana. “5 tahun Marissa, dan kamu …. Argh ….!” Deniz sedikit menjauh dari Marissa yang mematung, ia mengacak rambutnya dengan kasar untuk melampiaskan perasaan kesalnya