“Raf, hey!” Mayang terdengar memanggil sambil melambaikan tangannya saat melihat dari kejauhan seperti putranya yang ada di sana.Chalista sudah berjongkok tepat di kedua kaki Rafael dan pria itu berpura-pura menelpon. Keduanya berada di dekat kolam ikan yang ada di bagian bawah villa itu semetara Mayang ada di bagian atas yang setara dengan semua kamar villa itu, jadi Mayang tidak secara langsung melihat keduanya, hanya Rafael yang Mayang lihat karena Chalista tidak terkena sorot cahaya lampu dari atas.“Cha, berjalan sambil berjongkok ke arah sana bersembunyilah!” Rafael berucap tanpa menoleh ke arah Chalista yang masih berjongkok di bawah, diantara kedua kakinya.“Cepat!” titahnya lagi membuat Chalista terpaksa menurutinya karena dia tak punya pilihan, bisa gawat jika mamanya melihat keduanya di tempat sepi ini larut malam seperti ini.Dengan perlahan, Chalista berjongkok sambil berjalan seperti seorang pencuri
Ancaman Mayang sukses membuat Rafael berhenti. Pria itu hendak pergi meninggalkan mamanya di sana tapi kini dia terlihat menghentikan langkahnya dan itu membuat Mayang tersenyum penuh arti karena sepertinya ancamannya berhasil memengaruhi Rafael.Rafael berbalik. “Mencabut posisiku sebagai CEO?” ucap Rafael dengan nada yang sangat dingin, entah niatnya bertanya atau sekedar berucap tapi sangat kentara nada kesal pria itu saat mengucapkannya.Mayang langsung berkacak pinggang. “Iya! Kenapa? Kamu pikir mama gak punya hak di perusahaan kita? Ingat, ya Rafael saham keluarga mama 50% di perusahaan itu jika kamu lupa,” ujar Mayang membuat keadaan menjadi semakin serius.“Ada apa mala mini sampai mama mengancamku hanya untuk memastikan aku tidur dengannya?” Pertanyaan menyelidik Rafael membuat Mayang gelagapan dengan jawabannya.Dari melihat tingkah Mayang saja sudah membuat Rafael curiga ada yang tidak beres dengan semuanya.
Chalista dengan hati-hati berjalan dengan berjongkok ketika Rafael dan mamanya sudah berjalan menjauh. “Cha! Ini semua salahmu!” ucapnya pada dirinya sendiri. Dari arah sini Chalista dapat melihat Mayang benar-benar mengawasi Rafael hingga pria itu benar-benar masuk ke kamarnya.Chalista sangat yakin, Rafael benar-benar tak ingin tidur bersama Monika malam ini tapi ia terpaksa mengatakannya agar Mayang tidak mengecek ke semak-semak dan memuat Chalista tertangkap basah.Jika seperti ini, ia benar-benar menggali lubang untuk dirinya sendiri. Padahal, Chalista berusaha agar Rafael tidak tidur bersama Monika malam ini karena ia yakin Monika sudah menyiapkan rencana licik untuk menjebak Rafael.“Apa yang kamu tunggu, sana masuk!” ujar Mayang sambil melipat tangannya di depan dadanya tepat di depan villa Rafael dan Monika. Chalista dapat melihat dan mendengarnya smaar-samar dari arah bawah tempat dia berada.Chalista meringis dalam hatin
“Ahhh….kau sangat kuat…akhhh aku mau keluar….” Suara itu semakin kencang membuat Chalista benar-benar mematung seperti patung di sana.“Tidak! Tidak! Itu bukan Rafael….tak mungkin itu Rafael!” ucapnya sambil menggelengkan kepala seperti tak bisa memproses keadan yang terjadi.“Ahhhh Rafael bagush akhh teruskan.” Desahan Monika kembali terdengar dari dalam sana membuat keadaan Chalista semakin tak karuan.Dia mengepalkan tangannya sambil mengigit bibirnya. “Akhhhh sayanggg kau nikmat sekali..akhhh aku akan keluar.”Deg!Suara pria yang samar-sanar ia dengar membuat jatung Chalista hampir copot saat itu juga. Siapa lagi yang masuk di kamar Monika? Sudah jelas tadi Chalista melihat Rafael masuk di sana tidak salah lagi, itu pasti Rafael yang bersama Monika.“Akhh…akhirnya….aku bisa menyentuhmu setelah sekian lama. Monika, kau selalu nikmat.” Suara itu membuat Chalista semakin membeku. Keadannya saat ini sudah tak bisa dikatakan lagi. Dia mati rasa, bukan karena Rafael tapi karena harapann
“Argghhh kenapa jadi seperti ini…Sayang sadarlah!” pekik Rafael sambil mengangkat tubuh Chalista yang tak sadarkan diri menuju ke mobilnya yang berhenti tak jauh dari sana.Rafael benar-benar tak paham apa yang terjadi saat ini, tapi pikirannya saat ini hanya fokus bagaimana caranya membawa Chalista menuju ke rumah sakit secepatnya.Dengan gerakan panik dan cepat, Rafael langsung menaruh tubuh lemas Chalista di kursi depan tepat di sampingnya dan memakaikan sabuk pengaman untuknya.Rafael berlari menuju ke kursi kemudi, dan pria itu langsung mengemudikan mobilnya denga cepat menuju ke rumah sakit terdekat.“Sial, apa ada rumah sakit di sekitar sini?” gumam Rafael saat dia melihat betapa sepinya daerah di sini karena memang villanya ada di daerah pegunungan yang tentunya jauh dari kota.Beberapa kali Rafael mengumpat pelan saat dia merasa panik karena firasatnya sepertinya benar taka da rumah sakit yang dekat di sini,
“Kenapa, sayang? Jangan membuatku khawatir,” tanya Rafael saat melihat wajah syok Chalista yang membuatnya khawatir karena biasanya Chalista tidak membuat ekspresi seperti itu.“Hey..kenapa malah melamun, sih?” tanya Rafael sambil menyentuh bahu Chalista membuat lamunannya sontak buyar. Wanita itu terkejut sambil melamun.“Raf…jadi kemarin pas kamu liat aku di jalan itu kamu dateng dari luar, Raf?” tanya Chalista terlihat sangat penasaran sebenarnya apa yang terjadi.Rafael langsung mengangguk. “Aku hanya masuk sebentar lalu keluar lagi karena melihat mama sudah pergi.” Ucapan Rafael semakin membuat ekspresi kebingugan Chalista kentara sekali. “Sayang..aku sungguh minta maaf, aku…aku emosi karena mendengar ucapan mama mengatakan kau membiarkan Abian masuk ke kamarmu, karena itu aku marah dan langsung masuk ke kamar Monika, sungguh aku tidak melakukan apa-apa dengannya, percayalah,” lirih Rafael dengan wajah lelahnya. Terlihat sekali betapa khawatir Rafael saat ini dan Chalista dapat m
“Hanya itu, aku langsung keluar hendak mecari udara segar waktu itu saat aku pulang, aku sudah menemukanmu terkapar di tengah jalan. Aku sungguh sangat kahwatir, sayang,” lirih Rafael dengan penuh ketulusan dari wajahnya.Sementara itu Chalista semakin yakin ada sesuatu aneh yang terjadi. Pikirannya tenggelam dalam asumsinya sendiri karena awalnya dia pikir Rafael sudah jatuh dijebakan wanita licik itu karena suara desahan itu tapi ternyata pria yang bersama Monika di dalam itu bukan Rafael.Ini sungguh sangat mengejutkan bagi Chalista. Apa jangan-jangan…..Chalista mendadak merinding dibuatnya, dia berpikir apa mungkin selungkuhan Monika itu dari bali? Atau lebih spesifiknya ada di villa itu? Ya, hanya itu kemungkinan yang dapat dia pikirkan.Hanya ada 3 pria di villa itu, Abimanyu, Rafael dan Abian, dan Abian pun sudah pergi sejak tadi dan Rafael sudah menjelaskan semuanya. Dan tidak mungkin orang itu Abimanyu, papanya. Selain itu, apa mungkin penghuni villa?Argh! Chalista sungguh
“Iya, halo Ma, kenapa?” Rafael terdengar berbicara dengan Mayang melalui telpon. Wajahnya terlihat masih tenang saat Chalista sudah pucat pasi dan kahwatir setengah mati.Rafael menghidupkan speaker agar Chalista juga bisa mendengarnya. “Kenapa gimana, mama yang harusnya nanya kamu kenapa pagi-pagi buta udah hilang hah? Dimana kamu sekarang?” tanya Mayang dengan nada marah.Chalista seketika meremas selimut rumah sakit yang menyelimutinya itu dengan erat. Sial, bagaimana ini? Di saat saat genting seperti ini Chalista sungguh tak bisa memikirkan apapun.“Rafa nyari kopi di indomaret lumayan jauh dari villa,” bohongnya membuat Chalista semakin tegang. Bagaimana ini? Dia takut Mayang tau dirinya juga ikut hilang.“Kok bisaa Monika kamu tinggal sih, Raf,” bentak Mayang terdengaar dari seberang sana kalau dia sedang kesal.Mamanya itu memang terlihat sekali sedang gencar gencarnya mendekatkan Rafael dan Monika, apalagi semenjak mereka menikah. Dan Chalista tak tau apa saja yang sudah Mayan
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena
Rafael menghela napas panjang ketika akhirnya kembali ke kamarnya setelah hari yang melelahkan. Namun, saat pandangannya mengarah ke bar hotel, ia terkejut melihat sosok Tara. Wanita itu berdiri dengan anggun di dekat meja bar, mengenakan gaun merah mencolok yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rafael tahu bahwa Tara mengenakan warna itu bukan tanpa alasan—merah adalah warna favoritnya, dan ia tahu bahwa Tara melakukan ini untuk memikatnya.Tanpa bisa menahan dirinya, pandangan Rafael tertuju pada Tara, yang sudah memperhatikannya dengan tatapan penuh makna. Rafael terdiam, pandangannya tak lepas dari sosok Tara. Ia terlihat menarik malam ini, penuh percaya diri dan sedikit menggoda. Sesaat, Rafael merasakan dorongan untuk mendekat, ingin sekali tenggelam dalam pesona Tara. Namun, bayangan Chalista muncul begitu saja di pikirannya. Chalista dengan sikapnya yang dingin dan acuh, namun selalu berhasil membuat hatinya bergejolak. Dorongan itu seakan memudar, berganti dengan kegel
Rahang Rafael sontak mengeras. Tubuh Chalista yang hanya tertutupi pakaian renang terlalu terbuka untuk pandangannya, dan yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa orang lain juga bisa melihatnya.Rafael dengan segera merogoh bungkus rokok yang ada di kantong celananya, memantik koreknya dan mengisapnya dengan kuat, matanya tak pernah beralih barang sedetikpun dari wanita itu.Hembusan asak rokok itu semakin intens saat melihat beberapa orang bahkan mengambil gambar dari foto tubuh seksi Chalista dengan seenak jidat.Rafael sungguh tak punya tenaga lagi untuk kesal, pertama Tara sekarang Chalista. Darahnya semakin mendidih saat melihat lekuk tubuh wanita itu yang menari nari diatas air seakan akan dia tak punya urusan sama sekali dengannya.“Sial!” umpat Rafael sembari mematikan rokoknya dan melemparnya asal. Rokok itu tidak membantunya sama sekali untuk merasa lebih tenang malahan sekarang sekujur tubuhnya rasanya semakin memanas.“Chalista…kau sungguh hebat. Bisa membuatku
Chalista berdiri di depan cermin besar dengan perasaan campur aduk. Kru pemotretan sibuk mempersiapkan segalanya, tapi matanya terpaku pada bikini yang diletakkan di kursi sampingnya. Ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan."Maaf Tuan, tapi aku tidak akan memakai ini," katanya, suaranya tegas walau ada getaran tipis yang tak bisa ia sembunyikan.Semua orang di ruangan terdiam, termasuk Rafael yang kini berjalan mendekat, wajahnya dingin. Tatapannya menusuk, membuat Chalista merasa seperti terpojok meski belum ada kata yang terucap dari bibirnya."Nona Marone," Rafael memanggil namanya dengan nada rendah namun mengancam, "Jika kau tidak memakainya, mungkin kau mau semua orang tau disini tentang status kita yang sesungguhnya?”Chalista terpaku. Kalimat itu menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kau tidak mungkin..." gumamnya, namun kata-katanya terpotong oleh tatapan tajam Rafael yang tak memberinya ruang untuk bernapas.Sial!Entah kesialan dari mana, dia harus kembali ber
Chalista berusaha menahan emosinya saat Rafael menekannya lebih dekat ke dinding toilet. "Tuan Rafael, biarkan aku pergi," katanya dengan suara bergetar, berusaha menahan marahnya yang menggelegak di dalam. “Aku bukan Chalista yang sama lagi, jika kau lupa.”Mendengar itu tatapan Rafael menggelap. Ada kilatan amarah yang membara dari tatapan matanya saat mendengar itu, seakan Chalista barusaja membangkitkan sisi tergelap pria itu.“Awhhh!” Chalista memekik dengan suara tertahan tatkala tangan kekar Rafael menarik pinggang rampingnya hingga tubuhnya menabrak tubuh tinggi janggung pria itu.HIngga kini tak ada jarak tersisa, hanya deru napas keduanya yang beradu.Tangan Chalista berusaha mendorong dada bidang Rafael agar dia bisa menghindar tapi Rafael semakin mengeratkannya seakan akan dia menyalurkan semua emosinya.Rafael kemudian menunduk, membiarkan matanya menatap manik mata Chalista dengan nyalang. Hal itu membuat wanita itu benar benar mati kutu tak bisa berkata kata.“Sekarang k
Chalista melangkah perlahan menuju area kedatangan bandara, mengikuti arahan tim manajemennya yang sibuk mengatur segala sesuatunya. Hatinya berdegup kencang saat ia melirik ke arah kerumunan orang di depan.Pandangannya langsung terhenti pada seorang pria yang berdiri dengan tegap, mengenakan jas hitam elegan yang sangat cocok dengan postur tubuh tingginya. Rafael.“Tidak mungkin,” bisiknya dalam hati. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rafael, pria yang dulu sangat dikenalnya, kini terlihat jauh lebih tampan dan gagah. Wajahnya begitu tegas dengan rahang yang semakin tajam. Mata cokelatnya tetap setajam dulu, hanya saja sekarang ada kilatan dingin di sana."Nona Marone? Wah, sebuah keberuntungan sekali bisa bertemu anda di sini.” Ucapan pria yang berdiri di belakang Rafael itu membuyarkan tatapan antara Chalista dan Rafael.Chalista tersenyum, namun belum sempat dia menjawab, asisten pribadinya, Lucy menariknya dan berbisik. “Nona….ya ampun kau mengenal Tuan Rafael? Tidak