“Nona hanya menderita syok, Bi. Saya sudah mengobati lukanya, jadi Bibi jangan terlalu khawatir.” Dokter Ramon meletakkan beberapa obat di atas meja dan memberi petunjuk cara minum sesuai dosisnya.“Apa Sam akan kembali, Bi?” tanya dokter Ramon yang menatap kasihan pada bibi May yang telah menghabiskan masa tuanya sendirian tanpa ada sanak saudara.“Entahlah, Ramon. Terima kasih sudah jauh-jauh datang ke sini,” jawab bibi May dengan mengedikkan bahunya.“Nanti ada Frans yang datang ke mari. Aku sudah memintanya membantuku selama nona muda masih dalam pemulihan,” lanjutnya setelah duduk di kursi yang berseberangan dengannya.Kini mereka duduk dalam satu meja di ruang makan. Hidangan yang sudah dimasaknya sengaja dihangatkan kembali saat dokter Ramon singgah. Ia ingin membaginya dengan dokter muda itu agar makanan yang telah masak tidak terbuang sia-sia.“Begitukah? Sungguh aku khawatir jika meninggalkan Bibi sendirian seperti ini. Syukurlah jika ada yang menemani, jadi aku tidak terlal
Pagi itu—gempar!Berita tersebar dengan cepat di sebuah desa yang terletak pada kaki gunung. Desa yang hanya sebatas dua kabupaten saja itu telah menorehkan sebuah kisah tragis hari ini. Bukan hanya tentang kematian seorang pemuda berusia belasan tahun, tapi juga seorang nenek berusia hampir seperempat abad dengan kondisi yang sama.“Pindahkan Nona itu ke dalam ambulans. Dia masih bernapas ‘kan? Langsung bawa ke rumah sakit agar mendapatkan perawatan,” tanya salah satu penyidik pada petugas medis yang menangani kasus kematian bibi May.“Iya, Pak.” Petugas medis yang mengenakan baju nakes itu mengangguk patuh, lalu mengerjakan tugasnya dengan segera.Sang penyidik berjalan mendekat ke arah bibi May, ia menghembuskan napas dengan kasar. Pria berperawakan 175 centimeter itu memasukkan tangannya ke dalam saku celana saat memandangi wajah bibi May yang sudah membiru di bagian bibirnya.“Nenek yang malang,” ujar sang penyidik bernama James Alexander itu sambil menggeleng kecil.“Apa perlu k
“Anda tuan yang ….” jari telunjuk Deniz mengarah pada Alex yang telah menunggu kedatangannya. Tepat pukul satu siang, Alex sampai di kota Ankara pusat. Di mana perusahaan keluarga Ghazy berdiri di salah satu jajaran gedung megah ibukota Turki. Perusahaan manufaktur terbesar itu merajai banyak cabang di hampir seluruh permukaan bumi. Bisa dibilang saat ini Alex sedang berhadapan dengan seorang miliarder ternama.“Alex. Panggil saja Alex, tuan ….” jawab Alex saat menoleh. Ia berdiri di depan jendela besar, lebih tepatnya Alex berada di lantai 3 salah satu ruangan khusus yang disediakan untuk menerima tamu secara privat.“Deniz. Deniz Ansel Ghazy,” ujar Deniz sambil menjabat erat tangan Alex.“Silahkan duduk!” ujar Deniz dengan sopan.“Hem, ya. Terima kasih tuan,” Alex mengulas senyuman—tipis.Pria yang bekerja pada salah satu bareskrim itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada yang mencurigakan, semua terlihat normal di mata manusia biasa. “Boleh saya tahu, anda mendapatkan n
Cairan infus menetes perlahan melewati selang kecil yang terpasang di punggung tangan kanannya. Bantuan oksigen bersih pun dikerahkan agar perempuan itu bisa menyambung hidup. Alex menatapnya dari balik kaca ruang ICU. Ia mendengus kasar sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku mantel.“Syukurlah kalau dia baik-baik saja.” Gumam Alex sambil berbalik.“Sore Tuan Alex,” sapa dokter Ramon membuat Alex terkejut dengan kedatangannya yang secara tiba-tiba.“Oh, selamat sore Dok.” Jawab Alex yang mampu mengendalikan diri kembali.“Sedang menangani kasus?” tanya dokter Ramon dengan senyuman tipis.“Ya, begitulah ….” ujar Alex yang sekilas menoleh ke arah samping, di mana Marissa sedang terbaring di atas bed pasien.“Apa Dokter mau memeriksanya?” ibu jari Alex mengarah ke belakang, tepat di mana ruangan Marissa berada.“Tidak-tidak, aku mau ke ruang laborat. Ada sesuatu yang harus aku urus. Kamu tahu sendiri Alex, jika aku ….” jawab dokter Ramon dengan canggung, kalimatnya pun menggantun
Pucuk senjata itu masih menempel di salah satu pelipis Sam. Tampak keringat sebesar biji jagung menetes perlahan dari arah keningnya. Ia dalam posisi setengah duduk di bawah lantai, kedua lututnya bertumpu pada lantai yang berdebu.“Jadi kamu mencoba untuk membodohiku? Rupanya kamu tidak bisa aku percaya,” kata Joanna yang entah sejak kapan berubah menjadi seorang psycho.“Perempuan terhormat tidak akan melakukan ini Nona,” ujar Sam yang telah mengangkat kedua tangannya hingga ke belakang kepala.“Berani kamu menentangku? Kamu tidak sayang dengan nyawamu?” Joanna menoyor kepala Sam dengan tangan kirinya.Sedangkan Miriam, wajah wanita itu tampak pucat. Ia berdiri di sudut ruang tanpa bisa melakukan apapun. Tubuhnya gemetar sejak Joanna menodongkan senjata api kepadanya. Apalagi saat Joanna tahu jika Sam hendak melakukan pemberontakan.“Kevin. Pria yang sudah kau rebut dari nona Marissa, apa dia tahu jika sebenarnya kamu tidak hamil?” DUG!Joanna memukulkan pegangan senjata itu tepat
BRUK!Sam mendorong kasar tubuh Joanna hingga tersungkur di bawah lantai. Perempuan muda itu dibawanya dalam keadaan terikat. Saat Sam membuka lakban yang melekat di mulutnya, Joanna pun berteriak dengan histeris.“Sialan kau!” wajahnya begitu murka dengan riak penuh amarah.Sementara itu, Deniz dan Mark terlihat bagai patung hidup. Mereka tidak menyangka telah kedatangan tamu istimewa siang ini. Sam dan Miriam yang dinyatakan telah tewas, tiba-tiba saja muncul di hadapan mereka dengan kondisi segar bugar.“Diamlah! Atau aku bungkam kembali mulutmu dengan ini,” gertak Sam pada Joanna yang saat ini berada di antara rivalnya.Seketika itu juga Joanna terdiam. Ia melihat sekeliling dengan tatapan yang sengit. Bisa-bisanya ia terjebak dengan perangkapnya sendiri yang menginginkan orang kepercayaan Deniz tunduk kepadanya hanya karena iming-iming uang.“Katakan padaku, ada apa ini sebenarnya?” tanya Deniz yang berdiri tepat di hadapan mereka. “Kau—Joanna?” imbuh Deniz dengan menautkan kedu
Ia melihat pendar yang dipantulkan oleh lampu sorot di pinggir jalan melalui jendela mobil. Rahangnya mengeras sejak ia menemui kenyataan, jika orang yang disangka telah meninggal kini datang berhadapan dengannya. Deniz menopangkan salah satu telapak tangan di sisi wajahnya agar pemandangan di luar sana bisa terekam secara baik pada memorinya.“Mark, kita putar balik!” perintah Deniz saat ia tersadar dari lamunannya.“Tuan muda?” Mark mengerutkan dahinya saat ia melihat sang miliarder dari balik kaca spion.“Kita menuju ke kantor Alex,” tatapan Deniz begitu dingin, ia memainkan jarinya seolah tengah melakukan sesuatu“Kepala penyidik?” Mark memperjelas dengan tebakannya.“Ya,” jawab Deniz dengan cepat.“Apa Tuan mengetahui sesuatu?” Mark berusaha mencari tahu. Pria itu sekali-kali meliriknya dengan arah fokus berkendara ke depan.“Not yet,” jawab Deniz dengan helaan napas yang terdengar sangat berat.Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, Mark mengarahkan setir mobil ke arah kan
Baru saja ia akan keluar dari rumah bibi May, tapi langkahnya terhenti karena seseorang melayangkan tinju tepat di wajahnya. Sam terjengkang ke belakang, ia memegang hidungnya yang terasa panas dan nyeri bercampur menjadi satu. Saat ia melihat telapak tangannya, ada noda bercak darah di sana. Rupanya hidung Sam terluka hingga ia merasa sedikit sesak saat bernapas.“T-Tuan Muda,” ucap Sam saat kedatangan tamu yang tidak diundang.Wajah Deniz memperlihatkan garis tegasnya, pria itu sangat marah. Dan saat bertemu dengan Sam, ia meluapkan emosi dengan cara menghajar pengawal pribadi yang sempat dipercaya olehnya.“Bisa-bisanya kau berkhianat denganku,” ujar Deniz dengan geram, ia maju perlahan dengan kepalan tangan yang kuat.“B-Berkhianat? A-Apa maksud Tuan Muda sebenarnya?” Sam bingung, belum sempat ia meneruskan rasa berdukanya akibat kehilangan orang-orang yang dicintai, kini ia harus berhadapan dengan Deniz yang menuduhnya sebagai seorang pengkhianat.“Di mana Marissa kau sembunyikan