Selamat malam. Mari kita sambut hari Senin dengan presiden direktur kita semua.
Usai ketegasan Kaisar yang tidak dapat dibantah dan diragukan lagi oleh para peserta rapat yang lain, termasuk Henri, keputusan diambil.Hasil pemungutan suara tidak bulat, tapi tetap saja pada akhirnya kafe Embun tetap bekerja sama dengan Asthana.Sesungguhnya, Kaisar tidak khawatir dengan hasil akhir, tapi ia marah karena harus mengurusi hal-hal remeh dan tidak berguna seperti ini.Belakangan memang semuanya membuat Kaisar mudah naik darah dan uring-uringan, terutama sejak Kaisar tidak lagi menghabiskan waktu luangnya untuk mengobrol dengan Embun.Namun, tentu saja, hal ini sulit disadari oleh Kaisar.Satria-lah, sebagai asisten pribadi Kaisar yang mendampingi pria itu setiap harinya, yang menyadari perubahan bosnya tersebut. Meskipun, ia belum mengetahui asal mulanya.Sementara itu, jauh dari ibu kota, Embun tampak sibuk. Pikirannya terasa lebih segar dan jernih usai menghabiskan beberapa minggu di luar kota, meskipun memang sebagian besar waktunya ia habiskan di jalan antarkota.A
Dan mungkin … mengirimkannya pada Kaisar?“Teh Embun mau ambil foto?” Tiba-tiba Mila bertanya saat Embun menyentuh ponsel yang ada di tas kecil yang selalu dibawa-bawanya. “Aku bisa bantu.”Embun tertawa kecil. Ia menyerahkan ponselnya pada muridnya tersebut. “Tolong ya kalau begitu,” katanya.Dengan senyum lebar, Mila mengambil foto Embun yang sedang belajar menyetir. Ia bahkan mencoba berbagai gaya, berlagak sebagai fotografer professional dan membuat Embun tertawa, sekaligus mendistraksi wanita berambut sebahu itu dari pelajaran menyetirnya.Pada beberapa kesempatan pula, saat semua sudah turun dari mobil setelah selesai membiarkan Embun memutari lapangan dengan tersendat-sendat bersama sang ayah, gadis itu mengambil foto Embun dengan mobil pick up bekas yang dimiliki keluarganya.“Teh, nanti, mumpung di sini, sekalian saja belajar naik kuda.”Embun tampak terhibur mendengarnya. “Kamu bisa?”“Bisa!” Mila mengangguk kuat-kuat. “Dari kecil!”“Oke.” Embun tersenyum lebar. Beban di bah
“Selamat pagi.”“Se-selamat pagi, Bu Embun.”Embun tersenyum pada para pegawai yang ia temui saat ia melangkah ke kantornya di lantai 2, di Kafe Senjakala. Mereka tampak terkejut dan Embun bisa menduga sebabnya. Wanita berambut sebahu itu pun tidak dapat menyalahkan mereka, karena setelah beberapa waktu, mungkin baru kali inilah Embun bisa menyapa mereka dengan senyum seperti sekarang ini.Ringan, dan cerah.Tiga minggu sudah Embun menjalani program di bawah Dion, hampir satu bulan. Badannya memang terasa remuk, apalagi dengan segala jalan dan waktu yang harus ia tempuh agar bisa bolak-balik lokasi ke rumah, rumah ke lokasi. Ditambah lagi, tidak mulusnya jalan dari stasiun lokal ke bangunan utama peternakan, serta betapa keras dan tegak lurusnya kursi kereta yang diduduki Embun. Badan Embun lelah. Tapi Embun tidak ingin beristirahat karena aktivitas itulah yang membuatnya bisa merasa senang dan bisa tersenyum seperti sekarang ini.Ada kemungkinan karena Embun berada di lokasi yang sa
“Embun. Kamu kok diam saja?” Wanita paruh baya dengan gaya nyentrik itu bertanya. “Tidak rindu dengan Paman dan Bibi?” Tidak langsung bereaksi, Embun masih diam. Otaknya seperti berhenti memproses segalanya untuk memikirkan jawaban dari sebuah pertanyaan: Kenapa paman dan bibinya ada di sini? Bagaimana mereka tahu tentang keberadaan Em– “Ah.” Embun bergumam. Ia menutup matanya dan menghela napas pelan. Jelas saja. Skandalnya pasti sudah meluas kemarin. Dengan semua pemberitaan yang ada, serta profil Embun sudah tersebar di mana-mana, paman dan bibinya pasti bisa menemukannya dengan mudah di Kafe Senjakala. “Kamu dari mana saja, Embun?” tanya wanita yang memanggil dirinya sebagai bibi Embun tersebut. “Selama bertahun-tahun, Bibi mencari kamu dan Rindang, tapi tidak ketemu. Ternyata kamu sudah sukses sendiri begini.” Bohong. Embun tidak memercayai apa pun yang keluar dari bibir bibinya. “Betul.” Sang paman menimpali. “Baru setelah melihat berita kamu, kami jadi tahu soal kamu.” Ah
Beberapa jam yang lalu …. “Kamu terlihat berbeda dari biasanya hari ini, Embun.” Embun mendongak ketika mendengar suara Dion saat ia mengemasi barang-barangnya. Tampaknya ia sempat melamun lagi, hingga Dion kemudian menegurnya. Di belakang pria itu, ada beberapa orang rekan Embun yang mencuri-curi pandang ke arah mereka. “Selamat malam, Pak Dion,” ucap Embun. Ia memasang senyum formal seperti biasanya. Sejak menerima pekerjaan dari Dion dan menjadi pengajar di sini, Embun memperlakukan Dion seperti atasannya. Wanita itu berpikir bahwa itulah pilihan terbaik untuk membatasi dirinya dan pria yang tidak pernah bisa Embun ketahui motivasinya tersebut. Dion mengangguk. “Kamu ada masalah? Mungkin kelelahan?” tanyanya lagi. “Tidak, Pak.” Embun menggeleng. “Tidak ada masalah. Tapi memang mungkin sedikit lelah.” Bohong. Kemunculan bibi dan pamannya di kafe tempo hari benar-benar membebani pikiran Embun. Ia jadi mengkhawatirkan segala jenis hal, sekaligus berasumsi banyak tentang motivasi
“Jadi. Selarut ini, dan kamu bersama Dion?”Kaisar menatap Embun. Wanita itu tampak seperti mengurungkan niatnya untuk berjalan pergi lebih dulu dan balas memandang Kaisar. “Tadi aku ketinggalan kereta dan ia menawarkan tumpangan,” jawab Embun. Pikirnya, mungkin Kaisar tidak melihat para rekannya yang juga berada di mobil yang sama dengannya. Namaun, mungkin hal itu tidak perlu dikatakan. Mungkin ia tidak perlu mengoreksi Kaisar, karena toh benar; ia tadi bersama Dion dan ini sudah larut.Ditambah lagi, sejujurnya, setelah mengobrol sepanjang jalan, energi Embun terasa seperti sudah tersedot habis. Ia sudah membayangkan kasurnya dan mungkin saja, ia akan tertidur tepat ketika tubuhnya menyentuh kasur.“Jadi. Proyek yang kamu jalankan beberapa minggu ini. Di luar kota, ternyata melibatkan pria itu?”Embun mengernyit. Pertanyaan Kaisar penuh penekanan. Akan tetapi, Embun yang terlalu lelah untuk berpikir mengenai hal itu dan menebak-nebak, hanya menjawab, “Iya.”Hening sejenak.“Apaka
Prang!“Astaga!”Tidak hanya Embun, tapi dua puluh murid wanita dengan mata cokelat tersebut memandang si pengajar dengan syok, seakan Embun secara sengaja membanting botol kaca 500 ml tersebut.“Maaf, maaf.” Embun buru-buru berjongkok usai melihat ekspresi keterkejutan dari para muridnya untuk memunguti pecahan kaca yang berceceran. Permintaan maaf terukir jelas di wajahnya saat ia menoleh ke arah samping, pada para rekannya yang justru tampak khawatir pada Embun.Sekalipun Embun selalu banyak pikiran, wanita itu selalu profesional dan fokus jika sedang di depan kelas. Ini adalah pertama kalinya Embun berulah, dan itu adalah di depan 25 orang manuusia yang ditemuinya tiga kali seminggu.“Maaf ya semua.”Usai mengatakan itu, Embun mulai membersihkan pecahan kaca.Kini, Embun sedang berada di peternakan, di tempat milik Dion, sedang mengajar seperti biasa. Sudah beberapa hari lewat sejak perdebatan terakhirnya dengan Kaisar, tapi ucapan pria itu masih menghuni kepalanya dengan segar.“
“Embun? Ada apa?”Sepertinya Embun terlalu lama melamun sambil menatap Dion hingga pria itu kemudian bertanya dan membuat Embun mengalihkan pandangannya.Namun, tentu saja, Embun tidak menjawab pertanyaan tersebut dan justru berkata, “Sepertinya saya harus segera kembali ke kelas.”Wanita itu bergegas berdiri, tapi Dion menghentikannya dengan memegang kedua bahu Embun dan memaksa istri Kaisar itu untuk kembali duduk.“Hei, santai saja dulu. Aku yakin yang lain bisa mengurusi kelas tadi, meski kamu istirahat di sini,” ucap Dion. Pria itu kemudian berjalan ke rak yang ada di pojok ruangan dan mengambil dua kemasan botol air mineral. Dion kemudian memberikan salah satunya pada Embun setelah ia membuka tutupnya untuk wanita itu.“Terima kasih, Pak.” Embun berucap pelan dan meminum air tersebut.Mendengar itu, Dion menghela napas. “Kamu benar-benar tegas sekali ya, soal panggilan itu,” katanya.Embun mendongak. “Ya?”“Aku pikir,” Dion menjeda kalimatnya untuk minum langsung dari botol mili
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi