Arka menatap Ana dengan penuh ketidakpercayaan. “Kamu jahat Ana, kamu kenapa ingin pergi dari sini? Karena Putra?” tuduh Arka.Ana menggeleng cepat. “Tidak, Pak. Gak ada urusannya dengan Putra. Kami hanya sebatas teman. Saya minta dengan sangat, jangan bawa saya ke dalam masalah pribadi pak Arka. Saya sudah tidak punya apa-apa lagi selain diri saya sendiri,” ungkap Ana dengan jujur. Dia merebahkan diri di kasur. Ana terlihat sangat lelah dengan semua masalah yang telah dia lewati. Tak seharusnya dia berada di rumah megah ini. Yang mana keberadaannya sering kali tak dianggap. Yang mana tangisnya hanyalah lagu pengantar tidur bagi dirinya sendiri. Semua seolah menuntutnya sesuai keinginan mereka saja.***“Turunkan posisi dia, Pa. Biar dia tidak semena-mena dengan orang lain,” titah Rika pada sang suami.Kedatangan kedua orang tua Arka. Biasanya kabar baik bagi seorang anak. Tidak dengan Arka, kedatangan orang tuanya pasti menambah masalah atau membuat masalah baru.“Ma, Arka tidak sal
Ana melewati Arka. Dia langsung memasuki kamarnya. Ternyata Gio masih terlelap di posisi awal. Ana merasa lega melihat anak itu sedang tertidur pulas. Sementara Arka mengikuti Ana sampai ke tempat tidur. “Jangan bilang tebakan saya benar,” tuduh Arka kembali. Akhir-akhir ini dia semakin gencar mengurusi urusan sang istri. “Saya bukan pak Arka,” keluh Ana. Dia menaruh tas dan beberapa barang yang dia beli. Arka tersenyum simpul. “Baguslah,” ucap Arka memuji Ana. “Saya mau mandi, Pak. Bisa keluar dulu?” pinta Ana. Dia sudah memegang handuk mandinya. “Eeh, sebentar, saya mau bilang kalau Papa ngajak kita makan bareng nanti malam,” beo Arka. Dia nampak ragu memberitahu berita itu. “Iya, Pak,” sahut Ana menyetujuinya. “Kamu gak masalah?” tanya Arka melihat reaksi Ana. “Iya gak apa-apa, saya mau kok. Lagipula sama Gio juga kan,” ujar Ana mengedikkan bahu. “Yaa kan, tau sendiri Mama saya seperti apa …,” ucap Arka menggantung. Dia lebih khawatir pada Ana. “Nanti ada Pak A
Arka langsung menarik Ana dalam dekapannya. Sementara Gio langsung digendong oleh Bella. “Papa, kenapa Papa malah nampar Mama hah?” bentak Rika memegangi pipinya. “Papa malu, punya istri macam kamu. Dia juga perempuan, dia menantu kamu. Harusnya kamu kalau mau dihormati ya minimal menghargai,” balas Abraham. Dia sedikit menyesal telah menampar sang istri. Tapi dia tak ada pilihan lain. Sebab Rika telah membuatnya malu. “Apa istimewanya perempuan ini hah? Dia memang tidak pantas jadi menantuku. Aku jijik sebenarnya sama perempuan kampungan macam dia,” cecar Rika menunjuk Ana. Gio terlihat ketakutan, Bella langsung menyerahkan pada bi Sri yang ternyata juga ikut dengan mereka. “Mama!” pekik Abraham hendak menampar Rika dua kali. “Cukup, Arka sudah mengira kalau acara ini akan seperti ini. Cukup Mama! Arka sudah muak,” bentak Arka dengan tatapan dingin. Ana ketakutan, dia menangis sejadi-jadinya. Dia bermimpi dan berharap untuk malam ini agar tak ada keributan. Tapi impiann
Tak ada jawaban. Arka mencoba menghubungi Ana berkali-kali. Ana kembali keluar tanpa izin padanya. “Halo,” sapa Ana di seberang sana. “Dimana?” tanya Arka dengan suara dingin. “Bazar buku, Pak. Setelah ini saya pulang,” jawab Ana dengan lirih. “Pulang sekarang,” titah Arka. “Belum selesai, sepuluh menit lagi selesai …,” imbuh Ana. Namun telepon mereka tiba-tiba diputus oleh Arka sepihak. Ana menghentakkan kedua kakinya ke lantai. Dia terlihat kesal dengan Arka yang suka mengatur hidupnya. Padahal Ana hanya keluar satu kali tiap seminggu untuk pergi ke Bazar buku. “Kenapa, An?” tanya Putra sambil memberi sebuah jus alpukat kesukaan Ana. “Aku sudah disuruh pulang, Put. Padahal kan bazarnya baru dimulai,” jawab Ana terlihat kesal. Namun dia tetap menerima jus pemberian Putra. “Aku bilangin ke Pak Arka ya,” pinta Putra. Dia langsung mengambil ponselnya. “Jangan-jangan, gak apa-apa kok. Mungkin Gio butuh aku,” tolak Ana menghentikan Putra. “Tapi, An,” ucap Putra mengga
Ana memakan potongan buah dengan begitu menikmati. Dia mengunyah setiap potongan itu dengan khidmat. Rasa buah anggur yang manis berpadu dengan stroberi yang sedikit asam. “Terima kasih ya, Put,” ucap Ana tersenyum penuh pada laki-laki di depannya. Laki-laki itu pun membalas senyum perempuan yang telah lama dia sukai. “Iya, An. Apa sih yang nggak buat kamu,” balas Putra. “Ini kontrakan kamu bersih banget ya. Pasti nyaman disini,” puji Ana meneliti setiap sudut ruang tamu di kontrakan full desain putih itu. Tampak sederhana namun sangat bersih dan begitu rapi. “Iya dong, mau tinggal disini?” tawar Putra sambil menahan senyumnnya. Ana menggeleng cepat. “Nggak lah. Aku harus kerja, Put,” ucap Ana menahan malu. Dia menunduk menghindar dari tatapan Putra. Putra mendekati tempat duduk Ana yang berupa kursi panjang. Kursi itu bisa berisi tiga orang jika diduduki. Putra semakin mendekati Ana. Lalu laki-laki itu mengelus kepala Ana dengan begitu lembut. “Kalau ada masalah apapun
Sesama perempuan tapi dengan entengnya bertanya seperti itu. Apakah pantas? “Bel, gak ada perempuan yang mau dimadu. Kamu perempuan normal pasti juga tidak mau kan,” sungut Ana. Dia nampak kesal dengan sikap Bella yang terlihat egois. “Ada kok An, ada. Temanku dimadu dan dia fine fine aja. Selagi si laki-laki adil bukan? Lagipula ini kan permintaan mamanya mas Arka. Aku gak bisa nolak, apalagi mamaku juga suka banget sama mas Arka,” ucap Bella dia nampak sedih. Ana memegang kepala terasa pusing. Bisa-bisanya dia terjebak dengan masalah ini. Dia mengingat sesuatu, iya, dia mengingat kejadian itu lagi. “Ouh, iya. Aku mau dicerai aja gak apa-apa. Aku juga gak pernah ada perasaan sama pak Arka. Aku sadar diri,” ucap Ana terlihat tersenyum pada Bella. “Beneran An?” tanya Bella terkejut. “Iye Bel, beneran banget. Tapi sepertinya bakal dipersulit sama pak Arka. Ya sudah dimadu juga gak apa-apa. Lagian ya tau sendiri lah,” ucap Ana terlihat pasrah. Dia tampak tak ingin memperpanjan
Arka mencegat Ana. Ana menghempas tangan Arka. Tatapan penuh kecewa dari Ana. Arka memegang kedua telapak tangan Ana lagi. “Ana, maafkan saya. Saya khilaf. Saya telah berjanji itu kekhilafan terakhir saya,” ungkap Arka dengan tatapan mengiba. “Khilaf? Pak Arka sadar kan sama ucapan bapak sendiri,” cecar Ana. Dia terus berusaha melepaskan diri dari Arka. “An, saya bisa jelasin semuanya. Saya bakal jujur sama kamu, tapi tolong maafin saya dulu,” ungkap Arka. Dia memaksa Ana agar mau dipeluk. Ana berusaha memberontak dan mendorong Ana. Tetap saja kekuatan Arka lebih besar darinya. “Nggak, Pak. Pak Arka berlebihan. Nyalahin saya tapi diri sendiri yang selalu bersalah. Saya hanya manusia biasa pak, bisa sakit hati. Selama ini saya cukup sabar,” beo Ana. Air matanya sudah luruh. “Nggak, dengerin saya dulu,” paksa Arka. Dia membawa Ana dalam pelukannya. “Saya mau pergi dari sini, tolong izinkan saya pergi, Pak,” lirih Ana dengan suara yang sudah serak. “Ayo kita ke kamar,” aja
Semua karyawan yang hadir tampak terkejut dengan penuturan Arka. “Pak, maaf, maksud saya bukan seperti itu,” tutur seorang karyawan perempuan yang merasa bersalah.“Saya tidak mau siapapun menganggap remeh istri saya!” ancam Arka dengan menatap intens ke semua karyawannya.“Saya minta maaf, Pak,” ungkap karyawan itu lagi.“Dion, urus pemberhentian karyawan itu,” titah Arka. Dion langsung mengangguki.Arka langsung meninggalkan ruangan utama rapat itu. Diikuti juga oleh Dion dan beberapa karyawan inti. Beberapa karyawan lain mendekati karyawan yang tadi langsung di tempat. Terlihat karyawan perempuan itu langsung ketakutan dibuatnya.“Persembahan bisnis skincare ini harus berjalan dengan lancar. Kenapa tadi ada yang membuat masalah?” tanya Dion pada divisi penyelenggara.“Maaf, Pak. Saya tidak tau akan ada kejadian itu. Saya sudah mewanti-wanti semua karyawan,” ucap salah satu divisi penyelenggara.“Sepertinya ada yang tidak beres,” sungut Dion nampak berpikir keras.Sementara di ruang
Balqis dan Ashraf menuju ke rumah sakit, didampingi oleh Gibran dan istrinya. Mereka langsung menemui dokter yang menangani kemal.“Keadaan saudara Idris tidak baik-baik saja, Dia mengalami benturan yang cukup keras di kepalanya. Saudara juga mengeluarkan cukup banyak darah. Kami sedang mengusahakan yang terbaik untuknya,” ujar dokter laki-laki itu.“Apakah anak saya akan baik-baik saja dok?” tanya Ashraf begitu khawatir.“Insya Allah. Doakan selalu untuk saudara Idris,”“Terima kasih, dok,” ucap Ashraf menjabat tangan dokter itu.“Sudah Humairah, jangan sedih berlarut seperti ini. Anak kita selamat, Alhamdulillah,” Ashraf mendengarkan sang istri dengan memeluknya erat.“Tapi Mas, Kemal itu cengeng kalau luka sedikit. Terakhir waktu dia masih Mts, disuntik aja dia nangis-nangis semalaman,” kata Balqis sambil sesenggukan. Tangisnya pecah semenjak mendengar anak keduanya kecelakaan.“Humairah, dia sudah dewasa. Kamu lupa ya, dia sudah kuliah semester empat. Dia sudah jadi anak kuat, sab
Fahri tersenyum penuh arti. Akhirnya keinginannya dapat terwujud. “Gus Fahri , kenapa senyum-senyum sendiri?”Suara Adiva menyadarkan lamunan Fahri. “Alhamdulillah kamu sudah menerimanya,” ujar Fahri menunduk malu.“Maksudnya menerima apa ya Gus,” ucap Adiva kebingungan. Padahal sedari tadi dia hanya minat Fahri yang melamun menatap lurus ke depan.“Loh, barusan kamu ngomong apa emang,” “Lah, ga ngomong apa-apa kok, Gus, justru Gus Fahri itu yang bengong. Lagi ngelamunin apaan coba!” gelak Adiva. Fahri memukul-mukul kepalanya pelan. Bisa-bisanya dia berkhayal sampai kesitu. Karena sudah terlanjur malu, akhirnya Fahri meninggalkan meja itu dan menuju ke mejanya sendiri. Nasib sudah, harapannya hanya sebatas khayalan saja.***Setelah hampir dua minggu- an, pesantren Al Muhajirin pasca berduka. Kini aktivitas belajar mengajar di pesantren Al Muhajirin kembali konsisten lagi. Jadwal kegiatan santri dan santriwati sudah seperti biasanya.Terlihat dua perempuan memakai jilbab pasmina den
Tujuh belas hari berlangsung semenjak kecelakaan, Kemal belum tersadarkan juga dari komanya. Yang biasanya menangis dengan histeris, namun sekarang berbeda. Balqis terduduk di samping sang putra dengan tatapan kosong, bahkan sudah dua hari ini dia tidak mau menyentuh makanan sedikitpun.“Humairah, Ayo makan, kamu jangan seperti ini sayang. Disini ada mas, kamu harus kuat. Anak kita pasti baik-baik saja, percaya sama mas,” Ashraf selalu saja membujuk sang istri. Namun tak ada respon. Sang istri hanya termenung dengan tatapan kosong dengan sesekali air matanya mengalir. Dengan setia sang ibu menemani putra keduanya itu.“Abah,” panggil Fahri.“Coba kamu bujuk ummah kamu, dia nanti bisa sakit kalau gak mau makan kayak gini, Fahri,” “Baik Abah, Fahri coba,”Fahri mendekati Ummahnya, Fahri menangis memeluk sang ummah. “Ummah, ayo makan. Ummah udah dua hari loh belum makan. Nanti ummah sakit, nanti siapa yang mau jaga Kemal lagi kalau ummah sakit. Kemal pasti sedih banget liat ummah kaya
Fahri memarkirkan motornya di parkir perpustakaan. Dia baru selesai jam mata kuliahnya dan sekarang mau mencari beberapa buku untuk rujukan tugasnya. Terlihat Adiva yang baru keluar dari perpustakaan. Fahri pun menghampiri Adiva yang mau menuju ke parkiran untuk mengambil motornya.“Adiva, ada salam dari ustadzah Ratna. Nanti jam empat sore ada tambahan jam mengajar untuk kamu,” kata Fahri.“Iya,” jawab Adiva lalu menyalakan motornya.“Adiva tunggu! Saya mau bicara sama kamu. Ini penting,” Adiva mematikan motornya, laku membuka Helm yang sudah dia kenakan. “Kenapa Gus?” tanyanya.“Ada yang perlu saya bicarakan sama kamu,” kata Fahri.“Maaf Gus, saya sedang terburu-buru, ada urusan,” kata Adiva lalu memakai kembali helmnya dan langsung melajukan motornya dengan kecepatan sedang.Fahri hanya berdecak pelan melihat Adiva yang sepertinya menjauhi dirinya. Sementara dari belakang tiba-tiba ada yang menepuk bahu Fahri dengan pelan.“Gimana Gus?” Farhan terlihat tersenyum miring menatap Fah
Balqis menggeleng cepat. “Nak, kamu anak ummah sama Abah. Maafin Abah ya, Abah lagi emosi. Abah cuman gak mau kamu kenapa-kenapa, kamu sangat berharga untuk kami,” ucap Balqis sambil mengelus pipi Fatah.“Humairah, jangan selalu dibela dan dimanja. Dia sudah dewasa, bukan anak kecil lagi,” larang Ashraf kembali ke tempat duduknya.Sementara Fahri dan Kemal masih berdiri mematung. Mereka tak ada hak untuk membela sang kembaran, mereka hanya terdiam melihat semua hal yang telah terjadi.“Mas, sudah mas, dia anak kita. Dan anak itu titipin, gak ada yang sempurna. Mungkin ini kekurangan Fatah, aku yakin kalau dia bisa berubah,” kata Balqis terus saja mengelus pipi sang anak yang sudah kemerahan.“Tidak ummah, Fatah bukan anak baik. Fatah gak pantas berada disini, ummah,” kata Fatah menatap sang ummah yang begitu tulus menyayanginya.“Jangan seperti itu nak, ummah mengandung kamu selama sembilan bulan. Menyusui kamu, merawat kamu sampai sebesar ini. Setelah itu kamu merasa karena kekuranga
Fahri dan Fatah berlari secepat mungkin melewati lorong rumah sakit. Mereka berdua sangat panik saat mendengar kabar kalau saudara kembarnya mengalami kecelakaan. Hari ini mereka tidak memegang ponsel, ponsel keduanya sama-sama tertinggal di pesantren entah kenapa bisa berbarengan seperti itu.Hingga sore hari seorang santri menghampiri kampus dan menemui keduanya untuk memberitahu keadaan kemal yang sedang berada di rumah sakit. “Astaghfirullah, hp Fahri sama Fatah ketinggalan. Abah, Ummah, bagaimana keadaan Kemal?” tanya fahri dengan nafas memburu.“Bang Kemal baik-baik aja kan, Abah, Ummah,” begitupun dengan Fatah. Badannya terasa sakit setelah bercosplay menjadi hokage ke tujuh.Tertinggal suara tangisan balqis yang terus-menerus. Dari sang comments tak ada jawaban melahirkan air mata yang terus aja mengalir deras. “Insya Allah. Saudara kalian akan baik-baik saja,” terang Ashraf sambil terus mengelus bahu sang istri.“Ummah,” panggil Fahri yang langsung memeluk sang ummah dengan
Beberapa penonton yang mendengar ucapan Alya langsung tertawa dan berbisik. Fatah terlihat semakin kesal dibuatnya. Perempuan disampingnya ini benar-benar membuatnya merasa tak nyaman.“Sudah gagal jadi juara satu, ditambah berurusan sama perempuan kek gini, astaghfirullah,” ucap Fatah meninggalkan Alya.“Eh, tunggu, Fatah? Kamu mau kemana!” kata Alya sambil berlari kecil mengejar Fatah.“Aelah, bang, tolongin dong!” ucap Fatah memelas pada kedua saudaranya.Fahri dan Kemal saling berpandangan, adik ketiganya memelas memohon perlindungan dari perempuan disampingnya itu.“Maaf ya mbak, kembaran saya ini belum pernah dekat dengan perempuan. Jadi jangan bersikap seperti itu,” ucap Kemal dengan ramah.Alya mengerjap beberapa kali, “Ouhh, alergi perempuan atau gimana?” tanya Alya menatap ketiga Gus kembar itu secara bergantian.Kemal dan Fatah menepuk jidatnya bersamaan. “Astaghfirullah, kenapa harus seperti ini,” ucap Fatah merutuki kejadian sekarang yang menimpanya- lagi.Setelah itu, ke
Sementara di luar pintu ruangan itu, Kemal sedang tertawa geli. Idenya berjalan juga meskipun tidak tau gagal atau berhasil. Lalu Kemal pun memasuki ruangan itu dengan senyuman khasnya. Dia berjalan dengan sangat santai.“Gus Kemal!” sapa ustadz Ridho.“Sudah sampai mana diskusinya?” tanya Kemal berderham berpura-pura tidak tau sambil melihat berkas yang dipegang ustadz Ridho.“Ini Gus, pembacaan tugas masing-masing,” kata Ustadz Ridho menunjukkan pada bagian atas nama-nama dan tugasnya.“Oalah, silahkan lanjut saja,” katanya lalu duduk diantara kedua saudara kembarnya.“Baik Gus. Bagaimana Gus Fahri, apa mau diubah atau tetap begini saja?” tanya ustadz Ridho pada Fahri.“Mungkin diubah saja, Ustadz. Masih ada ustadz yang lain yang bisa menjalankan tugas itu,” ucap Fahri dengan cuek.“Kenapa harus diubah? Biarkan saja seperti itu, sepertinya sudah lengkap kan dengan tugasnya masing-masing,” sanggah Kemal dengan cepat.“Ubah saja!” Kedua saudara itu saling sanggah. Para ustadz dan ust
Adiva hanya tersenyum dibuatnya, lain dengan Fahri yang sudah semrawut. Rambutnya sudah acak-acakan karena dia yang mengajaknya sendiri. Mungkin dia terlalu malu dan tak enak dengan candaan sang ummah yang berlebihan, apalagi di depannya sedang ada Adiva.“Ummah,” peringat Fahri pada sang ummah agar tak melancarkan lagi bercanda yang berlebihan.“Saya izin kembali ke ruangan dulu Bu Nyai,” pamit Adiva.“Silahkan nak, kamu jangan risih ya kalau saya becandain kayak barusan. Dibalik bercanda saya itu ada yang kata-kata serius juga,”“Iya Bu nyai,” pamit Adiva mencium tangan Balqis.Adiva meninggalkan ruangan itu. Barulah Fahri bisa leluasa memprotes sang ummah yang bercanda tak habis-habisnya. “Ummah, biar apa coba, kayak gitu waktu ada Adiva,” kata Fahri.“Loh, emangnya salah ya, ummah cuma mau bercanda kok,” ucap Balqis sambil menahan tawanya.“Fahri mau ke asrama putra aja deh,” Fahri langsung meninggalkan sang ummah. Balqis geleng-geleng melihat sang anak sedang badmood akan dirinya