Share

2|Semoga Bahagia

Author: Meina H.
last update Last Updated: 2022-12-31 23:36:26

Para tenaga medis bergerak sangat lambat memeriksa kondisiku. Rasanya aku sudah berbaring berjam-jam, tetapi mereka tidak juga datang menangani rasa sakitku. Ketika aku akhirnya didatangi seorang dokter, barulah aku merasa sedikit tenang.

“Segera pindahkan dia ke ruang operasi,” kata dokter itu memberi perintah. Ruang operasi?

“Apa yang terjadi, Dokter? Bayi saya baik-baik saja, ‘kan?” tanyaku panik. Dia menatap aku dengan prihatin. Aku tahu sebuah berita buruk tanpa perlu dijelaskan dengan kata-kata.

Jiwaku mati ketika bangun dalam sebuah kamar rawat seorang diri, tanpa keluarga dan teman. Ruangan serba putih itu terasa sepi meskipun banyak pasien lain yang berada di kamar yang sama, hanya berbeda bilik. Ponselku terus bergetar, maka aku mengalah dan menyentuh tombol hijau.

“Mengapa kamu tidak menjawab ponselmu dari tadi!? Aku pikir kamu sudah mati!” teriak Galang, memarahi aku dengan nada panik. “Kamu ada di mana? Aku sudah bilang aku akan menjemput dari tempat kerja!”

“Di rumah sakit,” jawabku lemah. Dia terdiam, tidak segera merespons.

“Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan lembut. Aku menggumam. “Rumah sakit mana?”

Karena bangsal ini khusus pasien spesialis kandungan, aku mengerti mengapa mereka menatap aku dengan prihatin. Suster juga pasti sudah memberi tahu alasan aku berada di sini. Syukurlah, operasi yang dimaksudkan hanya sebentar, tetapi dampaknya seumur hidupku.

Galang tiba beberapa menit kemudian dengan wajah khawatir. Aku yakin mukaku sepucat mukanya. Dia duduk di kursi di sisi ranjang dan tidak mengatakan apa pun. Dia pasti sudah tahu apa yang aku alami. Aku tersenyum saat dia memegang tanganku.

“Jangan beri tahu orang tuaku atau siapa pun mengenai ini.” Dia membuka mulut ingin bicara. “Aku mohon. Aku sudah kehilangan segalanya, aku tidak mau kehilangan mamaku juga.”

Dia memejamkan mata, lalu menarik napas panjang. Selama kami berteman, dia mengetahui banyak rahasiaku, walau tidak melebihi yang diketahui Sonya. Aku tahu yang aku lakukan ini jahat, tetapi kepada siapa lagi aku memercayakan rahasia besarku ini?

“Kita naik gunung besok. Jadi, orang tuamu tidak akan curiga bila kamu tidak pulang malam ini,” gumamnya. Aku tersenyum tipis. “Kamu tidak bisa melarang aku untuk membunuhnya sekarang.”

“Kalau kamu mau dipenjara selama dua puluh tahun dan membiarkan aku sendiri selama itu, silakan.” Dia diam mendengar kalimatku itu. Maka aku pun tidak bicara lagi.

Lima hari dirawat di rumah sakit, aku menginap selama satu malam di hotel. Orang tuaku akan curiga jika aku pulang lebih cepat dari rencana. Pulang ke rumah, aku bersikap seperti biasanya. Mereka memeluk aku, menghibur karena mereka sudah tahu Doddy akan menikah.

Aku berangkat kerja pada hari Senin pagi agar mereka tidak curiga aku telah dipecat. Sudah cukup pandangan kasihan yang mereka tujukan kepadaku. Jangan sampai bertambah lagi hanya karena aku sekarang seorang pengangguran. Aku masih punya harga diri. Lagi pula, pekerjaan masih bisa dicari.

“Sudah aku duga. Aku pasti akan menemukan kamu di sini.” Seorang wanita duduk di kursi kosong di depanku dengan santai. “Jus jeruk saja satu. Minuman yang aman untuk bayiku.” Dia melirik aku saat mengatakan kalimat itu.

“Baik. Mohon tunggu sebentar, Bu.” Pelayan yang mengantarnya meninggalkan kami.

“Wah, karyawan panutan akhirnya dipecat juga,” ejeknya melihat catatan di depanku. “Kamu tidak curiga mengapa mereka memecat kamu?”

Aku mengangkat kepala dari layar ponsel dan menatapnya. Tidak mungkin. Dia tersenyum bahagia cukup menjadi jawaban atas kecurigaanku itu. Dia adalah sahabatku yang sangat baik. Sama seperti Galang yang selalu ada untukku dan aku untuknya. Mengapa dia jadi begini?

“Menjadi tunangan Doddy sangat menguntungkan. Dia punya kekuasaan yang tidak terbatas. Aku hanya perlu sedikit merengek, dia mengabulkan apa pun yang aku minta. Cukup satu kata, orang mau melakukan apa saja untuknya.” Dia tertawa kecil sambil menatap cincin pertunangannya.

“Haah, Yola. Kamu sudah menyia-nyiakan kekuasaan yang bisa kamu dapatkan lewat dia. Kamu selalu membuat aku geregetan dengan sikap naifmu. Lihat aku. Semua yang menghalangi jalanku dengan mudah bisa aku singkirkan.” Dia mengangkat dagunya dengan sombong.

“Kalian sudah lama bersama, tetapi kamu tidak hamil juga.” Tangannya mengelus perutnya yang masih rata. “Doddy kini mengerti. Hanya aku yang bisa membuat dia bahagia.”

Dadaku sesak mendengar semua hinaan itu, tetapi aku menahan diri. Aku tidak mau menjadi rendah sama seperti dia. Aku memikirkan setiap kata yang akan aku ucapkan. Doddy memang pacarku, ah, mantan pacarku. Namun aku tidak mau menunjukkan kepadanya bahwa pria itu masih punya arti.

“Lakukan saja apa yang kamu mau, Sonya. Jika masih ada lagi yang kamu inginkan, lakukanlah. Kamu sudah merebut pacarku, pekerjaanku, silakan kalau kamu mau mengambil Galang dan keluargaku juga. Ambil nyawaku bila kamu belum puas,” kataku, menantangnya.

“Galang? Aku tidak akan mengambil laki-laki miskin begitu darimu. Untuk apa?” Dia tertawa gugup. “Keluargamu bukan urusanku. Aku punya keluarga yang jauh lebih baik darimu. Ibuku tidak kolot seperti ibumu yang akan memarahi kamu kalau tahu kamu tidur dengan laki-laki di luar nikah. Atau ayahmu yang memanfaatkan relasinya dengan ayah Doddy dengan meminjam modal usaha.”

Aku memasukkan buku, peralatan menulis, dan ponsel ke tas, lalu meletakkan selembar uang kertas berwarna merah di atas meja. Ada banyak hal yang bisa aku lakukan selain bicara dengannya. Mulai dari hari ini, aku perlu mencari kafe baru sebagai tempat pelarianku.

“Semoga bahagia dengan Doddy dan anak kalian. Selamat menikmati laki-laki bekasku,” kataku sambil tersenyum tulus.

“Berengsek!” Dia segera berdiri menyebabkan bunyi meja dan kursinya yang bergeser memenuhi ruangan. Orang-orang dari meja lain menoleh ke arah kami. “Dia bukan bekasmu! Fayola! Jangan pergi! Kamu akan menyesal sudah berani melawan aku! Aarrgghhh!”

Aku benar-benar terkejut. Sonya yang aku kenal bisa sejahat itu. Siapa Sonya yang selama ini telah menjadi sahabat baikku? Kami adalah teman sebangku sejak SMU. Apa yang telah terjadi selama sepuluh tahun kami bersama? Apakah dia hanya berpura-pura menjadi temanku?

Melihat Galang memasuki areal parkir kafe, aku menghindar saat dia berhenti di dekatku. Bila Sonya tega mengkhianati aku, mungkinkah Galang juga tidak tulus berteman denganku? Apa yang terjadi? Bagaimana aku bisa salah memilih kekasih dan sahabat?

“Fay! Apa-apaan kamu ini?” Dia mengejar, lalu meraih tanganku sehingga aku terpaksa berhenti. “Kamu sedang sakit. Mengapa kamu malah tidak ada di rumah?”

“Orang tuaku tidak tahu aku dipecat,” akuku dengan jujur.

“Apa? Kamu dipecat? Atas alasan apa?” tanyanya terkejut.

Aku tidak sempat memberi tahu dia karena sedang dirawat di rumah sakit. Tidak ada hal lain yang aku pikirkan selain kehilangan besar itu. Walaupun berhari-hari dia setia menemani aku sepulang kerja, kami sama sekali tidak bicara.

“Mengapa kamu tidak bilang? Aku bisa membantu kamu,” katanya dengan lembut.

“Membantu aku? Apa kamu pikir aku tidak bisa mencari pekerjaan sendiri?’ ucapku ketus.

“Apa salahnya aku membantu teman?” tanyanya bingung.

“Sekarang kamu membantu, lalu kamu akan ungkit-ungkit hal itu sampai aku mati.”

“Hei, sebentar. Apa kamu pikir aku sepicik Sonya? Aku teman suka dukamu, tidak ada pamrih atau syarat. Jangan samakan aku dengan pengkhianat itu,” ujarnya tersinggung. “Ayo, pulang. Kamu jadi tidak waras gara-gara belum pulih.”

Aku tidak melawan lagi dan mengikuti dia mendekati sepeda motornya. Dadaku mendadak terasa sesak, aku tidak bermaksud bicara kasar kepadanya. Dia mendesah pelan melihat air mataku. Aku semakin kesulitan untuk berhenti menangis. Dasar lemah!

“Wah, wah. Mesra sekali,” kata Sonya yang masih belum mengerti juga. “Doddy selalu curiga kalian berdua berselingkuh di belakangnya. Melihat ini, dugaannya itu benar.”

Galang memasang helm di kepalaku, lalu menaiki sepeda motornya. Dia membantu aku menaiki kendaraan itu, lalu menstarternya. Aku memeluk sahabatku dari belakang dan hanya diam melihat Sonya tersenyum sinis. Aku tidak peduli apa yang dia pikirkan tentang kami.

Air mataku akhirnya kering. Hatiku masih sakit setiap mendengar namanya, apalagi Mama tidak berhenti memaki dan mengutukinya. Namun aku tidak menangis lagi untuknya, walau jauh di lubuk hati, aku masih berharap kami bisa kembali bersama.

“Kamu sudah gila,” kata Galang yang ada di sisiku. Kami duduk di barisan paling belakang gereja, menyaksikan Doddy dan Sonya mengucapkan sumpah setia mereka.

“Aku mau melihat langsung dua orang bau busuk itu menikah. Aku tidak akan membiarkan mereka bahagia di atas penderitaanku. Mereka pasti terkejut melihat aku berani hadir di sini,” ucapku.

“Masalahnya, untuk apa aku ikut juga?” protesnya. Dia melihat ke sekeliling kami yang dipadati dengan tamu undangan. Orang tua Doddy adalah orang yang terpandang, jadi aku tidak heran.

Di mata semua orang, mereka adalah pasangan yang serasi. Doddy yang tinggi dan tampan, berasal dari keluarga yang berada dan disegani, menyelesaikan pendidikan di kampus bergengsi di luar negeri, bersanding dengan Sonya. Wanita itu juga bertubuh tinggi dan cantik, serta kaya raya.

“Kamu temanku atau bukan? Bagaimana kalau aku mendadak pingsan? Kamu tidak mau menolong?” tantangku, mengingatkan semua janjinya kepadaku. Dia mengomel sendiri.

Sekali berkhianat, selamanya akan berkhianat. Doddy sudah melakukan hal bodoh dengan memilih perempuan itu menjadi istrinya. Lihat saja, aku akan hidup lebih baik dari mereka. Rasa sakit ini akan selalu aku ingat.

Tidak sudi makan dari uang haram mereka, aku mengajak Galang makan di kafe yang kini menjadi tempat favoritku. Aku memesan banyak makanan dan minuman untukku sendiri. Dia malah hanya memesan satu paket menu. Aneh. Biasanya dia makan lebih banyak dariku.

“Ada apa? Kamu tidak selera makan setelah melihat pernikahan tadi?” ejekku. Wajahnya semakin serius. Ketika dia tiba-tiba berdiri, lalu berlutut di dekatku, jantungku berdebar dengan cepat.

“Galang?” tanyaku dengan bingung. Apa yang sedang dia lakukan? Oh, Tuhan. Jangan-jangan—

Meina H.

Terima kasih sudah membaca~ Jika menyukai cerita ini, bantu vote dan beri review di "Tentang buku ini", ya. ♡ Aku sangat menghargai dukungan teman-teman.

| 4

Related chapters

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   3|Lamaran Gila

    ~Lima belas tahun kemudian~“Ayo, kita menikah,” ajak Galang dengan serius.Aku memuncratkan kopi yang belum sempat aku teguk. “Fay! Kamu ini jorok amat!” pekiknya kesal. Cairan hitam pekat itu membasahi wajah arogannya. Biar tahu rasa. Bicara tidak pakai otak, apa dia pikir aku suka dengan candaannya tadi?“Mamamu mendesak kamu untuk menikah, apa hubungannya denganku? Ada banyak perempuan di kafe ini, kamu pilih saja satu.” Aku mengusap bibirku yang basah dengan tisu.“Bukannya mamamu juga memaksa kamu untuk menikah secepat mungkin?” ejeknya, tidak mau kalah. Aku menahan tawa melihat wajahnya masih basah dengan kopi. “Kita sama-sama sudah empat puluh tahun, tetapi mereka masih saja berisik seperti kaset rusak. Tidak sabar amat.”Aku juga capai mendengar omelan dan desakan Mama. Setiap hari pasti ada saja omongannya yang mengarah ke sana. Namun bukan berarti aku akan menyerah begitu saja. Sama seperti wanita lain, aku juga mau membina rumah tanggaku sendiri, tetapi aku belum siap.“Ka

    Last Updated : 2023-01-03
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   4|Menjilat Ludah

    Mama sudah gila. Nenek juga sudah kehilangan akal. Kalau menyukai seorang pria, mengapa tidak dia saja yang menikah dengannya? Mengapa malah aku yang harus dikorbankan? Katanya, aku diberi waktu sampai sore ini untuk membawa calon suamiku. Mengapa pria itu datang saat makan siang?Duh, aku sudah lapar. Gara-gara Nenek, aku tidak bisa masuk ke rumahku sendiri. Demi menghindari pertanyaan orang mengenai statusku yang tidak juga berubah, aku beribadah di gereja lain. Kalau tahu begini, aku makan dahulu baru pulang.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Aku melompat terkejut mendengar suara itu.“Galang! Dasar bodoh!” pekikku dengan suara tertahan. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Aku pasti sibuk dengan pikiran sendiri sampai tidak mendengar bunyi mesin motornya.“Kamu pasti belum aktifkan ponselmu sejak pagi tadi.” Dia mengangkat salah satu alis matanya. “Siapa yang datang? Ini bukan mobil keluargamu. Aku rencananya mau ajak kamu makan siang—”“Ayo!” Aku segera menerimanya.Dia membawa aku ke

    Last Updated : 2023-01-03
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   5|Bertemu Lagi

    “Lombok?” pekikku senang saat melihat tujuan penerbangan kami di layar. “Kita belum bisa naik gunungnya sekarang, tetapi kamu pasti mau melihatnya dari jauh, ‘kan?” ucapnya sambil memberikan ponsel dan kedua kartu identitas kami kepada wanita di konter. “Ini bulan madu yang terbaik, Lang!” kataku bahagia. Kami tidur selama dalam penerbangan, jadi kami bangun dalam keadaan segar. Walaupun tubuh kami sangat lelah, kami berhasil mencapai pintu kamar hotel. Tidak peduli dengan pakaian yang belum kami ganti, gigi yang belum disikat, kami tidur di ranjang besar itu bersama. Lalu pada pagi harinya aku teringat dengan janjinya. Dia keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan rambut lembap. Aku tidak menyembunyikan rasa kesalku. “Masih pagi, kamu sudah cemberut. Ada apa?” tanyanya, pura-pura tidak tahu. “Kamu janji kita tidak akan tidur satu ranjang,” protesku. Dia memutar bola matanya. “Aku sudah menendang kamu keluar, kamu sendiri yang tidak mau jalan ke kamarmu yang hanya berjarak

    Last Updated : 2023-01-03
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   6|Menikahi Dia

    ~Galang~ Wanita yang duduk di depanku bukanlah orang yang baru aku kenal dalam beberapa jam. Aku sudah mengenal dia selama dua puluh lima tahun. Aku adalah seniornya di SMU, sedangkan dia anak baru yang tidak gentar melawan aku pada masa orientasi sekolah. Kami yang semula musuh bebuyutan terpaksa berbaikan, karena sebuah kecelakaan yang membuat kepala sekolah berang. Uniknya, kami justru menjadi teman baik sejak saat itu. Sayangnya, aku tidak tinggal di sekolah itu untuk waktu lama. Walaupun aku kuliah, kami tetap berteman sampai bertemu lagi di kampus yang sama. Dia menolak lamaranku, tetapi aku belum mau menyerah. Masa tidak ada satu hal pun yang bisa membuat dia goyah? Namun ketika aku tidak berhenti menggodanya, dia mengatakannya. Dia mengucapkan kalimat yang aku tunggu-tunggu. Sebelum dia berubah pikiran, aku melamarnya di depan kedua orang tuanya. “Aku tidak percaya ini. Kamu membuat aku menunggu begitu lama hanya untuk melihat kamu menikahi perempuan yang selama ini ada di

    Last Updated : 2023-02-23
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   7|Salah Lihat

    ~Fayola~ Matanya yang semula menatap mataku, turun perlahan lalu berhenti untuk melihat bibirku. Ketika dia kembali membalas tatapan mataku, sesuatu yang sebelumnya tidak aku temukan, aku lihat di kedua indra penglihatannya itu. Dia mendekatkan wajahnya, aku tertegun sejenak. Jantungku, anehnya, berdetak semakin liar di dadaku. Aku sampai menahan napas, takut dadaku akan menyentuh bagian depan tubuhnya. Tidak punya cara lain yang lebih jitu, aku mengantukkan kepalaku ke dahinya. “Aw!” serunya dengan suara tertahan. Aku segera mendorong tubuhnya menjauh dariku, lalu duduk. Kepalaku juga terasa sakit karena antukan itu. “Ibumu sudah pergi, mengapa kamu masih ada di atasku?” protesku dengan kesal sambil mengusap-usap keningku. “Rusak sudah krim yang baru aku oleskan. Apa kamu tidak tahu harganya mahal?” Dia tertawa kecil dan berbaring telentang di atas alas tidurnya. “Kamu sudah empat puluh tahun, Fay. Untuk apa buang uang supaya tidak keriput? Aku tidak akan meninggalkan kamu hanya

    Last Updated : 2023-02-24
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   8|Kado Istimewa

    Walaupun kami sama-sama sedang mempertahankan pendapat kami, fokus kami tidak teralihkan. Kondisi lalu lintas tetap menjadi perhatian utama kami. Dia menginjak rem tepat pada waktunya. Namun mobil tidak sampai berhenti sehingga tidak terjadi tabrakan beruntun di belakang kami. “Pengendara bodoh! Cari mati jangan di depan mobil mahalku!” teriaknya penuh amarah. Orang yang dimaksud pergi begitu saja, merasa tidak bersalah. “Oh, Tuhan. Jantungku hampir lepas. Untung saja dia tidak mati tertabrak.” Aku mengusap-usap dadaku. Kecelakaan itu terjadi lagi. Aku tertegun sejenak sebelum menoleh ke arah Galang. Matanya terpicing sehingga nyaris membentuk dua garis lurus horizontal. “Lain kali kita naik sepeda motor saja.” Dia menggeleng pelan. Aku rasanya ingin jok itu memakan aku agar tidak perlu menghadapi dia lagi. Memalukan sekali. Aku yang sudah kentut sembarangan, aku juga yang memarahi dia paling keras. Padahal yang dia katakan benar. Seharusnya aku jujur saja dari awal. Pertengkaran t

    Last Updated : 2023-02-25
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   9|Memanjakan Dia

    ~Galang~ Seandainya saja dia tahu berapa pendapatanku dalam satu bulan, dia tidak akan menyebut aku membuang-buang uang. Aku tidak menjawab pertanyaannya, melainkan membawa dia masuk dan menuju apartemen lewat elevator. Aku puas melihat dia terpukau kagum melihat segala yang ada di dalam apartemen kami. Memang ini tujuan aku membelinya. Lokasinya tidak jauh dari kantornya, tetapi juga tidak berada tepat di pusat kota. Aku tidak akan tahan menghadapi kemacetannya pada akhir pekan. “Kenyangnya …!” Dia bersandar pada kursinya setelah menghabiskan makanannya. “Badanku terasa remuk gara-gara Mama. Pasangan mana yang mempersiapkan pernikahan dalam waktu satu bulan saja? Aku jadi kasihan mengingat kita mendapat jadwal di gereja, karena ada pernikahan yang batal.” Aku menatapnya penuh arti. “Aku dan si bodoh itu beda kasus. Kami belum sampai pada tahap mempersiapkan pernikahan,” protesnya, memahami maksudku. “Ada apa? Kamu masih cinta dia?” tanyaku sambil lalu. “Ukh!” Dia berpura-pura mu

    Last Updated : 2023-02-26
  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   10|Tak Terduga

    ~Fayola~ Aku tidak pernah merasa begitu malu dalam hidupku. Ah, maksudku, setelah apa yang dilakukan oleh mantanku. Ini adalah hal yang tidak hanya membuat wajah memerah dan jantungku berdetak sangat cepat, tetapi aku nyaris kehilangan kata-kata. Namun mendengar sebutannya atas benda yang ada di dalam tas belanja itu, aku tertawa terbahak-bahak. Kain perca? Aku tidak tahu dia selugu itu. Kado dari Nidya dan Kemala adalah pakaian tidur wanita yang bahannya sengaja terbuka pada bagian intim, bukan kain perca. “Bisakah kamu berhenti tertawa dan minum kopimu dengan benar?” ucap Galang pada pagi harinya. Kelihatan dia masih kesal atas sikapku pada malam sebelumnya. “Aku tidak mau kamu sampai memuncratkan cairan itu lagi ke mukaku.” “Maaf. Aku tidak bisa berhenti tertawa.” Aku mengipas-ngipas wajah dengan kedua tanganku, berusaha untuk mengendalikan emosiku. Dia semakin cemberut. Aku akui bahwa dia adalah suami yang sangat baik. Saat aku keluar dari kamar tidur, roti panggang, berbagai

    Last Updated : 2023-02-27

Latest chapter

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   Terima Kasih, Sahabat

    Aku, Galang, dan Fayola mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan teman-teman. Dari munculnya ide cerita pada 19 Juli 2021, sampai pertama kali diunggah di sini pada tanggal 31 Desember 2022, akhirnya tamat pada hari ini, tanggal 16 April 2023. 120 bab, 160.950 kata. Wow. (´⊙ω⊙`) Galang dan Fayola sering membuat pusing saat menyampaikan ide cerita, jadi aku yakin ada banyak kekurangan pada karya ini. Untuk itu, aku mohon maaf. Semoga aku bisa terus memperbaiki diri dan menyajikan novel yang semakin berkualitas nan menghibur pada karya berikutnya. Bila ada yang mau disampaikan langsung kepadaku, Galang, atau Fayola, silakan ke kolom komentar, ya. Pasti kami balas. ♡♡♡ Terima kasih banyak untuk setiap sumbangan gem lewat vote, komentar, dan aku masih menunggu review dari teman-teman pada “Tentang buku ini”. Jika suka dengan novel ini, bantu bagikan ke kenalan yang lain yang juga mencari bacaan bagus, ya. Uhuk. ≧ω≦ Akhir kata, sampai jumpa lagi. Sembari menunggu, silakan mampir k

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   120|Teman Ributku

    Adakah orang di sisimu ketika duniamu runtuh di hadapanmu? Orang yang memegang tanganmu dan berkata, “Semuanya akan baik-baik saja. Ada aku di sini.” Sekalipun kamu tidak percaya, kalimat sederhana itu memberi kamu sepercik harapan. Air mata mengalir tiada henti di kedua pipimu, hatimu patah tidak mudah untuk disatukan kembali, dan tubuhmu nyeri menahan sakit yang luar biasa. Namun tangan itu memberi kamu kekuatan baru untuk merangkak lagi, memulai segalanya dari bawah. Aku ada. Orang itu bukan keluargaku, bukan pula sahabat yang aku percayakan semua rahasiaku, dia adalah teman ributku, Galang. Satu-satunya orang di dunia ini yang mengetahui rahasia terdalamku. Rahasia yang bahkan tidak berani aku ungkapkan kepada ibu kandungku. Menikah dengan sahabat sendiri itu geli. Sungguh. Bayangkan saja, orang yang kamu ketahui semua jeleknya, busuknya, hingga semua kebaikannya tertutupi. Apa bisa kamu mencium dia? Kamu pasti tertawa seperti pengalaman serius pertamaku dengan Galang. Kalau se

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   119|Berganti Peran

    ~Fayola~Aku sangat mencintai suamiku, tetapi ada juga saat-saat aku membenci dia sampai ke ubun-ubun. Dalam peran kami sebagai orang tua, aku selalu menjadi antagonis, monster di mata anak-anak. Sedangkan dia, menjadi malaikat yang selalu menolong, menghibur, dan memaafkan mereka.Namun menyadari betapa pentingnya keseimbangan sebagai orang tua, aku terpaksa menuruti cara itu. Karena ada juga waktunya, akulah yang menjadi protagonisnya, sedangkan Galang yang menjadi orang jahatnya. Membesarkan anak benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan emosi.Kasihan kepada Galang yang lemas melihat kondisi sofa favoritnya, aku pun memanggil jasa untuk memperbaikinya. Untuk sementara, aku memindahkan sofa dari ruang depan ke ruang keluarga. Sebentar saja, sofanya pun jadi bagus lagi. Busa dan kainnya diganti dengan yang baru.“Jangan bilang mereka mencoret sofa lagi,” ucapnya kepadaku ketika dia menuruti anak-anak yang menarik tangannya untuk masuk ke ruang keluarga. Aku hanya tersenyum.“Kejutan

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   118|Anak Pintar

    “Apa kamu ini tidak bisa jalan dengan benar? Kamu tadi menyeret aku keluar kamar, lalu sekarang berhenti mendadak. Aku sampai tersandung. Untung saja aku tidak jatuh,” protes Fay. Aku memberi sinyal dengan mataku, dia malah memukul dadaku. “Ayo, cepat. Katanya sudah lapar, mengapa malah diam di sini?” Aku kembali melotot dan memberi tanda agar dia melihat ke arah depan kami. “Ada apa, sih? Lidah kamu terjepit?” “Jadi, ini yang dimaksud dengan naik gunung?” Mendengar kalimat itu, barulah Fay sadar dan menelan ludah dengan berat. Matanya yang semula mengantuk, terbuka lebar dan dia memasang senyum. Menginap di sini bukanlah rencanaku, jadi aku tidak mau menjawab pertanyaan itu. “Eh, anak mama ada di sini!” serunya pura-pura terkejut. “Hai, sayang! Ezio! Athena!” Dia mencium dan memeluk mereka satu per satu. “Kalian sudah rapi pakai seragam.” “Papa dan Mama benar naik gunung?” tanya Ezio lagi. Ayah dan Bunda yang berdiri di belakang mereka hanya menahan tawa. Melihat itu, aku memint

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   117|Terwujud Juga

    “Mama perginya jangan lama-lama, ya. Cepat pulang, ya, Ma,” isak Ezio.Kami bicara baik-baik semalam mengenai kepergian kami Lombok. Mereka mengerti bahwa mereka akan tinggal bersama kakek dan nenek mereka selama kami tidak di rumah. Bangun tidur, segalanya masih baik-baik saja. Barulah di dalam taksi, mereka mulai menangis.Aku dan Fay jelas panik dengan sikap mereka tersebut. Namun membatalkan kepergian kami adalah pilihan yang tidak akan aku ambil. Perjalanan ini mungkin tidak akan bisa kami lakukan lagi dalam waktu dekat. Aku mengajukan cuti bukan untuk bersantai di rumah saja.“Papa janji akan pulang hari Rabu, jangan bohong, ya, Pa,” tangis Athena.Aku dan istriku saling bertukar pandang. “Sayang, kami pasti kembali hari Rabu. Kalian berjanji akan bersikap baik. Mana janjinya? Mengapa kalian malah menangis?” ucap Fay.“Jangan khawatir. Mereka akan baik-baik saja,” kata Bunda, menengahi. “Pergilah. Taksi sudah datang. Jangan sampai kalian terlambat sampai di bandara.”“Baik, Bund

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   116|Membahagiakan Dia

    ~Galang~ Walau aku sangat marah kepada wanita perusak rumah tangga orang itu, aku bersyukur aku dalam keadaan tidak sadar ketika dia meniduri aku. Jadi, aku tidak mengingat apa pun yang terjadi di kamar hotel pada malam itu, yang menolong aku lebih cepat memaafkan diriku sendiri. Aku hanya mengenal tubuh istriku, setiap sentinya. Hanya wajahnya yang pernah aku lihat dalam keadaan paling intim. Yang paling penting, dia saja wanita yang aku inginkan. Aku merasa bersalah meski aku tidak ingat kejadian bersama Trici, tetapi aku akan membayarnya seumur hidupku dengan membuat istriku lebih bahagia dari sebelumnya. Membawa bunga setiap hari itu adalah salah satu contoh yang aku tahu akan membuat dia bahagia. Kalau dia melarang, maka aku menurutinya. Aku mau dia bahagia saat aku memberinya sesuatu, bukan merasa tidak enak. “Kamu pasti tidak sadar kita genap menikah selama empat bulan kemarin,” tebakku. Dia melihat aku dan tanganku yang ada di belakang tubuhku secara bergantian. “Kamu tahu

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   115|Selalu Mengecewakan

    Aku hanya bisa menundukkan kepala dan pasrah dengan air mata yang tidak bisa aku kendalikan terus mengalir turun membasahi wajahku. Aku mendadak merasa kecut, karena yang selalu aku sampaikan kepada mereka adalah berita buruk. Mengapa tidak bisa satu kali saja, aku memberikan kabar baik kepada keluargaku? Aku mau melihat mereka tertawa dan bersorak bahagia seperti saat Amara menyampaikan kabar kehamilannya. Oh, Tuhan. Mengapa aku selalu menjadi pembawa kabar buruk dalam keluargaku? Sudah pasti mereka akan kecewa mendengar pengakuanku. Aku bukan hanya merusak suasana, aku juga akan menghancurkan kebahagiaan adikku. Seharusnya hari ini adalah hari bahagia bagi kami semua. Seandainya saja aku tidak mengundur hal ini …. “Lebih dari lima belas tahun yang lalu, aku keguguran dan harus menjalani operasi. Tetapi dokter menemukan adanya fibroid atau tumor yang tumbuh di sekitar rahim yang berukuran sangat besar. Aku sendirian dan harus memberikan keputusan segera.” Aku memejamkan mataku. “K

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   114|Masih Berharap

    Aku tidak tahu harus melakukan apa, jadi aku menunggu mereka yang bergerak lebih dahulu. Sudah beberapa minggu ini hubungan kami sedang tidak enak. Jadi, mau tidak mau aku merasa canggung harus bersikap bagaimana.“Semoga kalian tidak keberatan aku mengajak mereka juga.” Bunda menoleh ke arahku. “Papa dan mamamu memaksa ingin ikut, jadi kami tadi menjemput mereka sebelum datang ke sini.”“Kami tidak keberatan, Bunda,” kataku dan Galang secara bersamaan.Ezio dan Athena bergantian memeluk Ayah dan Bunda, lalu mereka menatap ragu kepada Papa dan Mama. Cinta pertamaku itu yang lebih dahulu mendekat dan memeluk kedua anak tersebut. Mama pun melakukan hal yang sama.Aku tersenyum saat Galang merangkul bahuku, lalu mencium pelipisku. “Aku akan membeli tiket untuk kita,” bisiknya. Aku mengangguk.Anak-anak berjalan sambil menggandeng tangan Ayah dan Bunda, Papa mengikuti Galang menuju loket, sedangkan Mama mendekati aku. Dia memeluk aku, menghangatkan hatiku. Lega rasanya, kami sudah berbaik

  • Menjadi Istri Gadungan Sahabatku   113|Membutuhkan Kamu

    “Bisakah kalian pelan sedikit?” keluhku, melihat keempat makhluk tukang pamer itu berlari santai di depanku. Bukannya memperlambat lari mereka, ketiganya malah tertawa mengejek aku. Lala bahkan menyalak senang.Mereka bertiga bekerja sama agar aku bangun subuh dan ikut joging. Kalau bukan karena aku penasaran ingin mendaki Gunung Rinjani, aku tidak akan melakukan ini. Seandainya anak-anak sedikit lebih besar, pasti menyenangkan bisa pergi dengan mereka juga.Setelah joging, aku menolong Athena untuk mandi dan berganti pakaian di kamarnya, sedangkan Galang membantu Ezio. Barulah aku menuju kamar mandi di kamar tidur kami. Namun suamiku bergabung dan ikut mandi bersamaku.“Tidak, Lang. Kita bisa terlambat,” tolakku saat dia mengajak bercinta. Aku sangat menginginkan dia setelah berhari-hari puasa, tetapi kami tidak punya waktu untuk melakukan ini.“Kamu bilang kamu membutuhkan aku,” katanya, mengingatkan.“Semalam, bukan pagi ini,” ralatku.“Sayang sekali, aku selalu membutuhkan kamu se

DMCA.com Protection Status