“Coba aku lihat dulu sebentar,” ucap Rafael sembari melihat ke arah kirinya dimana Chalista sedang duduk dengan pakaian yang elegan.Baju off shoulder, dengan model mengembang di bagian bawahnya dan dipadukan dengan rok putih dan sepatu membuat penampilan wanita itu terlihat seperti remaja walau umurnya baru 23 tahun.Chalista sengaja menyuruh Rafael untuk melihat kembali penampilannya terutama bajunya karena dia khwatir ada yang curiga dengan perut buncitnya yang kini sudah mulai membesar.“Hm..aku yakin ini masih aman, kecuali ada angin besar yang membuat baju ini tersingkap dan perutmu akan terlihat,” ujar Rafael masih menatap baju Chalista.Wanita itu menghembuskan napasnya kasar dengan tatapan yang kesal ke arah suaminya itu. “Mas! Aku lagi serius!” kesalnya dengan nada tinggi.Rafael langsung menarik kepala Chalsita untuk mencium keningnya membuat Chalista melotot sempurna. “MAS!” pekiknya lagi kali ini lebih kesal.Rafael terkekeh pelan dengan senyuman di wajahnya. “Aku hanya
“Rafael, Chalista kenapa diem di situ ayo ke sini!” ucap Mayang lagi sambil melabaikan tangannya membuat lamunan kedua orang itu sontak buyar karena mereka sadar situasi saat ini.Rafael langsung berjalan setelah berdehem pelan untuk menetralkan tenggorokannya dan mengatur ekspresinya kembali untuk bisa menyapa keluarga Monika.Setiap derap langkah yang dia ambil, perasaan tak enak mulai menjalar disekujur tubuhnya. Tidak, bukan karena ada keluarga Monika disini yang menatapnya dengan senyuman, atau Monika yang secara tiba-tiba menunjukkan senyuman manis yang membuatnya seketika merinding.Tidak bukan karena itu semua, melainkan karena firasatnya tidak pernah salah. Ya, Rafael sudah membuktikannya berkali-kali tentang hal ini, ada banyak kejadian di hidupnya dimana dia mengabaikan firasatnya dan yang terjadi malah sama persis.Hal ini terjadi tepat beberapa waktu lalu. Saat Rafael sedang melakukan honeymoon palsunya dengan Monika ke Prancis. Saat itu, disepanjang perjalanan hanya ada s
Rafael sontak menjatuhkan kotak hadiah dan isinya yang dia pegang. Tatapannya sangat terkejut, apalagi saat salah satu pembantu yang memegang hp tadi merekamnya lebih dekat.Sebelum dia sempat berucap sepatah kata pada Monika, seluruh orang di sana kecuali Chalista tiba-tiba berteriak kencanf, “SURPRISE!!”Teriakan semua orang itu semakin menambah keterkejutan Rafael. Mama papa, dan mertuanya semuanya kompak berteriak smabil tertawa mentertawakan ekspresi syok Rafael, dan dia baru sadar kalau pelayan yang membawa hp tadi sudah bersiap untuk merekamnya saat dia duduk.“RAFAEL! Kamu akan segera menjadi seorang ayah!” pekik mamanya kegirangan dengan segelintir air mata terharu di pelupuk matanya.Rafael masih mematung kala itu, sambil menatap wajah Monika dengan tatapan tak percaya. Apa yang barusaja dia dengar? Monika menyatakan kehamilannya? Dengan berani saat jelas jelas Rafael tidak pernah menyentuhnya sama sekali.Jantungnya hampir berhenti berdetak saat mendengar itu.Eskpresi semu
“Sayang…kenapa malah bengong, sih?” Chalista langsung menoleh saat dia melihat Monika memegang pundak Rafael dengan tatapan memuja.Sebelumnya semuanya bahagia sambil berteriak mengatakan kalau ini adalah hadiah untuk Rafael tapi pria itu sama sekali tak terlihat bahagia, atau berusaha berpura pura bahagia di depan mertuanya.Chalista melihat dan mengamati itu semua dari tadi. Kurang lebih keterkejutannya sama seperti Rafael saat ini. Dia juga langsung mematung saat mendengar Monika dengan beraninya mengatakan dirinya hamil, saat jelas jelas dirinya tau kalau itu bukan anak kandung Rafael.Ternyata semua yang Chalista ketahui tentang rencana Monika selama ini tidak ada yang meleset sama sekali. Saat dia tau Monika hamil, dan berencana untuk menjebak Rafael di liburan keluarga ke Bali itu Chalista pikir masalah akan selesia saat kini Rafael sudah tau semuanya.Tapi, hal terpenting seperti ini luput dari pikirannya selama ini.Chalista menatap steak di depannya dengan tak berselera sama
Chalista memainkan jemari tangannya saat dia sudah tiba di ruangan minimalis yang merupakan ruang kerja papanya. Tatapannya sendari tadi mengarah pada punggung papanya yang berjalan di depannya dengan jantung yang berdebar kencang hingga akhirnya keduanya sampai di ruangan kerjanya.Wanita cantik itu menelan ludahnya susah payah, apalagi saat melihat tatapan mematikan milik papanya di depannya ini. Hawa ruangan beurbah menjadi mencekam, dan itu membuat Chalista sangat ketakutan.Sepanjang hidupnya, mulai dari ia diadopsi hingga sekarang, Abimanyu adalah pria yang paling Chalista takuti. Aura dan wibawanya yang seakan akan bisa merendahkan Chalista hanya dari tatapan matanya saja. Bagi Abimanyu, orang seperti Chalista ini adalah sampah.Kenapa sampah? Itu karena dia berasal dari keluarga yang tak jelas, bahkan bukan hanya tak jelas melainkan Chalista yatim piatu, dia berasal dari panti asuhan yang memang selalu dikunjungi keluarga Adijaya karena mereka adalah donatur panti asuhan tempat
Abimanyu terlihat sangat panik ketika melihat istrinya tiba-tiba datang ke ruangan kerjanya saat dia sedang memberi pelajaran pada anak kesayangannya ini. Ekspresinya yang biasanya tenang dan terkontrol kini terlihat gugup, dengan mata yang terus menatap ke arah Chalista untuk mengancam wanita itu dengan tatapan tajamnya.Mayang berjalan mendekat ke arah Chalista, dengan ekspresi yangs semulanya penasaran dengan pembicaraan suaminya dengan putrinya namun saat melihat wajah ketakutan, tangan yang bergetar, dan air mata yang hampir turun dari wajah Chalista membuat Mayang langsung syok.Dia berucap dengan nada menuntut, setengah berteriak, “Sayang, pipi kamu kenapa?”Chalista yang melihat mamanya mendekat tadi berusaha membuang mukanya dan mengatur tatanan rambutnya agar pipinya yang memerah tidak terlihat namun semuanya sudah terlambat, karena Mayang sudah melihatnya saat dia berjalan mendekat.Suasana kini menjadi menegangkan, dengan Chalsita yang menjadi korban dan tatapan Abimanyu ya
Flashback Rafael’s PovRafael langsung bangkit saat orang tua Monika berpamitan untuk pulang, tapi tangan dari Monika terus saja melingkar di lengannya seakan dia tak mau melepaskan Rafael atau berada jauh darinya.Ada banyak sekali hal yang lewat di pikiran Raafel saat ini hingga dia tak punya tenaga untuk marah lagi dengan Monika. Rasanya itu lebih dari sekedar kemarahan. Rafael benci, jijik, heran, tak habis pikir dan segala hal yang membuat kepalanya rasanya hampir pecah saat ini juga.Rafael sebenarnya sengaja bangun dengan cepat dan berjalan menyusul mama dan papanya ke pintu depan untuk mengantar orang tua Monika ke depan pintu agar Monika bisa menjauh sebentar darinya dan membiarkannya bernapas walau sebntar saja tapi wanita itu tidak melakukannya.Dia terus menempel pada Rafael seakan akan dia tidak pernah melakukan kesalahan atau merasa bersalah sedkitpun. Seakan akan dia tak pernah melakukan hubungan terlarang dengan supir pribaidnya lalu menjebak Rafael ke dalam pernikahan
Rafael menatap wajah Monika dengan tatapan muak. Sungguh, wanita ini membuatnya kehabisan kata kata. Rafael bahkan tak tau harus mulai darimana untuk mengatakan semuanya.Kini Monika sedang berdiri dengan tatapan kesaal. Matanya melotot sempurna ke arah suaminya itu. Dari raut wajahnya Monika benar benar terlihat kecewa. Mungkin karena harapannya tidak sesuai dengan apa yang terjadi saat ini.Wanita itu terlihat mengepalkan tangannya, dan semua kemarahannya saat ini dilayangkan pada Rafael sendiri.Sementara pria itu, bahkan sudah kehabisan tenaga untuk merasa lelah. Lelah saja tidak cukup untuk mendeskripsikan bagaimana perasaannya pada Monika.“Apa maksudmu mengatakan itu?” Suara bariton milik Rafael memecah keheningan antara dua orang di ruangan kamar yang sangat luas itu. Tatapan Rafael sangat dalam, banyak hal yang sedang berkecamuk di pikirannya saat ini, tapi dia berusaha mati matian untuk menahan emosinya yang membuncah saat ini.Semua hal terlintas di pikirannya. Papa dan mama
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena
Rafael menghela napas panjang ketika akhirnya kembali ke kamarnya setelah hari yang melelahkan. Namun, saat pandangannya mengarah ke bar hotel, ia terkejut melihat sosok Tara. Wanita itu berdiri dengan anggun di dekat meja bar, mengenakan gaun merah mencolok yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rafael tahu bahwa Tara mengenakan warna itu bukan tanpa alasan—merah adalah warna favoritnya, dan ia tahu bahwa Tara melakukan ini untuk memikatnya.Tanpa bisa menahan dirinya, pandangan Rafael tertuju pada Tara, yang sudah memperhatikannya dengan tatapan penuh makna. Rafael terdiam, pandangannya tak lepas dari sosok Tara. Ia terlihat menarik malam ini, penuh percaya diri dan sedikit menggoda. Sesaat, Rafael merasakan dorongan untuk mendekat, ingin sekali tenggelam dalam pesona Tara. Namun, bayangan Chalista muncul begitu saja di pikirannya. Chalista dengan sikapnya yang dingin dan acuh, namun selalu berhasil membuat hatinya bergejolak. Dorongan itu seakan memudar, berganti dengan kegel
Rahang Rafael sontak mengeras. Tubuh Chalista yang hanya tertutupi pakaian renang terlalu terbuka untuk pandangannya, dan yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa orang lain juga bisa melihatnya.Rafael dengan segera merogoh bungkus rokok yang ada di kantong celananya, memantik koreknya dan mengisapnya dengan kuat, matanya tak pernah beralih barang sedetikpun dari wanita itu.Hembusan asak rokok itu semakin intens saat melihat beberapa orang bahkan mengambil gambar dari foto tubuh seksi Chalista dengan seenak jidat.Rafael sungguh tak punya tenaga lagi untuk kesal, pertama Tara sekarang Chalista. Darahnya semakin mendidih saat melihat lekuk tubuh wanita itu yang menari nari diatas air seakan akan dia tak punya urusan sama sekali dengannya.“Sial!” umpat Rafael sembari mematikan rokoknya dan melemparnya asal. Rokok itu tidak membantunya sama sekali untuk merasa lebih tenang malahan sekarang sekujur tubuhnya rasanya semakin memanas.“Chalista…kau sungguh hebat. Bisa membuatku
Chalista berdiri di depan cermin besar dengan perasaan campur aduk. Kru pemotretan sibuk mempersiapkan segalanya, tapi matanya terpaku pada bikini yang diletakkan di kursi sampingnya. Ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan."Maaf Tuan, tapi aku tidak akan memakai ini," katanya, suaranya tegas walau ada getaran tipis yang tak bisa ia sembunyikan.Semua orang di ruangan terdiam, termasuk Rafael yang kini berjalan mendekat, wajahnya dingin. Tatapannya menusuk, membuat Chalista merasa seperti terpojok meski belum ada kata yang terucap dari bibirnya."Nona Marone," Rafael memanggil namanya dengan nada rendah namun mengancam, "Jika kau tidak memakainya, mungkin kau mau semua orang tau disini tentang status kita yang sesungguhnya?”Chalista terpaku. Kalimat itu menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kau tidak mungkin..." gumamnya, namun kata-katanya terpotong oleh tatapan tajam Rafael yang tak memberinya ruang untuk bernapas.Sial!Entah kesialan dari mana, dia harus kembali ber
Chalista berusaha menahan emosinya saat Rafael menekannya lebih dekat ke dinding toilet. "Tuan Rafael, biarkan aku pergi," katanya dengan suara bergetar, berusaha menahan marahnya yang menggelegak di dalam. “Aku bukan Chalista yang sama lagi, jika kau lupa.”Mendengar itu tatapan Rafael menggelap. Ada kilatan amarah yang membara dari tatapan matanya saat mendengar itu, seakan Chalista barusaja membangkitkan sisi tergelap pria itu.“Awhhh!” Chalista memekik dengan suara tertahan tatkala tangan kekar Rafael menarik pinggang rampingnya hingga tubuhnya menabrak tubuh tinggi janggung pria itu.HIngga kini tak ada jarak tersisa, hanya deru napas keduanya yang beradu.Tangan Chalista berusaha mendorong dada bidang Rafael agar dia bisa menghindar tapi Rafael semakin mengeratkannya seakan akan dia menyalurkan semua emosinya.Rafael kemudian menunduk, membiarkan matanya menatap manik mata Chalista dengan nyalang. Hal itu membuat wanita itu benar benar mati kutu tak bisa berkata kata.“Sekarang k
Chalista melangkah perlahan menuju area kedatangan bandara, mengikuti arahan tim manajemennya yang sibuk mengatur segala sesuatunya. Hatinya berdegup kencang saat ia melirik ke arah kerumunan orang di depan.Pandangannya langsung terhenti pada seorang pria yang berdiri dengan tegap, mengenakan jas hitam elegan yang sangat cocok dengan postur tubuh tingginya. Rafael.“Tidak mungkin,” bisiknya dalam hati. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rafael, pria yang dulu sangat dikenalnya, kini terlihat jauh lebih tampan dan gagah. Wajahnya begitu tegas dengan rahang yang semakin tajam. Mata cokelatnya tetap setajam dulu, hanya saja sekarang ada kilatan dingin di sana."Nona Marone? Wah, sebuah keberuntungan sekali bisa bertemu anda di sini.” Ucapan pria yang berdiri di belakang Rafael itu membuyarkan tatapan antara Chalista dan Rafael.Chalista tersenyum, namun belum sempat dia menjawab, asisten pribadinya, Lucy menariknya dan berbisik. “Nona….ya ampun kau mengenal Tuan Rafael? Tidak