PLAK!Tamparan keras itu mendarat tepat di pipi, Kevin. Marissa merasa dijadikan boneka permainan oleh mantan kekasihnya itu. Sehingga niat semula pergi meninggalkannya pun diurungkan dan berakhir dengan sebuah tamparan.Kevin yang terkejut dengan aksi brutal dari Marissa pun mengepalkan sebelah tangannya. Ia mencoba untuk tidak membalas apa yang sudah dilakukan oleh perempuan itu, meski ia merasa harga dirinya sedikit terinjak. Lama kelamaan perempuan itu seperti tengah melonjak dengan sifat pongahnya.“Lelucon apalagi yang kau rencanakan? Aku tidak tertarik sedikitpun,” ujar Marissa dengan mengacungan jari telunjuknya di depan hidung mancung, Kevin.“Dengarkan! Aku tidak main-main, Marissa. Dia adikku dan kau baru saja menghajarnya,” gertak Kevin yang masih memegang pipi kirinya.“Persetan denganmu atau dengannya. Adikmu itu, dia yang telah memulainya. Catherine, telah menggoda suamiku.” Kali ini jari telunjuk Marissa beralih pada dada, Kevin.“Kamu harus membayar semua ini, dia kes
“Gila! Apa yang sudah kamu pikirkan, Marissa? Mengajaknya kerja sama yang pada akhirnya akan merugikan dirimu?” Joshua menampakkan taringnya saat mereka sudah duduk di dalam mobil. Joshua yang merasa tak tenang pun berusaha mengajak Marissa berbicara saat mobil berhenti di sebuah tikungan lampu merah. Joshua melihat perempuan itu bungkam, hingga menguras kesabarannya yang sia-sia saja mengorbankan waktu demi membela Marissa.Perempuan itu menghela napas dengan perlahan, tapi tidak sekalipun ia membalas tatapan Joshua. Entah apa yang sedang dipikirkannya, seolah ia kini dalam sebuah tekanan yang cukup berat. Marissa memalingkan wajahnya keluar jendela mobil, ia menyilangkan kedua tangan di dada. Dan Joshua merasa terabaikan dengan sikapnya.“Jika bukan Kevin pelakunya, lantas siapa?” belum ada tanggapan dari Marissa, tapi sebisa mungkin Joshua mengajaknya berkomunikasi dengan baik.“Apa kamu punya musuh selain, Kevin?” tanya Joshua dengan sangat hati-hati.Baru saja Marissa menoleh, t
Krak!Ada bunyi ranting yang jatuh, atau lebih tepatnya terinjak oleh sesuatu. Di gelapnya malam, tidak akan ada satupun yang menyadari kejadian alam tersebut. Semuanya terjadi secara alami tanpa dibuat-buat, bagai hembusan semilir angin yang membawa sihir bagi sebagian anak manusia.Seperti halnya, Marissa. Ia yang telah meminum obat sebelum memutuskan untuk bergelung dalam selimut, ia tidak pernah memikirkan sesuatu yang janggal di luar sana. Apalagi tempat yang kini menampungnya tidak banyak diketahui banyak orang. Perempuan itu terlihat sangat lelah, bahkan untuk berpikir saja ia tidak mampu.“Tetaplah diam di situ pria manis. Jangan berisik!” suara seseorang memecah keheningan malam yang sempat berisik beberapa saat lalu. Di tangan kanannya berputar sebuah cutter pada sela-sela jari. Benda itu berkilat saat tertimpa cahaya di remangnya malam.Joshua, sudah duduk di bawah ranjang dengan posisi tengkurap. Sementara kaki dan tangannya telah terikat dengan tali panjang. Mulut pria be
“Menarik,” gumam Joanna dengan seringai di sudut bibirnya. Tatapan nyalang dari cat eyes miliknya membuat suhu ruang semakin dingin.Malam semakin merambat naik, dari balik jendela terlihat kerlip bintang bertaburan di atas mega. Lampu tidur di sisi ranjang itu, menyisakan pendar di sebagian ruang tidur. Terkesan hangat dan sangat nyaman, sehingga Marissa tidak bergeming sedikitpun dari atas kasur.Joanna berhenti tepat di tepi ranjang berukuran double tersebut. Ia mengamati tubuh kakaknya yang kini terlelap dalam dunia mimpi. Bahkan perempuan yang dulu sering membacakan dongeng sebelum tidur untuknya itu, tidak menyadari kedatangan dirinya. Kali ini bukan untuk bermanja di pelukannya, tapi menuntut sebuah pembalasan.“Apa yang harus aku lakukan untukmu? Membuatmu bungkam seperti apa yang aku lakukan pada temanmu? Oh, tidak, tidak, tidak …..” kepalanya menggeleng kecil, ia tidak setuju dengan apa yang baru saja diucapkannya sendiri. Semula ia hanya ingin memberi pelajaran agar Mariss
“Engh, ….”Suara erangan itu berasal dari, Marissa. Ia berusaha untuk membuka kelopak matanya yang terasa berat. Usaha itu berhasil, tapi pandangannya mendadak tidak bisa sejernih biasanya.‘Apa ini?’ (tanya Marissa dalam hati).Marissa berusaha menajamkan pandangan. Tapi tetap saja ia tidak melihat atau mengetahui sekarang dirinya ada di mana. Saat pandangannya mulai membaik, ia melihat ruangan yang kini ditempatinya tampak sedikit kumuh. “Shit! Siapa yang berani berbuat ini kepadaku?” ia mencoba untuk melepaskan diri ketika menyadari jika saat ini kedua tangan dan kakinya terikat pada ujung ranjang berbahan besi tersebut.Posisinya yang telentang hanya bisa memandang langit-langit. Marissa menstabilkan napasnya yang mulai bergemuruh karena perasaan kesal. “J-Joanna, ya ….” Perempuan itu pun ingat tentang sekelebat bayangan di ujung malam, di saat dirinya terakhir tertidur dengan nyenyak lalu ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa bernapas. “Dia berusaha membunuhku?” Marissa tidak
Sementara itu, di sebuah rumah sakit kota Ankara. Joshua terbaring di ruang ICU menggantikan posisi, Deniz. Bunyi dari alat rekam jantung membuat berisik kamar tersebut sepanjang hari. Sore itu, Sam melihat Marissa dan Kevin berdebat di depan arah pintu basement rumah sakit. Segera ia mengawal Marissa secara diam-diam sampai ke pondok milik Joshua, tapi sayang sudah terlambat. Sam mendapati Joshua sudah terkapar di bawah lantai dengan bersimbah darah. Dan Marissa, entah ke mana perginya nona muda itu.“Apa yang sudah terjadi denganmu?” Deniz mengernyitkan dahi saat menoleh dan melihat Catherine datang dengan kondisi hidung dibalut dengan sebuah perban.Deniz memaksakan diri untuk pergi ke kamar Joshua setelah dirasa kondisinya membaik. Ia yang mendapat info dari pengawal pribadinya langsung beranjak dari bed pasien dan segera melihat kondisi Joshua yang malang.“Sial! Semua ini karena perempuan itu,” jawab Catherine dengan memasang muka kesal. Ia menghentikan langkahnya setelah berjal
Sebelum Joshua dilarikan ke rumah sakit. Di mana situasi sekeliling pondok dalam suasana yang sunyi. Sam terlihat mengendap-endap untuk mendekat dan mencari tahu. Rupanya rintik hujan menyambut kedatangannya, sehingga Sam harus berjingkat untuk menghindar dari gerimis. Sepi. Itulah kata pertama yang muncul di kepalanya, Sam menyipitkan kelopak mata untuk menajamkan penglihatan. Ia mengintip di balik jendela yang tirainya tidak tertutup dengan rapat. Sam tidak menemui apapun di dalam sana, hingga ia memutuskan untuk masuk ke dalam. ‘Jadi Joshua membawanya ke sini?’ (tanya Mark dalam hati). ‘Ya, Mark. Siapa tahu Joshua bermaksud baik, ia ingin menyelamatkan sahabatnya itu.’ (lanjut Sam bermonolog dengan perasaannya sendiri). ‘Gotcha!’ (soraknya dalam hati saat ia berhasil membuka pintu). Perlahan ia masuk ke dalam pondok yang minim pencahayaan itu. Ia waspada akan kemungkinan yang terjadi, siapa tahu ada sebuah jebakan yang membuat dirinya harus bertaruh nyawa. Tidak ada apapun sa
“Kamu bercanda? Cerita dari mana jika kamu itu adiknya, Kevin?” Deniz tertawa kecil sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Jangan ngarang kamu, Cath!” sambung Deniz yang sudah tidak ada simpati sedikitpun pada perempuan muda itu.“Aku memang tidak pernah memberitahumu tentang keluargaku, karena kamu tidak memintanya,” jawab Catherine yang nada suaranya terdengar seperti—menyesal.“Cih, tidak penting.” Deniz langsung menimpali nya dengan cepat.“Kamu sudah berkhianat dan kita tidak ada hubungan TITIK!” jari telunjuk Deniz mengarah ke bawah lantai sebagai bentuk keputusan yang mutlak agar Catherine menerima dengan lapang dada.“Sudah aku jelaskan jika semuanya salah paham, Deniz. Kamu harus percaya kepadaku,” Catherine masih berusaha mendapatkan kepercayaan Deniz yang sudah hilang kepadanya. Pria bertampang dingin itu dulu sangat hangat saat menatap ke arahnya. Ucapan yang keluar dari mulut seorang Deniz sangatlah lembut, sehingga berhasil meluluhkan hati Catherine yang keras k