Ana sedikit was-was sekaligus trauma saat bertemu dua keluarga tirinya yang super licik dan jahat itu. Sesampainya di rumah, dia langsung masuk ke kamar. Terlihat Gio sudah tertidur dengan pulas. “Pak Arka,” ucap Ana terkejut melihat Arka yang tiba-tiba keluar dari kamar mandi. “Kok keluar gak ajak saya?” tanya Arka langsung mengeringkan rambutnya. “Eum, cuma beli beberapa buku aja kok,” jawab Ana lalu menaruh belanjaan di mejanya. “Lain kali kalau mau keluar harus sama saya. Diluar itu bahaya,” peringat Arka melirik Ana dari cermin besar di depannya. Ana celingukan sambil membereskan buku miliknya. “Pak Arka kan sibuk kerja. Saya gak mau ganggu,” ucap Ana mencari alasannya. Arka lalu membalikkan badan melihat Ana. “Lalu, dari mana dapat uang beli itu semua?” tunjuk Arka pada barang belanjaan Ana. “Uang dari papanya pak Arka itu,” sahut Ana masih fokus dengan kegiatannya merapikan buku miliknya. “Masih ada?” tanya Arka terkejut. “Ada, ini masih sisa banyak,” ujar Ana
Arka meminta Dion untuk mengantar Bela pulang. Arka sudah bersiap diri jika sebentar lagi sang Mama memarahinya. Dia tak peduli, dia hanya ingin mengakui Ana di depan wanita lain.Sementara di tempat lain, Ana sedang berada di toilet umum. Dia sedang mengantar Gio yang bersekolah. Ana memasuki toilet bagian perempuan.“Mbak, keliatan loh itunya,” ucap seorang perempuan memakai jilbab navy. Dia menatap leher Ana sambil tersenyum.“Apanya ya mbak?” tanya Ana memperhatikan penampilannya. Dia merasa tak ada yang aneh pada dirinya.“Tanda merahnya, mbak,” sambung perempuan itu lagi tersenyum penuh sambil menggeleng pelan.“Hah, tanda merah apa mbak,” ujar Ana. Lalu dia mengibaskan rok belakangnya. Dan meneliti setiap sudut roknya.“Di leher mbak itu loh,” tunjuk perempuan itu akhirnya. Sementara satu temannya juga ikut tertawa melihat kebingungan Ana.Ana langsung berkaca pada cermin di ujung toilet. “Hah, ini apa ya?” tanya Ana menggaruk tengkuknya.Ana terkejut melihat beberapa tanda mer
Beberapa rekan kerja mereka ada yang ingin pergi. Namun Dion segera menahannya. Sementara Arka dan Raka masih saja beradu mulut. Ana kebingungan, dia mondar mandir kesana kemari. Hingga tiba-tiba Gio keluar dari kamarnya. Dia terbangun karena suara ribut itu.“Tante, ada apa?” tanya Gio dengan polos. Dia mengucek matanya berkali-kali.Ana terkejut dan langsung menggendong Gio. “Gio masuk ke dalam kamar lagi ya,” titah Ana mengusap wajah Gio.Gio menggeleng pelan. “Gio mau ketemu Papa,” pinta Gio meminta diturunkan. Mau tak mau Ana melepas Gio.“Papa,” teriak Gio berlari ke arah Arka yang tengah adu mulut dengan Raka. Seketika semuanya terdiam.“Pa, Gio kebangun gara-gara rame,” keluh Gio langsung ke gendongan Arka. Arka langsung menggendong Gio dengan raut wajah begitu khawatir.Raka juga ikut terdiam. Dengan wajah gusar dan kesal. Dion lalu mengambil alih pembicaraan. “Untuk semua rekan kerja. Maafkan kejadian malam ini. Kita lanjutkan lagi besok di kantor Atmajaya,” ucap Dion. Sem
Arka menatap Ana dengan penuh ketidakpercayaan. “Kamu jahat Ana, kamu kenapa ingin pergi dari sini? Karena Putra?” tuduh Arka.Ana menggeleng cepat. “Tidak, Pak. Gak ada urusannya dengan Putra. Kami hanya sebatas teman. Saya minta dengan sangat, jangan bawa saya ke dalam masalah pribadi pak Arka. Saya sudah tidak punya apa-apa lagi selain diri saya sendiri,” ungkap Ana dengan jujur. Dia merebahkan diri di kasur. Ana terlihat sangat lelah dengan semua masalah yang telah dia lewati. Tak seharusnya dia berada di rumah megah ini. Yang mana keberadaannya sering kali tak dianggap. Yang mana tangisnya hanyalah lagu pengantar tidur bagi dirinya sendiri. Semua seolah menuntutnya sesuai keinginan mereka saja.***“Turunkan posisi dia, Pa. Biar dia tidak semena-mena dengan orang lain,” titah Rika pada sang suami.Kedatangan kedua orang tua Arka. Biasanya kabar baik bagi seorang anak. Tidak dengan Arka, kedatangan orang tuanya pasti menambah masalah atau membuat masalah baru.“Ma, Arka tidak sal
Ana melewati Arka. Dia langsung memasuki kamarnya. Ternyata Gio masih terlelap di posisi awal. Ana merasa lega melihat anak itu sedang tertidur pulas. Sementara Arka mengikuti Ana sampai ke tempat tidur. “Jangan bilang tebakan saya benar,” tuduh Arka kembali. Akhir-akhir ini dia semakin gencar mengurusi urusan sang istri. “Saya bukan pak Arka,” keluh Ana. Dia menaruh tas dan beberapa barang yang dia beli. Arka tersenyum simpul. “Baguslah,” ucap Arka memuji Ana. “Saya mau mandi, Pak. Bisa keluar dulu?” pinta Ana. Dia sudah memegang handuk mandinya. “Eeh, sebentar, saya mau bilang kalau Papa ngajak kita makan bareng nanti malam,” beo Arka. Dia nampak ragu memberitahu berita itu. “Iya, Pak,” sahut Ana menyetujuinya. “Kamu gak masalah?” tanya Arka melihat reaksi Ana. “Iya gak apa-apa, saya mau kok. Lagipula sama Gio juga kan,” ujar Ana mengedikkan bahu. “Yaa kan, tau sendiri Mama saya seperti apa …,” ucap Arka menggantung. Dia lebih khawatir pada Ana. “Nanti ada Pak A
Arka langsung menarik Ana dalam dekapannya. Sementara Gio langsung digendong oleh Bella. “Papa, kenapa Papa malah nampar Mama hah?” bentak Rika memegangi pipinya. “Papa malu, punya istri macam kamu. Dia juga perempuan, dia menantu kamu. Harusnya kamu kalau mau dihormati ya minimal menghargai,” balas Abraham. Dia sedikit menyesal telah menampar sang istri. Tapi dia tak ada pilihan lain. Sebab Rika telah membuatnya malu. “Apa istimewanya perempuan ini hah? Dia memang tidak pantas jadi menantuku. Aku jijik sebenarnya sama perempuan kampungan macam dia,” cecar Rika menunjuk Ana. Gio terlihat ketakutan, Bella langsung menyerahkan pada bi Sri yang ternyata juga ikut dengan mereka. “Mama!” pekik Abraham hendak menampar Rika dua kali. “Cukup, Arka sudah mengira kalau acara ini akan seperti ini. Cukup Mama! Arka sudah muak,” bentak Arka dengan tatapan dingin. Ana ketakutan, dia menangis sejadi-jadinya. Dia bermimpi dan berharap untuk malam ini agar tak ada keributan. Tapi impiann
Tak ada jawaban. Arka mencoba menghubungi Ana berkali-kali. Ana kembali keluar tanpa izin padanya. “Halo,” sapa Ana di seberang sana. “Dimana?” tanya Arka dengan suara dingin. “Bazar buku, Pak. Setelah ini saya pulang,” jawab Ana dengan lirih. “Pulang sekarang,” titah Arka. “Belum selesai, sepuluh menit lagi selesai …,” imbuh Ana. Namun telepon mereka tiba-tiba diputus oleh Arka sepihak. Ana menghentakkan kedua kakinya ke lantai. Dia terlihat kesal dengan Arka yang suka mengatur hidupnya. Padahal Ana hanya keluar satu kali tiap seminggu untuk pergi ke Bazar buku. “Kenapa, An?” tanya Putra sambil memberi sebuah jus alpukat kesukaan Ana. “Aku sudah disuruh pulang, Put. Padahal kan bazarnya baru dimulai,” jawab Ana terlihat kesal. Namun dia tetap menerima jus pemberian Putra. “Aku bilangin ke Pak Arka ya,” pinta Putra. Dia langsung mengambil ponselnya. “Jangan-jangan, gak apa-apa kok. Mungkin Gio butuh aku,” tolak Ana menghentikan Putra. “Tapi, An,” ucap Putra mengga
Ana memakan potongan buah dengan begitu menikmati. Dia mengunyah setiap potongan itu dengan khidmat. Rasa buah anggur yang manis berpadu dengan stroberi yang sedikit asam. “Terima kasih ya, Put,” ucap Ana tersenyum penuh pada laki-laki di depannya. Laki-laki itu pun membalas senyum perempuan yang telah lama dia sukai. “Iya, An. Apa sih yang nggak buat kamu,” balas Putra. “Ini kontrakan kamu bersih banget ya. Pasti nyaman disini,” puji Ana meneliti setiap sudut ruang tamu di kontrakan full desain putih itu. Tampak sederhana namun sangat bersih dan begitu rapi. “Iya dong, mau tinggal disini?” tawar Putra sambil menahan senyumnnya. Ana menggeleng cepat. “Nggak lah. Aku harus kerja, Put,” ucap Ana menahan malu. Dia menunduk menghindar dari tatapan Putra. Putra mendekati tempat duduk Ana yang berupa kursi panjang. Kursi itu bisa berisi tiga orang jika diduduki. Putra semakin mendekati Ana. Lalu laki-laki itu mengelus kepala Ana dengan begitu lembut. “Kalau ada masalah apapun