Walaupun sudah sering dipilih, cerita mengenai liburan ke Bali tidak pernah mati. Mengapa orang-orang selalu ingin kembali lagi ke sana, ya? Setiap kali ada kenalan yang ke sana, mereka juga rasanya bangga sekali bisa berkunjung lagi. Bagaimana dengan teman-teman? Adakah tempat berlibur yang ingin selalu didatangi lagi? Selain tempat tidur, kamar, rumah, dan kawan-kawannya, ya. Haha .... XD Kalau itu wajib~
Cukup lama menunggu, akhirnya makanan yang kami pesan itu pun diletakkan di hadapan kami. Piring demi piring mulai memenuhi meja, diikuti dengan gelas dan botol kaca yang terlihat indah mengingat harganya yang tidak murah. Pelayan itu mempersilakan kami untuk menikmatinya setelah semuanya mereka sajikan di depan kami. Tentu saja. Kami akan sangat bahagia menyantap seluruh makanan itu. Perutku yang semula penuh kini terasa kosong karena berada di tepi pantai selama beberapa menit, melawan dinginnya angin yang bertiup. “Selamat makan!” seru kami serentak. Aku mengambil lobster terlebih dahulu. Makanan termahal dari antara yang ada di depanku. Galang juga melakukan hal yang sama. Aku menggumam pelan merasakan lezatnya makanan itu di lidahku. Pantas saja orang rela membayar mahal untuk menyantap udang laut raksasa ini. Setelah lobster, udang besar, kepiting, cumi-cumi, ikan, sayur, dan buah-buahan ludes kami makan, kami duduk dengan santai meminum anggur putih. Satu botol minuman itu t
“Aw, aw, aw!” teriaknya kesakitan.“Aku sudah mengingatkan kamu berulang kali. Boleh cium pipi, dahi, rambut, tangan di depan umum, tetapi tidak boleh mengecup area lebih dari itu, kecuali keadaan memaksa. Keadaan yang memaksa artinya ada keluarga atau orang yang sangat dekat dengan kita yang menguji keseriusan kita,” kataku sambil menjaga jarak darinya.“Yang kamu lakukan di pantai dan restoran tadi pagi di luar kedua syarat itu. Aku bisa mengerti yang kamu lakukan semalam, karena aku yang memulainya. Tidak dengan yang tadi pagi. Kamu sengaja, ya, melupakan kesepakatan kita? Ha?” tanyaku dengan geram.“Telingaku bisa putus, Fay! Lepaskan!” Dia berusaha untuk meraih tubuhku, tetapi aku menjauh.Dia tadi lengah karena berlutut memperbaiki tali sepatunya, jadi aku bisa menjewer telinganya dari belakang. Walau tangannya panjang, dia tidak bisa menjangkau aku yang berdiri di belakangnya. Aku tidak bisa membiarkan dia terus melanggar perjanjian kami.“Mengapa kamu boleh memulai, sedangkan
~Galang~ Aku tidak habis pikir apa yang ada di dalam kepala wanita yang sudah menyakiti sahabatnya sendiri itu. Fay ketinggalan ponselnya di ruang ukur, mengapa harus dia lempar sampai hancur? Apa salah istriku kepadanya sehingga dia memperlakukannya sejahat itu? Benda itu bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga berisi banyak kenangan serta berkas penting yang ada urusannya dengan pekerjaan Fay. Mengapa dia tidak mengembalikannya baik-baik atau biarkan salah satu pelayan yang memberikannya kepada istriku? Aku sudah berusaha menghindari keributan dengan memanggil istriku agar pertengkaran itu tidak memanas. Bukannya mundur dan mengurus urusannya sendiri, dia malah memancing perkelahian lagi. Untung saja dia sudah meminta maaf, atau aku akan menyebarkan perbuatannya di internet. “Mengapa kamu malah kelihatan senang kehilangan ponselmu?” tanyaku tidak mengerti. “Benda itu sudah lama perlu diganti. Aku sudah memindahkan semua berkas penting, tetapi masih sayang untuk melepasnya. Syuk
Aku maju sampai Sonya mundur, lalu menutup pintu apartemen. Dia sengaja melakukan ini. Kapan dia kembali sampai bisa melihat kedua orang tuaku sedang berada di kafe? Benar-benar pengganggu. Kami belum selesai merapikan kamarku. Ayah dan Bunda bisa tahu kami tidur di kamar terpisah.“Bunda, kita kembali ke bawah, yuk. Aku akan menemani Ayah dan Bunda,” ajakku.“Sudah. Tidak apa-apa. Kami sudah memesan makanan, tetapi biar saja pelayan yang memakannya. Kami bantu membereskan apartemen kalian biar cepat selesai. Ayo.” Bunda memegang kenop pintu dan memutarnya. Tentu saja pintu itu tidak terbuka otomatis. “Oh, iya. Lupa. Kuncinya pakai kode.”“Iya. Sebentar, ya, Bunda.” Aku menoleh ke arah Sonya yang masih berdiri di dekat kami. “Apa lagi yang kamu mau. Pergi dari sini!”“Hus. Mengapa kamu bersikap kasar kepada orang yang sudah menolong kami?” tegur Bunda.“Lo? Bunda tidak mengenal wajahnya?” Aku balik bertanya. “Ini mantan teman Fay yang sudah—” Perempuan itu bergegas pergi sebelum aku s
~Fayola~ Aku tidak menyangka orang tuanya akan datang mendadak untuk menginap di apartemen kami. Apa yang terjadi? Rasanya mustahil mereka datang tanpa tujuan tersembunyi. Namun Galang tidak mungkin terlibat. Apalagi dia sama terkejutnya melihat Ayah dan Bunda ada di lobi. Apa yang kurang dari sikap kami sehingga mereka masih curiga? Merepotkan saja. Ekon mabuk cinta dengan istrinya pada awal pernikahan mereka adalah hal yang biasa. Mereka menikah karena baru jatuh cinta. Aku dan Galang berbeda. Kami sudah lama saling mengenal. Seharusnya wajar saja sikap kami berbeda dengan layaknya pasangan suami istri yang lain. Masa mau disamakan dengan harus bermesraan dan bercumbu di depan umum, sih? “Aku tidak habis pikir dengan ulah Sonya. Apa maksudnya mengantar Ayah dan Bunda ke apartemen kita? Mengapa dia tidak sekalian memberi tahu ke seluruh dunia bahwa kita hanya berpura-pura menikah?” ucapku kesal. Aku membaringkan tubuhku di sisi Galang. “Lupakan saja. Yang penting, masalah tadi su
Melihat antrian di belakangku masih panjang, aku mencoba menarik tanganku lagi dan dia kali ini melepaskannya. Wanita yang aneh. Apa dia tidak bisa melihat kami semua tidak menyukai dia? Bagaimana bisa orang yang tidak ikut seleksi menjadi manajer baru kami?Nidya dan Mala mengajak aku bersama mereka kembali ke ruangan kami. Belum waktunya untuk bicara, jadi kami tidak mengatakan apa pun. Aku mengerjakan tugasku dan memeriksa setiap desain yang masuk dari para bawahanku.Namun aku kesulitan untuk konsentrasi bekerja. Aku membuang kopi yang sudah tidak enak itu dan membuat yang baru di dapur. Aku memilih mug yang besar agar puas meminumnya. Lalu dari antara roti yang ada, aku mengambil rasa cokelat dan membawanya ke kantorku.“Aku tidak percaya dengan yang baru terjadi tadi,” kata Nidya. Dia meletakkan baki berisi piring dan gelas di atas meja. “Kita yang susah payah mempersiapkan diri selama berhari-hari, tidak menikmati pergantian tahun sepenuhnya dengan keluarga, eh, orang yang tida
“Sebaiknya kita jangan ikut campur.” Nidya menarik tanganku agar mengikuti dia masuk ke ruang divisi kami. “Aku masih membutuhkan pekerjaanku.” Memahami maksudnya, aku menuruti dia. Kami memasuki ruang kerja masing-masing. Seperti biasa, aku berdandan sebelum jam kerja dimulai. Pesan demi pesan muncul di kotak masuk, aku pun mulai membaginya dengan rekan-rekan satu timku, pekerjaan kami untuk hari ini. Balasan dari mereka sangat mengejutkan aku. Salah satu dari mereka menuduh aku sembarangan atas sikap hati-hatiku. Yang lain menyebut aku tidak setia kawan dan meninggalkan rekan-rekannya yang sedang berjuang demi kami. Apa maksud mereka semua? Untuk meredakan keributan itu, aku memerintahkan mereka untuk berkumpul segera di ruang kerjaku. Mereka menurut dengan satu per satu masuk ke kantorku. Aku tahu siapa saja yang berada di luar, jadi aku menunggu sampai mereka yang duduk di biliknya bergabung. “Teman-teman,” kataku memulai, “aku tahu kalian kecewa dengan keputusan atasan kita. T
~Galang~Aku tidak mengerti apa yang menyebabkan dia bisa menjadi manajer di perusahaan tempat Fay bekerja. Beberapa hari yang lalu dia datang menemui aku dengan klienku. Kemudian muncul di gedung kantorku. Apa hubungan dia selanjutnya dengan perusahaan milik orang yang pernah menjadi klienku itu? Apa semua pemilik usaha yang punya divisi desain grafis adalah kenalannya?Namun aku menyampingkan hal itu dan menghibur Fay yang pasti sedang sedih. Selama kami pergi berlibur dengan keluargaku, dia telah menggunakan semua waktu luangnya untuk membaca berkas yang membosankan itu. Aku tahu dia selalu serius mengerjakan hal yang dipercayakan kepadanya.Lalu tega sekali mereka memilih orang lain di luar peserta yang mengikuti seleksi sebagai manajer. Fay bisa memimpin, bahkan dengan sangat baik karena dia orang yang tegas. Di sisi lain, dia juga bisa mengayomi anggota yang punya kekurangan. Hanya mulutnya saja yang kadang kelewatan. Hatinya baik dan mudah tersentuh.“Percayalah kepadaku. Hal y
Aku, Galang, dan Fayola mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan teman-teman. Dari munculnya ide cerita pada 19 Juli 2021, sampai pertama kali diunggah di sini pada tanggal 31 Desember 2022, akhirnya tamat pada hari ini, tanggal 16 April 2023. 120 bab, 160.950 kata. Wow. (´⊙ω⊙`) Galang dan Fayola sering membuat pusing saat menyampaikan ide cerita, jadi aku yakin ada banyak kekurangan pada karya ini. Untuk itu, aku mohon maaf. Semoga aku bisa terus memperbaiki diri dan menyajikan novel yang semakin berkualitas nan menghibur pada karya berikutnya. Bila ada yang mau disampaikan langsung kepadaku, Galang, atau Fayola, silakan ke kolom komentar, ya. Pasti kami balas. ♡♡♡ Terima kasih banyak untuk setiap sumbangan gem lewat vote, komentar, dan aku masih menunggu review dari teman-teman pada “Tentang buku ini”. Jika suka dengan novel ini, bantu bagikan ke kenalan yang lain yang juga mencari bacaan bagus, ya. Uhuk. ≧ω≦ Akhir kata, sampai jumpa lagi. Sembari menunggu, silakan mampir k
Adakah orang di sisimu ketika duniamu runtuh di hadapanmu? Orang yang memegang tanganmu dan berkata, “Semuanya akan baik-baik saja. Ada aku di sini.” Sekalipun kamu tidak percaya, kalimat sederhana itu memberi kamu sepercik harapan. Air mata mengalir tiada henti di kedua pipimu, hatimu patah tidak mudah untuk disatukan kembali, dan tubuhmu nyeri menahan sakit yang luar biasa. Namun tangan itu memberi kamu kekuatan baru untuk merangkak lagi, memulai segalanya dari bawah. Aku ada. Orang itu bukan keluargaku, bukan pula sahabat yang aku percayakan semua rahasiaku, dia adalah teman ributku, Galang. Satu-satunya orang di dunia ini yang mengetahui rahasia terdalamku. Rahasia yang bahkan tidak berani aku ungkapkan kepada ibu kandungku. Menikah dengan sahabat sendiri itu geli. Sungguh. Bayangkan saja, orang yang kamu ketahui semua jeleknya, busuknya, hingga semua kebaikannya tertutupi. Apa bisa kamu mencium dia? Kamu pasti tertawa seperti pengalaman serius pertamaku dengan Galang. Kalau se
~Fayola~Aku sangat mencintai suamiku, tetapi ada juga saat-saat aku membenci dia sampai ke ubun-ubun. Dalam peran kami sebagai orang tua, aku selalu menjadi antagonis, monster di mata anak-anak. Sedangkan dia, menjadi malaikat yang selalu menolong, menghibur, dan memaafkan mereka.Namun menyadari betapa pentingnya keseimbangan sebagai orang tua, aku terpaksa menuruti cara itu. Karena ada juga waktunya, akulah yang menjadi protagonisnya, sedangkan Galang yang menjadi orang jahatnya. Membesarkan anak benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan emosi.Kasihan kepada Galang yang lemas melihat kondisi sofa favoritnya, aku pun memanggil jasa untuk memperbaikinya. Untuk sementara, aku memindahkan sofa dari ruang depan ke ruang keluarga. Sebentar saja, sofanya pun jadi bagus lagi. Busa dan kainnya diganti dengan yang baru.“Jangan bilang mereka mencoret sofa lagi,” ucapnya kepadaku ketika dia menuruti anak-anak yang menarik tangannya untuk masuk ke ruang keluarga. Aku hanya tersenyum.“Kejutan
“Apa kamu ini tidak bisa jalan dengan benar? Kamu tadi menyeret aku keluar kamar, lalu sekarang berhenti mendadak. Aku sampai tersandung. Untung saja aku tidak jatuh,” protes Fay. Aku memberi sinyal dengan mataku, dia malah memukul dadaku. “Ayo, cepat. Katanya sudah lapar, mengapa malah diam di sini?” Aku kembali melotot dan memberi tanda agar dia melihat ke arah depan kami. “Ada apa, sih? Lidah kamu terjepit?” “Jadi, ini yang dimaksud dengan naik gunung?” Mendengar kalimat itu, barulah Fay sadar dan menelan ludah dengan berat. Matanya yang semula mengantuk, terbuka lebar dan dia memasang senyum. Menginap di sini bukanlah rencanaku, jadi aku tidak mau menjawab pertanyaan itu. “Eh, anak mama ada di sini!” serunya pura-pura terkejut. “Hai, sayang! Ezio! Athena!” Dia mencium dan memeluk mereka satu per satu. “Kalian sudah rapi pakai seragam.” “Papa dan Mama benar naik gunung?” tanya Ezio lagi. Ayah dan Bunda yang berdiri di belakang mereka hanya menahan tawa. Melihat itu, aku memint
“Mama perginya jangan lama-lama, ya. Cepat pulang, ya, Ma,” isak Ezio.Kami bicara baik-baik semalam mengenai kepergian kami Lombok. Mereka mengerti bahwa mereka akan tinggal bersama kakek dan nenek mereka selama kami tidak di rumah. Bangun tidur, segalanya masih baik-baik saja. Barulah di dalam taksi, mereka mulai menangis.Aku dan Fay jelas panik dengan sikap mereka tersebut. Namun membatalkan kepergian kami adalah pilihan yang tidak akan aku ambil. Perjalanan ini mungkin tidak akan bisa kami lakukan lagi dalam waktu dekat. Aku mengajukan cuti bukan untuk bersantai di rumah saja.“Papa janji akan pulang hari Rabu, jangan bohong, ya, Pa,” tangis Athena.Aku dan istriku saling bertukar pandang. “Sayang, kami pasti kembali hari Rabu. Kalian berjanji akan bersikap baik. Mana janjinya? Mengapa kalian malah menangis?” ucap Fay.“Jangan khawatir. Mereka akan baik-baik saja,” kata Bunda, menengahi. “Pergilah. Taksi sudah datang. Jangan sampai kalian terlambat sampai di bandara.”“Baik, Bund
~Galang~ Walau aku sangat marah kepada wanita perusak rumah tangga orang itu, aku bersyukur aku dalam keadaan tidak sadar ketika dia meniduri aku. Jadi, aku tidak mengingat apa pun yang terjadi di kamar hotel pada malam itu, yang menolong aku lebih cepat memaafkan diriku sendiri. Aku hanya mengenal tubuh istriku, setiap sentinya. Hanya wajahnya yang pernah aku lihat dalam keadaan paling intim. Yang paling penting, dia saja wanita yang aku inginkan. Aku merasa bersalah meski aku tidak ingat kejadian bersama Trici, tetapi aku akan membayarnya seumur hidupku dengan membuat istriku lebih bahagia dari sebelumnya. Membawa bunga setiap hari itu adalah salah satu contoh yang aku tahu akan membuat dia bahagia. Kalau dia melarang, maka aku menurutinya. Aku mau dia bahagia saat aku memberinya sesuatu, bukan merasa tidak enak. “Kamu pasti tidak sadar kita genap menikah selama empat bulan kemarin,” tebakku. Dia melihat aku dan tanganku yang ada di belakang tubuhku secara bergantian. “Kamu tahu
Aku hanya bisa menundukkan kepala dan pasrah dengan air mata yang tidak bisa aku kendalikan terus mengalir turun membasahi wajahku. Aku mendadak merasa kecut, karena yang selalu aku sampaikan kepada mereka adalah berita buruk. Mengapa tidak bisa satu kali saja, aku memberikan kabar baik kepada keluargaku? Aku mau melihat mereka tertawa dan bersorak bahagia seperti saat Amara menyampaikan kabar kehamilannya. Oh, Tuhan. Mengapa aku selalu menjadi pembawa kabar buruk dalam keluargaku? Sudah pasti mereka akan kecewa mendengar pengakuanku. Aku bukan hanya merusak suasana, aku juga akan menghancurkan kebahagiaan adikku. Seharusnya hari ini adalah hari bahagia bagi kami semua. Seandainya saja aku tidak mengundur hal ini …. “Lebih dari lima belas tahun yang lalu, aku keguguran dan harus menjalani operasi. Tetapi dokter menemukan adanya fibroid atau tumor yang tumbuh di sekitar rahim yang berukuran sangat besar. Aku sendirian dan harus memberikan keputusan segera.” Aku memejamkan mataku. “K
Aku tidak tahu harus melakukan apa, jadi aku menunggu mereka yang bergerak lebih dahulu. Sudah beberapa minggu ini hubungan kami sedang tidak enak. Jadi, mau tidak mau aku merasa canggung harus bersikap bagaimana.“Semoga kalian tidak keberatan aku mengajak mereka juga.” Bunda menoleh ke arahku. “Papa dan mamamu memaksa ingin ikut, jadi kami tadi menjemput mereka sebelum datang ke sini.”“Kami tidak keberatan, Bunda,” kataku dan Galang secara bersamaan.Ezio dan Athena bergantian memeluk Ayah dan Bunda, lalu mereka menatap ragu kepada Papa dan Mama. Cinta pertamaku itu yang lebih dahulu mendekat dan memeluk kedua anak tersebut. Mama pun melakukan hal yang sama.Aku tersenyum saat Galang merangkul bahuku, lalu mencium pelipisku. “Aku akan membeli tiket untuk kita,” bisiknya. Aku mengangguk.Anak-anak berjalan sambil menggandeng tangan Ayah dan Bunda, Papa mengikuti Galang menuju loket, sedangkan Mama mendekati aku. Dia memeluk aku, menghangatkan hatiku. Lega rasanya, kami sudah berbaik
“Bisakah kalian pelan sedikit?” keluhku, melihat keempat makhluk tukang pamer itu berlari santai di depanku. Bukannya memperlambat lari mereka, ketiganya malah tertawa mengejek aku. Lala bahkan menyalak senang.Mereka bertiga bekerja sama agar aku bangun subuh dan ikut joging. Kalau bukan karena aku penasaran ingin mendaki Gunung Rinjani, aku tidak akan melakukan ini. Seandainya anak-anak sedikit lebih besar, pasti menyenangkan bisa pergi dengan mereka juga.Setelah joging, aku menolong Athena untuk mandi dan berganti pakaian di kamarnya, sedangkan Galang membantu Ezio. Barulah aku menuju kamar mandi di kamar tidur kami. Namun suamiku bergabung dan ikut mandi bersamaku.“Tidak, Lang. Kita bisa terlambat,” tolakku saat dia mengajak bercinta. Aku sangat menginginkan dia setelah berhari-hari puasa, tetapi kami tidak punya waktu untuk melakukan ini.“Kamu bilang kamu membutuhkan aku,” katanya, mengingatkan.“Semalam, bukan pagi ini,” ralatku.“Sayang sekali, aku selalu membutuhkan kamu se