Share

3|Lamaran Gila

Author: Meina H.
last update Last Updated: 2023-01-03 00:05:51

~Lima belas tahun kemudian~

“Ayo, kita menikah,” ajak Galang dengan serius.

Aku memuncratkan kopi yang belum sempat aku teguk. “Fay! Kamu ini jorok amat!” pekiknya kesal. Cairan hitam pekat itu membasahi wajah arogannya. Biar tahu rasa. Bicara tidak pakai otak, apa dia pikir aku suka dengan candaannya tadi?

“Mamamu mendesak kamu untuk menikah, apa hubungannya denganku? Ada banyak perempuan di kafe ini, kamu pilih saja satu.” Aku mengusap bibirku yang basah dengan tisu.

“Bukannya mamamu juga memaksa kamu untuk menikah secepat mungkin?” ejeknya, tidak mau kalah. Aku menahan tawa melihat wajahnya masih basah dengan kopi. “Kita sama-sama sudah empat puluh tahun, tetapi mereka masih saja berisik seperti kaset rusak. Tidak sabar amat.”

Aku juga capai mendengar omelan dan desakan Mama. Setiap hari pasti ada saja omongannya yang mengarah ke sana. Namun bukan berarti aku akan menyerah begitu saja. Sama seperti wanita lain, aku juga mau membina rumah tanggaku sendiri, tetapi aku belum siap.

“Kamu bertahan selama tujuh belas tahun terakhir, lalu mengapa kamu ingin menyerah sekarang?” tanyaku heran. “Apa mamamu mengancam akan bunuh diri?”

“Aku hanya mau hidup tenang dan damai. Sebentar lagi akhir tahun, jadi kami akan berkumpul sekeluarga. Kalau aku masih sendiri, mereka pasti akan menyerang aku selama liburan itu.” Dia mengacak-acak poninya dengan frustrasi.

“Maaf, Sobat. Aku tidak bisa menikah denganmu. Geli. Kamu itu sudah aku anggap seperti saudara kandungku sendiri.” Aku bergidik ngeri.

Itu bukanlah alasan yang sebenarnya, karena menikah dengan orang yang sudah aku kenal dengan baik justru sangat menguntungkan. Aku tidak perlu belajar untuk mengenal sifatnya, kebaikan, kelemahan, atau apa yang dia suka dan tidak. Pernikahan kami pasti berjalan dengan baik.

Namun Galang adalah pengecualian. Kami sudah tahu sama tahu mengenai sifat, kesukaan, impian, bahkan masa lalu masing-masing. Memandang dia lebih dari teman adalah hal yang mustahil. Aku juga tidak mau menyeret sahabatku sendiri dalam pernikahan yang tidak bahagia.

“Yakin itu alasannya?” Dia mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. “Bukan karena mantan goblokmu itu? Kamu tahu aku tidak dan tidak akan pernah menyakiti kamu, jadi pernikahan kita akan sama saja rasanya seperti hubungan kita selama ini. Bedanya, kita tinggal satu rumah.”

Tawarannya itu sangat menggiurkan. Mama tidak akan berisik lagi mendesak aku segera menikah. Adik-adik juga tidak akan mengejek aku yang sudah lama sendiri. Sanak saudara juga tidak akan berebut memperkenalkan laki-laki lajang yang mereka kenal kepadaku.

Plus, Galang sudah punya rumah sendiri. Rumah berkamar tiga yang sangat indah dan asri. Aku pikir dia akan segera menikah sehingga membeli rumah dengan kamar sebanyak itu, tetapi sepuluh tahun kemudian, dia masih asyik melajang. Pria yang aneh.

“Entahlah, Lang.” Aku menggeleng pelan. Melihat dia memutar bola matanya, lalu memasukkan jari kelingkingnya ke lubang hidung, aku mual. “Jorok! Bersihkan hidungmu di kamar mandi! Jangan di sini!” Dia malah tertawa senang.

Walaupun kami sudah berteman selama dua puluh lima tahun, aku tidak pernah terbiasa melihat dia dengan kebiasaan joroknya itu. Mungkin itu juga yang membuat aku nyaman bersahabat selama ini dengannya. Kami tidak pernah sungkan menjadi diri sendiri saat bersama.

Galang mengantar aku dengan sepeda motornya ke rumah. Dia selalu mengendarai dengan cepat, karena itu aku harus memeluknya dari belakang. Sebuah kebiasaan yang tidak lagi mengganggu. Aku juga bisa duduk dengan nyaman sambil berpegangan pada tubuhnya.

“Persiapan lamaran adikmu?” tanyanya, melihat barisan kendaraan di sebelah kiri jalan. Dia menolong aku turun dengan memberikan tangannya.

“Iya. Aku harus bersiap mendengar nasihat yang itu lagi, itu lagi dari mereka semua.” Aku melepas helm dan mengembalikan kepadanya.

“Tawaranku masih berlaku kalau kamu mau.” Dia menerima helm dan menggantungnya di setang. “Nyonya Galang Pamungkas. Keren, ‘kan?”

Entah mengapa dia selalu bercanda untuk hal yang seserius itu. Setiap kali aku bertanya mengapa aku, dia selalu menjawab mengapa tidak. Apa dia pikir pernikahan itu hanya permainan dan cara jitu untuk membungkam mulut keluarga kami? Pria ceroboh ini tidak pernah bisa aku mengerti.

“Tidak, terima kasih. Sampai dunia kiamat pun, aku tidak akan menikah denganmu,” kataku dengan tegas. Dia hanya tertawa terbahak-bahak.

Pertemuan keluarga hari ini adalah dalam rangka persiapan lamaran adik bungsuku. Eh, jangan salah. Kami hanya tiga bersaudara, jadi tidak banyak adikku yang sudah melangkahi aku. Hanya dua orang. Adik laki-laki dan perempuan.

Aku sengaja pulang beberapa detik sebelum acara dimulai supaya tidak ada yang kasak-kusuk, memaksa aku untuk segera menikah. Heran. Aku sudah berusia empat puluh tahun, sudah bosan dengan pertanyaan itu-itu saja. Mereka kapan bosannya, sih?

“Kamu dari mana saja?” omel Mama yang berjalan keluar dari dapur. “Cepat ganti bajumu dan duduk di ruang depan!”

Tanpa menjawab, aku ambil langkah seribu ke kamarku di lantai atas. Sejak adik laki-lakiku menikah, aku dan adik perempuanku bisa tidur di kamar masing-masing. Tidak perlu sempit-sempitan tidur berdua lagi. Jadi, aku bisa dengan santai meletakkan baju yang kurang cocok di atas ranjang.

Begitu menemukan pakaian yang pas, aku menyisir rambut dan memulas sedikit riasan. Dengan langkah berjingkat, aku menuju ruang depan. Mama melotot tajam melihat aku bergabung ketika acara sudah dimulai. Ada-ada saja. Ini bukan acaraku, untuk apa aku harus datang tepat waktu?

“Nah, Yola,” ucap Tante, adik kandung Mama, mendekati aku setelah acara usai.

Aku belum sempat kabur, karena dia sudah berdiri di sisiku. Sial. Aku memutar otak untuk mencari alasan mengalihkan perhatiannya. Tante mudah dikibuli, jadi dia tidak akan bisa menginterogasi aku panjang lebar. Aku harus cepat sebelum wanita lain di keluargaku ikut menyerang dan aku terpaksa bicara kasar.

“Dua adikmu sudah punya pasangan. Kamu kapan?” tanyanya. “Jangan ditunda lagi. Umur kamu sudah kepala empat. Masa kakak kalah dengan adik-adiknya? Mamamu saja tidak begitu.”

Tidak adil menyamakan aku dengan Mama. Zaman mereka jelas sudah jauh berbeda dengan zaman kami. Perempuan zaman dahulu memang dituntut untuk cepat menikah, karena usianya dianggap sudah cukup. Wanita zaman sekarang ada banyak pertimbangan sebelum memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya. Itu pun kalau punya pacar. Kalau tidak?

“Iya, Tante. Om sudah keluar, tuh. Tante mau ditinggal?” kataku berbohong. Dia menoleh ke arah pintu, dan kesempatan itu aku gunakan untuk kabur.

“Yola! Kamu ini! Awas, ya!” seru Tante dengan geram.

Aku bergegas ke lantai atas dan masuk ke kamar. Aku tersenyum melihat kotak makanan yang aku bawa bersamaku. Lumayan. Aku tidak perlu menunggu semua orang pulang untuk makan malam. Malas sekali mendengar pertanyaan yang sama dari mereka.

Jika usiaku masih dua puluhan, aku akan termotivasi dengan pertanyaan dan dorongan itu. Berbeda dengan sekarang. Aku sudah lebih matang dalam berpikir dan banyak belajar dari pengalaman orang-orang di sekitarku seputar pernikahan. Jadi, usia tidak menghalangi aku untuk tetap hati-hati.

“Kamu ini membuat aku malu saja,” ucap Mama yang melihat aku memasuki dapur. Dia sedang memasukkan makanan ke kotak agar bisa disimpan di dalam kulkas. Aku berdiri di sisinya dan ikut membantu membereskan semua lauk-pauk tersebut.

“Makanya, Kak, jangan terlalu memilih. Kalau Kakak menunggu cowok yang ganteng dan kaya datang melamar, maka Kakak akan sendiri selamanya,” ejek adikku. “Lihat aku. Pria pertama yang mengajak pacaran kini akan menjadi suamiku. Lima tahun menjalin hubungan, dia sudah sukses besar.”

Adikku cantik dan supel. Rasanya sangat berlebihan untuk membandingkan dirinya dengan aku. Wajahku biasa saja dan cara bicaraku cukup kasar. Laki-laki suka berteman denganku, tetapi untuk menjadi kekasih mereka, temanku sendiri pun berpikir dua kali. Hanya Galang yang agak gila.

“Jangan samakan kamu dengan kakakmu. Usiamu masih tiga puluh, tidak apa-apa berpacaran dengan karyawan biasa. Masa Yola tidak bisa mendapatkan pria yang lebih sukses dari calonmu? Empat puluh tahun itu usia yang banyak,” sindir Mama.

“Ooo. Jadi pria seperti itu yang Kakak cari. Pantas saja masih sendiri,” ucap adikku dengan nada meledek. “Ya, sudah. Kalau Kakak tua nanti, aku akan meminta salah satu anakku untuk merawat Kakak. Jadi, Kakak tidak usah khawatir akan kesepian di masa pensiun.”

Enak saja dia bicara begitu. Apa dia pikir aku tidak punya cukup tabungan untuk membayar seorang perawat yang bisa menemani aku di masa tua? Seorang anak pasti punya impian dan harapannya sendiri. Aku tidak akan sudi membebani keponakanku untuk mengurus aku.

“Memangnya hanya kamu saja yang sudah punya calon suami? Aku juga sudah,” kataku tanpa dapat aku cegah. Aku paling benci jika ada orang yang merendahkan aku, tidak terkecuali bila orang yang melakukannya adalah adik atau anggota keluargaku yang lain.

“Kamu serius??” tanya Mama tidak percaya. Oh. Sial.

“Siapa, Kak?” tanya adikku tidak mau kalah. Dia mengeringkan tangan dengan handuk kecil, lalu mendekati kami. “Aku tidak pernah melihat Kakak membawa pacar ke rumah.”

“Aku sudah empat puluh, apa kamu pikir aku akan berpacaran lama seperti kamu baru menikah?” Sudah telanjur keceplosan, lanjutkan saja, deh.

“Buktikan. Bawa dia ke sini besok sore.” Mama menatap aku dengan tajam.

“Apa, Ma? Besok sore?” tanyaku terkejut.

“Kalau tidak, maka kamu harus mau berkenalan dengan pria ini.” Mama meletakkan selembar foto di atas meja. “Nenekmu sangat menyukai dia.”

Mati aku. Hanya ada satu laki-laki yang bicara pernikahan denganku baru-baru ini. Tidak, tidak, tidak. Masa aku menikah dengan Galang, sahabatku sendiri?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Susiana Margono
ok...ok..good...️
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   4|Menjilat Ludah

    Mama sudah gila. Nenek juga sudah kehilangan akal. Kalau menyukai seorang pria, mengapa tidak dia saja yang menikah dengannya? Mengapa malah aku yang harus dikorbankan? Katanya, aku diberi waktu sampai sore ini untuk membawa calon suamiku. Mengapa pria itu datang saat makan siang?Duh, aku sudah lapar. Gara-gara Nenek, aku tidak bisa masuk ke rumahku sendiri. Demi menghindari pertanyaan orang mengenai statusku yang tidak juga berubah, aku beribadah di gereja lain. Kalau tahu begini, aku makan dahulu baru pulang.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Aku melompat terkejut mendengar suara itu.“Galang! Dasar bodoh!” pekikku dengan suara tertahan. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Aku pasti sibuk dengan pikiran sendiri sampai tidak mendengar bunyi mesin motornya.“Kamu pasti belum aktifkan ponselmu sejak pagi tadi.” Dia mengangkat salah satu alis matanya. “Siapa yang datang? Ini bukan mobil keluargamu. Aku rencananya mau ajak kamu makan siang—”“Ayo!” Aku segera menerimanya.Dia membawa aku ke

    Last Updated : 2023-01-03
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   5|Bertemu Lagi

    “Lombok?” pekikku senang saat melihat tujuan penerbangan kami di layar. “Kita belum bisa naik gunungnya sekarang, tetapi kamu pasti mau melihatnya dari jauh, ‘kan?” ucapnya sambil memberikan ponsel dan kedua kartu identitas kami kepada wanita di konter. “Ini bulan madu yang terbaik, Lang!” kataku bahagia. Kami tidur selama dalam penerbangan, jadi kami bangun dalam keadaan segar. Walaupun tubuh kami sangat lelah, kami berhasil mencapai pintu kamar hotel. Tidak peduli dengan pakaian yang belum kami ganti, gigi yang belum disikat, kami tidur di ranjang besar itu bersama. Lalu pada pagi harinya aku teringat dengan janjinya. Dia keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan rambut lembap. Aku tidak menyembunyikan rasa kesalku. “Masih pagi, kamu sudah cemberut. Ada apa?” tanyanya, pura-pura tidak tahu. “Kamu janji kita tidak akan tidur satu ranjang,” protesku. Dia memutar bola matanya. “Aku sudah menendang kamu keluar, kamu sendiri yang tidak mau jalan ke kamarmu yang hanya berjarak

    Last Updated : 2023-01-03
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   6|Menikahi Dia

    ~Galang~ Wanita yang duduk di depanku bukanlah orang yang baru aku kenal dalam beberapa jam. Aku sudah mengenal dia selama dua puluh lima tahun. Aku adalah seniornya di SMU, sedangkan dia anak baru yang tidak gentar melawan aku pada masa orientasi sekolah. Kami yang semula musuh bebuyutan terpaksa berbaikan, karena sebuah kecelakaan yang membuat kepala sekolah berang. Uniknya, kami justru menjadi teman baik sejak saat itu. Sayangnya, aku tidak tinggal di sekolah itu untuk waktu lama. Walaupun aku kuliah, kami tetap berteman sampai bertemu lagi di kampus yang sama. Dia menolak lamaranku, tetapi aku belum mau menyerah. Masa tidak ada satu hal pun yang bisa membuat dia goyah? Namun ketika aku tidak berhenti menggodanya, dia mengatakannya. Dia mengucapkan kalimat yang aku tunggu-tunggu. Sebelum dia berubah pikiran, aku melamarnya di depan kedua orang tuanya. “Aku tidak percaya ini. Kamu membuat aku menunggu begitu lama hanya untuk melihat kamu menikahi perempuan yang selama ini ada di

    Last Updated : 2023-02-23
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   7|Salah Lihat

    ~Fayola~ Matanya yang semula menatap mataku, turun perlahan lalu berhenti untuk melihat bibirku. Ketika dia kembali membalas tatapan mataku, sesuatu yang sebelumnya tidak aku temukan, aku lihat di kedua indra penglihatannya itu. Dia mendekatkan wajahnya, aku tertegun sejenak. Jantungku, anehnya, berdetak semakin liar di dadaku. Aku sampai menahan napas, takut dadaku akan menyentuh bagian depan tubuhnya. Tidak punya cara lain yang lebih jitu, aku mengantukkan kepalaku ke dahinya. “Aw!” serunya dengan suara tertahan. Aku segera mendorong tubuhnya menjauh dariku, lalu duduk. Kepalaku juga terasa sakit karena antukan itu. “Ibumu sudah pergi, mengapa kamu masih ada di atasku?” protesku dengan kesal sambil mengusap-usap keningku. “Rusak sudah krim yang baru aku oleskan. Apa kamu tidak tahu harganya mahal?” Dia tertawa kecil dan berbaring telentang di atas alas tidurnya. “Kamu sudah empat puluh tahun, Fay. Untuk apa buang uang supaya tidak keriput? Aku tidak akan meninggalkan kamu hanya

    Last Updated : 2023-02-24
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   8|Kado Istimewa

    Walaupun kami sama-sama sedang mempertahankan pendapat kami, fokus kami tidak teralihkan. Kondisi lalu lintas tetap menjadi perhatian utama kami. Dia menginjak rem tepat pada waktunya. Namun mobil tidak sampai berhenti sehingga tidak terjadi tabrakan beruntun di belakang kami. “Pengendara bodoh! Cari mati jangan di depan mobil mahalku!” teriaknya penuh amarah. Orang yang dimaksud pergi begitu saja, merasa tidak bersalah. “Oh, Tuhan. Jantungku hampir lepas. Untung saja dia tidak mati tertabrak.” Aku mengusap-usap dadaku. Kecelakaan itu terjadi lagi. Aku tertegun sejenak sebelum menoleh ke arah Galang. Matanya terpicing sehingga nyaris membentuk dua garis lurus horizontal. “Lain kali kita naik sepeda motor saja.” Dia menggeleng pelan. Aku rasanya ingin jok itu memakan aku agar tidak perlu menghadapi dia lagi. Memalukan sekali. Aku yang sudah kentut sembarangan, aku juga yang memarahi dia paling keras. Padahal yang dia katakan benar. Seharusnya aku jujur saja dari awal. Pertengkaran t

    Last Updated : 2023-02-25
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   9|Memanjakan Dia

    ~Galang~ Seandainya saja dia tahu berapa pendapatanku dalam satu bulan, dia tidak akan menyebut aku membuang-buang uang. Aku tidak menjawab pertanyaannya, melainkan membawa dia masuk dan menuju apartemen lewat elevator. Aku puas melihat dia terpukau kagum melihat segala yang ada di dalam apartemen kami. Memang ini tujuan aku membelinya. Lokasinya tidak jauh dari kantornya, tetapi juga tidak berada tepat di pusat kota. Aku tidak akan tahan menghadapi kemacetannya pada akhir pekan. “Kenyangnya …!” Dia bersandar pada kursinya setelah menghabiskan makanannya. “Badanku terasa remuk gara-gara Mama. Pasangan mana yang mempersiapkan pernikahan dalam waktu satu bulan saja? Aku jadi kasihan mengingat kita mendapat jadwal di gereja, karena ada pernikahan yang batal.” Aku menatapnya penuh arti. “Aku dan si bodoh itu beda kasus. Kami belum sampai pada tahap mempersiapkan pernikahan,” protesnya, memahami maksudku. “Ada apa? Kamu masih cinta dia?” tanyaku sambil lalu. “Ukh!” Dia berpura-pura mu

    Last Updated : 2023-02-26
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   10|Tak Terduga

    ~Fayola~ Aku tidak pernah merasa begitu malu dalam hidupku. Ah, maksudku, setelah apa yang dilakukan oleh mantanku. Ini adalah hal yang tidak hanya membuat wajah memerah dan jantungku berdetak sangat cepat, tetapi aku nyaris kehilangan kata-kata. Namun mendengar sebutannya atas benda yang ada di dalam tas belanja itu, aku tertawa terbahak-bahak. Kain perca? Aku tidak tahu dia selugu itu. Kado dari Nidya dan Kemala adalah pakaian tidur wanita yang bahannya sengaja terbuka pada bagian intim, bukan kain perca. “Bisakah kamu berhenti tertawa dan minum kopimu dengan benar?” ucap Galang pada pagi harinya. Kelihatan dia masih kesal atas sikapku pada malam sebelumnya. “Aku tidak mau kamu sampai memuncratkan cairan itu lagi ke mukaku.” “Maaf. Aku tidak bisa berhenti tertawa.” Aku mengipas-ngipas wajah dengan kedua tanganku, berusaha untuk mengendalikan emosiku. Dia semakin cemberut. Aku akui bahwa dia adalah suami yang sangat baik. Saat aku keluar dari kamar tidur, roti panggang, berbagai

    Last Updated : 2023-02-27
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   11|Bisa Cemburu

    Aku merapatkan bibirku, berusaha untuk tidak mengatakan apa pun. Dia sudah menoleransi aku yang kentut di mobilnya, maka tidak adil kalau aku marah kepadanya. Jadi, dengan berat hati, aku memalingkan wajah dan memandang ke arah kaca depan mobil. Namun bukannya berhenti dan menghargai sikap mengalahku, dia meneruskan kebiasaan joroknya itu. Aku mengepalkan tangan, menahan diri. Ini adalah mobilnya, maka dia punya hak melakukan apa pun yang dia mau. Aku tidak boleh marah. “Bisakah kamu menghentikan itu?” kataku, tidak tahan lagi. Dia mengorek hidung, lalu menyeka tangannya di bagian paha celananya. Ggrr, joroknya dia. Pakaianku bisa kena kotoran itu juga saat orang mencuci pakaian kami. Namun aku tidak mau membayangkannya. “Aku tidak menghalangi kamu kentut. Mengapa kamu marah aku mengupil?” ucapnya, tidak peduli. “Pakai tisu, Lang. Kamu meletakkannya di sana, di dasbor agar mudah kamu raih. Bukan dilap di celana kamu. Jorok, tahu, enggak?” kataku lagi. “Ini celanaku, mengapa kamu b

    Last Updated : 2023-02-28

Latest chapter

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   Terima Kasih, Sahabat

    Aku, Galang, dan Fayola mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan teman-teman. Dari munculnya ide cerita pada 19 Juli 2021, sampai pertama kali diunggah di sini pada tanggal 31 Desember 2022, akhirnya tamat pada hari ini, tanggal 16 April 2023. 120 bab, 160.950 kata. Wow. (´⊙ω⊙`) Galang dan Fayola sering membuat pusing saat menyampaikan ide cerita, jadi aku yakin ada banyak kekurangan pada karya ini. Untuk itu, aku mohon maaf. Semoga aku bisa terus memperbaiki diri dan menyajikan novel yang semakin berkualitas nan menghibur pada karya berikutnya. Bila ada yang mau disampaikan langsung kepadaku, Galang, atau Fayola, silakan ke kolom komentar, ya. Pasti kami balas. ♡♡♡ Terima kasih banyak untuk setiap sumbangan gem lewat vote, komentar, dan aku masih menunggu review dari teman-teman pada “Tentang buku ini”. Jika suka dengan novel ini, bantu bagikan ke kenalan yang lain yang juga mencari bacaan bagus, ya. Uhuk. ≧ω≦ Akhir kata, sampai jumpa lagi. Sembari menunggu, silakan mampir k

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   120|Teman Ributku

    Adakah orang di sisimu ketika duniamu runtuh di hadapanmu? Orang yang memegang tanganmu dan berkata, “Semuanya akan baik-baik saja. Ada aku di sini.” Sekalipun kamu tidak percaya, kalimat sederhana itu memberi kamu sepercik harapan. Air mata mengalir tiada henti di kedua pipimu, hatimu patah tidak mudah untuk disatukan kembali, dan tubuhmu nyeri menahan sakit yang luar biasa. Namun tangan itu memberi kamu kekuatan baru untuk merangkak lagi, memulai segalanya dari bawah. Aku ada. Orang itu bukan keluargaku, bukan pula sahabat yang aku percayakan semua rahasiaku, dia adalah teman ributku, Galang. Satu-satunya orang di dunia ini yang mengetahui rahasia terdalamku. Rahasia yang bahkan tidak berani aku ungkapkan kepada ibu kandungku. Menikah dengan sahabat sendiri itu geli. Sungguh. Bayangkan saja, orang yang kamu ketahui semua jeleknya, busuknya, hingga semua kebaikannya tertutupi. Apa bisa kamu mencium dia? Kamu pasti tertawa seperti pengalaman serius pertamaku dengan Galang. Kalau se

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   119|Berganti Peran

    ~Fayola~Aku sangat mencintai suamiku, tetapi ada juga saat-saat aku membenci dia sampai ke ubun-ubun. Dalam peran kami sebagai orang tua, aku selalu menjadi antagonis, monster di mata anak-anak. Sedangkan dia, menjadi malaikat yang selalu menolong, menghibur, dan memaafkan mereka.Namun menyadari betapa pentingnya keseimbangan sebagai orang tua, aku terpaksa menuruti cara itu. Karena ada juga waktunya, akulah yang menjadi protagonisnya, sedangkan Galang yang menjadi orang jahatnya. Membesarkan anak benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan emosi.Kasihan kepada Galang yang lemas melihat kondisi sofa favoritnya, aku pun memanggil jasa untuk memperbaikinya. Untuk sementara, aku memindahkan sofa dari ruang depan ke ruang keluarga. Sebentar saja, sofanya pun jadi bagus lagi. Busa dan kainnya diganti dengan yang baru.“Jangan bilang mereka mencoret sofa lagi,” ucapnya kepadaku ketika dia menuruti anak-anak yang menarik tangannya untuk masuk ke ruang keluarga. Aku hanya tersenyum.“Kejutan

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   118|Anak Pintar

    “Apa kamu ini tidak bisa jalan dengan benar? Kamu tadi menyeret aku keluar kamar, lalu sekarang berhenti mendadak. Aku sampai tersandung. Untung saja aku tidak jatuh,” protes Fay. Aku memberi sinyal dengan mataku, dia malah memukul dadaku. “Ayo, cepat. Katanya sudah lapar, mengapa malah diam di sini?” Aku kembali melotot dan memberi tanda agar dia melihat ke arah depan kami. “Ada apa, sih? Lidah kamu terjepit?” “Jadi, ini yang dimaksud dengan naik gunung?” Mendengar kalimat itu, barulah Fay sadar dan menelan ludah dengan berat. Matanya yang semula mengantuk, terbuka lebar dan dia memasang senyum. Menginap di sini bukanlah rencanaku, jadi aku tidak mau menjawab pertanyaan itu. “Eh, anak mama ada di sini!” serunya pura-pura terkejut. “Hai, sayang! Ezio! Athena!” Dia mencium dan memeluk mereka satu per satu. “Kalian sudah rapi pakai seragam.” “Papa dan Mama benar naik gunung?” tanya Ezio lagi. Ayah dan Bunda yang berdiri di belakang mereka hanya menahan tawa. Melihat itu, aku memint

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   117|Terwujud Juga

    “Mama perginya jangan lama-lama, ya. Cepat pulang, ya, Ma,” isak Ezio.Kami bicara baik-baik semalam mengenai kepergian kami Lombok. Mereka mengerti bahwa mereka akan tinggal bersama kakek dan nenek mereka selama kami tidak di rumah. Bangun tidur, segalanya masih baik-baik saja. Barulah di dalam taksi, mereka mulai menangis.Aku dan Fay jelas panik dengan sikap mereka tersebut. Namun membatalkan kepergian kami adalah pilihan yang tidak akan aku ambil. Perjalanan ini mungkin tidak akan bisa kami lakukan lagi dalam waktu dekat. Aku mengajukan cuti bukan untuk bersantai di rumah saja.“Papa janji akan pulang hari Rabu, jangan bohong, ya, Pa,” tangis Athena.Aku dan istriku saling bertukar pandang. “Sayang, kami pasti kembali hari Rabu. Kalian berjanji akan bersikap baik. Mana janjinya? Mengapa kalian malah menangis?” ucap Fay.“Jangan khawatir. Mereka akan baik-baik saja,” kata Bunda, menengahi. “Pergilah. Taksi sudah datang. Jangan sampai kalian terlambat sampai di bandara.”“Baik, Bund

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   116|Membahagiakan Dia

    ~Galang~ Walau aku sangat marah kepada wanita perusak rumah tangga orang itu, aku bersyukur aku dalam keadaan tidak sadar ketika dia meniduri aku. Jadi, aku tidak mengingat apa pun yang terjadi di kamar hotel pada malam itu, yang menolong aku lebih cepat memaafkan diriku sendiri. Aku hanya mengenal tubuh istriku, setiap sentinya. Hanya wajahnya yang pernah aku lihat dalam keadaan paling intim. Yang paling penting, dia saja wanita yang aku inginkan. Aku merasa bersalah meski aku tidak ingat kejadian bersama Trici, tetapi aku akan membayarnya seumur hidupku dengan membuat istriku lebih bahagia dari sebelumnya. Membawa bunga setiap hari itu adalah salah satu contoh yang aku tahu akan membuat dia bahagia. Kalau dia melarang, maka aku menurutinya. Aku mau dia bahagia saat aku memberinya sesuatu, bukan merasa tidak enak. “Kamu pasti tidak sadar kita genap menikah selama empat bulan kemarin,” tebakku. Dia melihat aku dan tanganku yang ada di belakang tubuhku secara bergantian. “Kamu tahu

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   115|Selalu Mengecewakan

    Aku hanya bisa menundukkan kepala dan pasrah dengan air mata yang tidak bisa aku kendalikan terus mengalir turun membasahi wajahku. Aku mendadak merasa kecut, karena yang selalu aku sampaikan kepada mereka adalah berita buruk. Mengapa tidak bisa satu kali saja, aku memberikan kabar baik kepada keluargaku? Aku mau melihat mereka tertawa dan bersorak bahagia seperti saat Amara menyampaikan kabar kehamilannya. Oh, Tuhan. Mengapa aku selalu menjadi pembawa kabar buruk dalam keluargaku? Sudah pasti mereka akan kecewa mendengar pengakuanku. Aku bukan hanya merusak suasana, aku juga akan menghancurkan kebahagiaan adikku. Seharusnya hari ini adalah hari bahagia bagi kami semua. Seandainya saja aku tidak mengundur hal ini …. “Lebih dari lima belas tahun yang lalu, aku keguguran dan harus menjalani operasi. Tetapi dokter menemukan adanya fibroid atau tumor yang tumbuh di sekitar rahim yang berukuran sangat besar. Aku sendirian dan harus memberikan keputusan segera.” Aku memejamkan mataku. “K

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   114|Masih Berharap

    Aku tidak tahu harus melakukan apa, jadi aku menunggu mereka yang bergerak lebih dahulu. Sudah beberapa minggu ini hubungan kami sedang tidak enak. Jadi, mau tidak mau aku merasa canggung harus bersikap bagaimana.“Semoga kalian tidak keberatan aku mengajak mereka juga.” Bunda menoleh ke arahku. “Papa dan mamamu memaksa ingin ikut, jadi kami tadi menjemput mereka sebelum datang ke sini.”“Kami tidak keberatan, Bunda,” kataku dan Galang secara bersamaan.Ezio dan Athena bergantian memeluk Ayah dan Bunda, lalu mereka menatap ragu kepada Papa dan Mama. Cinta pertamaku itu yang lebih dahulu mendekat dan memeluk kedua anak tersebut. Mama pun melakukan hal yang sama.Aku tersenyum saat Galang merangkul bahuku, lalu mencium pelipisku. “Aku akan membeli tiket untuk kita,” bisiknya. Aku mengangguk.Anak-anak berjalan sambil menggandeng tangan Ayah dan Bunda, Papa mengikuti Galang menuju loket, sedangkan Mama mendekati aku. Dia memeluk aku, menghangatkan hatiku. Lega rasanya, kami sudah berbaik

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   113|Membutuhkan Kamu

    “Bisakah kalian pelan sedikit?” keluhku, melihat keempat makhluk tukang pamer itu berlari santai di depanku. Bukannya memperlambat lari mereka, ketiganya malah tertawa mengejek aku. Lala bahkan menyalak senang.Mereka bertiga bekerja sama agar aku bangun subuh dan ikut joging. Kalau bukan karena aku penasaran ingin mendaki Gunung Rinjani, aku tidak akan melakukan ini. Seandainya anak-anak sedikit lebih besar, pasti menyenangkan bisa pergi dengan mereka juga.Setelah joging, aku menolong Athena untuk mandi dan berganti pakaian di kamarnya, sedangkan Galang membantu Ezio. Barulah aku menuju kamar mandi di kamar tidur kami. Namun suamiku bergabung dan ikut mandi bersamaku.“Tidak, Lang. Kita bisa terlambat,” tolakku saat dia mengajak bercinta. Aku sangat menginginkan dia setelah berhari-hari puasa, tetapi kami tidak punya waktu untuk melakukan ini.“Kamu bilang kamu membutuhkan aku,” katanya, mengingatkan.“Semalam, bukan pagi ini,” ralatku.“Sayang sekali, aku selalu membutuhkan kamu se

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status