Baru saja ia akan keluar dari rumah bibi May, tapi langkahnya terhenti karena seseorang melayangkan tinju tepat di wajahnya. Sam terjengkang ke belakang, ia memegang hidungnya yang terasa panas dan nyeri bercampur menjadi satu. Saat ia melihat telapak tangannya, ada noda bercak darah di sana. Rupanya hidung Sam terluka hingga ia merasa sedikit sesak saat bernapas.“T-Tuan Muda,” ucap Sam saat kedatangan tamu yang tidak diundang.Wajah Deniz memperlihatkan garis tegasnya, pria itu sangat marah. Dan saat bertemu dengan Sam, ia meluapkan emosi dengan cara menghajar pengawal pribadi yang sempat dipercaya olehnya.“Bisa-bisanya kau berkhianat denganku,” ujar Deniz dengan geram, ia maju perlahan dengan kepalan tangan yang kuat.“B-Berkhianat? A-Apa maksud Tuan Muda sebenarnya?” Sam bingung, belum sempat ia meneruskan rasa berdukanya akibat kehilangan orang-orang yang dicintai, kini ia harus berhadapan dengan Deniz yang menuduhnya sebagai seorang pengkhianat.“Di mana Marissa kau sembunyikan
“Hei, kau!” tunjuk Kevin yang menghentikan langkah Deniz ketika melintas di depannya.“Apa-apaan kau?” ujar Deniz dengan bola mata melebar saat tangan Kevin tiba-tiba meraih kerah kemeja yang dikenakannya.“Kau masih bertanya kenapa?” balas Kevin dengan sorot mata yang tajam.“Keluarkan Joanna, atau ….” ancamnya tidak main-main kali ini.“Atau apa?” jawab Deniz dengan santai.“Aku punya banyak bukti tentang kejahatan yang kalian lakukan? Masih mau mengelak?” lanjutnya dengan kepala sedikit dimiringkan.Kevin terdiam, ia memindai wajah Deniz yang balik menyerangnya tanpa ragu. Hingga beberapa detik kemudian tidak ada balasan dari Kevin, Deniz pun tersenyum kecut kepadanya.“Jadi, singkirkan tanganmu dariku!” kata Deniz sambil menghentakkan ujung jas yang kini terlihat sedikit berantakan.Kevin mengurai diri, ia mengeraskan rahangnya tanpa kata. Dari cara pandang pria itu, banyak yang hendak disampaikan olehnya tapi …. “Kalian sudah datang?” tanya Alex saat ia bergabung dengan mereka.
“Sudah aku sarankan padamu. Jangan menyatukan mereka dalam satu pertemuan,” Grace berjalan tergesa di samping Alex.“Siapa kau, kenapa berani mengaturku?” tanya Alex tanpa menoleh.“Aku istri sekaligus rekan kerjamu,” jawab Grace dengan cepat.“Cih!” mulut Alex mencebik.Mereka berjalan menuju lobi rumah sakit, keduanya datang dengan mobil yang berbeda. Grace langsung berlari kecil menyusul Alex yang tampak acuh kepadanya.“Kita hanya berdua?” kepala Grace menoleh ke sekeliling, tapi tidak menjumpai siapapun yang dikenal.Alex tetap melanjutkan jalannya, seakan ia tidak peduli apapun tentang perempuan yang masih berstatus istrinya itu. Hingga Alex menghentikan langkah di depan ruang pasien bernomor 30D, ia merogoh ponsel yang diletakkan pada saku mantel. Pria itu terlihat menscroll layar telepon genggam dengan serius.“Kenapa berhenti?” kedua alisnya bertautan.“Bisa diam nggak sih?” Alex mematikan ponselnya dan memasukkan kembali ke dalam saku.Alex yang merasa terganggu pun berbalik
“Anda tidak bisa memindahkan saksi tanpa izin Tuan Ghazy,” Alex mencoba untuk menghalangi niat Deniz untuk membawa pulang istrinya.“Dia istriku, aku berhak melakukan apa saja padanya—termasuk menyelamatkan nyawanya.” Jawab Deniz dengan tatapan tajam.Mendengar keributan kecil di dalam, Mark menerobos masuk ke dalam kamar pasien dan meninggalkan Grace di luar dengan tampang heran. “Hei, hei, tunggu! Aku belum selesai bicara denganmu Tuan.” Ujar Grace yang merasa diacuhkan.“Tuan muda,” Mark sudah berdiri di antara mereka berdua.Tangan Deniz menghalangi Mark agar pria muda itu tidak bertindak ceroboh. Mark mengangguk tanda mengerti, kemudian ia berdiri menepi dan mengamati keduanya dalam diam.“Dia akan menjadi saksi, jika kondisinya sudah pulih Tuan Alex.” Lanjut Deniz menuturkan.“Tidak bisa selama dia dalam pengawasan kami,” Alex bersikukuh.“Istriku baru saja kehilangan bayinya, Tuan.” Tunjuk Deniz agar hati Alex sedikit dilembutkan.“Tapi di sini saya menjalankan tugas Tuan,” ban
Ada perasaan hangat saat segaris sinar masuk melalui celah gorden jendela. Ia menggerakkan jari tangannya secara perlahan, Marissa merasakan seluruh tubuhnya terasa remuk. “W-What, what, what the ….” ia terkejut saat benar-benar telah siuman setelah sekian lama tertidur.“Hei, tenanglah! Kamu sudah aman bersamaku,” Deniz yang sejak semalam berjaga di samping tempat tidur, langsung sigap menenangkan istrinya. Marissa terbangun dengan posisi duduk, perempuan itu seolah merasakan trauma mendalam. Ia kesusahan saat mencoba untuk menstabilkan frekuensi napasnya, hingga peluh sebesar biji jagung membanjiri sebagian wajah Marissa.“Minumlah!” Deniz mengangsurkan segelas air putih.Semula ia menyambutnya dengan ragu, saat ia menoleh ke arah Deniz Marissa pun minum hingga habis separuh. “A-Aku di mana?” tanya Marissa sambil melihat kedua telapak tangannya yang masih utuh, salah satu punggung tangan itu masih tertancap jarum infus guna memulihkan kesehatannya.“Home,” jawab Deniz dengan singk
“Aku sudah tidak mau bertemu dengannya, jangan memaksaku.” Marissa duduk di kursi sofa dengan wajah penuh kebencian. “Mereka membutuhkan kesaksianmu, Marissa.” Ujar Deniz yang telah menarik kursi lain agar bisa duduk di hadapannya. “Kesaksian seperti apa? Aku hampir mati di sana dan tidak tahu menahu soal bibi May seperti yang kamu bicarakan,” jawab Marissa yang memang tidak mengetahui asal usul kejadian di Antalya. “Kamu marah padaku karena aku memasukkan Joanna ke dalam penjara?” Deniz pun berusaha bicara dari hati ke hati. “Marah padamu? Untuk apa?” Marissa balik bertanya. Marissa menatap Deniz dengan kedua alis ditautkan, “Seharusnya aku mati saja,” gumamnya saat mengalihkan pandangan ke tempat lain. “Marissa, kenapa ngomong seperti itu?” Deniz meraih tangannya, tapi perempuan itu buru-buru menepis. Ia enggan disentuh oleh suaminya dengan banyak alasan, salah satu alasannya adalah suasana hati Marissa sedang tidak baik hari ini. Deniz menghela napasnya dengan berat, “Maafkan
Kota Ankara terasa asing baginya kini, ia terlihat tidak nyaman saat berada di keramaian. Buru-buru Marissa masuk ke dalam mobil untuk menghindar dari kejaran paparazzi yang terus saja mendesaknya. “Nona! Bisakan anda meluangkan sedikit waktu?” “Nona, tolonglah kami!” “Bisa Anda ceritakan, apa yang anda alami selama berada di kota Antalya?”Pertanyaan demi pertanyaan terus saja memberondong perempuan itu. Mereka mengikuti ke mana Marissa melangkahkan kakinya. Para pemburu berita itu tidak melepas sedetik pun untuk mendapatkan informasi yang akurat. “Sialan! Ke mana perginya Alex saat begini?” gerutu Deniz setelah berhasil masuk ke dalam mobil. “Cepat minggir atau kalian aku tabrak!” teriak Deniz dari dalam mobil agar mereka tidak menghalangi jalan. “Kamu tidak apa-apa?” ia menoleh ke arah samping, di mana istrinya memilih untuk melihat ke luar jendela mobil. Tidak ada sahutan dari Marissa dan Deniz tahu jika saat ini suasana hati perempuan itu sedang tidak baik-baik saja. “Se
“Gila Marissa, ini gila!” Joshua gusar saat mendengar pengakuan dari perempuan di hadapannya itu. “Sttt ….” Marissa meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibir yang kini dipoles dengan warna plum.“Jangan keras-keras! Nanti Deniz curiga,” lanjutnya dengan perasaan cemas.Ia mendekatkan kursinya agar bisa mengobrol lebih intens dengan Joshua. Marissa merasa jika hubungannya dengan Deniz harus memiliki kejelasan, dan ia pun meminta pendapat pada teman dekatnya yang mengerti benar tentang masalahnya selama ini—Joshua.“Lalu apalagi, Josh? Jika aku berada di dekatnya, dia akan selalu terlibat dalam masalah. Kamu tahu itu bukan?” tutur Marissa dengan sikap yang tidak kalah gusarnya dengan Joshua. “Setelah apa yang kalian lakukan bersama hingga sejauh ini, dan kamu akan menyerah begitu saja?” Joshua memundurkan wajahnya dengan dahi yang berkerut. “Tidak, Josh. Sampai kapanpun kamu tidak akan mengerti, karena ….” Marissa tidak melanjutkan kalimatnya. “karena apa? Dengan bersikap sep
Kenapa tangan Marissa begitu gemetar saat ia menerima setumpuk berkas yang diberikan oleh Sam — bodyguard mantan suaminya. “Kau bercanda, Sam?” Marissa mengangkat wajahnya setelah ia mematung sekian detik. “Tidak. Mana ada bercanda dalam kasus yang saya tangani Nona,” jawabnya sambil menopangkan kedua tangannya di ujung meja. Sam menatap Marissa dengan tajam, ia tahu jika perempuan itu belum siap dengan gebrakan baru yang dirancang olehnya bersama Deniz. “Aku tidak bisa menerimanya,” sahut Marissa dengan cepat. Ia meletakkan kembali beberapa map yang baru saja dibacanya dengan kasar. Kali ini sasaran kemarahannya ditujukan pada meja kerja Deniz yang dinilainya sebagai meja terkutuk. “…. Nona sudah di sini tidak bisa mundur lagi,” ujar Sam tidak memindahkan pandangannya. “Lho, kok maksa sih? Aku bisa menolak ‘kan? Lagian, imbalan sebesar ini pasti kerjasama yang ditawarkan oleh tuanmu juga nggak main-main resikonya, iya ‘kan?” Marissa membalas tatapan Sam dengan memicingkan kedu
Kenyataannya sampai sore menyapa, Marissa tidak meninggalkan tempat duduknya. Ia masih di posisi yang sama saat pria itu dibaringkan pada tempat tidur berukuran large. “Huft ….” Marissa menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Ia memainkan jemarinya yang terasa semakin dingin di suhu ruang normal. Marissa berusaha untuk bersikap tenang, meski bola matanya tidak lepas memindai jarum infus dan alat perekam detak jantung sedari tadi. Satu jam yang lalu ….“Dia akan baik-baik saja, percayalah ….” ucap dokter Sunny sambil menepuk pelan bahunya. Dokter keluarga tersebut seakan ingin membesarkan hati Marissa yang saat ini tak ubahnya sedang terjun payung tak tentu arah. “Sejak saat itu, kesehatan tuan muda Deniz semakin memburuk.”Marissa menunduk dalam-dalam, ia menghela napas agar perasaan yang membuat dadanya begitu sesak hilang sudah.“Apa tidak ada alternatif lain agar suami oh maaf, agar tuan Deniz bisa pulih kembali?” Yang ada dadanya semakin sesak dengan realita yang a
“Silahkan masuk, Nona.” Sam membuka pintu sebuah ruangan, ia mempersilahkan Marissa masuk ke dalamnya. Perempuan berpostur semampai tersebut terlihat begitu tegang. Selama dalam perjalanan ia menerka-nerka seperti bermain dalam sebuah teka-teki. Kira-kira apa yang telah membuat dua orang kepercayaan keluarga Ghazy tersebut datang menemuinya kembali setelah sekian lama menghilang. Marissa masuk ke dalam ruangan dengan pandangan lurus ke depan. Tidak ada senyuman di bibirnya, hanya suara hak sepatunya yang menggema di sepanjang lorong. Tepat di menit ke lima, ia berhenti di depan seseorang yang tengah duduk di kursi sofa yang cukup mewah. Sepertinya pria di hadapannya ingin sekali menyapa, ‘Hai, apa kabar?’Tapi situasi tidak mendukungnya menjadi pejantan tangguh seperti dulu, bahkan nyalinya berubah menciut setelah melihat kondisi Marissa jauh lebih baik setelah bercerai dengannya. Satu kata yang pantas ditujukan pada sosok Deniz saat ini, menyedihkan! “Kamu tidak bertanya keadaan
Pagi buta Marissa bergegas, ia menyiapkan semua bahan baking untuk diolah menjadi roti gandum yang lezat. Ia sudah berdiri di depan sebuah meja panjang stainless yang berada di dapur belakang, “Mario, apa kamu sudah cek semua bahan?” tanya Marissa yang sudah mengenakan apron berwarna gelap.Pria muda dengan kisaran usia 19 tahun itu menoleh, ia memegang satu buah paprika berwarna merah. “Saya rasa sudah Madam,” “Bagus,” Marissa mengangguk kecil. Tampak terlihat di wajahnya begitu sumringah, ketika mendapati usaha yang telah ditekuninya kembali berjalan lancar sejak satu tahun yang lalu.Marissa pun kembali melanjutkan aktivitasnya untuk menakar semua adonan sesuai tekstur yang diinginkan. “Jam 7 tepat kita akan membuka toko, apa kalian bisa melakukannya dengan baik?” “Ya, Madam,” jawab Kay, gadis berusia 17 tahun yang sedang magang di tempat Marissa. Lebih tepatnya, Marissa mempekerjakan Kay secara paruh waktu untuk membantu membayar tunggakan biaya sekolahnya.“Aku bisa mengandalka
“Kalau aku sudah tidak dibutuhkan di sini, aku akan pergi.” Marissa beranjak dari tempat duduknya, ia menggenggam tas yang semula diletakkan di atas meja. “TUNGGU!” cegah Deniz dengan suara yang lantang.Marissa menghentikan langkahnya, kepalanya menoleh tanpa melihat ke arah Deniz. Ia meremas tas yang semula digenggamnya dengan erat, sampai di mana Deniz telah mengarahkan kursi roda yang didudukinya ke hadapan Marissa. “Ikut denganku,” kata Deniz tanpa menengok ke belakang, ia menjalankan kursi roda miliknya secara otomatis. Wajah pria itu terlihat pucat, keadaannya tak jauh berbeda dengan Marissa. Ia lebih terguncang dari yang terlihat, hanya saja Deniz terlalu pandai menyimpan rasa sakit hatinya. “Memangnya ada apa?” gumam Marissa dengan sendirinya. Tapi tidak ada jawaban dari Deniz, pria itu terus saja menjalankan kursi roda miliknya menyusuri lorong rumah sakit.Marissa diam sejenak, ia mematung sambil melihat kepergian Deniz yang bersikap dingin dari awal pertemuan mereka. Lal
“Tidakkk ….!” Teriakan itu terdengar sangat pilu. Marissa bersimpuh di bawah lantai dengan posisi memeluk dirinya sendiri setelah ia histeris beberapa saat.“Kami sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain.” Sambung dokter Andrew yang telah mengerahkan tenaganya untuk mempertahankan nyawa Elizabeth selama 5 tahun ini.Marissa mengira, jika suster memanggilnya karena operasi pencangkokan yang dijalani oleh putri dan mantan suaminya telah selesai. Tanpa disangka, dokter Andrew membawa berita yang membuat semangat yang tersisa pada dirinya telah luluh lantak saat itu juga.“M-Marissa,” suara Ruth terdengar bergetar.Ia meraih tubuh Marissa dengan segera, tapi rasa kecewa yang telah menyelimuti hatinya membuat Ruth terpaksa ikut bersimpuh di sampingnya. Sementara itu, dokter Andrew pergi meninggalkan mereka tanpa permisi. Dokter paruh baya tersebut membiarkan Ruth dan Marissa meraung di dalam ruangan kerjanya. Ia merasa bersalah karena upaya yang dilakukannya sejauh ini berakhir dengan
“Menjauhlah dariku!” bentak Marissa saat ia mengangkat kaki kanannya.“Aduh!” Deniz memekik, kedua tangannya memegang bagian pangkal paha. Rupanya tendangan Marissa tepat mengenai sasaran dan membuat pria itu menjauh.“Jaga sikapmu, Deniz. Keluar dari ruangan ini dan biarkan aku mengenakan bajuku,” usir Marissa dengan tegas.“Tapi kemarin kamu,” “Apa? Kemarin ya kemarin, kalau sekarang— tidak!” mata Marissa melotot saat menjawab pertanyaan dari mantan suaminya tersebut.“Kenapa jual mahal begitu?” gerutu Deniz sambil mendesis menahan rasa sakit.“Cukup, Deniz! Kemarin adalah kesalahan, jangan harap kamu mendapatkannya kembali.” Ujar Marissa dengan tampang marah.“Sudah berapa pria yang kamu layani?” akhirnya pria itu bisa berdiri dengan tegap, ia menatap Marissa dengan wajah cukup sengit.Plak!Tamparan keras dari Marissa melayang tepat di pipi kiri Deniz. Wajah pria yang tidak siap dengan tindakan Marissa tersebut sedikit bergeser ke arah kanan. “Kau sudah tahu jika aku melakukan i
“Kalian memang berjodoh,” cibir Ruth setelah melihat Marissa datang bersama Deniz. “Si*alan kamu,” umpat Marissa dengan lirikan pedas. Ruth tersenyum tipis, ia berdiri di sisi tembok sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kenyataannya seperti itu, jangan marah. Kalian memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain,” sambung Ruth yang masih saja menggoda Marissa.“Hanya kebetulan bertemu, jangan berekspektasi terlalu tinggi.” Marissa mengelak.“Masih saja kamu berbohong, Marissa.” Ruth menggeleng pelan.“Tentang apa? Jangan mengada-ada,” Marissa menghempaskan bobot tubuhnya di atas kursi, perjalanan sepanjang hari ini membuat dirinya benar-benar letih.“Kamu masih mencintainya bukan?” Ruth sedikit memajukan wajahnya sambil mengedipkan sebelah mata.Pluk,Marissa melempar kotak tisu yang ada di atas meja, untung saja Ruth bisa menghindar. Perempuan berambut cepak tersebut tertawa puas karena berhasil menggoda sahabatnya.“Joshua meninggal,” tampak jelas jika Marissa begitu
“T-Tes DNA? A-Apa maksudnya ini?” “Lebih tepatnya, yang ada di hadapanmu saat ini adalah— hasil tes DNA.” Bruk, Dokumen yang ada dalam genggaman Marissa pun terjatuh begitu saja. Mendadak kakinya tidak bisa berdiri dengan sempurna, sehingga Marissa sedikit limbung dan hampir saja terjatuh. ***Marissa tidak berani mengangkat wajahnya, ia memilih untuk menghindari kontak mata dengan Deniz yang saat ini ingin menelannya hidup-hidup. “Gadis kecil yang ada di rumah sakit itu adalah putriku bukan?” jari telunjuk Deniz diarahkan dengan asal ke belakang dengan mimik muka yang serius. “Kenapa kamu menyembunyikannya dariku, Marissa?” lanjut Deniz yang mau tidak mau harus menginterogasi Marissa tentang keberadaan Eliza di tengah-tengah mereka. “A-Aku,” lidahnya benar-benar kaku, Marissa bingung hendak memulai jawaban dari mana. “5 tahun Marissa, dan kamu …. Argh ….!” Deniz sedikit menjauh dari Marissa yang mematung, ia mengacak rambutnya dengan kasar untuk melampiaskan perasaan kesalnya