Di ruang keamanan sekolah, Pak Budi dan timnya sedang memeriksa rekaman CCTV dari minggu-minggu terakhir. Tapi pelacakan ini tidak mudah - si pelaku tampaknya sangat berhati-hati untuk tidak terekam kamera.
"Bagaimana dengan Felix?" tanya Pak Hadi yang ikut mengamati rekaman.
"Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan," Pak Budi menggeleng. "Dia memang sering terlihat di sekitar Viera, tapi itu wajar mengingat mereka sekelas."
Bu Anita yang baru selesai mewawancarai beberapa siswa masuk ke ruangan. "Saya sudah bicara dengan teman-teman sekelas Viera. Mereka bilang Felix memang belakangan lebih perhatian pada Viera, tapi..." dia terdiam sejenak, "ada yang aneh."
"Aneh bagaimana?" Pak Hadi menoleh.
"Beberapa siswa melaporkan ada y
Papa yang menyadari motor mencurigakan itu langsung mengambil rute berbeda dari biasanya. Dia sengaja berbelok-belok melewati jalan-jalan kecil, sesekali berhenti mendadak untuk memastikan apakah mereka benar-benar dibuntuti."Pa..." Viera melirik kaca spion dengan cemas."Tenang, sayang. Papa tau apa yang Papa lakukan," ujar Papa sambil menelepon polisi melalui handsfree. Dia melaporkan posisi mereka dan deskripsi pengendara motor tersebut.Setelah beberapa menit bermanuver, motor itu akhirnya menghilang di salah satu persimpangan. Tapi alih-alih langsung pulang, Papa membawa Viera ke kantor polisi terdekat."Kita tidak bisa mengambil risiko," jelasnya pada Viera yang tampak bingung. "Papa mau pastikan kita punya pengawalan sampai rumah."Di kantor polisi, mereka bertemu dengan Iptu Rahman, kepala tim yang menangani kasus Viera."Pelakunya semakin berani," kata Iptu Rahman setelah mendengar laporan tentang penguntitan terbaru. "Tapi ini bisa jadi kesempatan kita. Dia mulai ceroboh.""
"Tapi..." Papa terdiam shock. "Saya menghubungi mereka melalui...""Website?" tebak Iptu Rahman. "Pelaku sepertinya membuat website palsu yang mirip dengan website asli PT Sekawan. Dan teknisi yang datang kemari...""...adalah pelakunya sendiri," Mama menutup mulutnya, ngeri."Dia ada di sini..." Viera berbisik ketakutan. "Dia masuk ke rumah kita...""Dan sekarang," Iptu Rahman menambahkan, "kita punya rekaman wajahnya dari CCTV rumah ini saat dia memasang sistem palsu itu."Tim forensik segera mengamankan seluruh rekaman. Sementara itu, Iptu Rahman memerintahkan evakuasi sementara keluarga Viera ke lokasi yang aman."Tapi sebelum kita pergi," Iptu Rahman tersenyum tipis, "mari kita beri kejutan kecil untuk penguntit kita...""Apa maksud Bapak?" tanya Papa, sementara tim forensik sibuk membongkar sistem keamanan palsu itu."Pelaku mengira dia yang mengawasi kita," Iptu Rahman menjelaskan sambil mengeluarkan beberapa peralatan dari tasnya. "Tapi sebenarnya, kitalah yang akan mengawasin
"Siapa?" tanya Papa dan Mama hampir bersamaan.Iptu Rahman menatap mereka semua sebelum menjawab. "Satpam baru di sekolah Viera. Yang mulai bekerja sekitar dua bulan lalu.""Pak Rudi?" Viera terkesiap. Dia ingat satpam yang selalu tersenyum ramah itu, yang sering berjaga di pos depan sekolah."Nama aslinya Rudianto Pratama," Iptu Rahman menunjukkan sebuah file di tabletnya. "Mantan teknisi IT yang dipecat dari pekerjaannya karena... kasus serupa.""Ya Tuhan..." Mama memeluk Viera erat."Dia menggunakan posisinya sebagai satpam untuk mengawasi Viera," lanjut Iptu Rahman. "Dan dengan background IT-nya, memasang sistem pengintai palsu di rumah kalian bukan masalah besar baginya.""Ap
Papa mengendarai mobilnya dengan fokus penuh, sesekali melirik kaca spion. Setelah insiden penguntitan kemarin, dia memutuskan tidak ingin Viera naik bus sekolah. "Kamu gugup?" tanya Papa, menyadari jemari Viera yang berkali-kali meremas ujung tas. Viera tersenyum lemah. "Sedikit." Perjalanan terasa berbeda hari ini. Setiap sudut jalan, setiap kendaraan yang lewat, dipantau dengan waspada. Papa sengaja mengambil rute tidak biasa, berbelok-belok tanpa pola yang mudah ditebak. "Nanti kamu akan didampingi Ian dan guru-guru lain selama evakuasi," Papa menjelaskan. "Tim kepolisian juga akan menyamar di antara murid-murid." Viera mengangguk. Pikirannya melayang pada Bu Anita - guru BK yang ternyata terlibat. Bayangan kepercayaan yang dikhianati membuat perutnya terasa mual. "Pa," dia akhirnya berbicara, "aku takut. Tapi... aku juga ingin semua ini selesai." Papa menggenggam tangannya sebentar. "Kamu kuat, Viera. Kamu tidak sendirian." Mobil berhenti di depan gerbang sekolah.
Suara Bu Anita yang mengatur barisan murid terdengar samar. Setiap gerakannya kini terlihat berbeda di mata Viera - tidak lagi sebagai guru yang melindungi, tapi sebagai bagian dari sebuah permainan tersembunyi yang lebih kompleks.Ponselnya bergetar lagi. Viera tidak langsung membaca pesan. Dia sudah memutuskan untuk tidak lagi bereaksi seperti yang diharapkan oleh penguntitnya."Kamu kenapa?" Ian berbisik."Aku sudah lelah," jawab Viera pelan. "Lelah diam saja."Tatapannya bertemu sekilas dengan Pak Rudi. Kali ini, dia tidak mengalihkan pandang. Ada sesuatu yang baru dalam caranya menatap - bukan ketakutan, tapi pengakuan.Aku sudah tau siapa kamu, batinnya.Dan permainan baru saja berubah.Di sudut matanya, Viera melihat beberapa siswa yang "asing" - anggota tim kepolisian yang menyamar - mulai mengambil posisi strategis. Mereka bergerak dengan sangat natural, seolah benar-benar bagian dari rutinitas sekolah.Bu Anita melangkah ke arah podium kecil
"SEKARANG!" teriak Iptu Rahman tiba-tiba dari arah yang tak terduga. Sebuah tembakan tajam terdengar, dan remote control di tangan Pak Rudi terpental. Dalam sekejap, tim khusus bergerak dengan presisi. Dua petugas menerjang Pak Rudi, membantingnya ke tanah sebelum dia sempat bereaksi. Sementara itu, tiga petugas lain langsung mengamankan Bu Anita yang mencoba melarikan diri. "Remote controlnya palsu," Iptu Rahman mengumumkan sambil mengambil benda itu. "Hanya props untuk menggertak." Pak Rudi meronta, tapi cengkeraman petugas terlalu kuat. "Lepaskan aku! Viera milikku!" "Tidak ada bahan peledak," lanjut Iptu Rahman. "Tim kami sudah memeriksa seluruh gedung tadi malam. Kamu terlalu percaya pada informan dalammu..." dia melirik ke arah Bu Anita yang kini terduduk lemas. Viera merasakan lututnya lemas. Ian dengan sigap menahan tubuhnya. "Sudah berakhir," bisik Ian. Tapi Pak Rudi tertawa, suara tawanya menggema di lapangan yang kini sunyi. "Berakhir? Ini belum berakhir... Viera akan
Saat Renna dan Fanny masih memeluknya, Viera melihat sosok Felix berjalan melewati koridor dengan kepala tertunduk. Dia teringat bagaimana dia pernah mencurigai Felix sebagai penguntitnya, dan rasa bersalah langsung menyelimuti hatinya. "Felix!" panggilnya spontan. Felix berhenti, tapi tidak langsung berbalik. Bahunya terlihat tegang. "Bisa ngobrol sebentar?" Viera melepaskan diri dari pelukan kedua sahabatnya. Felix akhirnya berbalik, wajahnya masih menyiratkan keraguan. "Ya?" Viera menghampirinya, mengabaikan tatapan penasaran dari siswa lain di koridor. “Aku... aku mau minta maaf." "Untuk?" Felix bertanya pelan, meski dari matanya terlihat dia sudah tahu apa yang akan Viera katakan. "Karena udah mencurigai kamu," Viera berkata tegas. "Waktu itu aku panik, paranoid, dan... aku salah udah nuduh kamu tanpa bukti." Felix terdiam sejenak, sebelum akhirnya tersenyum tipis. "It's okay. Aku ngerti kok. Dalam posisi mu waktu itu, wajar kalau kamu curiga sama semua orang." "
Malam itu, Viera berbaring di tempat tidurnya sambil menatap langit-langit kamar. Bayangan es krim sore tadi masih terasa di lidahnya - rasa stroberi dan vanilla yang tak biasa dia pesan. Perubahan kecil, tapi terasa begitu berarti. Ponselnya bergetar pelan. Notifikasi dari grup kelas muncul di layar, membahas rencana belajar kelompok untuk minggu depan. Sebelumnya, membaca chat seperti ini selalu membuatnya gelisah - takut harus keluar rumah, takut bertemu orang-orang. Tapi sekarang... "Aku ikut ya," ketiknya di grup, jemarinya sedikit gemetar. Bukan karena takut, tapi karena antisipasi. Respon langsung membanjiri grup - emoji semangat dari Renna, stiker "finally!" dari Fanny, dan beberapa teman sekelas yang menyambutnya dengan hangat. Viera tersenyum, menyadari betapa dia merindukan interaksi-interaksi sederhana seperti ini. Mama melongok dari pintu kamar yang setengah terbuka. "Belum tidur, sayang?" "Bentar lagi, Ma," Viera meletakkan ponselnya. "Lagi bales chat temen-temen. Mi
Fanny menatap Viera lama, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja dia terima. Dia bisa melihat ketulusan di mata sahabatnya, tapi logikanya masih memberontak."Kalo gitu... sikap aneh loe belakangan ini..." Fanny menggantung kalimatnya."Iya," Viera mengangguk pelan. "Gue... gue berusaha bersikap normal di sekolah. Tapi kadang susah, Fan. Apalagi waktu di kelas...""Dan pembatas buku yang loe simpen itu?" Fanny teringat sesuatu yang sempat dia perhatikan. "Yang selalu loe pegang-pegang..."Viera mengeluarkan pembatas buku dari tasnya dengan tangan gemetar. "Ini... hadiah pertama dari Ian setelah kami tunangan."Fanny mengambil pembatas buku itu, mengamati bunga yang diawetkan di dalamnya dengan teliti. Ada tanggal yan
Di kedai es krim, Viera menyendok es krim vanilanya perlahan, sesekali mencuri pandang ke arah Ian yang duduk di hadapannya."Ada yang mengganggumu?" tanya Ian, menangkap kegelisahan di mata Viera."Tadi..." Viera meletakkan sendoknya, "saat di kantin, Fanny sepertinya sudah mulai curiga. Dia... dia selalu bisa membaca situasi dengan baik."Ian mengangguk pelan. "Dia memang sangat perhatian padamu.""Aku merasa bersalah," Viera berbisik, matanya mulai berkaca-kaca. "Mereka selalu ada untukku. Bahkan saat aku kehilangan ingatan, mereka yang menceritakan ulang setiap detail hidupku. Tapi sekarang... aku malah menyembunyikan sesuatu sebesar ini dari mereka.""Hey," Ian mengulurkan tangannya, nyaris menyentuh tangan Viera sebelum teringat mereka masih di tempat umum. "Kamu tidak perlu merasa bersalah. Ini... ini bukan sesuatu yang mudah untuk dibagi.""Tapi sampai kapan?" Viera menatap es krimnya yang mulai mencair. "Sampai kapan kita harus bersembunyi seperti ini?"Ian terdiam sejenak, m
Langit sudah mulai memerah saat Viera mengendap-endap ke parkiran belakang sekolah. Koridor-koridor sudah sepi, hanya tersisa beberapa siswa yang masih mengikuti kegiatan klub. Ian sudah menunggu di mobilnya, seperti yang mereka sepakati sebelumnya. "Maaf lama," Viera berbisik saat masuk ke mobil. "Tadi harus mastiin dulu Renna udah pulang." Ian tersenyum, menyalakan mesin mobil. "Tidak apa-apa. Kamu yakin tidak ada yang lihat?" Viera mengangguk, meski ada keraguan samar yang menggelayut di dadanya. Dia tidak menyadari sosok Fanny yang berdiri di balik pilar, mengamati dengan mata melebar saat mobil Ian mulai bergerak meninggalkan area parkir. Sementara itu di dalam mobil Fanny. "Pak Man, Bisa ikuti mobil itu? Yang Innovasi Hitam itu." Sopir paruh baya itu mengernyit heran. "Nona Fanny yakin? Bukannya itu mobil guru matematika..." "Please," Fanny memotong dengan nada mendesak. "Ini penting." Di mobil Ian, Viera mulai merasa rileks. Dia menyandarkan kepalanya ke jok, merasakan ke
Bel istirahat berbunyi seperti penyelamat bagi Viera. Dia menghembuskan napas yang tanpa sadar ditahannya selama dua jam pelajaran matematika itu. "Oke, sampai di sini dulu," Ian mengumumkan, membereskan bukunya. "Jangan lupa kerjakan latihan halaman 45." Saat Ian melangkah keluar kelas, Viera bisa merasakan tatapannya yang sekilas tertuju padanya. Tatapan yang membuat jantungnya melompat, meski hanya sepersekian detik. "Ra," Fanny mendadak sudah berdiri di samping mejanya, "ke kantin, yuk?" Ada sesuatu dalam nada suara Fanny yang membuat Viera gelisah. "Ah... gue..." dia melirik tasnya, mencari-cari alasan. "Ayolah!" Renna menarik tangannya dengan antusias. "Gue laper banget nih setelah dipaksa mikir limit tadi." Viera tidak punya pilihan selain mengikuti kedua sahabatnya. Mereka berjalan menyusuri koridor yang ramai, dengan Renna yang terus mengoceh tentang betapa sulitnya pelajaran hari ini. "Tapi aneh ya," Renna tiba-tiba menoleh pada Viera, "tumben banget loeu nggak
"Viera!" Suara familiar Renna membuatnya tersentak dari lamunannya. Sahabatnya itu berlari kecil menghampirinya, dengan Fanny yang mengikuti dengan langkah lebih tenang di belakang. "Tumben agak siang?" Renna mengaitkan lengannya dengan lengan Viera, gestur yang sudah menjadi kebiasaan mereka. "Biasanya loe sudah nunggu di depan gerbang." Viera merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Memori tentang sore kemarin masih begitu segar di benaknya. "Ah... iya, tadi bangun agak telat." Fanny, dengan kepekaannya yang biasa, menatap Viera dengan seksama. "Loe... kelihatan berbeda hari ini." "Berbeda?" Viera mencoba tertawa, meski suaranya terdengar sedikit bergetar. "Berbeda gimana?" "Entahlah," Fanny mengangkat bahu, tapi matanya masih menatap penuh selidik. "Kayak... ada sesuatu yang berbeda." Renna mengangguk antusias. "Iya! Gue juga ngerasa gitu. Loe... kayak lagi happy banget?" Viera menggigit bibirnya, merasakan rona hangat mulai merambat di pipinya. Tepat saat itu, sosok Ian
Viera mengeratkan genggamannya pada pembatas buku di tangannya, mendadak teringat pada dua sosok yang selama ini selalu ada di sampingnya. Renna dan Fanny - sahabatnya sejak SMA yang selalu mendukungnya tanpa syarat, bahkan saat dia kehilangan ingatannya."Ian..." Viera mendongak, menatap pria yang kini menjadi guru matematikanya itu. "Bagaimana dengan Renna dan Fanny?"Ada jeda sejenak sebelum Ian menjawab, seolah dia juga baru tersadar akan kompleksitas situasi mereka. Memang, hubungan guru dan murid ini bukanlah sesuatu yang sederhana untuk dijelaskan, bahkan pada sahabat terdekat sekalipun."Mereka... pasti akan mengerti," Ian akhirnya berkata, meski ada keraguan tipis dalam suaranya. "Mereka sahabatmu yang paling dekat, kan?"Viera menggigit bibirnya, mengingat baga
Viera menatap pembatas buku di tangannya, jemarinya menelusuri permukaan bunga yang telah diawetkan itu dengan hati-hati. Ada sesuatu yang menggelitik dalam dadanya - perasaan hangat yang familiar sekaligus asing, seperti menemukan potongan puzzle yang telah lama hilang."Masih ingat waktu kita pertama kali menemukan bunga-bunga ini?" tanya Ian, suaranya lembut seperti angin sore yang membelai dedaunan di atas mereka.Viera mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada pembatas buku itu. Memori-memori yang sempat terkubur perlahan mengapung ke permukaan - musim panas yang panjang, tawa yang riang, dan janji-janji kecil yang terucap di bawah pohon mangga ini."Waktu itu kamu bilang bunganya seperti bintang yang jatuh ke bumi," Viera tersenyum kecil, mengingat kata-kata polos mereka di masa kecil. "Dan aku percaya begi
Viera terdiam, matanya berkaca-kaca menatap tulisan di halaman terakhir buku itu. Tangannya sedikit bergetar saat menyentuh kertas yang menguning, merasakan tekstur dari janji masa kecil mereka."Kamu..." suara Viera tercekat, "kamu benar-benar menyebalkan, Ian."Ian mengerjap bingung, "Eh?""Menciumku di bawah meja guru, membuatku cemburu pada adikmu sendiri, dan sekarang..." Viera mengangkat wajahnya, ada air mata yang mulai jatuh di pipinya, "sekarang kamu mengungkapkan perasaanmu dengan cara yang begitu... begitu sempurna."Ian tersenyum lembut, tangannya bergerak mengusap air mata di pipi Viera. "Maaf membuatmu menunggu lama.""Bodoh," Viera memukul dada Ian pelan. "Kamu yang menunggu lebih lama. Bahkan saat aku lupa, ka
"IAAANN!" Viera berteriak tertahan, tapi yang tersisa hanya gema langkah kaki Ian yang semakin menjauh dan aroma mint samar yang masih tertinggal di udara. Dia menyentuh bibirnya lagi, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi."Dasar menyebalkan," gumamnya, tapi ada senyum kecil yang tak bisa dia tahan. Dia bersandar pada meja guru, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih tidak beraturan.Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang terjatuh dari buku Ian - selembar kertas yang terlipat rapi. Tangannya bergerak mengambil kertas itu. Seharusnya dia tidak membukanya, tapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk melakukan hal itu.Di dalamnya, ada tulisan tangan yang rapi: "Untuk adikku tersayang, Terima kasih sudah membantu kakak selama ini. Kamu benar - aku harus lebih berani mengungkapkan perasaanku pad