Tidak ada yang tidak kenal dengan pria yang memiliki usaha ekspedisi terbesar di negeri ini. Ayah Trici yang herannya, datang berdua saja dengan istrinya, tanpa didampingi seorang pengacara pun. Apa tujuannya datang ke sini? Bagaimana dia bisa tahu kami ada di sini?Aku menoleh ke arah Cipto. Dia hanya menggeleng pelan, pertanda dia juga tidak tahu-menahu mengenai tujuan kedatangan pasangan suami istri itu. Melihat wajah Trici, aku sedikit tenang. Dia terlihat ketakutan. Mungkinkah orang tuanya datang bukan untuk membela putrinya?“Aku sudah cukup menoleransi semua tingkahmu yang jauh dari prinsip yang dianut keluarga besar kita. Tidak ada satu pun dari keluarga kita yang bercerai, tetapi aku mendukung kamu. Aku pikir kamu menderita dalam pernikahan kalian, ternyata kamu masih saja mengejar laki-laki ini,” kata pria itu dengan tajam.Dia menoleh ke arahku. “Aku meminta maaf atas segala yang telah dia perbuat, Nak. Dia tidak akan pernah menunjukkan batang hidungnya lagi di depanmu atau
~Fayola~Walau tubuh wanita itu lebih tinggi dariku ditambah dia mengenakan sepatu berhak tinggi, aku tidak gentar. Aku menunggu sampai anak-anak masuk ke pekarangan rumah, lalu menoleh kepadanya. Dia berniat bicara, tetapi ada mobil lain yang menepi di depan mobilnya.Lo? Ada apa ini? Apa dia membawa pasukan untuk mengeroyok aku? Mobil itu sama mahalnya dengan miliknya. Jauh lebih mahal dari punya Galang. Wajar saja, suamiku hanya seorang karyawan biasa yang mencari keamanan dan kenyamanan dari sebuah mobil mahal, bukan prestise.“Jangan pasang muka begitu. Aku datang bukan untuk mencari ribut,” katanya dengan ekspresi tidak suka. “Aku minta maaf untuk semua hal yang sudah aku lakukan kepadamu, terutama kejadian tidak mengenakkan antara aku dan Galang.”Mendengar dia menyebut nama sahabat baikku itu, darahku mendidih. Foto intim mereka kembali bermain di kepalaku. Dia dengan senyum liciknya, sedangkan Galang pulas yang aku yakin tidak mengenakan apa pun selain selimut yang menutupi b
Dia diam, tidak segera menjawab pertanyaanku. Namun melihat keningnya berkerut dan matanya bergerak ke sana kemari, pertanda sedang berpikir, aku sudah tahu jawabannya. Kalau bukan dia yang memintanya untuk melakukan itu, lalu siapa?Trici jelas orang yang berharga diri tinggi. Mana mungkin dia mau meminta maaf kepadaku secara sukarela. Tindakan jahatnya meniduri Galang di luar kemauannya saja dia sebut cinta. Dia justru protes keras ketika aku menyebut hal itu sebagai pemerkosaan.“Kami siang tadi memang ada pertemuan dadakan di kantor polisi. Cipto yang menghubungi aku. Tetapi aku tidak mengajukan permintaan maaf kepadamu sebagai syarat untuk menarik tuntutanku,” kata Galang, menjelaskan.“Aku hanya meminta dia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada perusahaan tempat kerja kalian dahulu. Aku mau kamu tetap terhormat di mata mereka, juga perusahaan lain, seandainya kamu berubah pikiran dan ingin bekerja lagi,” lanjutnya.“Anak-anak akan mandiri, jadi aku yakin kamu akan rindu u
“Apa??” pekiknya terkejut. Matanya memerah, menahan amarah begitu aku menyampaikan syarat dariku. “Aku tidak mau melakukan itu!”“Ya, terserah kamu. Yang meminta bantuan, ‘kan, kamu, bukan aku,” kataku dengan santai.Dia merapatkan bibirnya sebelum berkata, “Baik. Aku akan melakukannya hari ini juga. Mereka akan menghubungi kamu untuk memberi tahu aku sudah melakukan permintaanmu.”“Oke. Aku tunggu.” Aku tersenyum manis kepadanya.Ternyata enak juga rasanya bisa memegang kendali atas orang lain. Walau aku tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari syarat itu, aku puas bisa memaksa dia melakukan hal yang tidak akan pernah mau dia lakukan sendiri.“Mengapa kamu meminta syarat yang tidak ada hubungannya dengan suamimu? Kamu tidak takut aku akan mendekati Galang lagi?” tanyanya dengan heran.“Untuk apa aku menyebut syarat yang sama yang sudah suamiku sampaikan dalam perjanjian?” Aku balik bertanya. Mungkin dia berpikir aku tidak tahu isi surat perjanjian tersebut.Kami pun pergi ke sekolah
Aku tidak akan pernah lupa hancurnya hatiku kehilangan janin yang baru berusia dua puluh minggu. Walau aku tidak tahu harus bagaimana menjalani hidupku tanpa seorang suami, aku sudah sayang kepadanya. Kepergiannya tidak sendiri, dia juga membawa kesempatanku untuk menjadi seorang ibu. Wanita mana yang tidak akan kehilangan kewarasannya? Semua pria yang pernah dekat denganku, menginginkan seorang anak. Karena itu, aku menjaga jarak dari mereka. Untuk apa menjadi akrab, lalu jatuh cinta ketika aku tahu, aku tidak akan bisa memberi anak yang dia idamkan? Hingga Galang gila ini tidak berhenti melamar pun, aku menolak. Dia adalah satu-satunya pria di dunia ini yang tidak akan tega aku seret dalam masalah hidupku. Dia sangat menyayangi anak-anak. Hal yang tidak akan pernah bisa aku berikan kepadanya. Ternyata aku salah. Dia sudah puas hidup berdua denganku saja. “Kalian bilang apa tadi?” tanyaku kepada mereka. “Aku sayang Papa dan Mama,” ucap mereka, meluluhkan hatiku. Dia maupun adiknya
“Bisakah kalian pelan sedikit?” keluhku, melihat keempat makhluk tukang pamer itu berlari santai di depanku. Bukannya memperlambat lari mereka, ketiganya malah tertawa mengejek aku. Lala bahkan menyalak senang.Mereka bertiga bekerja sama agar aku bangun subuh dan ikut joging. Kalau bukan karena aku penasaran ingin mendaki Gunung Rinjani, aku tidak akan melakukan ini. Seandainya anak-anak sedikit lebih besar, pasti menyenangkan bisa pergi dengan mereka juga.Setelah joging, aku menolong Athena untuk mandi dan berganti pakaian di kamarnya, sedangkan Galang membantu Ezio. Barulah aku menuju kamar mandi di kamar tidur kami. Namun suamiku bergabung dan ikut mandi bersamaku.“Tidak, Lang. Kita bisa terlambat,” tolakku saat dia mengajak bercinta. Aku sangat menginginkan dia setelah berhari-hari puasa, tetapi kami tidak punya waktu untuk melakukan ini.“Kamu bilang kamu membutuhkan aku,” katanya, mengingatkan.“Semalam, bukan pagi ini,” ralatku.“Sayang sekali, aku selalu membutuhkan kamu se
Aku tidak tahu harus melakukan apa, jadi aku menunggu mereka yang bergerak lebih dahulu. Sudah beberapa minggu ini hubungan kami sedang tidak enak. Jadi, mau tidak mau aku merasa canggung harus bersikap bagaimana.“Semoga kalian tidak keberatan aku mengajak mereka juga.” Bunda menoleh ke arahku. “Papa dan mamamu memaksa ingin ikut, jadi kami tadi menjemput mereka sebelum datang ke sini.”“Kami tidak keberatan, Bunda,” kataku dan Galang secara bersamaan.Ezio dan Athena bergantian memeluk Ayah dan Bunda, lalu mereka menatap ragu kepada Papa dan Mama. Cinta pertamaku itu yang lebih dahulu mendekat dan memeluk kedua anak tersebut. Mama pun melakukan hal yang sama.Aku tersenyum saat Galang merangkul bahuku, lalu mencium pelipisku. “Aku akan membeli tiket untuk kita,” bisiknya. Aku mengangguk.Anak-anak berjalan sambil menggandeng tangan Ayah dan Bunda, Papa mengikuti Galang menuju loket, sedangkan Mama mendekati aku. Dia memeluk aku, menghangatkan hatiku. Lega rasanya, kami sudah berbaik
Aku hanya bisa menundukkan kepala dan pasrah dengan air mata yang tidak bisa aku kendalikan terus mengalir turun membasahi wajahku. Aku mendadak merasa kecut, karena yang selalu aku sampaikan kepada mereka adalah berita buruk. Mengapa tidak bisa satu kali saja, aku memberikan kabar baik kepada keluargaku? Aku mau melihat mereka tertawa dan bersorak bahagia seperti saat Amara menyampaikan kabar kehamilannya. Oh, Tuhan. Mengapa aku selalu menjadi pembawa kabar buruk dalam keluargaku? Sudah pasti mereka akan kecewa mendengar pengakuanku. Aku bukan hanya merusak suasana, aku juga akan menghancurkan kebahagiaan adikku. Seharusnya hari ini adalah hari bahagia bagi kami semua. Seandainya saja aku tidak mengundur hal ini …. “Lebih dari lima belas tahun yang lalu, aku keguguran dan harus menjalani operasi. Tetapi dokter menemukan adanya fibroid atau tumor yang tumbuh di sekitar rahim yang berukuran sangat besar. Aku sendirian dan harus memberikan keputusan segera.” Aku memejamkan mataku. “K