“Jadi. Selarut ini, dan kamu bersama Dion?”Kaisar menatap Embun. Wanita itu tampak seperti mengurungkan niatnya untuk berjalan pergi lebih dulu dan balas memandang Kaisar. “Tadi aku ketinggalan kereta dan ia menawarkan tumpangan,” jawab Embun. Pikirnya, mungkin Kaisar tidak melihat para rekannya yang juga berada di mobil yang sama dengannya. Namaun, mungkin hal itu tidak perlu dikatakan. Mungkin ia tidak perlu mengoreksi Kaisar, karena toh benar; ia tadi bersama Dion dan ini sudah larut.Ditambah lagi, sejujurnya, setelah mengobrol sepanjang jalan, energi Embun terasa seperti sudah tersedot habis. Ia sudah membayangkan kasurnya dan mungkin saja, ia akan tertidur tepat ketika tubuhnya menyentuh kasur.“Jadi. Proyek yang kamu jalankan beberapa minggu ini. Di luar kota, ternyata melibatkan pria itu?”Embun mengernyit. Pertanyaan Kaisar penuh penekanan. Akan tetapi, Embun yang terlalu lelah untuk berpikir mengenai hal itu dan menebak-nebak, hanya menjawab, “Iya.”Hening sejenak.“Apaka
Prang!“Astaga!”Tidak hanya Embun, tapi dua puluh murid wanita dengan mata cokelat tersebut memandang si pengajar dengan syok, seakan Embun secara sengaja membanting botol kaca 500 ml tersebut.“Maaf, maaf.” Embun buru-buru berjongkok usai melihat ekspresi keterkejutan dari para muridnya untuk memunguti pecahan kaca yang berceceran. Permintaan maaf terukir jelas di wajahnya saat ia menoleh ke arah samping, pada para rekannya yang justru tampak khawatir pada Embun.Sekalipun Embun selalu banyak pikiran, wanita itu selalu profesional dan fokus jika sedang di depan kelas. Ini adalah pertama kalinya Embun berulah, dan itu adalah di depan 25 orang manuusia yang ditemuinya tiga kali seminggu.“Maaf ya semua.”Usai mengatakan itu, Embun mulai membersihkan pecahan kaca.Kini, Embun sedang berada di peternakan, di tempat milik Dion, sedang mengajar seperti biasa. Sudah beberapa hari lewat sejak perdebatan terakhirnya dengan Kaisar, tapi ucapan pria itu masih menghuni kepalanya dengan segar.“
“Embun? Ada apa?”Sepertinya Embun terlalu lama melamun sambil menatap Dion hingga pria itu kemudian bertanya dan membuat Embun mengalihkan pandangannya.Namun, tentu saja, Embun tidak menjawab pertanyaan tersebut dan justru berkata, “Sepertinya saya harus segera kembali ke kelas.”Wanita itu bergegas berdiri, tapi Dion menghentikannya dengan memegang kedua bahu Embun dan memaksa istri Kaisar itu untuk kembali duduk.“Hei, santai saja dulu. Aku yakin yang lain bisa mengurusi kelas tadi, meski kamu istirahat di sini,” ucap Dion. Pria itu kemudian berjalan ke rak yang ada di pojok ruangan dan mengambil dua kemasan botol air mineral. Dion kemudian memberikan salah satunya pada Embun setelah ia membuka tutupnya untuk wanita itu.“Terima kasih, Pak.” Embun berucap pelan dan meminum air tersebut.Mendengar itu, Dion menghela napas. “Kamu benar-benar tegas sekali ya, soal panggilan itu,” katanya.Embun mendongak. “Ya?”“Aku pikir,” Dion menjeda kalimatnya untuk minum langsung dari botol mili
“Jelaskan, dengan singkat, apa yang terjadi di sini.”Suasana hening langsung menyertai begitu Kaisar mengucapkan kalimat tersebut. Suara pria itu terdengar dingin hingga menusuk ke tulang, membuat para peserta rapat yang sedang hadir di ruangan tersebut menggigil.Padahal beberapa menit yang lalu, para peserta rapat itu masih sibuk berbicara dan mengobrol. Namun, begitu Kaisar memasuki ruangan rapat, semuanya terdiam.“Kenapa semuanya diam?” ucap Kaisar lagi. Mata hitamnya mengamati wajah para peserta rapat yang sedang setengah menunduk. “Tidak ada yang berniat menjelaskan pada saya?Kali ini, agenda rapat adalah membahas pembangunan pusat perbelanjaan yang akan menyatu dengan Asthana Hotel. Seharusnya proyek ini sudah bisa diresmikan di akhir bulan. Akan tetapi, ada beberapa kendala yang membuat proyek ini belum bisa diresmikan.“Pak Kaisar, mohon maaf. Dua investor besar proyek ini tiba-tiba saja mundur,” ucap salah satu peserta rapat yang duduk di sebelah Nicholas. Pria itu menje
“Dengan Tante Embun? Yang benar saja!”Nicholas menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir pikiran aneh tersebut dari kepalanya.Sang paman jarang sekali terlibat masalah dengan orang, sekalipun sikapnya datar senantiasa seperti itu. Yah, memang Kaisar lebih sering bertemu dengan orang-orang untuk urusan bisnis, tapi–“Oh, Paman tidak bersikap terlalu formal pada Tante Embun, kan?” ucap Nicholas. Namun, dengan segera, ia menepis pikiran buruknya lagi. “Tidak mungkin. Aku lihat ekspresi Paman tiap kali menyingggung soal bekal dari Tante Embun.”Pria muda itu mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan singkat untuk Kaisar.Saat sudah berada di kantornya, barulah Kaisar membuka pesan tersebut.[Tenang saja, Paman. Serahkan semuanya padaku. Paman Kaisar istirahat saja.]Suami Embun tersebut mengizinkan Nicholas untuk membantunya, sebab Kaisar percaya pada kemampuan Nicholas. Meskipun keponakannya itu masih sangat muda, tapi ia adalah pemuda yang cerdas. Nicholas hanya perlu diberik
“Nicholas, cucu Surya Rahardja yang itu, bukan?”Mendengar itu, ibu Friska langsung menoleh ke arah Nicholas dengan ekspresi terkejut. Dari situ Nicholas menduga bahwa tampaknya Friska tidak mengatakan apa pun terkait latar belakang Nicholas kepada keluarganya.Oleh karena itu, saat ini Nicholas tengah tersenyum canggung sembari berkata, “Senang bertemu dengan Anda sekalian.”Rombongan itu terkesiap, kemudian hening selama beberapa saat sebelum semuanya kembali berebutan mengajak Nicholas mengobrol.“Astaga~ Pantas saja wajahmu tidak asing. Ternyata keluarga Rahardja yang itu!”“Benar kamu pacarnya Friska? Sudah berapa lama?”Nicholas masih saja tampak canggung, tapi ia mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu satu per satu selihai mungkin. Sementara, ibu Friska masih saja terdiam di sampingnya, seakan tidak percaya bahwa ia melewatkan informasi terpenting tersebut.Bagaimana tidak? Saat itu, Friska memang hanya mengatakan padanya bahwa, “Kenalkan, ini Nic. Pacarku.”Awalnya, Bu Nin
“Lima puluh?”Embun terkejut ketika mendengar jumlah peserta yang mendaftar kelasnya. Jumlah itu adalah dua kali lipat dari keseluruhan siswa yang ada di kelas hariannya. Oleh karena itu, pada akhirnya kelas Embun dibagi menjadi dua kelas, otomatis mengambil waktu Embun lebih banyak daripada hari=hari biasanya.Itu adalah salah satu sebab Embun memutuskan untuk menginap selama beberapa hari di sini, alih-alih pulang setiap hari ke apartemen.“Ini bulan keduamu di sini, kan, Embun?” ucap Gina, salah satu rekan Embun di sana. Wanita muda yang tampaknya berusia sekitar 25 tahun tersebut jugalah yang bersedia membagi kamarnya dengan Embun selama beberapa malam. “Bagaimana menurutmu?”“Sejauh ini, semua tampak oke,” jawab Embun disertai senyum.Gina tertawa ringan. “Yah, nanti kutanya lagi ya setelah kamu mengajar di masa liburan ini.”Benar, Bulan kedua Embun bekerja di situ bertepatan dengan liburan sekolah, yang biasanya akan membuat tempat itu dikunjungi oleh banyak anak-anak dan remaj
“Kenapa aku memikirkan ini sekarang?” Embun menatap gadis cilik yang sedang bersamanya sementara gadis cilik itu sedang menyodorkan sepiring pancake dan sendok pada Embun. “Ayo dimakan, Kak!” ucap gadis cilik itu, membuat Embun tersenyum dan mencoba hidangan buatan si koki kecil. Namun, di otaknya, dia ada pikiran lain selain menganalisis rasa dari apa yang baru saja Embun makan. Kira-kira, bagaimana sikap Kaisar di sekitar anak kecil ya? Jelas, Embun tahu kalau Kaisar tidak mengharapkan anak karena obrolan itu sama sekali tidak pernah disinggung oleh Kaisar sebelumnya, sejak mereka menikah dan sepakat tentang apa yang mereka harapkan dari pernikahan ini. Toh, Papa Surya juga tidak menekan mereka. Beliau sudah memiliki cucu dari kakak-kakak Kaisar, jadi tidak ada tekanan. Akan tetapi, Embun penasaran. Jika dihadapkan dengan anak kecil, bagaimana Kaisar akan bersikap. “Bagaimana, Kak? Enak?” Si gadis cilik itu tampaknya menunggu reaksi Embun. Karenanya, istri Kaisar tersebut te