Bukannya aku tidak percaya kepadanya, tetapi aku lelah. Aku capai dengan semua yang mencoba memisahkan kami. Ketika kami menjalani hidup masing-masing, tidak ada yang ngebet mendekati Galang. Mengapa mereka baru datang bertubi-tubi setelah aku menikah dengannya? Pertama Sonya, lalu Trici. Siapa lagi yang akan datang kemudian? Apa masalah kami hanya berkutat di sini saja? Ada berapa dari mereka yang akhirnya akan berhasil menyeretnya ke tempat tidur lagi seperti Trici? Harus berapa kali aku merasakan patah hati ini baru mereka berhenti? “Mereka yang sudah menyusahkan kita tidak akan aku biarkan lepas begitu saja,” lanjutnya. “Aku tidak peduli kamu melarang atau tidak setuju. Mereka berdua akan aku balas!” “Lang,” protesku. Mereka berdua? Berarti dia sudah tahu siapa yang bekerja sama dengan Trici untuk menjebaknya. Dia pasti sengaja tidak menyebut namanya agar aku tidak khawatir. Namun aku tidak perlu tahu, biar itu menjadi urusannya saja. “Tidak. Aku sudah cukup bersabar. Aku tida
Pria itu mengambil waktu sejenak sebelum menyatakan pendapatnya. Melihat matanya berkaca-kaca, aku menundukkan kepala, tidak sanggup memandang mata penuh luka itu. Galang memegang tanganku, memberi kekuatan kepadaku. “Aku sangat kecewa kalian berani memukul anak kecil. Mereka memang sering aktif dan melakukan hal yang membuat kita kehilangan kesabaran, tetapi tidak dengan memukul,” katanya lirih. “Aku terkejut melihat cucuku, cucuku, punya memar begitu besar pada punggungnya. Kalian—” Pria itu diam sejenak untuk menyeka matanya. “Tega sekali kalian memukulnya sekeras itu. Apa kalian tidak punya perasaan? Aku sampai bertanya apa salahku sehingga cucuku tidak mau aku sentuh, ternyata kalian sudah melukainya. Gila kalian! “Apa susahnya menjauh dari mereka kalau tidak suka? Larang mereka datang. Beres, ‘kan? Mengapa harus dipukul? Mereka itu darah daging kalian juga.” Dia melihat ke arah Kak Erlangga dan Devi. “Apa kalian tidak cukup memukul ayah dan ibu mereka sejak masih kecil? Lihat
~Galang~“Kamu memang sudah gila,” geramku dengan suara tertahan. Aku membuka paksa tangannya yang saling mengait di depan tubuhku dan mendorong dia menjauh.“Memang aku sudah gila. Aku tergila-gila kepadamu sejak kita masih mahasiswa!” serunya dengan lantang, tidak peduli dengan orang banyak yang ada di sekitar kami.Aku hanya ingin pulang ke rumah, bertemu dengan istri dan anak-anakku. Kalau bisa, aku mencoba untuk meredakan perang dingin di antara kami. Bukan dipeluk oleh perempuan yang telah membuat hubungan kami retak dengan rencana egoisnya.“Kamu butuh psikiater.”“Aku membutuhkan kamu, Lang,” rengeknya. Dia mencoba untuk meraih tubuhku lagi, tetapi aku segera menghindar.Kami sudah menjadi tontonan rekan-rekan kerjaku dan penumpang pesawat lainnya. Sebelum salah satu sekuriti datang untuk melerai kami, aku memutuskan untuk memasuki taksi lain yang juga menunggu penumpang. Untung saja aku belum sempat memberikan tasku kepada taksi tadi.“Kebut, Pak,” kataku kepada sopir yang la
Tidak ada yang tidak kenal dengan pria yang memiliki usaha ekspedisi terbesar di negeri ini. Ayah Trici yang herannya, datang berdua saja dengan istrinya, tanpa didampingi seorang pengacara pun. Apa tujuannya datang ke sini? Bagaimana dia bisa tahu kami ada di sini?Aku menoleh ke arah Cipto. Dia hanya menggeleng pelan, pertanda dia juga tidak tahu-menahu mengenai tujuan kedatangan pasangan suami istri itu. Melihat wajah Trici, aku sedikit tenang. Dia terlihat ketakutan. Mungkinkah orang tuanya datang bukan untuk membela putrinya?“Aku sudah cukup menoleransi semua tingkahmu yang jauh dari prinsip yang dianut keluarga besar kita. Tidak ada satu pun dari keluarga kita yang bercerai, tetapi aku mendukung kamu. Aku pikir kamu menderita dalam pernikahan kalian, ternyata kamu masih saja mengejar laki-laki ini,” kata pria itu dengan tajam.Dia menoleh ke arahku. “Aku meminta maaf atas segala yang telah dia perbuat, Nak. Dia tidak akan pernah menunjukkan batang hidungnya lagi di depanmu atau
~Fayola~Walau tubuh wanita itu lebih tinggi dariku ditambah dia mengenakan sepatu berhak tinggi, aku tidak gentar. Aku menunggu sampai anak-anak masuk ke pekarangan rumah, lalu menoleh kepadanya. Dia berniat bicara, tetapi ada mobil lain yang menepi di depan mobilnya.Lo? Ada apa ini? Apa dia membawa pasukan untuk mengeroyok aku? Mobil itu sama mahalnya dengan miliknya. Jauh lebih mahal dari punya Galang. Wajar saja, suamiku hanya seorang karyawan biasa yang mencari keamanan dan kenyamanan dari sebuah mobil mahal, bukan prestise.“Jangan pasang muka begitu. Aku datang bukan untuk mencari ribut,” katanya dengan ekspresi tidak suka. “Aku minta maaf untuk semua hal yang sudah aku lakukan kepadamu, terutama kejadian tidak mengenakkan antara aku dan Galang.”Mendengar dia menyebut nama sahabat baikku itu, darahku mendidih. Foto intim mereka kembali bermain di kepalaku. Dia dengan senyum liciknya, sedangkan Galang pulas yang aku yakin tidak mengenakan apa pun selain selimut yang menutupi b
Dia diam, tidak segera menjawab pertanyaanku. Namun melihat keningnya berkerut dan matanya bergerak ke sana kemari, pertanda sedang berpikir, aku sudah tahu jawabannya. Kalau bukan dia yang memintanya untuk melakukan itu, lalu siapa?Trici jelas orang yang berharga diri tinggi. Mana mungkin dia mau meminta maaf kepadaku secara sukarela. Tindakan jahatnya meniduri Galang di luar kemauannya saja dia sebut cinta. Dia justru protes keras ketika aku menyebut hal itu sebagai pemerkosaan.“Kami siang tadi memang ada pertemuan dadakan di kantor polisi. Cipto yang menghubungi aku. Tetapi aku tidak mengajukan permintaan maaf kepadamu sebagai syarat untuk menarik tuntutanku,” kata Galang, menjelaskan.“Aku hanya meminta dia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada perusahaan tempat kerja kalian dahulu. Aku mau kamu tetap terhormat di mata mereka, juga perusahaan lain, seandainya kamu berubah pikiran dan ingin bekerja lagi,” lanjutnya.“Anak-anak akan mandiri, jadi aku yakin kamu akan rindu u
“Apa??” pekiknya terkejut. Matanya memerah, menahan amarah begitu aku menyampaikan syarat dariku. “Aku tidak mau melakukan itu!”“Ya, terserah kamu. Yang meminta bantuan, ‘kan, kamu, bukan aku,” kataku dengan santai.Dia merapatkan bibirnya sebelum berkata, “Baik. Aku akan melakukannya hari ini juga. Mereka akan menghubungi kamu untuk memberi tahu aku sudah melakukan permintaanmu.”“Oke. Aku tunggu.” Aku tersenyum manis kepadanya.Ternyata enak juga rasanya bisa memegang kendali atas orang lain. Walau aku tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari syarat itu, aku puas bisa memaksa dia melakukan hal yang tidak akan pernah mau dia lakukan sendiri.“Mengapa kamu meminta syarat yang tidak ada hubungannya dengan suamimu? Kamu tidak takut aku akan mendekati Galang lagi?” tanyanya dengan heran.“Untuk apa aku menyebut syarat yang sama yang sudah suamiku sampaikan dalam perjanjian?” Aku balik bertanya. Mungkin dia berpikir aku tidak tahu isi surat perjanjian tersebut.Kami pun pergi ke sekolah
Aku tidak akan pernah lupa hancurnya hatiku kehilangan janin yang baru berusia dua puluh minggu. Walau aku tidak tahu harus bagaimana menjalani hidupku tanpa seorang suami, aku sudah sayang kepadanya. Kepergiannya tidak sendiri, dia juga membawa kesempatanku untuk menjadi seorang ibu. Wanita mana yang tidak akan kehilangan kewarasannya? Semua pria yang pernah dekat denganku, menginginkan seorang anak. Karena itu, aku menjaga jarak dari mereka. Untuk apa menjadi akrab, lalu jatuh cinta ketika aku tahu, aku tidak akan bisa memberi anak yang dia idamkan? Hingga Galang gila ini tidak berhenti melamar pun, aku menolak. Dia adalah satu-satunya pria di dunia ini yang tidak akan tega aku seret dalam masalah hidupku. Dia sangat menyayangi anak-anak. Hal yang tidak akan pernah bisa aku berikan kepadanya. Ternyata aku salah. Dia sudah puas hidup berdua denganku saja. “Kalian bilang apa tadi?” tanyaku kepada mereka. “Aku sayang Papa dan Mama,” ucap mereka, meluluhkan hatiku. Dia maupun adiknya