Selamat hari raya Idulfitri, teman-teman sekalian~ Mohon maaf lahir dan batin, jikalau author ada salah kata atau sering bikin kesal karena update-annya ya ^^ Jangan lupa selalu jaga kesehatan. Sampai jumpa di update selanjutnya ya~
“Proyek apa, Embun?” Pertanyaan Kaisar berdasar, karena beberapa hari ini, ia tidak mendengar apa pun terkait proyek baru Embun. Pun, jika Embun memiliki proyek dengan Asthana Hotel, sudah pasti Kaisar mengetahuinya. Apakah proyek mandiri? Dengan kafe? Sepertinya tidak juga. Jika iya, Kaisar pasti paling tidak mendapatkan laporan mengenai hal itu. Pria itu berpikir bahwa beberapa hari ini Embun sibuk dengan pengacara dan urusan kafenya, yang meskipun sudah Kaisar bantu, tapi ada beberapa hal yang butuh perhatian Embun. Karenanya, ia cukup terkejut dengan kabar baru ini. “Aku mendapatkan penawaran sebagai pekerja lepas sebagai pengajar kelas memasak,” jelas Embun. Ia berjalan menghampiri Kaisar yang duduk di sofa ruang tamu. Tidak sopan jika ia tetap berdiri di depan pintu, sementara sang suami mengajaknya bicara. “Hanya dua sampai tiga kali seminggu, meski lokasinya di luar kota. Tapi aku pikir, ini adalah tawaran baik. Sekalian aku mau menyegarkan pikiran.” Kaisar bergumam pela
“Pak Kaisar. Kita harus segera ke perusahaan.”Kaisar menoleh pada sang asisten saat Satria mengatakan hal tersebut tepat ketika mereka baru turun dari pesawat pribadinya. Mereka baru saja kembali dari luar pulau untuk mengurus cabang hotel pariwisata yang di sana, memanfaatkan kosongnya apartmen Kaisar karena Embun sudah di luar kota selama beberapa hari. Pria itu mengernyit, menatap haran ke arah sang asisten.“Ada apa?” tanya Kaisar kemudian.Tampaknya Satria sendiri agak kebingungan dalam menjelaskan kepada sang atasan, karenanya hal pertama yang ia lakukan untuk menjawab pertanyaan Kaisar adalah menyodorkan ponselnya kepada pria itu.Sepasang mata Kaisar menyipit memandang ke layar ponsel di hadapannya. Namun, hanya sejenak, karena kemudian ia terbelalak.Berani-beraninya para orang tua itu!“Undangan itu dikirimkan satu jam yang lalu, tepat saat kita akan lepas landas, Pak,” jelas Satria. “Saya juga terlambat mengecek saat di pesawat. Mohon maaf.”Sang asisten membungkuk, jelas
“Pak Kaisar. Kami tidak bermaksud demikian.” Henri Pradana. Kaisar masih mengingat pria paruh baya itu dari pertemuan terakhir mereka di pesta pernikahan keluarga Subagja. “Saya mohon penjelasannya, jika demikian,” ucap Kaisar, setelah membiarkan beberapa saat terlewat dengan keheningan. “Kenapa diadakan rapat dadakan, padahal situasinya tidak sedang mendesak.” “Mungkin Pak Kaisar kurang mengikuti perkembangan,” sahut Henri dengan lancar. Suaranya terdengar percaya diri. “Sebenarnya situasinya sendiri memang cukup darurat. Sebagai salah seorang pemegang saham Asthana sendiri, saya cukup khawatir. Apalagi para anggota dewan yang saat ini hadir, yang pastinya, sahamnya jauh lebih besar dari saya.” “Dari perkataan Pak Henri,” balas Kaisar. Sorot matanya tidak berubah. “Kekhawatiran utama yang menjadi latar belakang diadakannya rapat ini adalah tentang saham. Benar demikian?” Henri mengangguk. “Sekaligus mengenai reputasi Asthana, Pak,” jawabnya. Pria paruh baya tersebut kemudian memb
Usai ketegasan Kaisar yang tidak dapat dibantah dan diragukan lagi oleh para peserta rapat yang lain, termasuk Henri, keputusan diambil.Hasil pemungutan suara tidak bulat, tapi tetap saja pada akhirnya kafe Embun tetap bekerja sama dengan Asthana.Sesungguhnya, Kaisar tidak khawatir dengan hasil akhir, tapi ia marah karena harus mengurusi hal-hal remeh dan tidak berguna seperti ini.Belakangan memang semuanya membuat Kaisar mudah naik darah dan uring-uringan, terutama sejak Kaisar tidak lagi menghabiskan waktu luangnya untuk mengobrol dengan Embun.Namun, tentu saja, hal ini sulit disadari oleh Kaisar.Satria-lah, sebagai asisten pribadi Kaisar yang mendampingi pria itu setiap harinya, yang menyadari perubahan bosnya tersebut. Meskipun, ia belum mengetahui asal mulanya.Sementara itu, jauh dari ibu kota, Embun tampak sibuk. Pikirannya terasa lebih segar dan jernih usai menghabiskan beberapa minggu di luar kota, meskipun memang sebagian besar waktunya ia habiskan di jalan antarkota.A
Dan mungkin … mengirimkannya pada Kaisar?“Teh Embun mau ambil foto?” Tiba-tiba Mila bertanya saat Embun menyentuh ponsel yang ada di tas kecil yang selalu dibawa-bawanya. “Aku bisa bantu.”Embun tertawa kecil. Ia menyerahkan ponselnya pada muridnya tersebut. “Tolong ya kalau begitu,” katanya.Dengan senyum lebar, Mila mengambil foto Embun yang sedang belajar menyetir. Ia bahkan mencoba berbagai gaya, berlagak sebagai fotografer professional dan membuat Embun tertawa, sekaligus mendistraksi wanita berambut sebahu itu dari pelajaran menyetirnya.Pada beberapa kesempatan pula, saat semua sudah turun dari mobil setelah selesai membiarkan Embun memutari lapangan dengan tersendat-sendat bersama sang ayah, gadis itu mengambil foto Embun dengan mobil pick up bekas yang dimiliki keluarganya.“Teh, nanti, mumpung di sini, sekalian saja belajar naik kuda.”Embun tampak terhibur mendengarnya. “Kamu bisa?”“Bisa!” Mila mengangguk kuat-kuat. “Dari kecil!”“Oke.” Embun tersenyum lebar. Beban di bah
“Selamat pagi.”“Se-selamat pagi, Bu Embun.”Embun tersenyum pada para pegawai yang ia temui saat ia melangkah ke kantornya di lantai 2, di Kafe Senjakala. Mereka tampak terkejut dan Embun bisa menduga sebabnya. Wanita berambut sebahu itu pun tidak dapat menyalahkan mereka, karena setelah beberapa waktu, mungkin baru kali inilah Embun bisa menyapa mereka dengan senyum seperti sekarang ini.Ringan, dan cerah.Tiga minggu sudah Embun menjalani program di bawah Dion, hampir satu bulan. Badannya memang terasa remuk, apalagi dengan segala jalan dan waktu yang harus ia tempuh agar bisa bolak-balik lokasi ke rumah, rumah ke lokasi. Ditambah lagi, tidak mulusnya jalan dari stasiun lokal ke bangunan utama peternakan, serta betapa keras dan tegak lurusnya kursi kereta yang diduduki Embun. Badan Embun lelah. Tapi Embun tidak ingin beristirahat karena aktivitas itulah yang membuatnya bisa merasa senang dan bisa tersenyum seperti sekarang ini.Ada kemungkinan karena Embun berada di lokasi yang sa
“Embun. Kamu kok diam saja?” Wanita paruh baya dengan gaya nyentrik itu bertanya. “Tidak rindu dengan Paman dan Bibi?” Tidak langsung bereaksi, Embun masih diam. Otaknya seperti berhenti memproses segalanya untuk memikirkan jawaban dari sebuah pertanyaan: Kenapa paman dan bibinya ada di sini? Bagaimana mereka tahu tentang keberadaan Em– “Ah.” Embun bergumam. Ia menutup matanya dan menghela napas pelan. Jelas saja. Skandalnya pasti sudah meluas kemarin. Dengan semua pemberitaan yang ada, serta profil Embun sudah tersebar di mana-mana, paman dan bibinya pasti bisa menemukannya dengan mudah di Kafe Senjakala. “Kamu dari mana saja, Embun?” tanya wanita yang memanggil dirinya sebagai bibi Embun tersebut. “Selama bertahun-tahun, Bibi mencari kamu dan Rindang, tapi tidak ketemu. Ternyata kamu sudah sukses sendiri begini.” Bohong. Embun tidak memercayai apa pun yang keluar dari bibir bibinya. “Betul.” Sang paman menimpali. “Baru setelah melihat berita kamu, kami jadi tahu soal kamu.” Ah
Beberapa jam yang lalu …. “Kamu terlihat berbeda dari biasanya hari ini, Embun.” Embun mendongak ketika mendengar suara Dion saat ia mengemasi barang-barangnya. Tampaknya ia sempat melamun lagi, hingga Dion kemudian menegurnya. Di belakang pria itu, ada beberapa orang rekan Embun yang mencuri-curi pandang ke arah mereka. “Selamat malam, Pak Dion,” ucap Embun. Ia memasang senyum formal seperti biasanya. Sejak menerima pekerjaan dari Dion dan menjadi pengajar di sini, Embun memperlakukan Dion seperti atasannya. Wanita itu berpikir bahwa itulah pilihan terbaik untuk membatasi dirinya dan pria yang tidak pernah bisa Embun ketahui motivasinya tersebut. Dion mengangguk. “Kamu ada masalah? Mungkin kelelahan?” tanyanya lagi. “Tidak, Pak.” Embun menggeleng. “Tidak ada masalah. Tapi memang mungkin sedikit lelah.” Bohong. Kemunculan bibi dan pamannya di kafe tempo hari benar-benar membebani pikiran Embun. Ia jadi mengkhawatirkan segala jenis hal, sekaligus berasumsi banyak tentang motivasi