"Kalau begitu, yang tadi akan menjadi kemenanganmu yang terakhir, Tuan..."Ronde selanjutnya pun dimulai kembali. Kali ini, permainan berlangsung sangat sengit. Tidak seperti sebelumnya yang terasa sangat mudah untuk Nicholas. Dan benar saja..."I've told you..."Nicholas tersenyum tipis, agak tidak menyangka soal kekalahannya yang pertama ini. "Permainan yang bagus, Nona."Pria muda itu melihat beberapa pemain baru yang ikut bergabung di meja permainan. Sekalipun banyak pemain baru, namun ia tak bisa berhenti memuji akting yang sangat natural dari wanita di hadapannya ini. Jeanne memainkan bagiannya dengan baik. Sebetulnya, Nicholas tidak menyangka jika Jeanne akan turun secepat ini. "Kau terlalu gemilang malam ini, Dan. Kalau dibiarkan terus-menerus, mereka bisa benar-benar mencurigaimu.""Harus ada yang menghentikan kemenanganmu malam ini."Nicholas ingin sekali menjawab kalimat barusan, dan membela diri. Namun ia mengurungkan niatnya. Ia harus mengakui jika Dominic adalah sal
"Tadi Kak Rindang telepon. Kami ngobrol sebentar jadinya.""Kapan?" Kaisar melirik Embun yang ada di sampingnya. Keduanya sedang di jalan pulang menuju penginapan. "Tadi, saat kamu berkuda," jawab Embun. "Agak tiba-tiba teleponnya, jadi cuma bisa sebentar juga."Kaisar mengangguk-angguk. Pria itu kemudian perlahan menyentuh tangan Embun dan menggenggamnya dengan lembut."Kamu rindu kakakmu."Itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan. Kaisar paham dan mulai bisa membaca ekspresi istrinya tersebut.Embun tersenyum kecil dan mendekat pada Kaisar."Sebenarnya aku agak khawatir," ucap Embun. "Kak Rindang sepertinya sedang ada masalah, tapi dia belum bisa cerita. Atau belum mau, mungkin."Hening sejenak."Mungkin saja memang masalah Kak Rindang bukan urusanku, dan normal-normal saja kalau aku tidak tahu," lanjut Embun. "Hanya saja, aku agak khawatir kalau dia sedang berhadapan dengan Paman dan Bibi.""Hm." Kaisar mengangguk, paham akan kekhawatiran istrinya."Mereka sudah tidak me
Peter Kurniawan yang bergabung di tengah-tengah permainan, membuat Nicholas sangat tidak fokus.'Ini tidak boleh terjadi' Nicholas berusaha menyemangati dirinya. "Next round?" Nicholas masih belum bisa bangkit dari kursi ini karena belum ada perintah selanjutnya. Jeanne juga masih tampak sangat tenang di hadapannya. Beberapa pemain ada yang mengakhiri permainan, sedangkan yang lainnya memilih bertahan. "Ulur waktu, Dan. Sedikit lagi." Nicholas melemparkan chip miliknya ke atas meja. "I'm in..." Permainan pun dimulai lagi. Kali ini, Nicholas tidak berusaha untuk mengungguli siapapun. Dan justru, ia melakukan strategi berbeda."Raise!" Ketika salah seorang pemain menaikkan taruhannya, Nicholas malah berkata, "Fold." Semua orang terkejut. Nicholas meletakkan kartunya di atas meja. Karena hal ini, beberapa pemain ada yang merasa ragu, dan banyak yang memilih menyerah. Ketika pemain yang menaikkan taruhan berhasil menang. Semua kartu dibuka, dan kombinasi kartu Nicholas adalah y
Kenapa ... ada Aletta di sini!?"Aduh, kaget ya?" ucap Aletta dengan nada manis tapi penuh cemooh. "Seperti bertemu hantu saja."Embun menarik napas dalam diam dan mengembuskannya pelan sebelum kembali melangkah menuju pintu kamarnya."Sebutan itu sepertinya pantas untukmu, yang tiba-tiba saja menghilang," balas Embun. Ia meraih gagang pintu.Namun, Aletta langsung berdiri di hadapannya, menghalangi."Kok buru-buru begitu, Embun? Kan kita lama tidak bertemu," kata Aletta dengan senyum manis. "Mengobrol dulu lah. Jangan suka menyimpan dendam."Tangan Embun mengepal tanpa sadar, menahan agar dirinya tidak meledak di sana."Aku tidak menyimpan dendam padamu, Aletta, tapi bukan berarti aku memaafkanmu," ujar Embun dengan suaranya yang tenang. "Dan sekarang, aku anggap kita sudah tidak ada urusan apa pun lagi. Sudah sebagai orang asing saja, jadi aku tidak berminat mengobrol denganmu.""Oh, begitu?" goda Aletta masih dengan senyum. Ia mengangkat sebuah amplop cokelat di tangan. "Tapi aku h
“Seret dia yang benar!”Nicholas menggumamkan sesuatu di balik kantong hitam yang menutupi kepalanya. Ia tidak tahu sekarang dirinya tengah dibawa ke mana dan dengan alasan apa ia diperlakukan demikian.Yang jelas, saat ini tubuh Nicholas terasa lemas dan tidak bisa ia kontrol sesuai keinginannya. Dua orang berbadan kekar tengah mengapit lengan Nicholas, masing-masing satu, dan menyeret pria muda itu.Ujung sepatu Nicholas beradu dengan lantai beton, menimbulkan suara gesekan.Ini pasti karena obat yang dipaksakan Xander padanya tadi. Selain membuat syaraf Nicholas terasa seperti lumpuh, obat tadi membuat Nicholas dalam kondisi setengah sadar.Ia tidak tahu harus melakukan apa sekarang.Keponakan Kaisar itu mendengar suara pintu terbuka dan dia dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan–terdengar dari gemanya.Lalu, pergelangan tangan Nicholas diikat dan tubuhnya yang masih terasa lemah digantung di langit-langit. Sekalipun kakinya bisa menyentuh lantai, tapi Nicholas tidak dapat berdiri.B
"... Berikan aku waktu dulu. Ya?"Bahu Kaisar langsung turun mendengar hal itu. Tubuhnya terasa lemas saat Embun merespons demikian."Embun, jangan seperti itu," ucap Kaisar. Pria itu tampak putus asa. Tangan Kaisar yang besar menyentuh milik Embun yang sedang ada di pipinya, lalu menggenggamnya lembut, menahan tangan sang istri agar tetap di sana. "Aku bisa berikan penjelasan." Kaisar berkata lagi. Enggan melepaskan Embun."Kaisar, aku sudah dengar," ucap Embun. Suaranya pelan dan lembut, tidak meninggi seperti orang marah pada umumnya. "Aku bukannya mengabaikan ceritamu. Penjelasanmu cukup, untuk saat ini.""Aku tidak melakukan apa pun dengan wanita itu, Embun." Kaisar kembali menegaskan. "Aku pingsan saat itu.""Iya." Embun mengangguk. "Tapi ... waktu itu aku juga tidak ingat, Kaisar."Pria itu terkejut. Apakah Embun bicara soal insiden di hotel waktu itu? Saat minuman dengan obat perangsang yang diberikan Aletta pada Kaisar, salah diminum oleh Embun?Memang benar saat itu Embun
Sudah beberapa kali Rindang berusaha menghubungi ponsel sang adik, tapi tidak diangkat.Dan itu membuatnya khawatir."Astaga, Embun. Gunanya ponsel itu buat komunikasi! Punya ponsel kok kalau ada telepon tidak diangkat."Itu adalah omelan khas Rindang setiap kali Embun tidak mengangkat teleponnya.Namun, kali ini, wanita itu mengomel pada dirinya sendiri karena ia hanya bisa mendengar nada sambung di ponselnya, bukan sahutan Embun.Sebenarnya tidak apa-apa. Pernah satu dua kali Embun tidak mengangkat telepon Rindang karena sedang ada urusan. Dan Rindang maklum akan hal itu.Akan tetapi, saat ini dirinya tidak bisa diminta tenang."Apa Embun tahu soal Paman dan Bibi?" gumam Rindang pada dirinya sendiri. Dua orang tadi sempat mengunjunginya, dengan tidak tahu malu. Namun, langsung diusir oleh Rindang. "Tadi ia tidak mengatakan apa pun soal mereka. Tapi siapa tahu?"Lalu dengan keputusan bulat, Rindang mengatakan, "Aku harus memperingatkannya."Karena itu, sejak sepuluh menit yang lalu,
"Embun, kamu," Rindang menghela napas, "jangan buru-buru begitu."Embun terdiam.Jika dikatakan terburu-buru, sebenarnya tidak salah juga. Embun benar-benar ingin segera pergi dari sana, sampai-sampai ia sanggup jika memang harus berhadapan dengan administrasi serta kesulitan yang dibuat-buat oleh asisten Dion itu. "Tapi aku mau ketemu," ucap Embun pelan, tanpa sadar sedikit merengek pada kakaknya.Rindang sendiri tidak menyangka kalau Embun akan menampilkan sisi yang ini padanya kali ini. Kalau sudah seperti ini, berarti adiknya ini sudah tidak baik-baik saja.Bahkan mungkin sudah lebih parah dari saat kasus dengan mantan kekasih Kaisar waktu itu."Oke, oke. Mau dijemput di mana? Jam berapa?""Nanti aku kabari lagi, Kak," balas Embun. "Aku berkemas dulu.""Nanti kalau Kakak belum balas juga, telepon ya.""Iya, Kak."Setelah itu, panggilan diakhiri. Embun tidak tahu sebenarnya apakah alasan sebenarnya Rindang menghubunginya. Namun, hal itu bisa ditanyakan nanti. Telepon Rindang bena
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi