Ana memakan potongan buah dengan begitu menikmati. Dia mengunyah setiap potongan itu dengan khidmat. Rasa buah anggur yang manis berpadu dengan stroberi yang sedikit asam. “Terima kasih ya, Put,” ucap Ana tersenyum penuh pada laki-laki di depannya. Laki-laki itu pun membalas senyum perempuan yang telah lama dia sukai. “Iya, An. Apa sih yang nggak buat kamu,” balas Putra. “Ini kontrakan kamu bersih banget ya. Pasti nyaman disini,” puji Ana meneliti setiap sudut ruang tamu di kontrakan full desain putih itu. Tampak sederhana namun sangat bersih dan begitu rapi. “Iya dong, mau tinggal disini?” tawar Putra sambil menahan senyumnnya. Ana menggeleng cepat. “Nggak lah. Aku harus kerja, Put,” ucap Ana menahan malu. Dia menunduk menghindar dari tatapan Putra. Putra mendekati tempat duduk Ana yang berupa kursi panjang. Kursi itu bisa berisi tiga orang jika diduduki. Putra semakin mendekati Ana. Lalu laki-laki itu mengelus kepala Ana dengan begitu lembut. “Kalau ada masalah apapun
Sesama perempuan tapi dengan entengnya bertanya seperti itu. Apakah pantas? “Bel, gak ada perempuan yang mau dimadu. Kamu perempuan normal pasti juga tidak mau kan,” sungut Ana. Dia nampak kesal dengan sikap Bella yang terlihat egois. “Ada kok An, ada. Temanku dimadu dan dia fine fine aja. Selagi si laki-laki adil bukan? Lagipula ini kan permintaan mamanya mas Arka. Aku gak bisa nolak, apalagi mamaku juga suka banget sama mas Arka,” ucap Bella dia nampak sedih. Ana memegang kepala terasa pusing. Bisa-bisanya dia terjebak dengan masalah ini. Dia mengingat sesuatu, iya, dia mengingat kejadian itu lagi. “Ouh, iya. Aku mau dicerai aja gak apa-apa. Aku juga gak pernah ada perasaan sama pak Arka. Aku sadar diri,” ucap Ana terlihat tersenyum pada Bella. “Beneran An?” tanya Bella terkejut. “Iye Bel, beneran banget. Tapi sepertinya bakal dipersulit sama pak Arka. Ya sudah dimadu juga gak apa-apa. Lagian ya tau sendiri lah,” ucap Ana terlihat pasrah. Dia tampak tak ingin memperpanjan
Arka mencegat Ana. Ana menghempas tangan Arka. Tatapan penuh kecewa dari Ana. Arka memegang kedua telapak tangan Ana lagi. “Ana, maafkan saya. Saya khilaf. Saya telah berjanji itu kekhilafan terakhir saya,” ungkap Arka dengan tatapan mengiba. “Khilaf? Pak Arka sadar kan sama ucapan bapak sendiri,” cecar Ana. Dia terus berusaha melepaskan diri dari Arka. “An, saya bisa jelasin semuanya. Saya bakal jujur sama kamu, tapi tolong maafin saya dulu,” ungkap Arka. Dia memaksa Ana agar mau dipeluk. Ana berusaha memberontak dan mendorong Ana. Tetap saja kekuatan Arka lebih besar darinya. “Nggak, Pak. Pak Arka berlebihan. Nyalahin saya tapi diri sendiri yang selalu bersalah. Saya hanya manusia biasa pak, bisa sakit hati. Selama ini saya cukup sabar,” beo Ana. Air matanya sudah luruh. “Nggak, dengerin saya dulu,” paksa Arka. Dia membawa Ana dalam pelukannya. “Saya mau pergi dari sini, tolong izinkan saya pergi, Pak,” lirih Ana dengan suara yang sudah serak. “Ayo kita ke kamar,” aja
Semua karyawan yang hadir tampak terkejut dengan penuturan Arka. “Pak, maaf, maksud saya bukan seperti itu,” tutur seorang karyawan perempuan yang merasa bersalah.“Saya tidak mau siapapun menganggap remeh istri saya!” ancam Arka dengan menatap intens ke semua karyawannya.“Saya minta maaf, Pak,” ungkap karyawan itu lagi.“Dion, urus pemberhentian karyawan itu,” titah Arka. Dion langsung mengangguki.Arka langsung meninggalkan ruangan utama rapat itu. Diikuti juga oleh Dion dan beberapa karyawan inti. Beberapa karyawan lain mendekati karyawan yang tadi langsung di tempat. Terlihat karyawan perempuan itu langsung ketakutan dibuatnya.“Persembahan bisnis skincare ini harus berjalan dengan lancar. Kenapa tadi ada yang membuat masalah?” tanya Dion pada divisi penyelenggara.“Maaf, Pak. Saya tidak tau akan ada kejadian itu. Saya sudah mewanti-wanti semua karyawan,” ucap salah satu divisi penyelenggara.“Sepertinya ada yang tidak beres,” sungut Dion nampak berpikir keras.Sementara di ruang
Ana mulai membenahi kamarnya. Hari ini dia ingin beberes saja. Setelah beberapa bulan tinggal di rumah mewah seperti itu. Ana merasa kalau rasanya biasa saja. Yang ada sakit hati ketika kian masalah hadir menyapanya. “Bagaimana Ana? Kau bahagia kan jadi istri Tuan Arka?" tanya laki-laki berjenggot tebal saat berpapasan dengan Ana ketika keluar kamar. “Bang Bewok, lama tidak ketemu,” sapa Ana. Bang Bewok tampak tersenyum. Beberapa bulan ini dia memang menyibukkan diri dengan kegiatannya. Selain Dion, bang Bewok juga merupakan orang kepercayaan Arka. Bahkan untuk memilih Ana, bang Bewok lah yang mencarikannya. “Kenapa tidak dijawab pertanyaan saya Ana?” tanya bang Bewok kembali. “Sepertinya bang Bewok tau sendiri jawabannya,” ujar Ana. Dia tampak tersenyum paksa. Bang Bewok berpikir sejenak lalu mengangguk. “Pastinya kau bahagia,” tebak bang Bewok menyipitkan kedua matanya. “Nggak bang, saya gak bahagia. Bang Bewok bisa tolong saya buat bebasin dari tuan Arka?” tanya Ana p
Ana menatap bingung ke arah suami dudanya itu. Dia tampak berpikir keras. “Mau, tapi ada syaratnya Pak,” jawab Ana menunduk ragu. “Sebutkan saja syarat itu,” anjur Arka. Dia sambil memotong beberapa cheese keju kesukaan Ana. Tak lupa juga menuangkan minuman strawberry milk. “Izinkan saya meneruskan kuliah,” pinta Ana pada Arka. Sedikit ragu tapi Ana sangat menginginkan hal itu. “Boleh kok,” balas Arka. Ternyata dia menyetujui permintaan sang istri. “Terima kasih, Pak,” kata Ana dengan tersenyum bahagia. Akhirnya dia dapat melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda itu. “Nah, jangan panggil saya dengan panggilan itu,” tolak Arka dengan ekspresi kesal. Ana langsung menutup mulutnya sebab dia tertawa sejenak. “Terus maunya dipanggil apa ya?” ujar Ana dengan menahan tawa. “Sayang atau honey atau baby,” beo Arka memegang dagunya. Ana manggut-manggut menyetujui. “Oke, panggil Mas aja ya,” lirih Ana akhirnya. Arka bersedekap dada. “Terserah aja, yang penting bukan panggilan
Arka turun dari mobilnya dengan wajah kusut. Dia terlihat menekuk wajahnya. Suram sekali. Sementara Ana langsung menyambut sang suami. “Sayang,” panggil Arka langsung memeluk Ana. Pelukan hangat di sore hari yang pertama kali mereka lakukan. Biasanya sepulang Arka kerja tak pernah seperti itu. “Mas Arka kenapa?” tanya Arka dengan pelan. Dia perlu membiasakan panggilan baru itu. “Gak apa-apa kok,” sahut Arka. Dia langsung mengelus dengan lembut kepala sang istri tercinta. “Kalo ada sesuatu, dibilang aja ya,” ucap Ana tanpa melihat langsung ke Arka. Semenjak percakapan malam kemarin, Ana jadi serba canggung saat berinteraksi dengan Arka. Seperti pertama kali bertemu. “Iya sayang, tenang aja,” ujar Arka. Lalu keduanya pun langsung masuk ke dalam. Di dalam terlihat Gio yang tengah berlari menuju papanya. “Pa, Gio punya mainan baru lagi,” ucap Gio nampak gembira menunjukkan mainan robot kontrol itu. “Bagus ya, siapa yang beliin?” tanya Arka tampak meneliti setiap sudut mainan
Keadaan semakin memanas. Dion berusaha menenangkan keduanya. “Bro, Arka, sabar. Ayo bicarakan dengan kepala dingin,” ajak Dion meminta Arka untuk duduk di sofa. “Diem,” tolak Arka tak mau disentuh Dion. Dion serba salah. Akhirnya dia sendiri memilih duduk di sofa sambil melihat perdebatan kedua mantan suami istri itu. “Mau bagaimana pun, Gio itu aku yang mengandung, aku juga yang melahirkan. Itu jauh lebih besar pengorbanannya daripada merawat saja,” ungkap Gisel dengan tenangnya. Tak ada rasa bersalah sedikitpun dalam benak dia. “Ibu macam apa kau Gisel? Tugas orang tua bukan cuma mengandung dan melahirkan. Tapi juga merawat,” titah Arka dengan nafas menggebu-gebu. “Sudah lupakan hal itu. Yang penting sekarang aku mau anakku, Gio,” bentak Gisel. Dia merapikan baju atasannya yang sangat mewah. “Gak akan aku biarkan kamu mengambil anakku, Gisel. Perempuan macam kamu gak pantas jadi ibunya Gio. Mau jadi apa Gio kalau hidup sama ibu yang tidak bertanggung jawab seperti kamu hah!
Fahri terbangun membuka mata. Dia menerawang di sekitar. Tempat yang biasanya dia buat untuk beristirahat. “Sakit, aduh!” keluh Fahri memegangi kepalanya. Sekujur tubuhnya terasa begitu sakit.“Bangun juga kamu bang,” seru Fatah lalu bergegas memberikan segelas air putih kepada Fahri.Fahri langsung meneguknya hingga tandas. Kemal dan Fatah mendekati sang kembarannya yang baru tersadar. “Gimana baku hantamnya bang? Kalah pasti ya, soalnya kamu tak sadarkan diri tadi. Dion yang nganter, untuk penjaga depan lagi di kantin,” ucap Fatah suaranya menggema satu ruangan.“The Alfarez ikut berarti kan bang?” tanya Kemal. Kini Kemal yang begitu penasaran.“Hm,” sahut Fahri. Kesadarannya masih diambang. Nyawanya belum terkumpul seluruhnya.“Istirahat dulu deh bang, nanti baru jelasin kalau udah sadar penuh,” ucap Kemal akhirnya. Lalu Kemal kembali fokus dengan tugasnya yang bejibun. Sementara Fatah kembali lagi fokus dengan gamenya.Fahri pun tak menyia-nyiakan waktu berharganya itu. Dia kembal
Zahra langsung menemui Kemal yang lagi mengobrol dengan Ummahnya. Zahra berlari mendekati Kemal dengan raut wajah sedih bercampur kesal. “Kak Kemal!” panggil Zahra. Kemal dan Balqis pun sedikit terkejut dengan suara Zahra.“Kenapa nak?” tanya Balqis dengan raut khawatir.“Ini ummah, kak Kemal lagi Deket sama temen di kampusnya. Padahal kan kata ayah Fakih, kak Kemal cuma boleh deket sama Zahra,” kesal Zahra dengan melipat kedua tangannya di dada.“Kumat nih orang,” gerutu Kemal. Sepertinya Kemal sudah muak dengan semua yang terjadi di hari ini. Dia sedang berurusan dengan dua wanita sekaligus dan dengan kasus yang sama.“Kenapa sih nak, Kemal,” pinta Balqis. Menyuruh Kemal untuk menjelaskan.“Jelasin gak kak Kemal ish,” geram Zahra. Dia sudah tak sabar mendengar penjelasan dari Kemal.“Aduh, gini ya Zahra. Kamu ini masih sangat muda tapi udah bahas kayak gitu. Kata ayah Fakih itu kan dulu, waktu kita kecil, waktu kita masih suka main bareng. Sekarang udah beda urusannya lagi, Zahra. T
Ketiga Gus kembar pun langsung pergi kesana. Perasaan Fahri campur aduk. Setelah mendengar penuturan dari Fatah kalau Adiva ada di gedung kosong. Pikiran Fahri langsung kemana-mana. Yang dia pikirkan sekarang hanya keselamatan Adiva. Sementara di gedung kosong itu, Adiva tengah terbangun dengan wajah sembabnya. Dia selalu menangis tanpa henti. Sampai dia tertidur dan bangun dia kembali memangis lagi. Selalu seperti itu sampai pagi.Adiva membuka matanya, dia melihat cahaya. Beberapa jendela di gedung itu dibuka hingga cahaya begitu jelas disana. Di deoannya sudah ada beberapa orang. Terdiri dari dua laki-laki dan satu sosok perempuan yang menggunakan topeng.“Bangun juga kamu!” ucap perempuan itu menghampiri Adiva yang tengah menyipitkan mata.Bagian seluruh tubuh Adiva terasa sakit. Tangannya pasti sudah memerah. Kepakanya terasa pusing karena tidur dengan posisi yang tidak benar. Adiva benar-benar merasa lelah.“Tolong lepasin saya,” pinta Adiva dengan suara seraknya.“Sudah buat k
Hari ini pembelajaran seperti biasa. Adiva sudah mulai mengajar kembali. Seperti sekarang ini Adiva mengajar kelas dua madrasah Tsanawiyah dengan materi “Jangan Dzolimi diri sendiri dan jangan Dzolimi orang lain”.“Para santri putri, kita hidup di dunia ini hanya sebentar. Kehidupan di dunia tak luput dari namanya bersosial. Kita harus bisa membangun sikap sosial yang baik. Dan yang paling penting jangan pernah dzolim dengan diri sendiri, dan juga jangan dzolim dengan orang lain,”“Contoh dzolim kepada diri sendiri yaitu tidak peduli dengan kebutuhan tubuh, seperti tidak makan, tidak minum. Itu kan namanya tidak sayang dengan tubuh sendiri. Itu namanya dzolim, karena sejatinya kesehatan itu mahal. Jaga kesehatan selalu,”“Contoh dari dzolim kepada orang lain, seperti membully, mencemooh, menjelekkan orang lain atau bahkan sampai menganggap rendah. Jangan pernah lakukan itu, bertemanlah yang baik-baik saja. Baik itu ketika di kelas, ketika di kamar atau ketika sedang di acara. Karena k
Dua tahun berlalu. Ketiga Gus kembar pun wisuda barengan di tahun ini. Seperti sekarang mereka sudah selesai dengan acara wisuda. Lalu mereka berkumpul di gedung fakultas. Disana juga sudah ada Adiva yang memakai baju tiga dan di make up dengan sangat cantik.“Alhamdulillah, selamat semuanya atas gelar yang telah diraih,” ucap Adiva kepada ketiga Gus kembar.“Uhuy, S.ag sama S.ag nih, kapan tanggal tepatnya?” sindir Kemal pada Adiva dan Fahri.“Secepatnya gak sih,” imbuh Fatah yang menyenggol sang kakak. Fahri hanya tersenyum dibuatnya.Ashraf dan Balqis turut hadir. Mereka juga ikut tersenyum senang melihat anak-anaknya wisuda. Dan benar dengan Jani Ashraf yang akan menanggung biaya kehidupan Adiva. Ashraf menanggung biaya hidup Adiva. Dan Adiva pun tak keberatan setelah mendapat dukungan juga dari Fahri dan Balqis.“Doakan aja ya,” pinta Adiva sambil melihat Fahri. Keduanya juga saling menahan senyum. Lalu mereka berlanjut berfoto untuk mengabadikan moment di Lalu tiba-tiba datang
Seminggu dari pernikahannya, Fahri dan Adiva tinggal di tengah kawasan pesantren Al Muhajirin. Rumah mereka pun bersebalahan dengan rumah Balqis dan Ashraf. Hanya jarak beberapa langkah saja dari sana.“Umi, Abi berangkat mau ngajar dulu ya,” pamit Fahri tengah merapikan pakaiannya.“Eh, kak, panggilannya ganti lagi ya?” Tanya Adiva. Sebab selama seminggu terakhir ini mereka memanggil dengan sebutan kakak dan adek.“Hehe, biar ada nuansa baru aja, Umi dan Abi, lucu kan?” sahut Ashraf sambil menampilkan senyuman termanisnya.“Hemm, boleh aja sih kak, eh Abi!” beo Adiva menyadari kesalahannya.“Ya sudah umi, Abi mau ngajar dulu ya, nanti siang mau lanjut urus rumah makan di Solo,” izin Fahri mendekati sang istri.Adiva memanyunkan bibirnya. “Adek mau ikut kak, umi maksudnya,” cengir Adiva. Dia masih belum terbiasa dengan sebutan barunya.“Aduh, jauh dek, kakak takut kamu kenapa-kenapa. Kamu juga masih pusing kan, barusan aja mual-mual. Apa jangan-jangan kamu udah mau hamil ya,” gelagat
Fakih sudah datang terlebih dahulu sebelum pukul empat. Dia sengaja datang lebih awal dari Anggi. Sementara Anggi masih berada di jalan. Dengan keadaan jalan yang cukup ramai, masih sangat macet karena ini jam pulang kerja.Sementara faqih sudah menyiapkan tempat duduk khusus untuk dirinya dan juga anggi. Faqih juga sudah memesan minuman kopi kesukaan anggi yang di mana minumannya juga sama dengan kesukaan dirinya. Faqih menunggu anggi dengan duduk bersantai di ruang pojok kedai kopi di mana ini sudah tiga kali pertemuan mereka dan saat ini pertemuan yang direncanakan.Anggi datang dengan pakaian yang begitu sopan dan tidak seperti biasanya kali ini dirinya terlihat cukup pendiam dan sedikit berbicara. “Maaf ustad Faqih, sudah lama yah menunggu, maaf barusan di jalan macet banget jadi waktunya keteteran,” ungkap Anggi namun Fakih hanya menampilkan senyuman khasnya.“Tidak apa-apa, saya paham kok, ya sudah kamu duduk saja. Ini sudah saya pesankan minuman kesukaan kamu,” ungkap Fakih me
Kepala Fatah cenat cenut, sejak tadi diganggu perempuan yang sudah beberapa bulan ini tak muncul. Sekarang malah datang lagi dan menganggu kehidupan Fatah kembali. Selama jam mata kuliah fokus Fatah menjadi pecah. Pikirannya kemana-mana.“Dasar cewek gak jelas, aish, stress kalau gini terus. Mana gak bisa main game, astaghfirullah, gini banget ujian hidup!” keluh Fatah memukul tas ranselnya.Fatah tak fokus sama sekali selama pelajaran berlangsung. Otak dia terus berputar dimana kejadian dia di tampar oleh sang Abah. Fatah merasa di dibedakan dari saudaranya yang lain. Padahal dia ingin berbeda dan hanya ingin melakukan semua keinginan yang menurutnya dia suka.Fatah keluar kelas dengan wajah lesu. Dia langsung menghampiri sopirnya di parkiran khusus mobil. Sesampainya disana dia kembali terkejut.“Iya pak, sudah lama ya jadi sopirnya Fatah?” tanya Alya sudah terlihat sangat akrab dengan sopir yang ditugaskan untuk mengantar dan menjemput Fatah.“Iya mbak, saya sudah sekitar tujuh tah
Setelah sadar dari komanya, Kemal masih harus melakukan perawatan berlanjut di rumah sakit. Mau tidak mau, Ashraf dan Balqis menyerahkan pada Gibran dan istrinya untuk mengatasi semua urusan pesantren teebih dahulu. Dibantu juga Fahri dan Fatah yang juga sudah terbiasa dengan tugas-tugas di pesantren.Seperti saat ini, Fahri sedang mengisi materi untuk semua santri pesantren Al Muhajirin. Sebab hari ini bertepatan dengan acara sholawat Akbar di pesantren Al Muhajirin.“Para santri yang dirahmati oleh Allah SWT. Saya mewakili Kyai Ashraf untuk memberi beberapa amanat untuk kalian semua. Yang pertama, Kyai Ashraf dan Nyai Balqis meminta maaf karena belum bisabhadir pada sholawat Akbar malam ini. Lalu yang kedua, kyai Ashrydan Nyai Balqis meminta para santri untuk menyumbang doa pada Gus Kemal yang sedang dirawat di rumah sakit pasca koma selama sembilan belas hari. Dan pesan yang ketiga, kalian harus tetap disiplin selama beraktivitas dan belajar di pesantren Al Muhajirin. Sebab kyai As