Halooo, pembaca kesayangan akhirnya tembus 1.1k pembaca ლ(◉❥◉ლ) terima kasih banyak atas dukungannya dan sudah setia membaca karya dari author karena sudah tembus 1.1k pembaca, nanti sore author bakal upload bab bonus yaaa stay tuned (^з^)-☆Chu!!
Aroma roti panggang dan telur dadar mengisi ruang makan pagi itu. Viera mengaduk-aduk susu coklatnya dengan pikiran yang masih melayang ke mimpinya semalam. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Papa yang sedang membaca koran, mencoba mencari kemiripan antara ruang makan ini dengan ruang kerja dalam mimpinya. "Ma, Pa..." Viera memulai dengan ragu, jemarinya masih memainkan sendok. "Viera semalam mimpi aneh." Papa melipat korannya, sementara Mama yang sedang menuang kopi berhenti sejenak. Ada sesuatu dalam tatapan mereka yang membuat Viera merasa seperti ada cerita yang tersembunyi. "Mimpi apa, sayang?" tanya Mama, duduk di sampingnya dengan secangkir kopi yang mengepul. "Viera mimpi... ada di ruang kerja Papa yang dulu. Yang wallpapernya masih lama itu." Viera menggigit bibirnya. "Ada anak laki-laki yang lagi baca buku, terus ada anak kecil yang ngajak main..." Papa dan Mama bertukar pandang, senyum tipis tersungging di bibir mereka. "Oh ya?" Papa menyesap kopinya. "Terus, a
Ponsel Viera bergetar pelan saat bel pulang berbunyi. Sebuah pesan dari Ian: "Bisa tunggu sampai sekolah sepi? Aku di parkiran seperti biasa."Jantung Viera berdegup sedikit lebih kencang. Ini pertama kalinya Ian mengajaknya bicara lagi sejak... kejadian itu. Dia mengetik balasan dengan jari gemetar: "Okay."Viera menunggu di perpustakaan, pura-pura membaca buku sambil sesekali mengintip keluar jendela. Satu per satu, siswa meninggalkan sekolah. Lorong-lorong mulai sunyi, hanya tersisa gema langkah sesekali dan suara sapu pak cleaning service di kejauhan.Setelah hampir sejam, Viera memberanikan diri melangkah ke parkiran. Mobil Ian masih di sana, mobil yang selalu ia kendarai - hitam mengkilat dengan interior yang selalu rapi. Ian duduk di belakang kemudi, matanya terfokus pada buku di tangannya."Masuk," kata Ian singkat saat Viera mengetuk kaca mobil.Interior mobil terasa dingin, kontras dengan udara sore yang hangat di luar. Aroma mint yang familiar mengisi ruangan sempit itu."M
Setelah makan malam yang tenang itu, Ian mengemudikan mobilnya menuju rumah Viera. Jalanan malam terasa lengang, lampu-lampu jalan menciptakan bayangan yang menari di dashboard mobil. Viera melirik ke arah Ian sesekali, masih mencoba menggali serpihan-serpihan memori yang terasa begitu dekat namun sulit digapai.Begitu sampai di depan rumah, Ian mematikan mesin mobil dan turun bersamanya. Langkahnya mantap menuju pintu depan, seolah dia telah mengenal jalan ini sejak lama. Papa dan Mama Viera sedang menonton TV di ruang keluarga ketika mereka masuk."Selamat malam, Pa, Ma," sapa Ian sopan, membungkuk sedikit. Ada sesuatu dalam cara Papa menatap Ian - seperti mengenali sesuatu yang familiar, tapi tidak mengatakannya."Ian," Mama tersenyum hangat. "Sehat, nak?."“Seh
Ian meraih buku di nakas - novel lama dengan sampul yang sudah menguning. Buku yang sama yang dulu sering dia bacakan untuk Viera kecil. Jemarinya menelusuri halaman-halaman yang familiar, mencari bekas lipatan di sudut-sudut kertas yang dia yakini dibuat oleh tangan mungil Viera setiap kali gadis itu ingin menandai bagian favoritnya."Kamu selalu suka bagian ini," gumamnya, berhenti di sebuah halaman dengan lipatan yang lebih kentara. Sebuah adegan sederhana - tentang dua anak yang berjanji akan selalu bersama. Ian tersenyum getir, menyadari ironi takdir yang seolah mengejeknya.Di sisi lain, Viera masih terjaga. Mimpi tadi membuatnya gelisah. Dia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke arah jendela. Bulan masih bersembunyi di balik awan, tapi cahayanya cukup untuk menerangi halaman belakang rumahnya.Matanya tertuj
Viera menatap foto itu sepanjang pelajaran, menyembunyikannya di balik buku teks setiap kali guru melintas. Jemarinya berulang kali menyentuh wajah anak laki-laki di foto - Ian kecil dengan kacamata yang terlalu besar untuk wajahnya, tenggelam dalam buku yang sama yang dia bawa hari ini.Memori-memori mulai bermunculan seperti gelembung sabun yang rapuh - berkilau sebentar sebelum pecah menjadi serpihan-serpihan kecil yang sulit dirangkai. Aroma vanilla yang selalu tercium dari sweater Ian kecil. Suara halaman buku yang dibalik dengan hati-hati. Tawa kecilnya setiap kali Ian menirukan suara tokoh-tokoh dalam cerita.Saat bel istirahat berbunyi, Viera tidak beranjak dari kursinya. Matanya masih terpaku pada foto itu, pada ekspresi lembut Ian kecil yang menatap dirinya yang tertidur. Ada sesuatu dalam tatapan itu - sesuatu yang masih dia lihat di mata Ian sekaran
Suara Viera terdengar ragu saat bertanya, "Selama ini... aku dengar kamu tidak pernah dekat dengan siapapun."Ian mengalihkan pandangan dari bukunya, ada senyum tipis yang terbit di bibirnya. "Ah, itu..." Dia terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan seberapa banyak yang harus dia ungkapkan."Bukannya tidak ada yang mencoba," lanjutnya, suaranya tenang seperti air danau di pagi hari. "Tapi... bagaimana menjelaskannya ya?" Ian melepas kacamatanya, mengusapnya perlahan dengan ujung kemeja - kebiasaan yang Viera sadari selalu dia lakukan saat hendak mengatakan sesuatu yang penting."Ada seseorang," Ian melanjutkan, matanya kini menatap keluar jendela perpustakaan, ke arah pohon mangga yang berdiri kokoh di kejauhan. "Seseorang yang sudah mengisi hatiku sejak lama. Jauh sebelum aku mengerti apa artinya menyukai seseorang
Tanpa pikir panjang, Viera beranjak dari kursinya. Kakinya melangkah cepat menyusuri koridor, mencari sosok Ian yang baru saja menghilang di balik pintu perpustakaan. Ada sesuatu yang mendorongnya - entah keberanian yang tiba-tiba muncul atau rasa frustasi yang sudah mencapai batasnya.Ruang guru. Tentu saja - Ian selalu ke sana setelah jam pelajaran usai. Viera mempercepat langkahnya, jantungnya berdegup kencang bukan hanya karena berlari kecil, tapi juga karena kata-kata yang sudah menumpuk di ujung lidahnya.Ruangan itu sepi ketika dia masuk. Hanya ada Ian yang sedang membereskan berkas-berkasnya. "Ian," panggilnya, suaranya sedikit terengah. "Tentang yang tadi-"Suara langkah kaki di koridor membuat kata-katanya terputus. Tanpa berpikir, tubuhnya bergerak secara naluriah - bersembunyi di bawah meja Ian. Posisi y
"IAAANN!" Viera berteriak tertahan, tapi yang tersisa hanya gema langkah kaki Ian yang semakin menjauh dan aroma mint samar yang masih tertinggal di udara. Dia menyentuh bibirnya lagi, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi."Dasar menyebalkan," gumamnya, tapi ada senyum kecil yang tak bisa dia tahan. Dia bersandar pada meja guru, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih tidak beraturan.Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang terjatuh dari buku Ian - selembar kertas yang terlipat rapi. Tangannya bergerak mengambil kertas itu. Seharusnya dia tidak membukanya, tapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk melakukan hal itu.Di dalamnya, ada tulisan tangan yang rapi: "Untuk adikku tersayang, Terima kasih sudah membantu kakak selama ini. Kamu benar - aku harus lebih berani mengungkapkan perasaanku pad
Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa terasa, ujian akhir hampir tiba. Viera dan teman-temannya tenggelam dalam buku-buku pelajaran dan kertas-kertas latihan. Kafe-kafe di sekitar sekolah penuh dengan siswa kelas dua belas yang belajar kelompok, menyesap kopi berlebihan, dan saling bertukar rumus dan catatan."Aku tidak bisa mengingat semua rumus ini," keluh Fanny, menutup buku fisikanya dengan frustasi. "Terlalu banyak.""Buat diagram dulu," saran Renna, yang dengan tenang membuat kartu-kartu kecil berisi poin-poin penting. "Lebih mudah mengingat secara visual."Viera mengangguk, tapi matanya terasa berat. Dia sudah belajar sejak pagi, dan hari sudah menjelang sore. Cangkir kopi ketiganya nyaris kosong."Kalian tahu," Viera berkata sambil meregangkan tubuhnya, "Ian sebenarnya punya metode bagus untuk mengingat rumus-rumus."Ada keheningan canggung sejenak sebelum Fanny tertawa kecil. "Viera, loe gak mau tanya gitu metode tunanganmu buat mengingat rumus?"Viera memutar matanya, tapi tidak
Seminggu berlalu dengan cepat. Viera dan Felix tetap pergi ke open house fakultas komunikasi, tapi suasananya tidak sama lagi. Ada jarak yang tidak terkatakan di antara mereka—sebuah tembok transparan yang tidak bisa ditembus oleh candaan atau obrolan ringan."Ini laboratorium multimedia mereka," Felix menjelaskan sambil menunjuk sebuah ruangan besar dengan peralatan canggih. "Katanya mahasiswa bisa menggunakannya untuk proyek-proyek mereka."Viera mengangguk, matanya berbinar melihat fasilitas kampus yang luar biasa. "Ini keren sekali. Aku bisa membayangkan berkuliah di sini."Felix tersenyum tipis, untuk pertama kalinya hari itu. "Kamu akan cocok di sini, Viera. Kamu selalu punya bakat bercerita."Ada ketulusan dalam kata-kata Felix yang membuat Viera merasa sedikit lebih baik. Mungkin persahabatan mereka tidak hancur sepenuhnya—hanya membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan realitas baru."Terima kasih, Felix," Viera tersenyum tulus. "Sungguh, terima kasih untuk semuanya."
Malam itu, Viera tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar antara Ian, Felix, dan masa depannya yang semakin kompleks. Dia mengambil ponselnya, memeriksa pesan terakhir dari Ian. Ada kehangatan aneh yang muncul saat membaca kembali percakapan mereka—percakapan yang jauh dari romantis, tapi penuh dengan kejujuran dan pengertian."Aku bingung, Ian," Viera akhirnya mengetik pesan baru. "Bagaimana menurutmu cara terbaik untuk memberitahu teman-temanku yang lain tentang... kita?"Balasan Ian tidak langsung datang. Viera membayangkan pemuda itu mungkin sedang bekerja atau bahkan sudah tidur. Tapi lima menit kemudian, ponselnya bergetar."Apa yang membuatmu tidak tenang, Viera?"Viera tersenyum kecil. Lagi-lagi, Ian dan kebiasaannya untuk langsung ke inti masalah."Felix, dia mengundangku ke open house fakultas komunikasi. Aku hampir saja keceplosan menyebut namamu. Dan... aku merasa... usaha Felix mendekatiku semakin besar."Ada jeda lama sebelum Ian membalas. Viera hampir bisa merasakan
Semakin malam, percakapan mereka semakin dalam. Ian bercerita tentang tekanan yang dirasakannya sebagai putra tunggal, tentang bagaimana dia kadang merasa terjebak dalam ekspektasi keluarga. Viera membagikan kekhawatirannya tentang masa depan, tentang mimpinya yang kadang terasa terlalu besar untuk diwujudkan."Kadang aku bertanya-tanya bagaimana rasanya hidup tanpa rencana yang sudah diatur," tulis Ian di suatu titik. "Bebas memilih jalan sendiri.""Aku juga," balas Viera. "Tapi mungkin tidak ada yang benar-benar bebas? Semua orang punya batasan dan tantangannya masing-masing.""Bijaksana sekali untuk gadis tujuh belas tahun," balas Ian, dan Viera bisa membayangkan senyum kecil di wajahnya saat mengetik itu."Aku hampir delapan belas, tau," Viera membalas, tersenyum pada dirinya sendiri. "Lagipula, umur hanya angka.""Memang. Tapi pengalaman bukan sekadar angka."Ada kebenaran dalam kata-kata Ian yang tidak bisa Viera bantah. Meski merasa dewasa dan siap menghadapi dunia, dia tau bah
"Apa... apa yang membuat Mama akhirnya mencintai Papa?" tanyanya penasaran.Mama terlihat melamun sejenak, matanya menerawang ke masa lalu. Ada senyum kecil yang bermain di sudut bibirnya."Kesabaran," Mama akhirnya menjawab. "Papa sangat sabar. Dia tidak pernah memaksa Mama untuk mencintainya, tapi dia selalu ada. Selalu mendukung. Dan, ya, dia ternyata sangat romantis dengan caranya sendiri."Viera tersenyum, membayangkan Papanya yang selalu terlihat tegas dan disiplin bisa bersikap romantis. "Romantis bagaimana, Ma?""Ah, banyak hal kecil. Mengingat tanggal-tanggal penting, memperhatikan apa yang Mama suka dan tidak suka, selalu membawakan oleh-oleh ketika pulang kerja..." Mama terkekeh. "Yang paling Mama ingat, saat Mama sakit, Papa rela tidak tidur semalaman hanya untuk mengompres Mama. Padahal besoknya dia ada rapat penting."Ada kehangatan yang menyebar di dada Viera mendengar cerita itu. Mungkinkah dia dan Ian juga bisa membangun kedekatan seperti itu suatu hari nanti?"Ma, me
"Kita bisa mencobanya," Viera berbisik. "Melanjutkan rencana pernikahan, tapi dengan catatan kita akan saling terbuka, saling mendukung karier dan mimpi masing-masing." Ian tersenyum, "Bukan sekadar merger bisnis, tapi partnership sejati." Keputusan itu tidak datang dengan drama atau ledakan emosi. Justru sebaliknya—dengan ketenangan dan pengertian yang mendalam. Mereka memutuskan untuk tetap melanjutkan pernikahan, tapi dengan komitmen untuk selalu berkomunikasi, untuk selalu memberikan ruang bagi pertumbuhan masing-masing. Ketika Viera pulang ke rumah malam itu, ada ketenangan aneh yang menyelimutinya. Mama—yang sepertinya selalu bisa membaca gerak-gerik putrinya—menunggu di ruang keluarga. "Bagaimana?" tanya Mama langsung, tanpa basa-basi. Viera duduk di samping Mama, merasa letih namun tenang. "Viera dan Ian memutuskan untuk tetap melanjutkan pernikahan." Mata Mama berbinar penuh tanya. "Coba sini cerita sama Mama." Dan Viera menceritakan semuanya—percakapan dengan Ian, ket
Kata itu—cinta—terasa berat dan asing di antara mereka. Ian tampak tidak nyaman, jari-jarinya mengetuk pelan sisi cangkir kopinya. "Cinta itu... rumit, Viera," dia akhirnya menjawab diplomatik. "Aku menyayangimu, menghormatimu. Aku yakin kita bisa membangun kehidupan yang baik bersama. Bukankah itu bentuk cinta juga?" Ada kejujuran dalam kata-kata Ian yang membuat hati Viera terasa sakit sekaligus lega. Setidaknya Ian tidak berpura-pura merasakan sesuatu yang tidak dia rasakan. "Mungkin," Viera menjawab pelan. "Tapi apakah itu cukup untuk kita? Apa kamu tidak pernah bertanya-tanya bagaimana rasanya... jatuh cinta? Benar-benar jatuh cinta?" Ian menghela napas panjang, untuk pertama kalinya topeng profesionalnya sedikit retak. "Tentu saja aku pernah. Aku bukan robot, Viera." "Lalu? Apa kamu tidak ingin merasakan itu sebelum berkomitmen untuk seumur hidup?" "Tidak semua orang punya kemewahan itu," Ian menjawab, ada nada getir dalam suaranya. "Kita punya tanggung jawab, kita punya ek
setidaknya mencoba belajar, karena pikirannya terus melayang ke pertemuan sore nanti. Jam demi jam berlalu dengan lambat, hingga akhirnya jam di ponselnya menunjukkan pukul 3:30 sore. Viera berdiri di depan cermin, memandang refleksi dirinya. Gadis tujuh belas tahun yang berdiri di persimpangan hidup. Dia mengenakan gaun biru muda sederhana. "Kamu siap?" Mama bertanya dari ambang pintu. Viera berbalik, tersenyum tipis. "Entahlah, Ma. Viera bahkan tidak tau apa yang akan Viera katakan pada Ian." Mama menghampirinya, merapikan rambut Viera yang sedikit berantakan. "Katakan yang ada di hatimu, sayang. Dengan jujur, tapi juga dengan bijak." "Dan jika itu melukai banyak orang?" "Kadang kita harus melukai beberapa orang untuk menghindari luka yang lebih besar di masa depan," Mama menjawab bijak. "Lebih baik jujur sekarang daripada hidup dalam kebohongan seumur hidup." Viera mengangguk, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Terima kasih, Ma." Dengan hati yang ma
"Viera?" Suara Mama terdengar dari balik pintu, diikuti ketukan lembut. "Kamu sudah bangun? Sarapan sudah siap.""Iya, Ma. Sebentar lagi Viera turun," jawabnya, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi.Di meja makan, suasana terasa lebih hening dari biasanya. Papa sibuk dengan tabletnya, sesekali mengerutkan dahi membaca berita pagi. Mama dengan telaten menuangkan teh ke cangkir Papa sebelum duduk di sampingnya. Rutinitas pagi yang begitu familiar bagi Viera, namun entah mengapa pagi ini terasa berbeda."Viera akan bertemu Ian sore ini," Viera berkata pelan setelah menyesap susu hangatnya.Papa mengalihkan pandangan dari tabletnya. "Oh? Ada acara apa?""Tidak ada acara khusus," Viera menjawab, mengaduk-aduk bubur di mangkuknya tanpa nafsu. "Hanya... ingin bicara.""Tentang pernikahan?" tanya Papa, ekspresinya cerah. "Bagus. Kalian memang perlu lebih banyak waktu berdua untuk membicarakan detail-detail penting."Viera mengangguk lemah, tidak mengoreksi asumsi Papa. Ekor matan