“Bagaimana dengan buah apel yang kuminta, sayang?”Embun menatap ke arah Kaisar yang baru saja pulang dari restoran sate dekat tempat ini. Sepertinya pria itu tak membaca pesan yang dikirimkannya beberapa saat lalu. Ah, salah Embun juga sih. Tadi tiba-tiba saja ia ingin apel segar. Ekspresi di wajah Kaisar terlihat sedikit bingung. Lalu dengan polos ia mengangkat plastik berisi sate yang dipesan oleh Embun tadi. “Lalu, satenya bagaimana?”Embun tersenyum. “Tiba-tiba sudah tidak ingin. Buat kamu saja.”Meskipun agak bingung dengan sikap Embun saat ini, tapi entah kenapa, Kaisar tetap merasa senang. Ia mengusap lembut kepala Embun. “Jadi, bagaimana? Mau beli apel segar dulu saja?”Embun terlihat berpikir sejenak, sebelum ia menatap Kaisar dengan berseri-seri. “Aku punya ide yang lebih baik. Gimana kalau kita ke perkebunan apel saja?”Dahi Kaisar mengernyit. “Perkebunan apel? Tapi, kita bisa beli apel di supermarket dekat sini, kan?”Embun menggeleng. Benar-benar tidak seperti biasanya
"Karena kau akan belajar langsung dari ahlinya."Embun menatap Kaisar, dan berujar dengan ragu, "Kau bisa berkuda, Kaisar?"Kaisar memegang dadanya, sambil menatap Embun dengan ekspresi tersinggung yang dibuat-buat. "Kalau kau mau tau, aku sedikit terluka dengan pertanyaanmu barusan, istriku."Embun menutup mulutnya. Agak tidak percaya juga, jika pria yang semula hanya memiliki satu ekspresi saja, seiring berjalannya waktu, ada ragam ekspresi yang ia tunjukkan secara spontan seperti sekarang ini. "Aku bahkan pernah memenangkan beberapa perlombaan berkuda di masa lalu." Kaisar memasukkan tangannya ke dalam saku, sebelum tersenyum ke arah Embun. Embun merangkul lengan Kaisar sambil menganggukkan kepalanya. "Iya, aku percaya, sayang."**Ketika mereka sampai di tempat berkuda, Kaisar langsung berganti pakaian. Sementara Embun justru terdiam, ia kan sedang hamil? Bagaimana mungkin ia bisa ikut berkuda? “Kamu belum berganti pakaian?” Kaisar keluar dari ruang ganti dengan pakaian dan pe
“Ck. Dia selalu begini kalau aku sedang butuh!”Aletta merutuk sembari kembali memilih opsi ‘panggil’ di ponselnya. Sekali lagi, nama Dominic terpampang di layar, tapi tetap tidak ada jawaban.“Nomor yang Anda tuju, sedang tidak dapat dihu–”Dengan penuh kemarahan, Aletta mengakhiri panggilannya. “Argh, sial!” umpatnya geram. Kali ini, wanita berambut cokelat terang itu ganti menghubungi asisten Dominic. Untungnya, baru pada dering ketiga, panggilannya diangkat.Tapi bukan berarti Aletta akan melewatkan kesempatannya melampiaskan kemarahan pada siapa pun di seberang saluran telepon itu,“Bosmu itu sedang sibuk apa sih? Kalau ditelepon tidak pernah diangkat! Seenaknya saja!” Aletta mengomel. “Apa gunanya dia punya ponsel, hah?”Si asisten diam, membiarkan Aletta mengata-ngatainya karena ia sendiri tahu kalau wanita itu tidak mungkin mengoceh demikian pada Dominic.Setelah puas, barulah Aletta bertanya, “Di mana dia sekarang?”“Tuan Dominic saat ini sedang berada di mansion pribadinya
"Kamu sebenarnya sedang ada masalah dengan Kaisar?""Tidak, Kak." Embun menjawab cepat. "Kan tadi sudah aku bilang kalau dia menjagaku dengan baik.""Lalu kenapa?" Di seberang saluran telepon, Rindang duduk. Siap mendengarkan cerita sang adik. "Coba cerita ke Kakak."Embun menggigit bibir bagian bawahnya sejenak, berpikir, sebelum kemudian mengatakan, "Sepertinya belakangan ini usaha Kaisar sedang banyak masalah. Aku tahu banyak yang harus dia bereskan, tapi saat ini dia justru ada di sini karena khawatir padaku.""Aku tidak mau makin membebaninya, Kak." Embun meremas ujung bajunya dengan gelisah. Ia tidak menyinggung soal Rindang sama sekali. "Aku berencana akan memberitahukan nanti, jika kandunganku sudah lebih kuat dan masalah bisnis Kaisar sudah selesai."Tidak ada sahutan dari Rindang selama beberapa saat hingga Embun memandang ponselnya sesaat, memastikan bahwa ia masih terhubung dengan sang kakak."Halo? Kak Rindang?" ucap Embun lagi."Embun." Setelah beberapa saat, barulah Rin
"Rindang! Ada tamu!"Rindang mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk dan mengernyit. Jarang-jarang ada tamu yang mengunjunginya di sini. Siapa …?Sepasang mata kayak Embun tersebut membeliak tidak percaya saat melihat sosok tamu yang mencarinya hingga ke tempat kerja.“Bagaimana … kenapa kemari!?”***"Persetan. Yang aku inginkan saat ini bukan itu."Cara bicara Dominic membuat Aletta gemetar. Tidak bisa disangkal, ada ketakutan dalam diri perempuan itu ketika berhadapan dengan Dominic.Namun, rasa kesal Aletta lebih besar saat ini."Apa maksudmu berkata begitu?" balas Aletta. "Kamu bilang kalau ingin segera mendengar kabar baik dariku. Sekarang aku sudah susah-susah–Dom, kita mau ke mana!?"Tanpa aba-aba, pria dingin itu menggendong Aletta di bahunya dan membawanya ke kamar dengan mudah."Turunkan aku, Dominic Romero!"Dominic menjatuhkan Aletta ke atas tempat tidur sebelum kemudian tubuh Dominic mengungkungnya di sana."Diam." Pria itu berucap dengan suara rendah. Detik berikut
“Jadi jangan pernah berharap lebih, Aletta.”Usai mengatakan itu, Dominic meninggalkan Aletta sendirian di kamar dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Tidak ada reaksi dari Aletta selama beberapa waktu. Baru ketika ia mendengar suara guyuran air shower dari dalam kamar mandi, Aletta tersadar."Haha," kekeh Aletta pelan, sebelum kemudian suara tawanya makin keras."Astaga, aku sudah gila," katanya. Suaranya masih terdengar serak. "Bisa-bisanya aku berpikir kalau aku dan dia punya kesempatan!"Wanita berambut cokelat itu masih tertawa, seakan ia baru saja mengetahui hal paling konyol di dunia.Ya, pemikirannya."Tolol," rutuk Aletta. Dirinya hanya pion. Seharusnya ia terus mengingat hal itu, tidak peduli apa yang dilakukan Dominic tadi.Pria berengsek itu tidak punya rasa kasih ataupun kepedulian padanya. Semuanya hanya berdasarkan untung dan rugi. Perhitungan yang panjang dan berat, dan fungsi bidak-bidak catur itu untuk kehidupan Dominic Romero.Aletta harus kembali mena
“Kamu harus membantu mewujudkan ambisiku untuk memiliki perusahaan nomor satu di negara ini.” Aletta ingat benar bagaimana reaksinya sewaktu Dominic mengatakan hal itu padanya. Di dalam benaknya hanyalah, 'pria ini sudah gila.'Wanita itu tahu kalau Romero Group memang besar, sangat besar malahan. Tapi masalahnya, di Negara ini, tak ada yang bisa mengalahkan Rahardja Group. Dan semua orang tahu itu. “Sepertinya itu agak sulit, Dom.” Dominic tertawa. “Tidak ada yang sulit untukku, Aletta.”Saat itu, Aletta terkejut bukan main ketika melihat semua kartu truf yang dimiliki Dominic. Dan entah bagaimana, ia merasa Dominic pasti akan menjadi pemenangnya. Dan Aletta kembali disadarkan jika ia seharusnya tidak memikirkan hal lain selain strategi untuk membuat tujuan Dominic berhasil. Ketika Dominic selesai mandi dan berganti pakaian, Aletta yang masih di tempat tidur menatapnya dengan lekat. “Aku sudah punya rencana lain, Dom. Dan akan kupastikan kali ini tidak akan gagal lagi.”Dominic
"Semuanya sudah paham dengan tugas masing-masing, ya?"Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan semua orang yang berada di dalam ruangan ini. Setelah melakukan bongkar pasang beberapa rencana yang sudah disiapkan, dan mencoba berbagai simulasi, akhirnya rencana final mereka telah selesai. Nicholas tidak melihat kelegaan maupun kegugupan di wajah mereka, mungkin karena ini bukanlah operasi pertama mereka. Namun, buat Nicholas sendiri, ia merasakan kegugupan yang luar biasa. Apalagi karena ia adalah The Ace Player di dalam operasi ini. Orang yang akan berada di depan layar, dan berhadapan langsung di meja perjudian. “Kau gugup, ya?”Nicholas menoleh, dan mendapati satu-satunya wanita yang ada di dalam tim ini. Sebelumnya, wanita itu tidak begitu sering mengikuti pertemuan. Mungkin karena ia memiliki project lain selain ini. Nicholas tersenyum tipis. “Tidak juga.” Ia melirik ke arah si wanita, dan melihat jejak darah di jaket putih yang ia kenakan. “Hari yang berat?”Wanita itu menaik
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi