Share

4|Menjilat Ludah

Penulis: Meina H.
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-03 19:16:52

Mama sudah gila. Nenek juga sudah kehilangan akal. Kalau menyukai seorang pria, mengapa tidak dia saja yang menikah dengannya? Mengapa malah aku yang harus dikorbankan? Katanya, aku diberi waktu sampai sore ini untuk membawa calon suamiku. Mengapa pria itu datang saat makan siang?

Duh, aku sudah lapar. Gara-gara Nenek, aku tidak bisa masuk ke rumahku sendiri. Demi menghindari pertanyaan orang mengenai statusku yang tidak juga berubah, aku beribadah di gereja lain. Kalau tahu begini, aku makan dahulu baru pulang.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” Aku melompat terkejut mendengar suara itu.

“Galang! Dasar bodoh!” pekikku dengan suara tertahan. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Aku pasti sibuk dengan pikiran sendiri sampai tidak mendengar bunyi mesin motornya.

“Kamu pasti belum aktifkan ponselmu sejak pagi tadi.” Dia mengangkat salah satu alis matanya. “Siapa yang datang? Ini bukan mobil keluargamu. Aku rencananya mau ajak kamu makan siang—”

“Ayo!” Aku segera menerimanya.

Dia membawa aku ke sebuah restoran yang tidak ramai. Kami memesan makanan dan minuman, lalu fokus dengan ponsel masing-masing. Dia maupun aku tidak tersinggung sekalipun yang kami lakukan hanya sibuk sendiri setiap kali bersama.

“Bagaimana acara keluarga kemarin?” tanyanya ketika pelayan pergi setelah mengantar minuman.

“Lancar,” jawabku singkat, tanpa mengangkat kepalaku dari layar ponsel.

“Keluarga besarmu pasti mendesak kamu lagi untuk segera menikah,” katanya, mengejek. “Kamu mengikuti acara sampai selesai atau kabur?”

“Bisakah kita berhenti membicarakan ini?” ucapku kesal. Kali ini, aku mengangkat kepalaku dari layar ponsel. “Masa bersamamu pun aku harus mendengar sindiran yang sama??”

“Aku sudah memberi solusi, kamu yang tidak mau,” katanya lagi masih dengan nada mengejek.

Bagus. Itu adalah sinyal yang aku tunggu-tunggu. Tetapi aku tidak menunjukkan rasa senang dan lega mendengar kalimat itu dia ucapkan lagi. Harga diriku bisa jatuh kalau dia sampai tahu bahwa aku membutuhkan bantuannya. Apalagi setelah aku menolaknya.

“Baiklah,” kataku, acuh tak acuh.

“Apa katamu?” Dia menegakkan posisi duduknya.

Aku mendesah pelan, pura-pura bosan dengan pembahasan itu. “Ya, sudah, kalau kamu tidak mau.”

“Oke. Ayo, kita menikah.” Dia segera meneguk habis isi gelasnya, lalu mengajak aku untuk berdiri. Karena aku hanya diam, dia meraih tanganku dan memaksa aku untuk bangun.

“Kita mau ke mana? Aku belum selesai makan,” protesku, melihat piringku masih penuh. Padahal aku sangat senang dia tidak marah atau berpura-pura menjual mahal setelah aku menjawab iya.

“Aku akan membawa kamu makan ke tempat yang kamu sukai. Kita harus menemui orang tuamu sekarang, sebelum kamu berubah pikiran.” Dia memberikan dua lembar uang kertas berwarna merah di atas konter kasir, lalu menarik aku keluar.

Dia benar-benar sudah gila. Aku baru menjawab iya, dia langsung melamar aku di depan orang tuaku. Nenek dan pria yang dia bawa bengong mendengarnya. Papa dan Mama tentu saja bahagia dengan berita itu. Adikku yang cemberut, karena pernikahannya dikesampingkan demi menyiapkan acaraku terlebih dahulu.

Orang tua Galang juga senang sekali mendengar kabar itu dari mulut putra mereka sendiri. Mereka sudah mengenal aku dengan baik, jadi kami tidak kesulitan mendapatkan restu dari mereka. Tanggal pernikahan pun ditentukan bersama. Kami hanya punya waktu satu bulan supaya adikku tetap bisa menikah pada hari yang sudah disepakati.

“Kalian benar-benar serius niat menikah, ‘kan?” tanya Mama. Dia menatap aku lewat cermin besar di depanku. Seorang wanita sedang memeriksa bagian mana dari kebaya yang aku pilih yang perlu diperbaiki. Kami tidak punya banyak waktu, jadi aku membeli kebaya yang sudah jadi.

“Kita sudah melakukan acara lamaran sederhana di depan sanak saudara. Kami kurang serius apa lagi, Ma?” tanyaku, pura-pura tersinggung dengan pertanyaannya itu.

“Siapa tahu kalian menikah hanya demi menutup mulut kami. Kalian sudah lama berteman, aneh rasanya kalian baru memutuskan untuk menikah sekarang.” Dia menatap aku penuh curiga.

“Aku mencintai Galang, Ma.” Air ludahku mendadak pahit sehingga aku kesulitan menelan. Kalimat itu terasa asing di mulutku. “Terlalu lama bersama membuat aku tidak menyadari perasaanku sendiri. Kami berdua serius ingin menikah.” Aku semakin kesusahan menelan.

“Aku senang mendengarnya.” Mama tersenyum bahagia. Tidak peduli dengan wanita yang berada di dekatku, dia memeluk aku dengan erat dari belakang.

Mataku memanas dan darahku berdesir dari kepala ke seluruh tubuhku. Aku terharu sekaligus merasa bersalah telah membohongi mamaku sendiri. Air mata mendesak keluar, aku menahan diri sekuat mungkin. Ada orang lain di sini, dan aku tidak mau ada yang melihat saat sedang menangis.

“Ada yang perlu kita bicarakan sebelum kita menikah,” kataku saat dia mengajak aku makan malam bersama untuk yang terakhir kalinya. Kami tidak boleh bertemu mulai esok hingga hari pernikahan.

“Tanggal sudah ditentukan, apalagi yang perlu kita bahas?” tanya Galang bingung.

“Kamu adalah sahabatku, Lang. Aku tidak punya perasaan apa pun kepadamu. Jadi, aku berharap kamu menepati janjimu bahwa hubungan kita tidak akan berubah,” kataku, mengingatkan.

“Aku selalu menepati janji, Fay.” Walaupun dia mengatakannya dengan santai, aku tahu bahwa dia serius dengan kalimatnya itu.

Semua persiapan berjalan dengan lancar, sekalipun terburu-buru. Galang tidak keberatan berapa pun uang yang kami keluarkan. Pakaian pernikahan kami, seragam keluarga inti, tempat resepsi, hingga detail kecil lainnya ditanggung olehnya.

Mama adalah calon mertua yang sangat bijak. Dia tidak memanfaatkan kebaikan calon menantunya dengan meminta hal-hal yang tidak masuk akal. Justru Galang yang tidak berhenti bertanya, apa lagi pengeluaran yang perlu dia transfer kepada Mama atau orang yang berkepentingan.

“Aku sudah gila,” gumamku pelan melihat pernikahan ini nyata.

Seluruh keluarga besarku menghadirinya. Mereka yang tinggal di pelosok negeri sampai yang tidak diizinkan atasannya untuk pulang ke tanah air pun berbondong-bondong datang. Matilah aku. Tidak sebesar ini pernikahan yang aku bayangkan. Cukuplah keluarga dan sahabat yang tinggal di kota ini yang menyaksikan pengambilan sumpah kami.

“Kak, lihat ini! Anakmu memecahkan ponselku! Siapa yang memindahkan kacamata yang ada di atas meja? Di mana sepatuku yang berwarna putih?? Bulu mata palsuku lepas, tolong! Ma, dasi Papa di mana? Dik, anakmu muntah! Mama, Adik jatuh dari kursi!”

Keributan itu menyambut aku ketika membuka pintu kamar. Sanak saudara yang menginap di rumah kami lalu-lalang di depanku, tidak memedulikan aku. Penata rias dan para asistennya menolong aku menuruni tangga tanpa insiden. Mobil pengantin sudah menunggu di depan rumah.

Upacara pernikahan berjalan lancar, meskipun diwarnai dengan tangisan anak-anak yang tidak mau berhenti menabur bunga. Aku dan Galang mengucapkan sumpah setia kami tanpa ragu. Dia hanya mencium keningku ketika kami resmi menjadi suami istri.

“Akhirnya …,” kata Mama terisak. Kami duduk bersama di sebuah aula setelah makan siang. “Putri sulungku menikah juga. Aku berdoa pagi dan malam agar Tuhan mempertemukan dia dengan pria yang baik, yang pantas mendapatkannya. Aku nyaris putus asa ….”

Tanpa aku sadari, air mata jatuh membasahi pipiku. Aku cepat-cepat menyekanya dengan tisu agar tidak merusak riasan wajahku. Mama biasanya hanya mengomel saja setiap kali menyinggung statusku yang masih lajang. Ternyata dia tidak berhenti berdoa untukku.

“Ketika dia menginjak usia empat puluh tahun, aku tidak menyerah. Aku berdoa lebih lama pada malam hari. Aku tidak percaya putriku tidak diinginkan oleh laki-laki mana pun. Jadi ….” Mama berhenti sejenak. “Itulah sebabnya, aku bersikeras pernikahan ini disiapkan lebih dahulu.”

Mama menoleh kepada adikku sebelum kembali kepadaku. “Kamu lihat semua orang yang hadir? Tidak peduli apa pun yang menghalangi mereka, semua keluarga kita datang untuk menyaksikan kamu menikah. Karena pernikahan kamu sudah lama kami nantikan. Semoga kamu bahagia, Yola.”

Aku mengangguk sambil menyeka air mata yang mengancam jatuh. Mama berpindah melihat Galang. “Terima kasih banyak, Nak. Aku bahagia kamulah jawaban doaku. Kalian sudah lama berteman, jadi aku percaya, kamu akan menjaga putriku dengan baik.”

Setelah semua orang mengucapkan selamat dan memberi nasihat, acara hiburan pun dimulai. Kami berdiri bersama kedua orang tua kami menyambut tamu yang naik ke pelaminan. Masih beberapa orang pertama, aku bisa menggerakkan jemari untuk membalas jabatan tangan mereka. Belakangan, sekadar tersenyum ke arah kamera pun sudah tidak sanggup.

Hanya Galang yang tetap bersemangat dan bahagia sampai seluruh tamu kami pulang. Berfoto bersama keluarga besar kami pun dilakukannya dengan senyum semringah. Aku tidak pernah melihat dia seperti ini sebelumnya.

“Semoga kalian bahagia.” Mama memeluk aku, lalu mendekati Galang. “Jaga putriku.”

Aku akhirnya bisa mendesah lega duduk di dalam mobil pengantin. Setelah berjam-jam berdiri, kakiku nyaris mati rasa dan pinggangku seolah mau copot dari posisinya. Belum lagi otot lengan dan rahangku yang lelah menjabat tangan dan tersenyum kepada semua orang.

“Ternyata ini alasannya orang ogah bercerai. Menikah satu kali saja rasanya selelah ini,” ucap Galang pelan. Dia duduk bersandar sambil memejamkan matanya.

“Kamu keliru. Justru karena rasanya selelah ini, banyak orang tidak mau menikah,” ejekku.

Dia melingkarkan tangannya di bahuku. Aku menuruti gerakan tangannya dan meletakkan kepalaku di dadanya. “Pejamkan matamu. Masih ada waktu beberapa menit sebelum kita tiba di bandara.”

“Bandara?” Aku segera menegakkan dudukku. “Apa maksudmu? Kita sepakat hanya berpura-pura pergi dengan menginap dua malam di hotel sekitar sini. Kamu akan membawa aku ke mana?”

Bab terkait

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   5|Bertemu Lagi

    “Lombok?” pekikku senang saat melihat tujuan penerbangan kami di layar. “Kita belum bisa naik gunungnya sekarang, tetapi kamu pasti mau melihatnya dari jauh, ‘kan?” ucapnya sambil memberikan ponsel dan kedua kartu identitas kami kepada wanita di konter. “Ini bulan madu yang terbaik, Lang!” kataku bahagia. Kami tidur selama dalam penerbangan, jadi kami bangun dalam keadaan segar. Walaupun tubuh kami sangat lelah, kami berhasil mencapai pintu kamar hotel. Tidak peduli dengan pakaian yang belum kami ganti, gigi yang belum disikat, kami tidur di ranjang besar itu bersama. Lalu pada pagi harinya aku teringat dengan janjinya. Dia keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan rambut lembap. Aku tidak menyembunyikan rasa kesalku. “Masih pagi, kamu sudah cemberut. Ada apa?” tanyanya, pura-pura tidak tahu. “Kamu janji kita tidak akan tidur satu ranjang,” protesku. Dia memutar bola matanya. “Aku sudah menendang kamu keluar, kamu sendiri yang tidak mau jalan ke kamarmu yang hanya berjarak

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-03
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   6|Menikahi Dia

    ~Galang~ Wanita yang duduk di depanku bukanlah orang yang baru aku kenal dalam beberapa jam. Aku sudah mengenal dia selama dua puluh lima tahun. Aku adalah seniornya di SMU, sedangkan dia anak baru yang tidak gentar melawan aku pada masa orientasi sekolah. Kami yang semula musuh bebuyutan terpaksa berbaikan, karena sebuah kecelakaan yang membuat kepala sekolah berang. Uniknya, kami justru menjadi teman baik sejak saat itu. Sayangnya, aku tidak tinggal di sekolah itu untuk waktu lama. Walaupun aku kuliah, kami tetap berteman sampai bertemu lagi di kampus yang sama. Dia menolak lamaranku, tetapi aku belum mau menyerah. Masa tidak ada satu hal pun yang bisa membuat dia goyah? Namun ketika aku tidak berhenti menggodanya, dia mengatakannya. Dia mengucapkan kalimat yang aku tunggu-tunggu. Sebelum dia berubah pikiran, aku melamarnya di depan kedua orang tuanya. “Aku tidak percaya ini. Kamu membuat aku menunggu begitu lama hanya untuk melihat kamu menikahi perempuan yang selama ini ada di

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-23
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   7|Salah Lihat

    ~Fayola~ Matanya yang semula menatap mataku, turun perlahan lalu berhenti untuk melihat bibirku. Ketika dia kembali membalas tatapan mataku, sesuatu yang sebelumnya tidak aku temukan, aku lihat di kedua indra penglihatannya itu. Dia mendekatkan wajahnya, aku tertegun sejenak. Jantungku, anehnya, berdetak semakin liar di dadaku. Aku sampai menahan napas, takut dadaku akan menyentuh bagian depan tubuhnya. Tidak punya cara lain yang lebih jitu, aku mengantukkan kepalaku ke dahinya. “Aw!” serunya dengan suara tertahan. Aku segera mendorong tubuhnya menjauh dariku, lalu duduk. Kepalaku juga terasa sakit karena antukan itu. “Ibumu sudah pergi, mengapa kamu masih ada di atasku?” protesku dengan kesal sambil mengusap-usap keningku. “Rusak sudah krim yang baru aku oleskan. Apa kamu tidak tahu harganya mahal?” Dia tertawa kecil dan berbaring telentang di atas alas tidurnya. “Kamu sudah empat puluh tahun, Fay. Untuk apa buang uang supaya tidak keriput? Aku tidak akan meninggalkan kamu hanya

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-24
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   8|Kado Istimewa

    Walaupun kami sama-sama sedang mempertahankan pendapat kami, fokus kami tidak teralihkan. Kondisi lalu lintas tetap menjadi perhatian utama kami. Dia menginjak rem tepat pada waktunya. Namun mobil tidak sampai berhenti sehingga tidak terjadi tabrakan beruntun di belakang kami. “Pengendara bodoh! Cari mati jangan di depan mobil mahalku!” teriaknya penuh amarah. Orang yang dimaksud pergi begitu saja, merasa tidak bersalah. “Oh, Tuhan. Jantungku hampir lepas. Untung saja dia tidak mati tertabrak.” Aku mengusap-usap dadaku. Kecelakaan itu terjadi lagi. Aku tertegun sejenak sebelum menoleh ke arah Galang. Matanya terpicing sehingga nyaris membentuk dua garis lurus horizontal. “Lain kali kita naik sepeda motor saja.” Dia menggeleng pelan. Aku rasanya ingin jok itu memakan aku agar tidak perlu menghadapi dia lagi. Memalukan sekali. Aku yang sudah kentut sembarangan, aku juga yang memarahi dia paling keras. Padahal yang dia katakan benar. Seharusnya aku jujur saja dari awal. Pertengkaran t

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-25
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   9|Memanjakan Dia

    ~Galang~ Seandainya saja dia tahu berapa pendapatanku dalam satu bulan, dia tidak akan menyebut aku membuang-buang uang. Aku tidak menjawab pertanyaannya, melainkan membawa dia masuk dan menuju apartemen lewat elevator. Aku puas melihat dia terpukau kagum melihat segala yang ada di dalam apartemen kami. Memang ini tujuan aku membelinya. Lokasinya tidak jauh dari kantornya, tetapi juga tidak berada tepat di pusat kota. Aku tidak akan tahan menghadapi kemacetannya pada akhir pekan. “Kenyangnya …!” Dia bersandar pada kursinya setelah menghabiskan makanannya. “Badanku terasa remuk gara-gara Mama. Pasangan mana yang mempersiapkan pernikahan dalam waktu satu bulan saja? Aku jadi kasihan mengingat kita mendapat jadwal di gereja, karena ada pernikahan yang batal.” Aku menatapnya penuh arti. “Aku dan si bodoh itu beda kasus. Kami belum sampai pada tahap mempersiapkan pernikahan,” protesnya, memahami maksudku. “Ada apa? Kamu masih cinta dia?” tanyaku sambil lalu. “Ukh!” Dia berpura-pura mu

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-26
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   10|Tak Terduga

    ~Fayola~ Aku tidak pernah merasa begitu malu dalam hidupku. Ah, maksudku, setelah apa yang dilakukan oleh mantanku. Ini adalah hal yang tidak hanya membuat wajah memerah dan jantungku berdetak sangat cepat, tetapi aku nyaris kehilangan kata-kata. Namun mendengar sebutannya atas benda yang ada di dalam tas belanja itu, aku tertawa terbahak-bahak. Kain perca? Aku tidak tahu dia selugu itu. Kado dari Nidya dan Kemala adalah pakaian tidur wanita yang bahannya sengaja terbuka pada bagian intim, bukan kain perca. “Bisakah kamu berhenti tertawa dan minum kopimu dengan benar?” ucap Galang pada pagi harinya. Kelihatan dia masih kesal atas sikapku pada malam sebelumnya. “Aku tidak mau kamu sampai memuncratkan cairan itu lagi ke mukaku.” “Maaf. Aku tidak bisa berhenti tertawa.” Aku mengipas-ngipas wajah dengan kedua tanganku, berusaha untuk mengendalikan emosiku. Dia semakin cemberut. Aku akui bahwa dia adalah suami yang sangat baik. Saat aku keluar dari kamar tidur, roti panggang, berbagai

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-27
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   11|Bisa Cemburu

    Aku merapatkan bibirku, berusaha untuk tidak mengatakan apa pun. Dia sudah menoleransi aku yang kentut di mobilnya, maka tidak adil kalau aku marah kepadanya. Jadi, dengan berat hati, aku memalingkan wajah dan memandang ke arah kaca depan mobil. Namun bukannya berhenti dan menghargai sikap mengalahku, dia meneruskan kebiasaan joroknya itu. Aku mengepalkan tangan, menahan diri. Ini adalah mobilnya, maka dia punya hak melakukan apa pun yang dia mau. Aku tidak boleh marah. “Bisakah kamu menghentikan itu?” kataku, tidak tahan lagi. Dia mengorek hidung, lalu menyeka tangannya di bagian paha celananya. Ggrr, joroknya dia. Pakaianku bisa kena kotoran itu juga saat orang mencuci pakaian kami. Namun aku tidak mau membayangkannya. “Aku tidak menghalangi kamu kentut. Mengapa kamu marah aku mengupil?” ucapnya, tidak peduli. “Pakai tisu, Lang. Kamu meletakkannya di sana, di dasbor agar mudah kamu raih. Bukan dilap di celana kamu. Jorok, tahu, enggak?” kataku lagi. “Ini celanaku, mengapa kamu b

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-28
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   12|Proyek Rahasianya

    “Silakan masuk.” Terdengar jawaban dari balik pintu yang aku ketuk. Aku menelan ludah dengan berat, lalu membuka pintu tersebut. Galang menepati ucapannya pada saat aku dipecat lima belas tahun yang lalu. Dia membantu aku mencari informasi dari seluruh teman-temannya mengenai lowongan pekerjaan untuk desainer grafis. Hanya satu minggu menganggur, aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tentu saja setelah melewati seleksi yang ketat. Aku sangat menyukai tempat ini dan lingkungannya. Para karyawan sangat akrab dan mau bekerja sama dengan baik. Iya, aku pernah mengalami hal yang kurang menyenangkan, tetapi itu bukan masalah. Sudah biasa di tempat yang nyaman selalu akan ada yang sengaja mengusik kedamaian. “Selamat siang, Bu,” sapaku dengan sopan. “Selamat siang, Fayola. Silakan duduk.” Aku terkejut melihat makanan yang ada di atas meja. “Ayo, duduk. Jangan berdiri saja. Aku sudah lapar.” “Ng, baik, Bu.” Aku menurut dengan duduk di kursi di depannya. Jantungku berdebar dengan cepa

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-01

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   Terima Kasih, Sahabat

    Aku, Galang, dan Fayola mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan teman-teman. Dari munculnya ide cerita pada 19 Juli 2021, sampai pertama kali diunggah di sini pada tanggal 31 Desember 2022, akhirnya tamat pada hari ini, tanggal 16 April 2023. 120 bab, 160.950 kata. Wow. (´⊙ω⊙`) Galang dan Fayola sering membuat pusing saat menyampaikan ide cerita, jadi aku yakin ada banyak kekurangan pada karya ini. Untuk itu, aku mohon maaf. Semoga aku bisa terus memperbaiki diri dan menyajikan novel yang semakin berkualitas nan menghibur pada karya berikutnya. Bila ada yang mau disampaikan langsung kepadaku, Galang, atau Fayola, silakan ke kolom komentar, ya. Pasti kami balas. ♡♡♡ Terima kasih banyak untuk setiap sumbangan gem lewat vote, komentar, dan aku masih menunggu review dari teman-teman pada “Tentang buku ini”. Jika suka dengan novel ini, bantu bagikan ke kenalan yang lain yang juga mencari bacaan bagus, ya. Uhuk. ≧ω≦ Akhir kata, sampai jumpa lagi. Sembari menunggu, silakan mampir k

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   120|Teman Ributku

    Adakah orang di sisimu ketika duniamu runtuh di hadapanmu? Orang yang memegang tanganmu dan berkata, “Semuanya akan baik-baik saja. Ada aku di sini.” Sekalipun kamu tidak percaya, kalimat sederhana itu memberi kamu sepercik harapan. Air mata mengalir tiada henti di kedua pipimu, hatimu patah tidak mudah untuk disatukan kembali, dan tubuhmu nyeri menahan sakit yang luar biasa. Namun tangan itu memberi kamu kekuatan baru untuk merangkak lagi, memulai segalanya dari bawah. Aku ada. Orang itu bukan keluargaku, bukan pula sahabat yang aku percayakan semua rahasiaku, dia adalah teman ributku, Galang. Satu-satunya orang di dunia ini yang mengetahui rahasia terdalamku. Rahasia yang bahkan tidak berani aku ungkapkan kepada ibu kandungku. Menikah dengan sahabat sendiri itu geli. Sungguh. Bayangkan saja, orang yang kamu ketahui semua jeleknya, busuknya, hingga semua kebaikannya tertutupi. Apa bisa kamu mencium dia? Kamu pasti tertawa seperti pengalaman serius pertamaku dengan Galang. Kalau se

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   119|Berganti Peran

    ~Fayola~Aku sangat mencintai suamiku, tetapi ada juga saat-saat aku membenci dia sampai ke ubun-ubun. Dalam peran kami sebagai orang tua, aku selalu menjadi antagonis, monster di mata anak-anak. Sedangkan dia, menjadi malaikat yang selalu menolong, menghibur, dan memaafkan mereka.Namun menyadari betapa pentingnya keseimbangan sebagai orang tua, aku terpaksa menuruti cara itu. Karena ada juga waktunya, akulah yang menjadi protagonisnya, sedangkan Galang yang menjadi orang jahatnya. Membesarkan anak benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan emosi.Kasihan kepada Galang yang lemas melihat kondisi sofa favoritnya, aku pun memanggil jasa untuk memperbaikinya. Untuk sementara, aku memindahkan sofa dari ruang depan ke ruang keluarga. Sebentar saja, sofanya pun jadi bagus lagi. Busa dan kainnya diganti dengan yang baru.“Jangan bilang mereka mencoret sofa lagi,” ucapnya kepadaku ketika dia menuruti anak-anak yang menarik tangannya untuk masuk ke ruang keluarga. Aku hanya tersenyum.“Kejutan

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   118|Anak Pintar

    “Apa kamu ini tidak bisa jalan dengan benar? Kamu tadi menyeret aku keluar kamar, lalu sekarang berhenti mendadak. Aku sampai tersandung. Untung saja aku tidak jatuh,” protes Fay. Aku memberi sinyal dengan mataku, dia malah memukul dadaku. “Ayo, cepat. Katanya sudah lapar, mengapa malah diam di sini?” Aku kembali melotot dan memberi tanda agar dia melihat ke arah depan kami. “Ada apa, sih? Lidah kamu terjepit?” “Jadi, ini yang dimaksud dengan naik gunung?” Mendengar kalimat itu, barulah Fay sadar dan menelan ludah dengan berat. Matanya yang semula mengantuk, terbuka lebar dan dia memasang senyum. Menginap di sini bukanlah rencanaku, jadi aku tidak mau menjawab pertanyaan itu. “Eh, anak mama ada di sini!” serunya pura-pura terkejut. “Hai, sayang! Ezio! Athena!” Dia mencium dan memeluk mereka satu per satu. “Kalian sudah rapi pakai seragam.” “Papa dan Mama benar naik gunung?” tanya Ezio lagi. Ayah dan Bunda yang berdiri di belakang mereka hanya menahan tawa. Melihat itu, aku memint

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   117|Terwujud Juga

    “Mama perginya jangan lama-lama, ya. Cepat pulang, ya, Ma,” isak Ezio.Kami bicara baik-baik semalam mengenai kepergian kami Lombok. Mereka mengerti bahwa mereka akan tinggal bersama kakek dan nenek mereka selama kami tidak di rumah. Bangun tidur, segalanya masih baik-baik saja. Barulah di dalam taksi, mereka mulai menangis.Aku dan Fay jelas panik dengan sikap mereka tersebut. Namun membatalkan kepergian kami adalah pilihan yang tidak akan aku ambil. Perjalanan ini mungkin tidak akan bisa kami lakukan lagi dalam waktu dekat. Aku mengajukan cuti bukan untuk bersantai di rumah saja.“Papa janji akan pulang hari Rabu, jangan bohong, ya, Pa,” tangis Athena.Aku dan istriku saling bertukar pandang. “Sayang, kami pasti kembali hari Rabu. Kalian berjanji akan bersikap baik. Mana janjinya? Mengapa kalian malah menangis?” ucap Fay.“Jangan khawatir. Mereka akan baik-baik saja,” kata Bunda, menengahi. “Pergilah. Taksi sudah datang. Jangan sampai kalian terlambat sampai di bandara.”“Baik, Bund

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   116|Membahagiakan Dia

    ~Galang~ Walau aku sangat marah kepada wanita perusak rumah tangga orang itu, aku bersyukur aku dalam keadaan tidak sadar ketika dia meniduri aku. Jadi, aku tidak mengingat apa pun yang terjadi di kamar hotel pada malam itu, yang menolong aku lebih cepat memaafkan diriku sendiri. Aku hanya mengenal tubuh istriku, setiap sentinya. Hanya wajahnya yang pernah aku lihat dalam keadaan paling intim. Yang paling penting, dia saja wanita yang aku inginkan. Aku merasa bersalah meski aku tidak ingat kejadian bersama Trici, tetapi aku akan membayarnya seumur hidupku dengan membuat istriku lebih bahagia dari sebelumnya. Membawa bunga setiap hari itu adalah salah satu contoh yang aku tahu akan membuat dia bahagia. Kalau dia melarang, maka aku menurutinya. Aku mau dia bahagia saat aku memberinya sesuatu, bukan merasa tidak enak. “Kamu pasti tidak sadar kita genap menikah selama empat bulan kemarin,” tebakku. Dia melihat aku dan tanganku yang ada di belakang tubuhku secara bergantian. “Kamu tahu

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   115|Selalu Mengecewakan

    Aku hanya bisa menundukkan kepala dan pasrah dengan air mata yang tidak bisa aku kendalikan terus mengalir turun membasahi wajahku. Aku mendadak merasa kecut, karena yang selalu aku sampaikan kepada mereka adalah berita buruk. Mengapa tidak bisa satu kali saja, aku memberikan kabar baik kepada keluargaku? Aku mau melihat mereka tertawa dan bersorak bahagia seperti saat Amara menyampaikan kabar kehamilannya. Oh, Tuhan. Mengapa aku selalu menjadi pembawa kabar buruk dalam keluargaku? Sudah pasti mereka akan kecewa mendengar pengakuanku. Aku bukan hanya merusak suasana, aku juga akan menghancurkan kebahagiaan adikku. Seharusnya hari ini adalah hari bahagia bagi kami semua. Seandainya saja aku tidak mengundur hal ini …. “Lebih dari lima belas tahun yang lalu, aku keguguran dan harus menjalani operasi. Tetapi dokter menemukan adanya fibroid atau tumor yang tumbuh di sekitar rahim yang berukuran sangat besar. Aku sendirian dan harus memberikan keputusan segera.” Aku memejamkan mataku. “K

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   114|Masih Berharap

    Aku tidak tahu harus melakukan apa, jadi aku menunggu mereka yang bergerak lebih dahulu. Sudah beberapa minggu ini hubungan kami sedang tidak enak. Jadi, mau tidak mau aku merasa canggung harus bersikap bagaimana.“Semoga kalian tidak keberatan aku mengajak mereka juga.” Bunda menoleh ke arahku. “Papa dan mamamu memaksa ingin ikut, jadi kami tadi menjemput mereka sebelum datang ke sini.”“Kami tidak keberatan, Bunda,” kataku dan Galang secara bersamaan.Ezio dan Athena bergantian memeluk Ayah dan Bunda, lalu mereka menatap ragu kepada Papa dan Mama. Cinta pertamaku itu yang lebih dahulu mendekat dan memeluk kedua anak tersebut. Mama pun melakukan hal yang sama.Aku tersenyum saat Galang merangkul bahuku, lalu mencium pelipisku. “Aku akan membeli tiket untuk kita,” bisiknya. Aku mengangguk.Anak-anak berjalan sambil menggandeng tangan Ayah dan Bunda, Papa mengikuti Galang menuju loket, sedangkan Mama mendekati aku. Dia memeluk aku, menghangatkan hatiku. Lega rasanya, kami sudah berbaik

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   113|Membutuhkan Kamu

    “Bisakah kalian pelan sedikit?” keluhku, melihat keempat makhluk tukang pamer itu berlari santai di depanku. Bukannya memperlambat lari mereka, ketiganya malah tertawa mengejek aku. Lala bahkan menyalak senang.Mereka bertiga bekerja sama agar aku bangun subuh dan ikut joging. Kalau bukan karena aku penasaran ingin mendaki Gunung Rinjani, aku tidak akan melakukan ini. Seandainya anak-anak sedikit lebih besar, pasti menyenangkan bisa pergi dengan mereka juga.Setelah joging, aku menolong Athena untuk mandi dan berganti pakaian di kamarnya, sedangkan Galang membantu Ezio. Barulah aku menuju kamar mandi di kamar tidur kami. Namun suamiku bergabung dan ikut mandi bersamaku.“Tidak, Lang. Kita bisa terlambat,” tolakku saat dia mengajak bercinta. Aku sangat menginginkan dia setelah berhari-hari puasa, tetapi kami tidak punya waktu untuk melakukan ini.“Kamu bilang kamu membutuhkan aku,” katanya, mengingatkan.“Semalam, bukan pagi ini,” ralatku.“Sayang sekali, aku selalu membutuhkan kamu se

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status